Belakangan terjadi kesalahpahaman mendasar perihal bagaimana kaum anarkis memahami demokrasi. Secara tegas, kaum anarkis bukanlah prodemokrasi atau sekadar penyokong demokrasi-langsung maupun jenis demokrasi radikal lainnya. Demokrasi sebagai suatu konsep modern mengenai pemerintahan politik, yang mendasari konsepnya melalui “aspirasi kekuasaan politik mayoritas”, bukanlah sesuatu yang anarkis. Dengan diiringi riuhnya ajang Pesta Demokrasi 2009, banyak kaum radikal terbelit gaung kaum kiri nasional untuk bepartisipasi bersama elit-elit politik, untuk “merayakan demokrasi”, bahkan beberapa kaum anarkis menganggap diri mereka sebagai aktivis prodemokrasi. Dalam situasi demikian, penting bagi kami untuk menyisipkan tulisan ini sebagai suatu kritik total atas demokrasi—dalam bentuknya yang langsung maupun yang terwakilkan.
Definisi Demokrasi
Demokrasi merupakan sebuah teori pemerintahan di mana hukum, dalam pengertian luasnya, merefleksikan keinginan mayoritas yang ditentukan melalui pemilihan langsung maupun melalui perwakilan. Secara umum, demokrasi terlegitimasi melalui pengadopsian suatu konstitusi, yang melegalisasikan aturan-aturan mendasar, prinsip, tugas, dan kekuasaan dari pemerintah serta aturan dan hak individual terhadap pemerintah. Aturan yang disebut terakhir diadakan untuk melindungi individu dari kekangan mayoritas “demokratis”, sebuah konsep yang dikembangkan oleh republikanisme selama digulingkannya monarkisme.
Alienasi
Cukup penting untuk mengangkat masalah alienasi bila hendak mengkritik demokrasi. Pertama-tama, mari pahami kritik umum anarkis terhadap alienasi.
Kaum anarkis membedakan kritiknya mengenai persoalan alienasi dengan cara menekankan pada suatu hubungan yang tidak terpisahkan dari pikiran dan tindakan, antara gairah dan pemenuhan bebas. Kalangan anarkis menolak setiap proses kemasyarakatan yang memisahkan keterkaitan-keterkaitan tersebut, seperti konsep kepemilikan pribadi, perdagangan, divisi kerja, dan demokrasi.
Gairah dan hasrat hanya dapat terpenuhkan ketika keduanya menjadi kekuatan yang nyata di dalam hidup. Dalam kondisi alienasi, bagaimanapun, kedua hal tersebut terkekang oleh kondisi bahwa eksistensi hidup seseorang tidak berada di dalam kontrol dirinya sendiri. Jika demikian, maka impian hanyalah diperuntukkan bagi para pemimpi, lantaran hasrat seseorang tidak berada dalam situasi yang memungkinkan orang tersebut untuk melakukan tindakan. Dalam kondisi ini, ketika seseorang kehilangan koneksi antara gairah dan hasrat yang menggerakannya, cukup tidak mungkin untuk melakukan tindakan mengambilalih kontrol hidupnya dan orang tersebut pun terjebak dalam pasifitas. Sehingga keinginan untuk merubah kondisi material yang menyebabkan alienasi tersebut terjebak dalam keputusasaan dan ketidakberdayaan.
Dengan demikian, masyarakat terbagi menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang teralienasi, yang kapasitas untuk mengkreasikan hidup sesuai keinginan mereka sendiri telah direnggut. Kedua, mereka yang memegang kontrol atas segala proses alienasi, yaitu mereka yang mengambil keuntungan dari pemisahan tersebut dengan mengakumulasi dan mengontrol energi-energi yang teralienasi untuk mempertahankan tatanan dan peranan mereka sebagai penguasanya. Sebagian besar individu maupun kelompok berasal dari masyarakat kategori pertama. Sementara itu, para tuan tanah, majikan, dan politisi berada pada kategori kedua.
Jadi, singkat kata, para anarkis menentang demokrasi. Karena eksistensi demokrasi mempertahankan pemisahan yang hendak dihapuskan oleh kalangan anarkis. Demokrasi hanya berguna untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan yang teralienasi. Demokrasi membutuhkan kondisi di mana keinginan dan kekuatan orang-orang menjadi terpisah. Hal tersebut tidak berbeda dengan pengandaian bahwa seseorang mentransfer kedaulatan bebasnya pada aparatus negara terpilih atau pun “mayoritas”. Hal ini terjadi lantaran dalam kondisi alienatif semacam itu, kapasitas seseorang untuk menentukan kondisi hidupnya sendiri, dalam relasi dan kerjasama yang bebas dengan orang-orang di sekitarnya, menjadi dikekang.
