Kamis, 20 November 2008

KETAKUTAN AKAN KONFLIK

Kapanpun beberapa anarkis dalam jumlah cukup banyak berkumpul bersama, terjadi adu argumentasi. Hal ini tidak mengejutkan, semenjak kata "anarkis" digunakan untuk mendeskripsikan sebuah ranah luas yang yang sering berisi ide-ide dan praktik yang saling berkontradiksi. Satu-satunya yang menyamakannya adalah hasrat untuk menyingkirkan otoritas, dan para anarkis bahkan tidak selalu setuju pada apa itu otoritas, seperti apa metoda yang dirasa tepat untuk menghapuskannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong hadirnya (pertanyaan-pertanyaan) lain, dan karenanya argumentasi tak terelakkan.

Argumentasi tidak menggangguku. Apa yang menggangguku adalah fokus pada sebuah upaya untuk selalu tiba pada sebuah persetujuan. Diasumsikan bahwa "karena kita semua adalah anarkis", kita semua harus menginginkan hal yang sama; konflik-konflik yang terjadi pasti adalah ketidakpahaman yang dapat diselesaikan dengan cara membicarakannya, dengan menemukan ranah bersama. Saat seseorang menolak untuk membicarakannya dan tetap bersikukuh memantapkan perbedaannya, mereka dianggap dogmatis. Keteguhan dalam menemukan ranah bersama mungkin saja menjadi sumber-sumber yang paling signifikan dari dialog tanpa akhir yang seringkali hadir saat kita beraksi dalam menciptakan hidup kita dalam terminologi kita sendiri. Usaha untuk menemukan sebuah ranah bersama mencakup sebuah pengingkaran terhadap konflik-konflik yang nyata.


Satu strategi yang seringkali digunakan untuk mengingkari konflik adalah dengan mengklaim sebuah argumen hanyalah sebuah ketidaksetujuan atas kata-kata dan artinya (berkutat di sekitar penggunaan kata semata). Seakan-akan kata-kata yang digunakan seseorang dan bagaimana seseorang memilih menggunakan kata-kata tersebut tak ada kaitannya dengan apa yang seseorang tersebut idekan, impikan dan hasratkan. Aku sadar bahwa memang ada beberapa argumentasi yang terjadi hanya karena perbedaan kata dan artinya. Argumentasi demikian akan dapat diselesaikan dengan mudah apabila individu-individu yang terlibat dengan jelas dan tepat menjelaskan apa yang mereka maksudkan. Saat individu-individu tak dapat menemui persetujuan pada kata yang digunakan dan bagaimana menggunakannya, hal tersebut mengindikasikan bahwa apa yang mereka impikan, hasrati dan cara berpikirnya berpisah sangat jauh bahkan dalam satu bahasa yang sama, mereka tak dapat menemui sebuah kesamaan lidah. Usaha untuk mereduksi friksi ini ke dalam sekedar persoalan semantik adalah sebuah upaya untuk mengingkari sebuah konflik utama dan keunikan individu-individu yang terlibat di dalamnya.

Pengingkaran atas konflik dan keunikan individu biasanya merefleksikan sebuah fetish atas persatuan yang hadir dari residu Kiri dan kolektivisme. Persatuan selalu diagungkan oleh kaum Kiri. Semenjak kebanyakan anarkis, mengesampingkan usaha mereka untuk membedakan diri mereka dari kaum Kiri, biasanya sekedar menjadi Kiri yang anti-negara, tetapi mereka tetap percaya bahwa hanya sebuah front persatuan yang dapat menghancurkan masyarakat ini, yang akan mendorong kita untuk bersatu tidak berdasar pada pilihan kita, dan karenanya kita harus melampaui perbedaan-perbedaan kita dan bersatu bersama mendukung "program bersama". Tapi saat kita memberikan diri kita pada "program bersama", kita dipaksa untuk menerima perjuangan dan pemahaman yang paling rendah. Persatuan yang diciptakan dengan cara ini adalah sebuah persatuan palsu yang hanya dapat hadir dengan cara merepresi hasrat dan gairah yang unik dari tiap individu yang terlibat, mentransformasikan mereka ke dalam sebuah massa. Beberapa persatuan tidak berbeda dengan cara pembentukan buruh yang mampu membuat pabrik tetap berjalan atau persatuan sebuah konsensus sosial yang membuat otoritas tetap berkuasa dan rakyat tetap diatur. Persatuan massa, sebab hal tersebut berdasar pada reduksi individual ke dalam sebuah unit umum, tak pernah dapat menjadi sebuah basis bagi penghancuran otoritas, melainkan hanya dukungan bagi bentuk otoritas yang lain. Semenjak anarkis ingin menghancurkan otoritas, kita harus memulainya dari sebuah basis yang berbeda.

Bagiku, basisnya adalah diriku sendiri—hidupku dengan seluruh gairah dan mimpi, hasrat, proyek dan musuhnya. Dari basis ini, aku tak membuat "program bersama" dengan siapapun, dan akan secara berkala bertentangan dengan individu-individu yang bahkan berafiniti dengan kita. Bukan tak mungkin apabila hasrat dan gairahmu, impian dan proyek-proyekmu bertentangan dengan milikku. Dilengkapi dengan dorongan untuk merealisasikan hal-hal yang saling beroposisi tersebut, beberapa afiniti lantas menjadi sebuah persatuan yang sesungguhnya antara individu-individu insurgen dan unik yang mana akan dapat bertahan hanya selama individu-individu yang tergabung di dalamnya inginkan. Jelas, hasrat untuk merusak otoritas dan masyarakat dapat menggerakkan kita ke dalam sebuah persatuan insureksioner yang menjadi skala besar, tetapi tak akan pernah menjadi sebuah gerakan massa; melainkan hal tersebut akan menjadi pertemuan afiniti antarindividu yang bersikukuh membuat hidup mereka menjadi milik mereka kembali. Bentuk insureksi seperti ini tak dapat hadir melalui sebuah reduksi ide-ide ke dalam tingkatan rendah yang dapat disetujui oleh setiap orang, melainkan melalui sebuah kesadaran bahwa tiap individu itu unik, sebuah kesadaran yang merengkuh konflik-konflik yang ada yang eksis antar individu, tak peduli seberapa tajam konflik tersebut jadinya, tetaplah menjadi kekayaan yang menakjubkan dari sebuah interaksi yang ditawarkan oleh dunia pada kita begitu kita mampu mendorong diri kita keluar dari sistem sosial yang telah mencuri hidup dan interaksinya dari diri kita selama ini.

AWAS LENINIS!

Leninisme bukanlah sebuah pengembangan dari ide-ide Karl Marx, melainkan sebuah pendistorsian darinya, dan Stalinisme adalah sebuah parodi menyeluruh atas Marx. Sayangnya kedua partai “komunis” di Indonesia yang mengaku revolusioner dan mengklaim diri mereka sebagai penerus ide-ide Marx justru mengikuti jalur yang telah ditentukan oleh kedua diktator tersebut. Maka, saat ini seorang Marxis yang baik adalah mereka yang berada di luar partai, sementara yang tertinggal dalam partai hanyalah mereka yang paling idiot.

Semenjak saya menyatakan diri keluar dari PRD dan meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya tidak setuju dengan kitab suci ideologi si botak Lenin, saya tidak tahu lagi apa penyebabnya, tapi setiap saat saya melihat seorang Leninis berjalan ke arah saya—dalam sebuah demonstrasi misalnya—saya selalu waspada, tegang. Jantung saya mulai berdebar-debar, dan secara spontan saya mulai mencari rute kabur serta bersiap-siap membela diri. Dalam hati, bahkan saya mengutuki diri saya sendiri yang membiarkan diri saya terlihat oleh para Leninis tersebut. Apa saya nggak sadar, bahwa hampir dalam setiap demonstrasi kaum Leninis selalu menyusup, berpakaian lusuh, ngantongin handphone dan ngebawa setumpuk kutipan kalimat si gundul Lenin di kepala mereka? Gobloknya saya ini! Sekarang lihat! Si Lenin yang terlahir kembali makin deket, makin deket, dekeeet—dan kemudian—fiuh! Dia terus lewat tanpa ngeliat atau ngeganggu saya, dan saya bisa bernafas lega sekarang...


Bekerjasama Dengan Musuh Memang Mengandung Resiko Dikhianati

Entah kenapa, sudah sejak beberapa bulan terakhir ini, beberapa orang dari PRD—Partai Marxis-Leninis Indonesia—selalu menghubungi saya setelah sekian lama kami tidak saling berkomunikasi. Ya, saya ngerti kok, memang dari dulunya PRD nggak akan pernah mau ngeluangin waktunya buat ngehubungin seseorang, kecuali ada kepentingan terselubung. Ah, cerita lama. Dan ini sudah saya kenali betul. Gimana nggak kenal, dulu kan saya juga pernah bergabung di dalamnya.

Begitulah, mereka sering kontak. Berawal dari yang katanya “Cuma pengen ngobrol-ngobrol”—yayaya, kayaknya semua orang juga tau kalau ada seseorang yang nggak pernah ketemu, mendadak “ingin ngobrol-ngobrol”, pasti ada sebuah niatan tertentu di baliknya—hingga yang secara terang-terangan mengajak untuk membuat semacam aliansi gerakan kota. Ha! Saya memang sudah menduga bahwa mereka memang ada niatan untuk menuju ke arah itu.

Ya sudah, saya tidak terlalu memusingkan hal itu, saya terima aja tawaran mereka dan saya datangi sekretariat—alias kantor partai—mereka. Saya ajak kawan saya yang ternyata mengalami nasib serupa dengan saya—mendadak lumayan sering dikontak. Di sekretariat mereka, telah berkumpul cukup banyak orang saat kami muncul berdua malam itu. Ah, saya sudah mengenal beberapa dari mereka, selain legal PRD, ada beberapa organisasi buruh FNPBI (yayaya, anggota partai Leninis itu jugalah), beberapa dari organisasi buruh lain, aktifis mahasiswa dari beberapa universitas, aktivis muslim konservatif, perwakilan dari PAN (bener, ini yang partai itu juga) dan PKB (sama, partai), serta perwakilan atau ketua serikat tani nasional STN (ehm, another Leninist party member eh?), serta perwakilan dari serikat sopir angkot yang saya lupa namanya. Ehm, ini sih orang-orang lama, dan tentu saja karena lama tak bertemu, kami saling berbasa-basi garing yang sebenarnya nggak perlu tapi harus dilakukan sebagai formalitas.

Akhirnya dibuka juga pertemuan itu. Ternyata pertemuan ini adalah untuk membentuk sebuah front kota—yang katanya front demokratik, tapi saya kira pasti kata demokratik itu hanya embel-embel aja nggak ada bedanya embel-embel dalam kepanjangan PRD: Partai Rakyat Demokratik. Agenda untuk front itu rencananya adalah untuk menghadapi neo-liberalisme—sesuatu hal yang bagi sebagian yang hadir masih dianggap sebagai barang asing di kuping. Dan karena masih asing dengan kata “neo-liberalisme” tersebut, dapat ditebak kan, siapa yang akhirnya mimpin acara pertemuan malam itu? Aha! Siapa lagi kalau bukan si pengundang: PRD!

Karena mereka memimpin pertemuan, dengan segera mereka berbicara terus-terusan dan sampai pada inti pertemuan tersebut yang pasti juga merupakan agenda mereka: mengajukan program-program yang katanya “oh-sangat-revolusioner”. Hahahaaa! Revolusioner? Yayaya, bisa saja, tapi panggil saya Lucky Luke! Semua itu cuma tipu-tipuan!

Bagaimana saya bisa bilang itu revolusioner saat mereka ngoceh terus soal hal-hal yang bagi sebagian peserta lain merupakan sesuatu yang asing di telinga mereka (yang kemudian jelas mereka nggak akan nyanggah, karena memang nggak ngerti) dan sebagian lagi adalah antek-antek PRD yang nyamar jadi buruh dan petani. Jelas nggak akan ada yang nentang atau ngedebat lah! Ini jebakan!

Hmmm, tapi ini juga saatnya kami berdua untuk bicara. Enak aja, mereka kira semua orang tidak mengerti soal neo-liberalisme sehingga akan ngangguk-ngangguk aja ngedenger agenda mereka? Seperti dalam masalah penguatan negara misalnya, mereka mencantumkan hal patriotik tersebut dalam salah satu poin agenda front mereka itu. Kawan saya lalu mendebat poin tersebut karena memang kita nggak setuju.

Dan, tau apa jawabannya? “Sepertinya kita semua jangan dulu membahas terlalu jauh soal tersebut. Kita fokuskan dulu pada rencana pembentukan front kota ini.” Begitu kata si Leninis muda ketua Komite Pimpinan Wilayah itu. Alaaah, bukannya mereka yang duluan membahas mengenai agenda-agenda front padahal front ini aja belum disetujui pembentukannya oleh semua yang hadir, gimana bisa kawan saya itu dibilang “terlalu jauh”, toh dalam materi yang mereka tadi sampaikan, mereka juga sudah memasukkan poin tersebut. Yayaya, cerita lamaaa.

Tebak, apa yang terjadi selanjutnya saat terlihat oleh mereka kami kasak-kusuk tidak puas. Seorang dari mereka mendekati kami dan berbisik: “Sst, soal kayak yang ditanyain tadi itu nanti aja dibahas di Harder, jangan di sini.”Ups, sori sori! Kami tidak menyangka bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti tadi itu akan merusak rencana kalian di PRD, akan membuat orang-orang jadi tidak percaya lagi sama kalian. Sorry sorry, kami kira ini forum yang oh-sangat-demokratik-banget-sekali.

Dan begitulah, hingga akhir pertemuan malam itu, kami masih memberikan beberapa sanggahan lagi yang sepertinya tidak membuat kalian semua senang. Lebih baik kita lampaui saja kisah soal ini karena akan terlalu panjang apabila dimuat di sini semua. Hei! Tapi ada satu lagi cuplikan kisah yang membuat saya terperangah melihat oh-betapa-militannya mereka!

Begini, saat ada keluhan soal kondisi sosial dewasa ini, seorang perwakilan dari sopir angkota berkata: “Semuanya naik, sementara saya musti membiayai keluarga saya. Kalau mogok, saya malah nggak dapet duit. Bingung juga sih sebenernya.” Tau apa tanggapan yang dilontarkan oleh seorang buruh—atau lebih tepatnya seorang PRD yang menyamar menjadi buruh? “Salah sendiri nikah.”

Anjiiiiiiiirrr!!! Orang nikah aja disalahin? Lantas gimana dengan mereka di partai? Pada nggak boleh pacaran yaaa? Karena pacaran berarti ngeganggu jalannya revolusi yaaa? Modar! Kalau keburu mampus nggak akan pernah kalian ngerasain indahnya jatuh cinta. Kok menyedihkan gitu sih idup kalian? Nggak heran partai kalian ini susah berkembang. Gimana mau orang-orang bergabung ke situ saat untuk saling pacaran dan nikah aja sama kalian nggak diakomodir. Eh, atau mungkin aja kalian memang nggak laku-laku ya? Kesian gitu sih . . . Hihihi.

Ya sudahlah, saya lewat aja. Kembali ke pembentukan front itu . . . begitulah, saya tahu bahwa bekerja sama dengan mereka adalah sesuatu yang riskan tapi alasan saya setuju hadir dan terus mengikuti pembentukan front ini adalah bahwa saya memang yakin bahwa perlu ada sebuah front kota atau mungkin sekedar diskusi terbuka soal neo-liberalisme ini karena kita di Indonesia sudah mulai memasuki tahap itu sementara media massa tidak pernah sekalipun membahas masalah tersebut. Tapi tentu saja, tidak juga dengan cara terburu-buru mengajukan program. Ya itulah alasan saya tetap hadir dalam pertemuan tersebut, ya abis, neo-liberalisme memang busuk kok.

Akhirnya, malam itu diambil kesepakatan bersama: tiap minggu diadakan sebuah pertemuan rutin mendiskusikan masalah-masalah neo-liberalisme, perlunya front dan bagaimana langkah-langkah yang akan diambil. Yeah, kami pulang dengan puas . . .

Minggu berikutnya, diskusi memang berlanjut, begitu juga minggu berikutnya lagi. Hingga tiba minggu keempat, seorang Leninis yang jadi pembicara di pertemuan pertama menelfon saya, memberitahukan bahwa pertemuan diundur karena sedang ada rapat intern PRD dan saya akan dikabari lagi bila pertemuan nanti dilaksanakan. Ehm, yayaya, kalian pikir PRD itu paling penting ya? Ini pertemuan kota, an yang hadir bukan anggota PRD semua, jadi kenapa untuk sebuah rapat mendadak PRD, pertemuan harus batal? Kebayang aja ya, kalau masing-masing dari kita ngorbanin pertemuan bersama untuk alasan-alasan pribadi kita yang kita nggak mau sama sekali kompromikan waktunya, pasti nggak akan pernah ada pertemuan kota. Kalau saya misalnya, bilang rapat kota harus diundur karena saya mau latihan band, pasti nggak disetujui padahal latihan band penting bagi saya. Tapi kalau PRD rapat, mereka bebas mengundurkan jadwal rapat kota. Hebatlah. Saya jadi ngerasa sangat tolol dulu pernah percaya sama bualan orang-orang ini dan memutuskan untuk bergabung dengan PRD.

Hingga minggu berikutnya, masih belum ada pertemuan kota itu. Dan secara tak sengaja saya malah ketemu si ketua wilayah PRD itu di sebuah warnet. Saya tanya kenapa kok nggak ada pertemuan lagi. Dia bilang, front gagal kebentuk karena orang-orangnya pada nggak semangat dan mungkin masih terlalu asing denger kata neo-liberalisme, jadi front gagal kebentuk. Oooh, bukankah karena mereka belum mengerti, maka semakin terasa perlu adanya diskusi rutin? Hm, tapi ya sudahlah kalau gagal. Mau gimana lagi?

Tapi mendadak, beberapa minggu kemudian, ada beberapa aksi demonstrasi massa yang diikuti oleh beberapa gabungan organisasi yang dulu sempat hadir dalam pertemuan malam pertama di sekretariat PRD. Terus terang saya merasa aneh, dan kemudian saya membicarakannya dengan kawan saya yang dulu datang bersama saya. Ternyata diapun curiga akan hal tersebut.

Selidik punya selidik, dengan mencari informasi kesana kemari, termasuk mempertanyakannya kepada pihak PRD sendiri, akhirnya kami berdua mengerti: kami dianggap terlalu banyak bertanya sehingga dikhawatirkan akan merusak rencana mereka untuk meraup organisasi lain ke bawah program bendera PRD. Dengan kata lain: kami dipecundangi!

Aaaaaaaaaahhhhhh!!! Demokratik? Modaaaaaaaaaaaaaaaarrrr!!!! Kami ketipu anjiiiiinnnggg!!! Yayaya, kami berdua diam-diam telah ditendang dari sebuah rencana pembentukan front yang oh-demokratik-bangeeeet yang notabene disopiri oleh PRD (atau ditunggangi? Ya, kata ditunggangi kayaknya lebih tepat) karena kami dianggap “berbahaya” hanya karena kami mengutarakan ketidaksetujuan kami atas beberapa program, karena kami memberikan, mengeluarkan pendapat kami, karena kami hanya menjadi diri kami sendiri. Oh great, its so democratic, you know? Apa bedanya mereka sama Suharto dan OrBa-nya yang PRD selalu gencar mati-matian kampanyein penentangan terhadapnya? Sama aja. Untung aja PRD nggak menang Pemilu dan nggak berkuasa. Kalau saja mereka sempat berkuasa . . . amit-amit, pasti ntar ada gulag kayak di Siberia lagi.

Maka kembali saya berhadapan dengan tembok batu yang keras di sebuah negeri dimana segala sesuatunya nggak ada yang beres, dimana segala sesuatunya menjengkelkan. Dari sistemnya hingga partai oposisinya, kamu tidak akan pernah mendapat kesempatan, tak akan ada tempat buatmu apabila kamu berbeda dari mayoritas. Dan ternyata kamu memang beda? Selamat deh, negeri ini tidak mengenal kata “beda”.

Ini Bukan Saatnya Memilih Ideologi, Melainkan Saat Untuk Menghancurkan Semua Ideologi, Kiri Dan Kanan.

Di Indonesia ini, kita seakan nggak dikasih pilihan lain dalam ngelawan sistem ini. Kamu tidak puas? Silakan pilih, mau ideologi Kiri atau Kanan? Kamu nggak akan dianggap kalau kamu nggak milih salah satu dari ideologi itu. Apalagi kalau kamu ngomong soal revolusi, pasti kamu akan dicap Kiri. Yayaya, mungkin kamu memang setuju sama ideologi Kiri itu, tapi terus terang saya bermasalah dengan keberadaan Partai Kiri dan orang-orang Kiri--apalagi para Leninis. Sementara saya juga percaya akan perlunya revolusi--sama seperti mereka yang ada di Kiri.

Tapi bicara soal revolusi, harus ditekankan lebih dulu bahwa hal tersebut nggak ada kaitannya dengan stereotipikal yang ngebosenin yang biasanya dilakukan oleh para aktifis yang teriak-teriak “Revolusi!” seperti: terorisme, balas dendam, kudeta politik, pimpinan manipulatif yang khotbah terus soal pengorbanan diri, para pengikut yang mirip zombie yang selalu teriak-teriak slogan-slogan klise dan membosankan. Dalam lebih jelasnya, revolusi sama sekali nggak ada kaitannya sama “komunisme” Leninis, alias nggak ada kaitannya sama gerakannya PRD.

Setelah berkuasa bertahun-tahun, Lenin yang memulai karir “revolusionernya” di Russia dan kemudian dilanjutkan oleh Stalin ke beberapa negara, sudah jelas bahwa ideologi mereka benar-benar kontradiktif dengan apa yang disebut masyarakat bebas. Ya, memang, Lenin dan Stalin memang beda, tapi itu bukan perbedaan mendasar, melainkan hanya beda jenis aja, mereka masih satu spesies. Sama-sama busuk. Kalau mau ngebantah, dan bilang kalau Lenin itu sejenis malaikat atau bahkan dewa sehingga ribuan orang masih menganggap buku Lenin itu super sempurna dan tak perlu baca buku lain untuk menganalisa dunia; saya bilang bahwa buku “State and Revolution” tulisan si gundul itu memang memberikan kritik yang koheren, jauh lebih jelas daripada tulisan-tulisan para anarkis; masalahnya cuma, bahwa ada beberapa aspek radikalnya si Lenin yang akhirnya akan mengkamuflasekan prakteknya yang otoriter--lihat Bolshevik.

Dengan nempatin diri atas massa yang dia bilang dia representasikan dan menerapkan hirarki internal di antara para militan partai, Bolshevik pimpinan Lenin telah membuka jalan dan menciptakan kondisi bagi pengembangan Stalinisme. Dan memangnya kapan itu terjadi? Setelah Lenin dikudetakah? Tidak! Itu terjadi saat Lenin masih berkuasa dengan Trotsky sebagai pimpinan Tentara Merahnya.

Maka sudah sangat jelas, model seperti apa yang akan dimapankan oleh para Leninis yang sekarang ini berkembang di berbagai negara. Tapi kita juga harus jelas ngeliat dulu apa yang salah dengan mereka kalau kita ingin sesuatu yang lebih baik. Jika sosialisme berarti partisipasi dari bawah ke atas, berarti partisipasi penuh dari tiap orang adalah sebuah keharusan. Semua orang harus berpartisipasi dalam tiap pengambilan keputusan yang menyangkut hidup orang tersebut. Dan hal ini sama sekali tidak pernah eksis di negara manapun termasuk di “negara komunis”.