Ada pembedaan penting di sini. Partai memiliki kepentingan politik dalam klaim mereka untuk mewakilkan kepentingan orang banyak. Pada dasarnya orang banyak tersebut adalah yang liyan (the others). Ini merupakan klaim atas kekuasaan yang teralienasi. Jika seseorang mengklaim kekuasaan untuk mewakilkan orang banyak, maka orang yang diwakili tersebut telah terpisah dari kebebasannya untuk bertindak. Dalam pengertian ini, kaum anarkis besikap antipolitik. Anarkis tidak tertarik dengan klaim-klaim berbeda dari kekuasaan yang teralienasi. Baik itu dalam bentuk kepemimpinan yang beda atau perwakilan yang sekadar memutarbalikan dan merias kekuasaan yang teralienasi. Ketika seseorang mengklaim memiliki kekuasaan atas diri orang banyak atau menjadi pembebas orang banyak, segera kondisi alienatif tercipta. Hal seperti ini ditolak para anarkis. Para anarkis berprinsip antipolitik karena tertarik dengan swaorganisasi dari setiap individu. Keteguhan dari swaorganisasi ini samasekali bertentangan dengan demokrasi dalam berbagai macam bentuknya.
Dekontekstualisasi Sebagai Suatu Bentuk Alienasi
Kritik anarkis terhadap alienasi berkaitan dengan masalah dekontekstualisasi. Dalam demokrasi keputusan menjadi sesuatu yang asing dari konteks yang mengangkatnya. Demokrasi membutuhkan hukum, aturan, dan keputusan yang dibuat terpisah dari keadaannya yang nyata. Hal tersebut mengandaikan pemaksaan individu ke dalam peranan-peranan yang telah ditentukan sedemikian rupa, dan bukannya mempersilakan mereka menentukan secara bebas dalam berbagai konteks yang sesuai bagi mereka.
Permasalahan yang dialami berbagai masyarakat dan individu menjadi isu-isu yang kehilangan konteksnya, karena isu-isu tersebut pun harus mengikuti aturan demokrasi. Sehingga, pelbagai permasalahan menjadi urusan hitam-putih, benar-salah, dan bukan dipahami melalui konteks kemunculan masalah tersebut.
Polarisasi
Demokrasi juga menuntut pentingnya “opini-opini” tunggal. Pemilih hanya menjadi penonton di dalam suatu proses demokrasi. Mereka telah disajikan berbagai opini untuk dipilih. Semua proses demokrasi yang ada merupakan skenario dari pihak-pihak yang memiliki (akses kepada) kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari slogan dan reduksionisme yang muncul setiap kali seorang calon politisi atau orator mereduksi ide menjadi sekadar enak didengar.
Tindak memilih dalam demokrasi sangat menyerupai sistem ekonomi kapitalis. Keduanya, demokrasi dan kapitalisme, senantiasa berjalan berdampingan. Ada produser yang mendikte agenda, dan ada konsumen sebagai penontonnya—yang memilih opini dari pasar ide yang telah ditentukan. Pilihan-pilihan ini pun menjadi suatu ajang permainan kompetitif, dan pada akhirnya “pemenang” dan “yang kalah” ditetapkan. Logika polarisasi semacam inilah yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Masyarakat yang terlibat sebagai penonton maupun para “pengorganisirnya” saling mendebatkan argumen mereka perihal pemimpin atau partai yang paling prorakyat. Bahkan, jika ditinjau melalui bagaimana seharusnya demokrasi terwakilkan berjalan, polarisasi menciptakan logika menang/kalah. Pada akhirnya, keputusan-keputusan lain—yang bisa saja berujung kompromi atas isu yang diperdebatkan—menjadi sesuatu yang janggal. Atau singkatnya, dengan polarisasi pemikiran semacam ini, cukup sulit bagi masyarakat untuk berpikir di luar dari kotak pemilihan dan memahami isu yang sebenarnya mereka hadapi.
Mayoritas
Terlepas dari berbagai masalah di atas, demokrasi juga memiliki kekurangan mendasar, khususnya pada konsep “mayoritas”. Dengan senantiasa menerima “aspirasi mayoritas”, demokrasi memperkenankan tirani mayoritas atas segala sesuatu. Ini berarti, dalam konteks demokrasi, pemenang yang memutuskan semuanya. Kaum minoritas, atau pihak kalah, tidak punya hak untuk membuat pengaruh atas setiap keputusan. Jika dianalisa secara mendalam, kenyataannya menjadi berbeda. Mayoritas yang ada bukanlah mayoritas sebenarnya dari suatu populasi, melainkan hanya bagian dari kelompok terbesar dari banyaknya minoritas.