Tapi runtuhnya Blok Timur akhir 80-an lalu, bukanlah berarti sempurna dan bagusnya sistem kapitalisme serta bobroknya “komunisme Marxis”. Setiap orang yang nyempetin baca Marx, pasti ngerti bahwa Leninisme adalah pendistorsian pemikiran Marx dan Stalinisme adalah parodi total atas Marx.

Komunisme yang otentiknya adalah berarti memiliki sesuatu yang berhubungan dengan komunal alias segala sesuatu yang menyangkut kehidupan umum dimiliki atas dasar kepemilikan komunal, jelas nggak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di negara komunis dimana diberlakukan kepemilikan negara atas segala sesuatunya. Negara komunis nggak ada bedanya dengan negara kapitalis, cuma di negara kapitalis, kepemilikan birokratik negara diganti sama kepemilikan korporasi-pribadi.

Masalahnya, kedua jenis tadi itu sama-sama saling menjadi musuh dalam selimut bagi siapapun yang berusaha menentang sistem-sistem tersebut. Keduanya sama-sama ngebantu oposisi bagi lainnya, komunis membantu mereka yang melawan kapitalis dan kapitalis membantu mereka yang melawan komunis. Tapi keduanya tetap tidak benar-benar membantu para oposisi yang tidak mau mendukung baik itu komunis maupun kapitalis, dan dalam hal ini, inilah point yang harus dicermati oleh kita disini.

Siapa yang menggagalkan Revolusi Paris 1968? Partai Komunis Perancis. Revolusi Spanyol 1936 dikandaskan oleh siapa? Para komunis yang diback-up oleh Russia. Saat ada pemberontakan melawan kediktatoran komunis di Hongaria tahun 1956, mendadak Blok Barat alias kapitalis secara gencar menyoroti masalah tersebut, tapi mereka akhirnya menolak untuk memberikan senjata-senjata anti-tank yang sangat dibutuhkan oleh para insurgen Budapest dalam menghadapi tank-tank Russia karena mereka dianggap juga tidak mendukung program kapitalisme. Pada tahun 1967, Guy Debord mencatat bahwa komunisme telah menyatakan dirinya sebagai “saudara” dari kapitalisme klasik Blok Barat, sehingga mereka berdua sebenarnya adalah oposisi palsu yang sebenarnya menawarkan sebuah sistem yang sama satu dengan lainnya. Jadi lucu kan kalau sekarang para Leninis--yang notabene hanya akan membuka jalan bagi pemapanan Stalinisme--mengaku ingin melawan sistem kapitalisme. They're all bullshit my friend.

Mengundurkan Diri Tidak Selalu Berarti Pengkhianatan, Melainkan Pengambilalihan Kontrol Individu.

Seorang kawan saya dari Kalimantan bertanya kepada saya beberapa saat lalu saat dia membaca sebuah zine yang isinya menghujat partai Kiri: “Kenapa kamu keluar dari sana?”. Yeah. Bukan hanya dia, bahkan beberapa atau bahkan banyak orang dan kawan-kawan kami selalu bertanya-tanya kenapa saya dan beberapa kawan lainnya mengundurkan diri dari partai Leninis PRD. Bagaimana mereka tidak ingin tahu, saat beberapa tahun ke belakang saya dan beberapa kawan saya militan banget bergerak militan banget dalam partai dan beberapa tahun kemudian kami militan banget nentang partai. Ya sudah, saya ceritakan saja sedikit soal hal tersebut karena memang saya kira berguna bagi masukan untuk siapapun di Indonesia ini yang bergabung atau setidaknya dekat dengan partai tersebut. Saya percaya bahwa tidak semua yang bergabung dengan PRD akan seperti demikian, karena layaknya organisasi-organisasi yang hirarkis, mayoritas statemen mereka hanyalah buah pikiran pribadi mereka para elitnya--bukan suara seluruh anggota.

Kami--tujuh orang termasuk saya--sepakat mundur dari Partai, intinya bukanlah karena kami benar-benar menolak ide-ide mereka dalam melancarkan sebuah gerakan, melainkan karena sikap tertutup mereka.

Pertengahan tahun 2000 lalu, Faisol Reza--salah satu elit Partai--datang menghadiri sebuah pertemuan terbuka di kampus UNPAS Bandung. Tentu saja, cukup banyak anggota Partai yang hadir disana--termasuk salah satu dari keenam kawan dekat saya: Behom (RIP). Saya sendiri tidak sempat hadir karena tugas saya sebagai koordinator Hubungan Internasional alias HI di Komite Pimpinan Kota (KPK) PRD Bandung, jadi ya saya hanya mendapat laporan tentang kejadian di UNPAS tersebut dari Behom.

Behom bercerita, bahwa pada awal hingga akhir, pertemuan tersebut dihadiri oleh banyak sekali mahasiswa dan organisasi-organisasi gerakan mahasiswa, dan semua berjalaan lancar alias tak ada konflik atau apapun. Hingga mendadak, pada sesi tanya jawab yang paling akhir--ya paling akhir--sebelum acara tersebut ditutup, seorang mahasiswa berdiri dan mengajukan pertanyaan kepada Faisol Reza: “Bagaimana tanggapan PRD sebagai Partai Kiri menyikapi para anarkis yang mulai berkembang seperti misalnya di kota Bandung?” Faisol Reza diam sejenak, mengambil nafas panjang dan dalam, kemudian dengan lambat dan jelas dia menjawab: “Secara tegas saya tekankan, bahwa kami semua di PRD, menganggap bahwa anarkisme itu sama haramnya dengan kapitalisme.”

Tak ada tanggapan lain. Semua hening. Hanya itu. Ya, hanya itu. Kalimat yang cukup pendek tapi ternyata mampu membuat sebuah masalah meledak berkepanjangan. Itu jugalah yang membuat Behom terdiam, marah, kecewa, terkejut, semua bercampur menjadi satu.

Malam harinya, mendadak Behom mengadakan rapat tertutup dan hanya dihadiri oleh ketujuh dari kami itu yang pada saat itu kami masih mengklaim diri kami sebagai anarkis; dan kami mendengar Behom menceritakannya dengan sangat mendetail. Semua tetap tenang sampai akhir. Lantas terdiam, dan beberapa detik kemudian semua meledak marah . . . Faisol Reza tai babi! Dan karena dia berkata atas nama semua di PRD, maka PRD juga tai babi! Induknya tai babi malah!

Dalam waktu singkat, sebuah surat pengunduran diri segera disusun dan diedarkan untuk ditandatangani oleh kami bertujuh. Esoknya, masih dengan marah, kami berikan surat tersebut ke sekretariat serta mulai saat itu memutuskan tali hubungan dengan mereka sebagaimana kami menggunting seutas benang tak terpakai dari kaos oblong yang kami kenakan.

Mungkin beberapa dari kalian akan menganggap bahwa kami telah bertindak terlalu reaksioner, tapi inti masalahnya bukan itu. Bagi kami, masalah itu memang sangat fatal tapi itu hanya katup dari seluruh konflik-konflik kecil kami selama sebelumnya. Kami dibesarkan dengan tulisan-tulisan anarkis, dan tulisantulisan tersebut itu jugalah yang membawa kami untuk bekerja sama dengan PRD. Setelah kami bergabung, kami memang sering berdebat mengenai masalah anarkisme dengan mereka. Tapi mereka menolak. Okelah, kami pelajari dulu ajaran Marx dan Lenin agar kami dapat lebih memahami mereka. Oke oke, kami belajar. Kami mempelajari apa-apa yang sebelumnya kami tentang seperti masalah kediktatoran proletariat misalnya agar wawasan kami lebih luas dan kami dapat mengerti mereka.

Begitulah, kami lahap semua materi yang selalu mereka geluti. Mulai dari Engels, Marx hingga Lenin. Bahkan kami juga mempelajari Stalinisme yang termanifestasikan dalam gerakan PKI. Saat ada kesempatan, saya pribadi juga mempelajari gerakan sosialismenya Syahrir di Indonesia--sesuatu yang mereka benci. Intinya, apapun yang bisa saya lahap, akan saya lahap. Tidak hanya mempelajari teori, saya juga belajar untuk memobilisasi massa, membangun gerakan bawah tanah, mengenal peta perpolitikan Indonesia.

Beberapa kawan saya yang mengaku apolitik berkata pada saya, “Politik itu kejam.” Oits, iya, saya akui politik pemerintahan itu kejam. Tapi buat saya, lebih mmm . . . lebih baik rasanya kalau saya tahu saat seseorang yang duduk di gedung pusat Jakarta membuat keputusan yang akhirnya mengorbankan kehidupan saya di kota ini. Dan tentu saja saya merasa lebih nyaman kalau saya tahu bahwa saya tidak akan bisa ditipu dengan cara kuno seperti itu.

Hal-hal itu semualah yang saya pelajari dalam PRD. Intinya saya jadi jauh lebih ngerti tentang bagaimana dunia busuk ini berjalan daripada sebelumnya, tentang siapa saya, siapa yang membuat hidup di dunia ini jadi begitu memilukan, tentang siapa nanti kawan-kawan saya saat saya memiliki sebuah impian yang hendak saya capai serta siapa musuh-musuh yang bisa saya gunakan. Itulah semuanya.

Oke, saya memahami PRD beserta seluruh kebijakan dan program-programnya. Masih di dalam Partai, saya sempat menyusun ratusan judul buku-buku dan pamflet yang saya pikir PRD harus tahu karena itulah yang selama ini kami geluti. Niatnya sih agar PRD juga bisa memahami diri saya selain hanya saya yang bisa memahami mereka. Ya, saya berikan daftar tersebut. Tapi apakah kalian bisa menbak apa komentar seorang elit mereka? “Anjisss, mau ngeracunin gua ya? Mau nyuci otak ya?” Monyet.

Daftar tersebut diletakkan setelah hanya dibolak-balik sepintas. Saya jadi ngomong lagi: “Itu bacaan yang udah ngebawa anak-anak ke posisi seperti sekarang ini. Ya itu biar kalian ngertiin kami juga dong, dan kalau nggak setuju kan bisa diksusinya.”

“Ah, cukup ngerti buku-buku Marx dan Lenin, selesai semua masalah di dunia.” Monyet terkutuk. Dia mulai bertingkah seperti layaknya para fasis.

Iya sih, hampir semua bacaan yang kami miliki adlah materi soal anarkisme. Ya tapi kenapa? Kami berusaha memahami mereka, tapi kenapa mereka menolak memahami kami? Memahami saya? Memahami mereka yang berbeda dengan diri mereka? Lalu apakah salah apabila lantas kami bertujuh mengundurkan diri secara mendadak sesaat setelah Faisol Reza memberikan pernyataan terbukanya dan dengan mengatas namakan seluruh Partai? Saya kira tindakan kami tepat.

Mereka semua terpukul dengan mundurnya kami. Bagaimana tidak, kami telah menempati posisi-posisi dalam komite pimpinan kota. Dan hilangnya orang-orang di posisi tersebut secara mendadak jelas mengacaukan koordinasi di tingkatan kota, yang tentu mengacaukan koordinasi wilayah yang akhirnya memusingkan koordinasi nasional.

Kasus segera diusut, karena ternyata PRD belum pernah mengalami kasus pengunduran diri mereka hanya mengenal pemecatan. Sebelum-sebelumnya, bila ada anggota mereka yang memiliki masalah dalam Partai dan tidak terselesaikan, biasanya orang tersebut mencari-cari masalah lain agar akhirnya dipecat. Ohohoho . . . buat kami, kamilah yang harus menentukan secara langsung hidup kami sendiri. Mengndurkan diri berarti keputusan ada pada kami sendiri sementara dipecat berarti keputusan ada di pihak mereka. Enak aja.

Itu juga pelajaran yang ingin kami sampaikan pada mereka: bahwa setiap individulah yang seharusnya menentukan semua hal yang berpengaruh pada hidup individu tersebut. Itu inti yang harus ditekankan dalam “tatanan masyarakat sosialis”.

Cara Kami Adalah Juga Pesan Kami. Medium Is The Message.

Komite Pusat terpukul telak. Orang-orang Partai yang dianggap paling dekat dengan kami dipanggil dan ditanyai dengan harapan orang-orang tersebutlah yang paling mengerti diri kami sehingga bisa memperbaiki keadaan.

Ha! Mengerti kami dan memperbaiki keadaan? Bahkan kalianpun menolak untuk memahami bahasa kami, bagaimana kalian akan bisa mengerti kami? Saya tahu di PRD pasti jarang ada yang nonton film, tapi seandainya ada yang pernah nonton film Columbus: The Conquer To Paradise, tentu ingat adegan yang paling saya sukai: Saat para indian yang diperbudak melakukan pemberontakan, Columbus tidak bisa memahami penyebab pemberontakan tersebut. Sebelum seorang indian kepercayaannya hendak pergi dan memutuskan untuk bergabung dengan pemberontak dan melawan Spanyol, melawan Columbus sendiri, Columbus bertanya: “Mengapa?” Sang Indian berbalik dan berkata datar: “Engkau ingin mengerti mengapa ini semua terjadi, tetapi semenjak engkau kemari, engkau tak pernah mempelajari diri kami, bahkan engkau tak pernah mau berbicara dengan bahasa kami. Engkau tak akan pernah dapat mengerti.” Sang Indian kemudian berbalik lagi, berlari menuju kegelapan malam, menuju hutan dan kebebasannya serta meninggalkan Columbus yang memang tidak pernah dapat mengerti.

Seandainya kalian di PRD pernah menonton dan mengerti esensi yang tersembunyi dalam film tersebut. Oh, maaf! Saya lupa. Bukankah bagi kalian semua film Hollywood adalah produk borjuis yang hanya cocok dikonsumsi oleh kelas borjuis? Oh ya, saya baru ingat. Maafkan saya, betapa bodohnya saya telah mengajak kalian berbicara mengenai film.

Yeah. PRD sibuk bertanya-tanya soal kami. Tapi percayalah, kalian di PRD tak akan pernah bisa mengerti kami karena PRD juga memang tidak perlu mengerti setiap individu, kalian hanya perlu semua individu mengerti ide-ide kalian dan mendukung program kalian tanpa banyak tanya.

Dan saya memang benar: kalian tidak bisa mengerti kebenaran lain selain kebenaran kalian sendiri. Setelah keluarnya kami, kalian tidak berubah jugsa sama sekali. Kalian tidak mengambil pelajaran apapun dari apa-apa yang kalian alami, pelajaran bagi kalian adalah pelajaran yang sesuai dengan Karl Marx dan Lenin. Buktinya? Setelah dua tahun lebih, saat kalian di PRD menghubungi kami lagi, kalian ternyata masih mengenal hanya Marx dan Lenin. Sedih gitu sih, apa saja kerja kalian selama ini woooi???

Lalu, apa lantas saya berharap PRD dan para kaum Kiri akan dapat mengerti setelah saya
membuat tulisan ini? Sama sekali tidak. Bukan itu tujuan saya disini. Itu juga alasannya kenapa disini saya sama sekali tidak memperdebatkan dalam tataran yang lebih teoritis tentang ketidaksetujuan saya dengan ideologi Lenin dan yang dianut PRD, saya hanya mengungkapkan kegelisahan saya pribadi. Lagipula, bukankah ada yang juga sama pentingnya dengan hal-hal yang teoritis tersebut? Satu yang tidak boleh lupa: hubungan antar manusia.

Ok, buktikan kalau saya salah.


Disclaimer:
Semua tulisan dalam zine ini tidak dimaksudkan agar para pembaca tidak bergabung dengan partai komunis–dalam hal ini PRD (karena PKI sudah sungguh-sungguh membusuk dalam liang kubur. Tapi sekedar agar kalian tahu bahwa kebenaran dunia tidak hanya berada pada tangan mereka (sebab banyak yang bergabung dengan mereka menganggap dirinya sebagai “yang paling benar”). Saya juga tidak berniat membahas hal-hal yang sifatnya lebih teoritis disini, saya ingin membeberkan pengalaman saya dan perasaan saya terhadap sikap dan pola pikir mereka yang seharusnya tak terpisahkan dengan kehidupan keseharian, karena mengharap dunia berubah tanpa peduli untuk merubah hidup sehari-hari sama saja dengan seorang utopis yang pemimpi. Untuk hal yang lebih teoritis, saya telah memberikan sebuah list pendek dari pamflet dan buku yang saya punya dan yang ingin mendapatkannya bisa menghubungi saya.

Tapi terus terang, mereka yang telah memegang kebenaran absolut dari Lenin jelas tidak akan pernah bisa mengerti semua isi tulisan tersebut; ini juga alasan saya tidak membahas hal-hal teoritis disini. Tingkah laku dan apa yang dilakukan sehari-hari saya kira lebih mencerminkan pola pikir seseorang, bukan sekedar hanya sesuatu yang terucapkan oleh mulut. Tapi, toh mereka juga yang telah memberikan banyak konribusi dalam pola pikir dan tindakan saya sekarang ini, sayang, mereka tidak mengenal kata “perubahan” dalam diri mereka sendiri. Jadi untuk yang ingin bergabung dengan PRD, saya hanya ucapkan sebuah pesan: “hati-hati ketika engkau bermain-main dengan sebuah pedang yang bermata dua.”


Catatan Tambahan:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2000 oleh Pam. Pada saat di PRD, posisi pam adalah sebagai Divisi Hubungan Luar Negeri di Komite Pimpinan Wilayah Jawa Barat. Tulisan ini dibuat berdasarkan apa yang dirasakan sendiri oleh penulis dan kawan-kawan dekatnya saat berada di PRD. Beberapa hal mungkin telah berubah, tapi secara esensial, tulisan ini masih sangat relevan untuk dibahas dan dipublikasikan.


Rekomendasi Bahan Bacaan Tentang Betapa Busuknya Kaum Kiri.

The Struggle Against Fascism Begins With The Struggle Against
Bolshevikism – Otto Ruhle
Anarchism Versus Socialism – Nicholas Walter
Cuba: The Anarchists And Liberty – Frank Fernandez
The Kronstadt Uprising of 1921 – Lynne Thorndycraft
Polytechnic School 19731990: History of Anarchists Struggle In Greek –
Anonymus
Syndicalism In Russian Revolution -- G. Maximoff
Homage To Catalonia – George Orwell
Public Secret – Ken Knabb
Beneath The Paving Stones: Situationists And The Beach, Paris 1968 –
Black Star Collective
The Revolution Is Not A Party Affair – Otto Ruhle
Empire – Michael Hardt and Antonio Negri
Your Politics Are Boring As Fuck – CrimethInc.

Senin, 10 November 2008

SENI ABAD 19 DAN ANARKISME

Resurgensi anarkisme di akhir abad ke 19 mendapatkan dukungan tidak hanya dari pekerja industri tapi juga dari para seniman avant-garde Perancis, khususnya para pelukis dan penyair. Pada saat itu puisi aliran Simbolis sudah mendapatkan reputasi sebagai aliran sastra pemberontakan. Figur-figur utamanya—seperti Arthur Rimbaud, Paul Verlaine, Stephane Mallarme, dan Charles Baudelaire—memposisikan puisi mereka ke dalam oposisi keras terhadap dogma mapan dari struktur dan sifat yang kaku. Aliran Simbolis ini menekankan bahwa penyair harus bebas untuk menciptakan dan menggunakan bentuk menurut kemauan mereka sendiri. Yang lebih penting lagi, panduan prinsip-prinsipnya harus menjadi keunikan dan pengalaman subjektif dari penyair itu sendiri. Syair yang baik diciptakan dan dimengerti dengan membiarkan kebebasan total imajinasi untuk menginterpretasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh penyair Simbolis Stuart Merril:

“Apa yang menjadi kekuatan dari teori simbolis adalah anarkinya itu sendiri. Yang menuntut penyair agar menjadi signifikan, dalam konteks individu, dan dari situ mereka memperlihatkan diri mereka sendiri di dalam pikiran dan emosi dengan menggunakan imaji-imaji semungkin-mungkinnya. Aliran Simbolis adalah anarkisnya sastra.”

Karya Stirner
The Ego and its Own dikonsumsi dalam lingkup luas dari lingkaran aliran Simbolis dan penulis-penulis seperti Felix Feneon, Gustave Kahn, Emilie Verhaeren, Bernard Lazare, Pierre Quillard dan Paul Adam yang secara terbuka menerima anarkisme, yang lanjut hari mengomentari dan menjuluki Ravachol, seorang anarkis ‘penjahat’, dengan berkata, “seorang santo telah lahir di antara kita.”

Dukungan terhadap anarkisme bahkan lebih kuat lagi di antara para pelukis. Seorang seniman Impresionis, Camille Pissarro, secara regular menghasilkan litograf untuk koran
La Revolte, walaupun sering sama sekali tanpa imbalan uang, Camille menyelamatkan koran ini dari kebangkrutan dua kali dengan membayar semua hutang-hutang koran tersebut. Figur-figur kunci—yang juga anarkis—dari gerakan neo-impressionis seperti Paul Signac, Henri Edmond Cross, Charles Angrad, Theo Van Rysselberghe dan Maximilien Luce sering memberi kontribusi pada publikasi-publikasi anarkis. Anak-anak Pissarro tumbuh menjadi pelukis dan anarkis. Buku The Anarchist Peril, yang terbitkan pada tahun 1894, berisi dua belas lukisan karya anak-anak dan cucu Pissarro, mereka adalah Lucien, Georges, Felix, dan Rodo, dan di tahun 1901 Lucien mengilustrasikan sebuah buku anak-anak yang ditulis oleh penulis anarkis Jean Grave. Octave Mirbeau, seorang anarkis dan novelis, mendeskripsikan keluarga Pissarro:

“….di dalam masa tua, dikelilingi oleh anak-anaknya, yang semuanya menjadi seniman, yang berbeda-beda! Semuanya mengikuti sifat alami mereka sendiri. Ayahnya tidak mengajari mereka teori, doktrin, pandangan dan perasaan yang dimilikinya. Ia membiarkan anak-anaknya untuk mengembangkan sendiri visi dan intelejensi individual mereka sesuka hati.”

Pissaro esndiri berkata: “Sungguh indah dan membahagiakan bahwa anak-anak ini memiliki cinta terhadap seni. Zaman kita ini sungguh menyedihkan sampai-sampai kita hanya bisa merasakan hidup kita di dalam mimpi yang indah.”


PERJUANGAN KELAS MELAWAN GLOBALISASI KAPITAL

Pengantar

Globalisasi[1] adalah terminologi yang digunakan oleh para ahli ekonomi, media dan para politisi untuk mendeskripsikan proses memperkuat ekonomi global yang juga dikenal sebagai Pasar Bebas atau neo-liberalisme. Globalisasi dimotori oleh beberapa institusi-institusi ekonomi global seperti World Trade Organization (WTO), World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF).

Menurut para pengagum Pasar Bebas ini, kemakmuran seluruh publik akan terjadi apabila pasar dibebaskan dari seluruh tekanan, sehingga para pelaku pasar akan semakin kompetitif terhadap satu sama lain, yang mana pada akhirnya diharapkan kemakmuran yang didapat oleh pelaku pasar akan menetes ke bawah (sesuatu yang dalam bahasa ekonomi dikenal sebagai trickle-drop effect). Kompetisi ini hanya akan sempurna apabila pasar dibuka seluas-luasnya tanpa ada batasan dan regulasi (termasuk batas negara dan aturan pemerintah yang menghambat terjadinya proses jual-beli tingkat internasional). Setiap produk yang diperjualbelikan akan diberi kesempatan untuk bersaing secara bebas di pasaran. Tapi masalahnya, dalam prakteknya, korporasi-korporasi tersebut di seluruh belahan dunia harus mencari tempat di mana sumber daya alam dan upah buruhnya adalah yang paling murah; yang mana seringkali hal tersebut berarti juga relokasi industri-industri lokal di negara-negara Dunia Ketiga.