Dengan menyediakan ilusi mengenai partisipasi semua orang, demokrasi memperkenankan mayoritas untuk membenarkan tindakan mereka, tidak terkecuali tindakan tersebut sangat menindas. Semenjak demokrasi membawa klaim bahwa semua orang dapat berpartisipasi dalam proses politis, memberi suara pada minoritas bukanlah sesuatu yang membahayakan. Ketika minoritas tersebut kalah suara, maka akan membuat mayoritas yang menang lebih mempunyai legitimasi untuk bertindak semaunya. Sama halnya ketika individu menjadi golput, setiap tindakan mereka pun masih bisa diinterpretasi sebagai suatu persetujuan dari aspirasi mayoritas. Karena, individu-individu telah diberi hak untuk memilih namun tidak menggunakannya. Tak ada jalan keluar lain. Lingkaran setan!
Dengan cara demikian logika mayoritas tidak dapat digunakan untuk menghancurkan status quo. Dalam kata-kata Enrico Malatesta, anarkis Italia dari abad 19,
“Fakta bahwa memiliki mayoritas pada satu sisi bukanlah tolak ukur bahwa seseorang itu benar. Malahan, kemanusiaan selalu berkembang melalui inisiatif dan usaha individu-individu serta minoritas, yang mana mayoritas, lumrahnya lamban, konservatif, dan patuh pada kekuatan yang lebih tinggi dan untuk memapankan keistimewaan-keistimewaan.”
Kritik Imanen
Perlunya kritik imanen untuk memahami betapa rentannya demokrasi terhadap demagogi, lobi-lobi, dan korupsi.
Demagogi merupakan strategi politik untuk meraih kekuasaan dengan menggunakan retorika dan proganda agar dapat menangkap impuls reaksioner dari suatu populasi. Hampir setiap bentuk demokrasi berakhir menggunakan cara ini untuk mengambil kesempatan meraih persetujuan mayoritas. Hal ini pada akhirnya menciptakan persetujuan melalui rasa takut, harapan, amarah, dan kebingungan publik.
Lobi-lobi merupakan sesuatu yang sangat rentan di dalam demokrasi representatif. Kelompok-kelompok ekonomi elit biasanya punya pengaruh besar di dalam membujuk, mengancam, atau menyuap para “perwakilan politik” untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Oleh karena itu, orang dapat melihat bagaimana menteri maupun anggota DPR adalah juga kaum pemodal. Dalam demokrasi representatif, di mana partai yang terkuat dipahami sebagai partai yang memiliki banyak modal, bukanlah aspirasi mayoritas yang diperhitungkan, tapi aspirasi modal terbanyak. Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang mengherankan bila lobi-lobi pengusaha yang segelintir itu lebih kuat daripada keluhan beberapa ratusan juta orang dalam memengaruhi kebijakan.
Meski telah mengetahui masalah-masalah barusan, para anarkis tidak tertarik dalam mengajukan perbaikan atau reformasi dalam sistem demokrasi. Tidak ada jalan perubahan dengan hanya menjadikan diri kita atau orang lain menjadi politisi prorakyat maupun pengusaha yang lebih filantropis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan mengganti ataupun membenahi pemimpin dan sistem kepemimpinan, sama sekali tidak hinggap dalam impian para anarkis. Bagi para anarkis, semua itu hanyalah tirani politik manipulasi. Demokrasi hanya memberi seseorang satu pilihan melegakan, yaitu untuk menjadi pihak yang telah menindas diri orang tersebut.
Tidak perlu naif, korupsi takkan bisa disembuhkan dengan memenjarakan koruptor, karena sistem politiknya sendiri adalah akar dari korupsi. Dalam kata-kata diktator komunis, Stalin, “Mereka yang memilih tidak memutuskan apa-apa. Mereka yang menghitung hasil pilihan memutuskan semuanya.”
Reproduksi Demokrasi
Tanpa disadari demokrasi telah menjadi semacam sistem politik yang dianggap paling mulia, meski sedikit sekali penjelasan mengapa ia bisa menjadi demikian. Umat manusia sekarang ini hidup dalam demokrasi atau di dalam negara-negara yang dominasi secara ekonomi dan militer oleh negara-negara demokratis. Di Indonesia, indoktrinasi mengenai demokrasi dimulai dari voting di sekolah, upacara bendera, dan lagu-lagu kebangsaan. Itulah alasan mengapa sebagian besar gerakan sosial untuk perubahan di Indonesia selalu menggunakan demokrasi sebagai pembanding atas kesewenang-wenangan—contohnya, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), atau Kelompok Diskusi Demokratik. Apalagi, di negara seperti Indonesia, yang dielu-elukan adagium Bhinneka Tunggal Ikanya, terdapat kebanggaan akan keragaman yang dapat bersatu di dalam demokrasi! Memang tidak banyak orang mampu melihat dan menyadari kelakuan negara yang demokratis itu ketika mengutus tentaranya untuk membantai masyarakat sipil di Aceh, Papua Barat, dan di banyak tempat atas nama demokrasi. Bila seorang pemimpin tertangkap basah melakukan kebijakan yang serupa, maka ia akan dicap sebagai pemimpin yang tidak demokratis!