Dibentuk di tahun 1944, World Bank dan IMF memfasilitasi ekonomi global dengan memberi pinjaman kepada negara-negara Dunia Ketiga sejumlah besar dana dalam mata uang asing. Biasanya pinjaman tersebut membawa banyak kepentingan lain di belakangnya. Kepentingan-kepentingan tersebut sangat menguntungkan korporasi-korporasi multinasional dalam memapankan jalannya memasuki negara-negara Dunia Ketiga dan membuka proyek-proyeknya yang biasanya selalu merusak lingkungan (seperti industri perhutanan, pertambangan, pembangunan dam, dll) serta mengeksploitasi penduduk daerah tersebut sebagai para pekerjanya.

World Bank dan IMF juga bertanggung jawab dalam mengumpulkan dana-dana hutang negara Dunia Ketiga. Di karenakan hutang yang dimiliki oleh negara-negara tersebut semakin lama semakin membengkak dan kemungkinan untuk dapat membayarnya semakin kecil, biasanya Negara-negara Dunia Ketiga tersebut tak mampu membayarnya dan harus mencari pinjaman lain untuk melunasi hutang yang telah ada tersebut. Lingkaran jerat hutang tersebutlah yang sebenarnya menjauhkan negara-negara Dunia Ketiga dari “kemapanan” karena demi membayar hutang-hutangnya tersebut, dana yang sebenarnya diperuntukan bagi kepentingan penduduk harus dikurangi bahkan dihapuskan. Karena hal ini juga, maka negara-negara Dunia Ketiga terpaksa harus mengikuti syarat yang diberikan oleh negara-negara donor untuk memperbolehkan korporasi-korporasi multinasional masuk ke negara tersebut dan dengan bebas beroperasi di sana, termasuk untuk menentukan upah para pekerjanya dan harga sumber daya alam yang hendak dibelinya.

Sementara WTO, yang semakin mapan, adalah badan institusi internasional yang berhak untuk menentukan apa yang akan terjadi pada satu negara saat negara tersebut akan menjalin hubungan dagang dengan negara lainnya. Inilah yang disebut dengan WTO Tribunal. Agenda WTO adalah meningkatkan terjadinya perdagangan global—yang berarti juga mengurangi hukum-hukum dagang tiap negara atau apapun yang dianggap menghalangi terjadinya hubungan dagang. Hambatan dagang ini seperti yang dideskripsikan oleh tiga anggota Tribunal, dapat diinterpretasikan antara lain hukum kesehatan makanan yang diproduksi, hukum lingkungan yang melindungi spesies-spesies yang hampir punah, dan juga hukum yang melindungi HAM. Semua hukum tersebut harus dihapuskan saat dianggap menghalangi terjadinya proses dagang. Pendeknya, WTO memiliki otoritas sendiri yang lebh kuat dari otoritas negara manapun dalam menentukan hukum dan undang-undang yang berlaku di sebuah negara.

Secara esensialnya, WTO dan sistem Pasar Bebas, hanya akan berdampak sangat besar pada penghancuran lingkungan hidup, pengeksploitasian tenaga kerja dan pelecehkan hak-hak asasi manusia. Satu-satunya yang menjadi prioritas bagi Globalisasi hanyalah kepentingan bisnis bagi mereka, korporasi multinasional yang memiliki profit terbesar yang barang tentu korporasi yang paling kaya. Secara singkatnya, Globalisasi atau Pasar Bebas adalah juga berarti kebebasan bagi ekonomi itu sendiri—inilah imperialisme gaya baru, inilah Neoliberalisme.

Teori Ekonomi Kapitalisme

Secara teoritik, pada dasarnya kapitalisme bersumber dan berakar pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran-ajaran yang tertuang dalam Wealth of Nation yang ditulis oleh Adam Smith. Dua pemikir lainnya adalah David Ricardo dan James Mill yang juga berprofesi sama dengan Adam Smith sebagai pemikir ekonomi klasik. Para pemikir tersebut melandaskan pemikirannya pada filsafat ekonomi liberalisme yang percaya pada kebebasan individu, pemilikan pribadi, dan usaha swasta.

Dalam perjalanannya, teori ini berevolusi menjadi beberapa bentuk. Pertama, laissez-faire yang berarti perlunya pembatasan atau memberikan peran yang sangat minimum kepada pemerintah dalam bidang ekonomi. Kedua, ekonomi pasar diletakan di atas sistem persaingan atau kompetisi bebas dan kompetisi sempurna. Ketiga, ekonomi akan berjalan lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri jika pemerintah tidak melakukan intervensi (kondisi ini disebut full employment). Keempat, memenuhi kepentingan individu adalah sama dengan pemenuhan masyarakat. Selain percaya bahwa hukum ekonomi berlaku secara universal, mereka juga percaya pada hukum pasar, yakni supply creates its own demand.[2]

Teori division of labour (salah satu teori yang dihasilkan oleh Adam Smith) menjelaskan bahwa betapa pentingnya buruh sebagai sumber kekayaan bangsa[3]. Yang dimaksudkannya adalah spesialisasi buruh industri—meskipun pembagian kerja ini melahirkan banyak masalah seperti kerja yang monoton, rutin, membosankan, terasing, statis, serta resiko bagi buruh kehilangan pekerjaan. Adam Smith meyakini bahwa dengan pembagian kerja inilah wealth of nation akan terjadi. Tapi Adam Smith juga mengakui bahwa sistem ekonomi yang menjadi kesejahteraan bangsa sebagai keringat para buruh.
Ia jugalah pemikir pertama yang mengarahkan tujuan produksi kepada konsumen. Baginya, konsumsi adalah tujuan utama semua proses produksi, yang berarti motivasi produsen harus ditujukan pada pemenuhan konsumen.

Peran dan Kedudukan Negara

Analisis marxian “klasik” sangat memfokuskan dan direduksi pada perubahan struktur relasi ekonomi. Tentu saja, dalam gaya yang seperti itu, aspek-aspek lain seperti kebudayaan, hegemoni ideologi, pendidikan, diskursus, relasi gender, dll. tidak diperhitungkan dalam perubahan sosial dengan seksama. Yang dianggap sebagai pelaku utama perubahan sosial adalah gerakan buruh atau dalam kalimat lain, buruh adalah peran sentral dalam perubahan sosial. Sistem kapitalisme, bagi marxian “klasik”, direduksi menjadi hanya hubungan buruh-majikan. Pandangan ini direvisi, salah satunya oleh Althusser, yang beranggapan bahwa sistem kapitalisme merupakan saling keterkaitan hubungan yang kompleks, yang melibatkan banyak aspek seperti, pengetahuan dan teknologi pertanian; kebijaksanaan politik pemerintah; penanaman modal dan kapital multinasional, serta proses eksploitasi kelas. Kelas di sini didefinisikan sebagai proses dalam masyarakat yang di satu pihak terdapat anggota masyarakat yang menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni yang bekerja dan menghasilkan nilai lebih, sedangkan di pihak lain terdapat anggota masyarakat yang tidak bekerja tetapi mengambil nilai lebih dan mendistribusikannya (Resnick & Wolf, 1987).

Kaum sosialis dan marxis-leninis—atau secara umum disebut kaum Kiri—percaya bahwa dengan merebut kekuasaan negara (dengan cara apapun) pertentangan kelas-kelas dapat dihapuskan sebagaimana tertuang dalam buku berjudul Lenin: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan[4], “masyarakat lama dibangun berdasar prinsip merampok atau dirampok, bekerja pada orang lain atau membuat orang lain bekerja padamu, menjadi pemilik budak atau seorang budak... kondisi seperti itulah yang merendahkan umat manusia, dan perlu ada perjuangan untuk meninggikan martabat manusia, yaitu revolusi.” Dalam buku yang berbeda, Franz M. Suseno mendeskripsikan, “Dengan revolusi inilah kaum proletar akan merebut kekuasaan negara dan mendirikan pemerintahan diktator proletariat. Artinya dengan menggunakan kekuasaan negara, kaum proletar akan menindas kaum kapitalis agar mereka itu jangan sampai menggunakan kekayaan dan fasilitas yang dimilikinya untuk menggagalkan revolusi proletariat dan mengembalikan keadaan lama (F.M. Suseno 1999: 169).”

Pada kenyataan yang kita temui, seperti pada Uni Sovyet sebagai negara pertama yang mengembangkan sosialisme negara (etatisme), hal tersebut jauh dari demokrasi politik. Zaman Stalin semakin mengukuhkan pandangan bahwa sosialisme negara hanyalah bentuk yang lain dari penindasan. Negara dikontrol oleh self-perpetuating kaum elit, pencapaian bentuk tertinggi tergantung pada teknik birokrasi dan koneksi keluarga. Sementara dalam desentralisasi di Cina lebih memungkinkan terjadinya kebebasan politik pada level individu dan kelompok. Akan tetapi, di Cina terdapat tendensi pengkultusan individu terhadap Mao dan pemaksaan perilaku untuk menyesuaikan diri pada interpretasi pikiran Mao.

Sementara itu, pada tataran kontemporer, perjuangan kelas di Venezuela boleh jadi yang paling advance, yang menjadi kebanggaan kaum kiri di tengah evolusi kapitalisme yang juga advance—terlebih setelah kegagalan kudeta yang disponsori oleh CIA pada tahun 2002 lalu, yang seolah-olah membuktikan bahwa publik sangat mendukung Chavez. Kemajuan lain adalah direbutnya perusahaan-perusahaan multinasional satu persatu. Tapi kasus di Venezuela ini sangat terbuka untuk menjadi konklusi yang serupa dengan pengkultusan Mao di Cina—jika publik tidak mulai untuk membangun organisasi swakelolanya sendiri, yang otonom dan tidak mudah diintervensi oleh pemerintah atau organisasi lainnya.

Masalah yang bisa jadi sangat krusial adalah jajaran pemerintahan Chavez sendiri di mana terdapat para menteri yang berhaluan Kanan dan Kiri dalam satu kabinet. Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Ekonomi, Menteri Hankam semua adalah orang-orang dari pihak Kanan, termasuk juga menteri kesehatan. Menteri Tenaga Kerja berdiri di tengah-tengah. Masih ada dua atau tiga menteri yang berhaluan Kiri seperti Menteri Ekonomi dan Industri, tetapi mayoritas kabinet berpihak di Kanan—bukan Kanan pro-neoliberal tapi Kanan nasionalis yang tetap berada di Kanan. Chavez menyandarkan dirinya kadang ke Kiri dan kadang pada sektor militer di Kanan. Hal ini menciptakan sebuah pemerintahan yang mirip dengan Bonapartisme Marx, sebuah balance of power, penengah dan penyeimbang antara dua kekuatan yang berbeda. Mengutip apa yang dikatakan oleh Roland Denis yang aktif dalam Movimiento 13 de Abril Comuneros (Komune Gerakan 13 April), “Aku tidak tahu pasti apakah Hugo Chavez akan mempertahankan politik Kiri-nya. Ini semua dapat berubah. Aku telah melakukan diskusi dengan Eric Toussaint, dan kami menemukan sebuah kesamaan perilaku antara Kuba dan Venezuela saat diadakan pertemuan WTO di Hongkong. Venezuela mengambil posisi prinsipil yang beroposisi pada seluruh agenda privatisasi layanan publik, kesehatan, pendidikan, dsb. Tapi pada akhirnya Kuba dan Venezuela juga menandatangani persetujuan.” (International Socialism no.101, Januari 2006).

Chavez memang berhasil dalam membangun wacana di kalangan publik, tapi masalahnya ia juga masih terjebak dalam konteks logika nasionalisme yang memposisikan negara sebagai sebuah bagian yang sakral dari prakteknya. Wacana mereka memang mirip dengan wacana pembebasan, tapi tentu saja dengan demikian praktek yang terjadi tidak akan sama dengan praktek pembebasan. Mereka berusaha menginkorporasikan berbagai sektor gerakan popular ke dalam pemerintahan, mengikatnya erat. Wacana ini juga yang seringkali menjadi ilusi dan jebakan dari sebuah pembebasan: wacana program popular yang memfokuskan diri pada nasionalisme, bukannya kelas.

Pusat perjuangan, baik yang tercadar maupun yang terbuka, sedikit demi sedikit mulai pecah antar para representatif kelas penguasa baru dan para pekerja yang berjuang atas isu swakelola. Para Chavista menyadari penuh hal ini, sehingga mereka berusaha merebut kembali akar rumput dengan menggunakan bahasa-bahasa radikal, berorasi tentang “kekuatan popular”, “parlementer di jalanan” (di mana para elit datang ke jalan-jalan dan mendengarkan berbagai keluhan publik). Dalam hal ini kecenderungan tentang pemerintahan yang lebih baik, lebih sehat, lebih mendorong partisipasi, memang ada. Tetapi secara keseluruhan, yang dibutuhkan adalah inisiatif untuk sebuah gerakan pembebasan yang nyata yang tak dapat diperlambat hanya dengan dikuasainya sebuah negara. Para Chavista tersebut memang tidak berbohong, tapi itu semua tidak cukup bagi kepentingan kelas pekerja.

Contoh kasus, pada akhir tahun 2005 di mana banyak pekerja tambang emas di selatan Venezuela berada dalam pusaran konflik melawan multinasional, 14 pekerja tambang telah terbunuh tapi hanya sedikit orang yang tahu tentang hal ini karena tak ada media yang memberitakannya termasuk media pemerintah. Bulan November 2005 terjadi pembunuhan oleh sicarios (preman yang dipersenjatai) dan paramiliter yang dibiayai serta dipersenjatai oleh multinasional sehingga terjadi konfrontasi yang sengit. Seluruh pekerja tambang adalah pendukung Chavez, terlihat dalam aksi mereka yang membawa foto Chavez saat mobilisasinya. Tetapi masalahnya belum ada sedikit pun tindakan dari negara.

Maka pihak oposisi yang kini berada di Venezuela mulai terbentuk babak keduanya. Di satu sisi, dilancarkan oleh para pendukung kebijakan neo-liberal dan kaum kaya raya yang pro-kudeta militer sayap Kanan tahun 2002, yang berusaha mengembalikan Venezuela pada bentuk lamanya. Di sisi lain, adalah para pekerja yang mempertahankan diri mereka dalam bentuk organisasi-organisasi otonom, melawan kaum neoliberal dan korporat sekaligus menentang kemandegan pemerintahan Chavez; merekalah yang menjadi kontestan utamanya. Seperti Movimiento 13 de Abril Comuneros—bukan sebuah partai politik—yang beranggotakan 1000-2000 orang pekerja dan penganggur ataupun serikat pekerja yang menduduki pabrik kertas di Invepal. Gerakan 13 April adalah organisasi pekerja dan penganggur yang beraktifitas di tempat-tempat kerja dan lingkungan ketetanggaan, mendiskusikan relasi kerja dan pekerja, serta memiliki ide untuk membentuk sebuah gerakan pekerja popular. Sekelompok intelektual juga membantu pembentukan formasi ini tetapi organisasi ini tetap otonom. Sebagian proyek mereka adalah pendudukan pabrik. Mereka beraliansi dengan Chavez tapi secara taktis, bukan strategis. Mereka memang mempertahankan posisi Chavez dan menjadikannya simbol kekuatan, tapi mereka tetap menyimpan banyak keraguan terhadap absolutisme kekuatan presiden sebuah negara. Sementara Invepal, adalah pabrik kertas yang berjarak 100 mil dari Caracas, ibukota negara Venezuela. Para pekerja di sana telah mengambilalih pabrik secara penuh sejak akhir tahun 2004 dan memaksa negara untuk mendanai pengembangan hariannya. Profit yang dihasilkan dibagi antara para pekerja pabriknya sendiri yaitu 49% dan 51% diserahkan untuk negara. Tidak puas dengan hal ini, para pekerja mendeklarasikan bahwa mereka menginginkan kepemilikan atas pabrik 100%, di mana dari profit tersebut, para pekerja sendirilah yang berhak menentukan kemana dana tersebut akan disalurkan untuk memperkuat arus revolusioner.

Jalan satu-satunya menuju masyarakat bebas, di Venezuela atau di manapun, berjalan melewati, “sebuah pakta ofensif dan defensif,” sebagaimana seorang intelektual Hungaria kemukakan saat insureksi melanda negara Eropa Timur tersebut tahun 1956.

Di negara tetangganya, Bolivia, Evo Morales memang melancarkan isu nasionalisasi tambang minyak bertepatan dengan perayaan May Day 1 Mei 2006 lalu, tapi kebanyakan mengesampingkan fakta bahwa keputusan tersebut dilakukan atas desakan organisasi-organisasi popular otonom yang merasa bahwa pemerintah Morales semenjak kemenangan atas pemilu tak sekalipun mendorong pada isu utama masyarakat Bolivia seperti pengambilalihan kontrol dari seluruh badan multinasional. Publik di Bolivia telah mengerti penuh soal peran yang harus mereka ambil. Begitu juga di Venezuela. Saat kondisi-kondisi revolusioner praksis merebak, tak ada satu teoripun yang dirasa terlalu sulit. Villiers de l’Isle-Adam, seorang saksi mata dari Komune Paris, mencatat, “Untuk pertama kalinya seseorang akan mendengar para pekerja bertukar opini tentang berbagai masalah yang selama ini hanya diperdebatkan oleh para filsuf.”

Realisasi filsafat, kritik dan rekonstruksi atas segala nilai, kebiasaan dan perilaku yang didorong oleh kehidupan yang teralienasi—adalah program utama dari swakelola umum. Para militan Kiri yang birokratis akan berkata bahwa tesis seperti di atas memang benar, tapi itu semua belum tiba waktunya untuk berbicara pada massa tentang segala-galanya. Tapi mereka yang melancarkan argumen tersebut tidak memperhatikan bahwa waktu tersebut telah tiba, dan mereka malah beroposisi menentang tibanya waktu tersebut, dengan alasan Leninis klasik, “Belum waktunya bagi massa untuk mengetahui semuanya.” Adalah penting untuk memberitahukan pada publik tentang apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Para intelektual spesialisasi revolusi adalah para spesialis dari kesadaran palsu, yang pada momen-momen revolusioner akan menyadari bahwa mereka telah membicarakan sesuatu yang berbeda dengan yang mereka lakukan. Alienasi politik adalah juga tetap alienasi. Dan swakelola tidak dapat berharap banyak dari cucu-cucu Bolshevik, baik yang terang-terangan mengaku Leninis maupun kaum Kiri secara umum.

Swakelola harus menjadi bagian dari proses maupun akhir perjuangan kelas. Dan di Venezuela, seperti juga di Bolivia, ia adalah satu-satunya kekuatan radikal modern yang paling advance. Basis-basis produksi swakelola akan secara spontan terbentuk begitu momen revolusioner hadir—seperti juga di Spanyol tahun 1936, Paris tahun 1871, Russia 1917 atau juga di pabrik-pabrik yang ditinggalkan di Argentina 2001 lalu—saat para pemiliknya melarikan diri mengikuti kekalahan politisnya. Pendudukan tersebut adalah sebuah liburan dari kepemilikan dan penindasan, sebuah rehat temporer dari kehidupan yang teralienasi.[5]

+ + +

Di luar kekelaman ekonomi dunia tersebut, Globalisasi memiliki makna yang positif bagi peradaban manusia. Sebut saja kecenderungan Globalisasi untuk mengangkangi artefak budaya modern yang dikenal sebagai nasionalisme dan batas-batas kenegaraan dan penyusutan otoritas negara—yang kini memiliki peran sebagai kepanjangan tangan atau satelit dan kuli administrasi dari beragam institusi global seperti, IMF, Bank Dunia, WTO, bahkan korporasi multinasional.

Dalam konteks-konteks tertentu, Globalisasi merupakan langkah maju ketika kita tidak lagi menginginkan nostalgia dengan struktur kekuasaan yang terjadi sebelumnya; ketika kita menolak strategi-strategi reaktif dari politik lama yang mencoba untuk membangkitkan kembali negara nasional untuk melawan invasi Globalisasi Kapital—dikotomi global-lokal adalah suatu ilusi karena lokal-global hanyalah suatu identifikasi simbol dan imaji yang diproduksi pada zaman-zaman tertentu. Batasan geografis, pembangunan identitas negara-bangsa merupakan mitos-mitos modern yang megah sekaligus rapuh. Kita tidak dapat menjamin bahwa kelokalan menawarkan lebih banyak potensi pembebasan. Kesalahan fatal lainnya dari dikotomi seperti di atas adalah semangat untuk memunculkan kembali—sekaligus melestarikan—identitas lokal yang diproteksi dari pengaruh luar, yang seringkali hanya merupakan pembangkitan kembali primordialisme, yang biasanya hanya menguntungkan pihak tertentu saja.

Catatan:
[1] Affinitas
Globalisasi, dikarenakan penggunaannya yang didominasi untuk kepentingan-kepentingan kapitalis, sebagai terminologi telah menjadi sedemikian rancu. Jika kita memaknainya sebagai kosa kata yang merunut pada kata “global” dan imbuhan yang membuat kata dasar “global” menjadi kosa kata aktif, Globalisasi dapat dimaknai sebagai suatu fenomena ontologis (keterjadian) yang merujuk pada menjadinya tatanan masyarakat berdasarkan beragam hubungan timbal balik di antara subyek-subyek di berbagai penjuru dunia. Maka dari itu, selain dari Globalisasi dalam pemaknaan Globalisasi rezim kapitalis, kita juga mendapati beragam penggunaan lain dari terminologi Globalisasi, di antaranya adalah “Globalize Justice” (Globalkan Keadilan), “Globalize Resistence” (Globalkan Resistensi), yang selalu merujuk pada resistensi rezim kapitalis.
[2] Dr. Mansour Fakih,
Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi; Insist Press, Sep 2006
[3] Ibid
[4] Edy Haryadi
Lenin: Pikiran, Tindakan, Ucapan; Komunitas Studi Untuk Perubahan, Sep 2000
[5] Rikki Rikardo
Perjuangan Kelas di Venezuela; Indymedia Jakarta

Rekomendasi Bacaan:
[1] Bagaimana Lenin Menggiring Pada Munculnya Stalin
Affinitas (affinitas@riseup.net)
[2] Anarkisme: Paham Yang Tak Pernah Padam – Dr. Mansour Fakih
http: pustaka.otonomis.org
[3] Anarkisme: Tujuannya – Rudolp Rocker
Affinitas (affinitas@riseup.net)
[4] Empire – A. Negri & M. Hardt
Harvard University Press / Kontak: Affinitas (affinitas@riseup.net)

Minggu, 02 November 2008

FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM

RUU APP: FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM (Bag. I)
Represi Seksual oleh Agama dan Pemberontakan Libido


Introduksi

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), sebelum mencapai keputusan peresmiannya, kini telah mulai memakan korban. Belasan pengecer koran ditangkap karena menjual tabloid-tabloid dan media-media yang dianggap porno, sementara para pemimpin redaksi media tersebut hanya dikenai hukuman wajib lapor; dua orang perempuan yang berprofesi sebagai penari tarian tradisional, ditangkap karena meliuk-liukkan tubuhnya dan dianggap mengundang berahi. RUU ini juga akan mengkriminalkan semua perempuan yang sekedar berpakaian dengan pusar yang terlihat, ia juga akan menyerang siapa saja yang mengekspresikan afeksinya dengan berciuman.
Pada hakekatnya, RUU ini, menurut para pendukungnya, akan mengurangi kehancuran moral bangsa Indonesia. Dengan menggunakan pasal-pasal yang multitafsir, sedikit demi sedikit ia mendekati titik final pengesahannya—tidak peduli seberapa banyak penentangnya—pada bulan Juni 2006.

Fenomena lain memperlihatkan bahwa pada akhirnya RUU APP ini mengarah pada tudingan bahwa hal ini adalah agenda politik tertentu, seperti yang dikatakan oleh Ayu Utami bahwa, "Keadilan tidak memiliki batas waktu, politik yang punya batas waktu." Bahkan lebih jauhnya lagi, RUU ini mau tidak mau dicurigai sebagai sebuah agenda politik para elit Islam semata—mengingat bahwa RUU ini dicetuskan pertama kalinya oleh wakil dari PKS, dan didukung di tataran akar rumput oleh para ulama termasuk oleh Aa Gym yang terkenal reaksioner itu, dan bahkan juga oleh teror FPI yang mengancam akan mensweeping siapa saja anggota DPR yang masih tidak setuju pada RUU ini serta yang berpotensi menggagalkan pengesahannya. Kecurigaan ini memang tidak berlebihan, semenjak MUI, selaku elit dan birokrat kediktatoran yang berkedok agama Islam, pada tahun 2005 lalu memfatwakan bahwa pluralisme adalah haram. Saat sebuah fatwa anti-pluralisme diputuskan, maka mutlak para pengikutnya akan memiliki nilai kebenaran yang tak dapat ditawar lagi: selain kebenaran yang mereka pegang, semua kebenaran lain adalah salah dan layak dihancurkan dengan cara apa pun. Tak akan ada lagi tersisa dialog.

Perda Anti-Pelacuran yang diluncurkan di kota Tangerang, bahkan bertindak lebih parah lagi dan mulai mengingatkan pada horor yang dialami oleh perempuan-perempuan di Afghanistan pada era kekuasaan Taliban. Sweeping dilakukan oleh polisi, untuk menangkapi perempuan-perempuan yang berada di luar rumah lewat pukul 7 malam—karena bagi mereka, semua perempuan yang masih berada di luar rumah dianggap pelacur. Korbannya, seorang ibu rumah tangga yang sedang minum teh botol di pinggir jalan, seorang istri yang hamil dua bulan dan sedang menunggu angkutan kota sepulangnya ia dari tempat kerja, seorang istri di kamar hotel yang sedang menunggu suaminya keluar membeli makan. Mengesampingkan semua fakta tersebut, Pemerintah Kota Tangerang mengaku bahwa polisi mereka tidak bertindak asal tangkap, dan selektif dalam memilih siapa yang harus ditangkap.

Di sana, di sini, berbicara tentang pornografi yang berarti berbicara tentang seks, seakan sebuah monster yang mengerikan yang harus dikikis dari dunia yang dianggap bermoral, setidaknya dari sudut pandang agama. Kini pertanyaannya, sehoror apakah seks itu? Mengapa ia selalu dituding sebagai sumber kehancuran kehidupan sebuah bangsa?


Latar Belakang Meletusnya Pemberontakan Libido

Para pendukung RUU APP selalu mengacu pada kenyataan bahwa seks telah menjadi sedemikian tak terkendali di tengah kehidupan masyarakat modern. Dan hal itu yang selalu didengung-dengungkan oleh para imam pengkotbah di masjid-masjid maupun media-media internal mereka. "Seks telah menjadi sangat menyimpang," demikian kata seorang imam di kala ceramah hari Jum’at di sebuah masjid Bandung, "dan sebelum segalanya terlambat dan terlalu merusak, kita harus segera menghentikan semua praktek penyimpangan itu." Maka, dengan kata lain, menurutnya, seks hanyalah sebuah aksi prokreasi alias sekedar untuk memperpanjang keturunan, dan semua aktifitas seksual yang memberi nilai lebih pada sisi kenikmatannya dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Berbicara mengenai penyimpangan, publik Indonesia lebih akrab dengan aktifitas seksual “tak biasa” yang dapat dirunut pada buku yang ditulis oleh seorang penderita voyeurisme, Jakarta Undercover, di mana dilaporkan olehnya bahwa di Jakarta praktik seks memang telah menjadi sedemikian “tak biasa”.

Tapi sebelum langsung mencap hal tersebut sebagai sebuah penyelewengan, ada baiknya kita melihat konsep yang dikemukakan oleh salah seorang penggiat Frankfurt School, Herbert Marcuse, bahwa pada kodratnya seksualitas adalah polymorphous perverse, penyimpangan yang beraneka ragam. Konsep Marcuse tentang seksualitas lahir seiring dengan analisa dan refleksinya tentang revolusi seks yang dicemaskan oleh para ulama Islam di Indonesia.

Abad pertengahan, agama berkaitan erat dengan politik. Sesuatu yang benar menurut politik dan dilegitimasi oleh agama, menjadikan politik itu sendiri sebagai sesuatu yang suci. Segala sesuatu diatur oleh aturan berdasarkan norma agama, termasuk seks. Seks ditentukan oleh kekuatan dan kekuasaan di luar individu, yang artinya seperti apa definisi seks, bagaimana praktik yang diperbolehkan, sejauh apa pemahaman tentangnya diterima, semua didikte keras oleh agama melalui instrumen politiknya. Dan tentu, seperti penyakit kronis yang dialami oleh banyak agama, dengan demikian pandangan soal seks dipersempit dengan hanya mendefinisikannya sebagai aktifitas reproduksi semata.

Situasi ini berubah dengan datangnya masyarakat borjuis. Ciri masyarakat borjuis adalah sikap mental yang mengarah pada efisiensi, penumpukan modal dan perluasan investasi yang kompetitif. Untuk meraih itu semua, diperlukan rasio yang kuat dan dingin. Maka, ciri lain masyarakat tersebut adalah juga rasionalitas. Segala sesuatu dikontrol oleh rasio, dan di bawahnya, seks yang dipersempit maknanya dan ditindas oleh masyarakat agama, kini dikontrol oleh rasio. Rasio mengatur bagaimana agar seks menjadi efektif, tidak hanya sebagai prokreasi, tapi juga untuk memajukan iklim kompetitif itu sendiri. Jelas, upaya ini tidak berhasil, mengingat bahwa seks adalah bagian dari hidup emosi dan afeksi manusia. Seks, tak bisa diatur dan ditundukkan oleh rasio, kecuali apabila semuanya dijalankan oleh represi. Maka, hal itu menjadi pilihan rasionalisme masyarakat borjuis, yang dengan dalih membebaskan seks dari represifitas agama, kembali merepresinya.

Akhir abad sembilan belas, situasi berubah drastis. Seksualitas manusia bangkit membebaskan diri dari represifitas yang dipraktekkan atas mereka selama berabad-abad. Dua orang teoris ternama hadir di garda depan pemberontakan ini, Sigmund Freud dan Herbert Marcuse.

Sigmund Freud dalam menghadapi represi seksual, tampak mendua. Satu sisi ia melakukan protes keras terhadap represi seksual, tapi di sisi lain ia begitu khawatir juga terhadap gelora dahsyat naluri seksual. Seperti pemikir borjuis lain, Freud yakin, bahwa peradaban manusia bisa dipertahankan hanya apabila ia mampu mengontrol naluri seksualnya. Bukan dengan cara merepresinya seperti yang dilakukan oleh para penguasa sebelumnya, tapi dengan mengarahkannya atau dengan kata lain, mensublimasikannya. Bukan represi libido, tapi manajemen libido.

Sementara Herbert Marcuse berpendapat bahwa peradaban modern dibangun di atas represi rasio atas spontanitas manusia. Spontanitas manusia ditindas agar masyarakat mampu menghasilkan lebih dan lebih, sesuai dengan prinsip hasil dan keuntungan dari masyarakat borjuis. Atas penindasan inilah, yang menurut Marcuse akhirnya meletupkan revolusi seksual di tahun 1960-an. Para aktifis revolusi seksual tahun 1960-an, yakin bahwa represi terhadap naluri seksual telah mengarah pada agresifitas yang tak tersalurkan secara seksual dan terepresentasikan melalui agresifitas fasisme dan perang, termasuk kekerasan harian yang melingkari peradaban manusia modern. Menurut mereka, apabila seks dibebaskan, maka ia juga akan membebaskan manusia dari kejahatan-kejahatan yang ditimbulkannya apabila ia direpresi. Maka, praktik seks mulai diumbar di mana-mana dan secara terang-terangan. Di manapun dan kapan pun. Melihat konteks ini maka konsep Marcuse menjadi jelas, bahwa seks adalah sebuah polymorphous perverse. Pertama, karena ragam praktik seksual mulai berlawanan dengan praktik seksual yang biasa; kedua, karena tak kenal batas itu pulalah sesungguhnya kodrat dan hakikat seksualitas manusia itu sendiri. Hanya dengan menuruti kodrat itulah maka manusia tidak hanya menjadi jujur dan otonom, tapi juga terbebas dari penindasan terhadap nalurinya.

Dengan memperhatikan apa yang terjadi di Indonesia, dari meluasnya industri pornografi terselubung hingga praktik seksual yang telah terjadi di kalangan anak-anak muda secara terbuka, masyarakat sedang berjalan menuju keterbukaan. Di bawah bendera keterbukaan, segala sesuatu dituntut menjadi otonom, sementara otonomi menolak dogma-dogma atau ideologi-ideologi yang bersifat mengikat. Dan itulah yang sangat ditakutkan oleh ulama-ulama Islam.



RUU APP: FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM
Paradoks Pemberontakan Libido: Deseksualisasi Seks


"Sex is missing, it's because we have too much sex this da.”
—Jean Baudrillard

Revolusi seksual yang seringkali dianggap sebagai sebuah pelepasan belenggu represifitas, ternyata juga tidak melulu sempurna. Represi masih ketat berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang dianggap telah membebaskan seks. Seks justru menjadi sebuah industri baru yang terang-terangan. Dan dalam dampak lainnya, seks tidak lagi bersifat privat, melainkan publik. Seks bukan lagi sekedar keintiman terdalam dari dua orang manusia. Seks yang berkekuatan sangat dahsyat menjadi lepas tak terkendali. Masalahnya, dalam seks yang meninggalkan posisi sebagai bentuk keintiman sebuah relasi, ia memaksa manusia untuk menjadi pribadi-pribadi eksibisionis.

Eksibisionis di sini bukan sekedar dalam artian seseorang yang gemar mempertontonkan alat kelaminnya pada publik seperti yang dipahami oleh banyak orang. Eksibisionis di sini ialah dalam artian bagaimana seorang individu bukan lagi mempertontonkan ketelanjangannya, melainkan individu yang mendapat kenikmatan saat dirinya ditonton. Ini terlihat jelas dalam dunia mode fashion. Mode bermain-main dalam batas-batas imajinasi—ia mempermainkan imajinasi. Orang tidak perlu lagi telanjang, tapi ia justru memainkan fantasi ketelanjangan. Orang juga berlomba-lomba untuk tampil seksi—tak peduli perempuan atau lelaki. Batasan-batasan tentang keseksian juga mulai dibentuk dalam masyarakat industri. Perhatikan saja iklan di televisi, perempuan yang seksi adalah mereka yang berambut hitam dan berkilau, serta menggunakan ponsel keluaran terbaru. Sementara lelaki, adalah mereka yang menenggak minuman penambah energi, menghisap rokok merk tertentu atau seperti yang dikatakan oleh salah satu iklan, "Kerempeng, mana keren?"

Pribadi-pribadi eksibisionis ini jelas menjadi cenderung narsistis. Ia memuja dirinya, bukan lagi sekedar merayakan tubuhnya. Ini juga diperparah oleh kondisi masyarakat urban modern yang telah memilah-milah manusia menjadi individu-individu yang terpecah dan tercerabut dari komunitasnya—dengan ilusi-ilusi individual yang ditawarkan oleh industri media seperti slogan "Gue banget." Ia juga dibentuk oleh lingkungan terdekatnya semenjak kecil dalam tipe keluarga nuklir yang teratomisasi, yang ironisnya justru menjadi tipe keluarga ideal masyarakat modern. Bagi pribadi-pribadi narsistis, mengutip kata-kata Erich Fromm, sebagai manusia yang hanya mementingkan "perasaannya, pikirannya, semangatnya, keinginannya, tubuhnya, keluarganya, pendeknya semuanya, yang merupakan adanya dan (dianggap) miliknya." Apa yang ada di luar dirinya adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting. Ia tidak pernah menilai dirinya dari berbagai sudut pandang, tapi ia hanya menilai dirinya, dari dirinya sendiri dan terlepas dari segala sesuatu di luar dirinya. Hasil akhirnya mudah ditebak: individualisme yang terlepas dari komunitas, konsumerisme, luxurisme. Alienasi total. Ia hanya melihat segala sesuatu dari kenikmatan yang diperoleh dirinya, apabila sesuatu hal dianggap tak membuatnya nyaman, maka hal itu yang salah. Ia tak pernah melihat bahwa ada kemungkinan dirinyalah yang bermasalah.

Seks yang terpublikkan secara otomatis juga merajai ruang publik, telah mentransformasikan orgasme dalam segala bentuknya, ia telah mulai menghancurkan nilai kebebasan yang semula diusungnya. Di Jerman, ada sebuah pepatah yang berkata, die Vergesellschaftung des Orgasmus atau dengan kata lain: pemasyarakatan orgasme. Segala hal menjadi satu. Uang, materi dan seks, telah menjadi satu dalam satu tujuan: orgasme. Konsekwensinya, materi dan uang bisa ditawarkan dengan efektif, bila ia disatukan dengan seks. Ini jawaban mengapa iklan mobil mewah seringkali diembel-embeli dengan perempuan seksi, mengapa industri rokok menjajakan produknya dengan memanfaatkan perempuan-perempuan cantik dan seksi, begitu juga dengan produk lainnya. Lelaki dipaksa bekerja untuk mampu mengkonsumsi suatu produk, sementara perempuan dipaksa bekerja untuk menjajakan suatu produk. Dan keduanya diikat oleh kehausan (yang tersamarkan) untuk orgasme. Tatanan ideal masyarakat konsumer.

Pada gilirannya, revolusi seksual yang disuguhkan masyarakat industri justru telah mendeseksualisasikan seks.

Seks tidak lagi dinikmati dan dipahami sebagai seks. Seks kini dinilai dan ditemukan dalam sebuah produk. Seks menjadi kehilangan keutuhannya, ia telah terfragmentasikan. Kini, orang semakin haus akan orgasme yang mendalam, yang terus dicari melalui konsumsi segala hal, dari konsumsi produk yang tak terkait langsung dengan seks, maupun produk seks seperti alat-alat bantu seks, mode-mode seksi dan erotik, tawaran-tawaran entertainment seksual dan lain sebagainya. Tidak heran apabila lantas tabloid-tabloid yang belum lama ini marak dan memiliki oplah penjualan yang tak pernah surut, adalah tabloid yang bertemakan seks. Problemnya, semakin kedalaman orgasme itu dicari melalui seluruh produk tersebut, semakin ia menjauh. Tanpa sadar, seks telah menghilang dan memudar. Dan hal ini terjadi di tengah kondisi yang semakin permisif terhadap seks. Saat energi seksual dilepaskan tanpa kendali sama sekali dan diinkorporasikan dalam sebuah komoditi.

Kita semua telah memahami, saat sesuatu telah terinkorporasikan, maka sesuatu tersebut hanya dapat dimiliki apabila kita memiliki uang. Demikian juga dengan seks. Tanpa uang, tak akan ada seks.

Inilah paradoks yang lahir dari jalan panjang pembebasan sejak meletusnya pemberontakan libido: libido kini terpenjara dalam kapitalisme. Dan jelas, bahwa pembebasan seksual dalam masyarakat industri tidak memberikan jalan menuju pembebasan, ia hanya mengembalikan seks ke bawah represi seperti yang dialaminya di bawah kekuasaan otoritarian agama di abad-abad sebelumnya.



RUU APP: FOBIA SEKSUAL PARA ULAMA DAN BIROKRAT ISLAM
Legitimasi untuk Menginvasi Ruang-Ruang Privat Terakhir


"It's because the real threats to Indonesia's fragile morality, particulary corrupt officials, are too dangerous to attack.”
—Inul Daratista, dalam interview dengan majalah Time.

Seperti telah diterangkan sebelumnya, seks seringkali dinilai sebagai sebuah urusan libido dan tubuh, yang pada gilirannya justru memperbudak tubuh dan gairah manusia sendiri. Sebelum meletusnya revolusi seksual, seks difragmentasikan sebagai sekedar aktifitas prokreasi yang jelas memenjarakan gairah dan kenikmatan yang dihadirkan, dan ia juga menjadi alasan untuk menghakimi tubuh. Seks terasing dari tubuh. Seks menjadi sesuatu yang tabu. Seks menjadi sebuah praktek yang disertai ketakutan dan perasaan bersalah.

Harus diakui, agama setidaknya ikut bersalah dalam fragmentasi seks. Agama yang merayakan keberadaan seks semestinya tidak memusuhi seks, menerima seksualitas dalam segala aspeknya, termasuk ketubuhannya. Hal ini yang sepertinya tidak dapat diterima oleh para ulama dan birokrat Islam, apabila tidak bisa dibilang bahwa ini adalah penyakit yang diderita oleh para ulama dalam MUI. Mereka memandang bahwa semakin mereka merendahkan seks demi alasan rohani, semakin mereka menjadi suci. Padahal kesucian tidak terjadi karena seseorang merepresi gairahnya sendiri, yang ada hanyalah represi yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk kebencian terhadap tubuh—yang dalam masyarakat patriarkis seringkali ditargetkan pada tubuh yang dianggap membangkitkan gairah seksual oleh kaum lelaki: tubuh perempuan.

Perhatikan, betapa pasal-pasal dalam RUU APP jelas-jelas menyerang perempuan, memposisikan mereka sebagai sumber “kekotoran” dan segala kehancuran moral—dalam hal ini moralitas Islam. Perempuan dilarang memperlihatkan tubuhnya karena dianggap dapat membangkitkan gairah seks, gairah yang dianggap rendah dan tak suci. Hal ini artinya: tubuh perempuan itu rendah dan tak suci. Perempuan diajarkan untuk membenci tubuhnya sendiri. Di sisi lain, tubuh perempuan lantas diklaim melalui berbagai pembenaran sebagai "milik sang suami". Sebagai sebuah benda kepemilikan, ia tentu bisa diperlakukan dan digunakan kapan saja dengan menempatkan dosa dan hukuman bagi para perempuan yang tak bersedia menyerahkan tubuhnya bagi sang suami. Saat perilaku misogini (membenci perempuan) diadopsi, kebencian itu justru seringkali terletupkan dalam bentuk kekerasan seksual terhadap tubuh perempuan. Perhatikan saja, betapa di Arab Saudi yang merepresi seks melalui beragam aturan hukum dan undang-undangnya justru menjadi salah satu negara di mana kekerasan seksual terhadap perempuan menempati posisi yang tertinggi. Demikian juga Afghanistan di era kediktatoran Taliban yang misoginis.

Itu juga hal yang ironisnya tak mampu ditangkap oleh rata-rata muslimah sendiri. Puluhan muslimah selalu turut unjuk rasa di jalan-jalan menuntut agar pelegalan RUU APP dipercepat sesegera mungkin. Perhatikan ucapan Neno Warisman mengenai RUU APP yang belum lama berselang, "RUU ini bagus karena berguna bagi anak-anak dan generasi mendatang yang selama ini selalu digempur oleh tayangan-tayangan yang berbau porno dan membangkitkan syahwat. Maka saran saya adalah agar mereka yang selama ini gencar melakukan penolakan, tolonglah agar mereka memahami betul isi pasal-pasal RUU itu."

Jelas, komentar tersebut adalah komentar dari seorang yang imbisil, seperti yang rata-rata diderita oleh para selebriti yang eksibisionis.

Ia, seperti juga para pendukungnya yang lain, sekedar melihat RUU APP dalam kacamata moralitas Islam. Hal yang lebih mengerikan dari RUU tersebut seperti bagaimana ia bisa mendapatkan legalitas untuk menyerang siapa saja yang memiliki keyakinan berbeda. Dan mereka telah menyatakan diri mereka sendiri sebagai seorang yang secara intelektual tak mampu melihat problematika yang ada di balik fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi (yang sebenarnya sebuah terminologi mengada-ada yang tak terdapat dalam kamus apa pun—sesuatu yang makin membuktikan bahwa mereka tak lebih dari sekedar makhluk imbisil).

Problematika fragmentasi seksual yang membuat seks menjadi teralienasi dengan hidup itu sendirilah yang seharusnya dipahami dan dicari solusinya. Sekedar menyerang seks sebagai sebuah gairah kebinatangan (seperti yang selalu dilakukan oleh media massa, di mana di satu sisi seks dieksploitasi habis-habisan, di sisi lain gairah seks dianggap rendah seperti dengan seringnya kata itu diganti dengan "gairah kebinatangan", atau "nafsu purba" yang selalu berkonotasi merendahkan) tak akan membawa ke mana-mana selain justru mengasingkan dan merendahkan diri mereka sendiri. Abad pertengahan telah memperlihatkan pada kita semua tentang hal demikian, belum lagi negara-negara yang mengaku menerapkan syariat Islam dengan membenarkan sikap misoginisme mereka, juga Perda kota Tangerang yang mulai memangsa korban-korban perempuan.

Dalam kasus demikian, dengan alasan apa pun, penerapan aturan demikian hanya akan menyerang semua orang, dengan korban pertamanya adalah perempuan, anak-anak dan mereka yang miskin. Perempuan yang terpaksa bekerja sekedar untuk bertahan hidup di bawah kepungan rezim ekonomi yang semakin represif, yang melakukan segala cara yang dianggap mungkin demi menghidupi anak-anaknya, adalah target-target pertama. Setelah mereka, tentu saja, anak-anak para perempuan itulah yang menjadi korban selanjutnya. Dan itu semua hanya akan dialami oleh mereka yang miskin. Dan pada gilirannya, laki-laki juga akan menjadi korban akibat pelimpahan berbagai tanggung jawab yang seharusnya dapat dibagi bersama partner perempuannya.

Maka jelas, para pendukung RUU APP hanyalah kelas menengah ke atas yang dapat dengan seenaknya menyalahkan seseorang atas hidup yang dijalaninya, tanpa mampu memahami mengapa hidup berjalan seperti ini. Ia mengenakan kedok Islam untuk mendapatkan legalitas dan dukungan publik, melibas seluruh kekuatan yang berseberangan dengannya—termasuk kekuatan-kekuatan Islam sendiri. RUU APP hanyalah sebuah usaha negara dan kelompok dominan yang kebetulan Islam, untuk mendominasi individu-individu di dalamnya hingga ke ruang-ruang yang paling privat. Seperti novel terkenal George Orwell, 1984, di mana ruang-ruang privat tidak lolos dari cengkeraman negara. Manusia kehilangan kebebasannya, hingga ke pelosok yang terdalamnya.

Selamat, kita sedang menuju sebuah negara totaliter dengan Big Brother yang bernama MUI, beserta barisan tentaranya yang bernama FPI.