Ketika demokrasi menutup pemikiran orang dan memaksa orang tersebut untuk membahasnya dalam konteks demokrasi, semua tindakan untuk merubah lingkungannya secara sosial dan politis harus dilakukan melalui cara-cara “demokratis”. Dengan demikian, kelas berkuasa tak perlu susah-payah untuk mereproduksi demokrasi. Ilusi sistem demokrasi adalah “kekuasaan mayoritas”. Hal itu membuat banyak orang terilusi bahwa mereka memiliki kontrol atau dapat memiliki kontrol bila saja mereka memperjuangkannya dengan benar. Kendati kekuasaan yang sebenarnya tetap berada di tangan pemodal dan elit politik. Silakan tengok ilusi yang ditawarkan pemilu baru-baru ini. Banyak calon legislatif yang berasal dari “kelas bawah” mencoba berlomba-lomba menjadi bagian dari kelas elit dengan mengatasnamakan komunitasnya. Tidak mengherankan jika para akademisi serta organisasi yang merasa paling “radikal” pun berlomba-lomba membangun citra dan diskursus yang paling demokratis. Hampir tidak ada, sekalipun sebatas wacana di atas kertas, yang mengkritik logika mendasar dari demokrasi. Dengan menyatakannya sebagai yang a priori atau prinsip tunggal dari kemerdekaan individu dan sosial, demokrasi senantiasa tampil sebagai sumber yang toleran dan pro pada kebaikan publik tanpa cacat sedikitpun.
Sementara itu, ungkapan “kuasa mayoritas” mengimplikasikan bahwa masyarakat atau rakyatlah yang memiliki kekuasaan, meski bukti yang ada selalu berkata sebaliknya. Secara logis, ketika “masyarakat” bukanlah elemen yang akan memengaruhi perubahan di dalam sistem, maka masyarakat tidak dapat mengubahnya. Secara hipotesa, demokrasi eksis karena masyarakat percaya akan keadilan dan kebebasan. Jika tidak demikian, maka itu bukanlah demokrasi. Oleh karena itu, masyarakat juga mempercayai hukum dan kebijakan yang berdasarkan atas prinsip demokrasi. Jika semua itu tidak berubah maka tidak ada orang yang akan tertindas. Cukup jelas bahwa cara berpikir seperti ini tidak akan membawa kita pada suatu masyarakat yang setara dan bebas.
Apologi para penganjur demokrasi dari berbagai jenis ketika sistem demokrasi tidak mampu mewujudkan cita-citanya, selalu mengatakan bahwa “masyarakat terlalu apatis, tidak sadar, atau terlalu bodoh.” Kalangan progresif ini akan berkata bahwa bila saja mereka dapat memobilisasi dan mendidik publik, maka segala sesuatu pasti akan berbeda. Dan pada akhirnya, kalangan progresif ini selalu berusaha berjuang untuk mereformasi sistem agar lebih demokratis. Misalnya, seruan untuk mengganti pemimpin, mengajak publik untuk melakukan negosiasi pada pemimpin dan pengusaha, serta, konsekuensinya, memberikan celah pada penguasa untuk memperbaiki citra mereka pada publik. Kelas penguasa selalu dapat bersantai selama masyarakat menyalahkan dirinya sendiri dengan berkata bahwa kita tidak cukup “partisipatif” dan bukan menyerang pada kekuasaan yang membuat masyarakat teralienasi.
Masyarakat mereproduksi demokrasi dengan bepartisipasi pada pemilu serta pada kepatuhan dalam kehidupan sehari-harinya. Bila Anda paham bahwa demokrasi tidak akan membiarkan diri Anda bertindak di luar parameter sempitnya dan Anda menerima kritik akan aturan mayoritas, maka bagi para anarkis pemilu hanya berguna untuk melestarikan dan melegitimasikan kekuataan negara. Dalam memilih, masyarakat mungkin bisa mengubah atau meniadakan salah seorang pemimpin dan suatu kebijakan, tapi sistemnya tetap tidak berubah. Untuk alasan itulah mengapa pemerintah dan pemodal menyokong demokrasi, karena mereka dapat dengan mudah merias wajah mereka di depan publik. Di Amerika Serikat, dengan digantinya George Bush, Jr. oleh Barack Obama, wajah negara adidaya tersebut berubah menjadi lebih demokratis, multirasial, dan lebih “baik”, meski tidak ada perubahan yang signifikan sejak Bush turun dari panggung kepresidenan.
Ketika masyarakat menerima pancingan pemerintah dengan berpartisipasi memilih, masyarakat telah menyerahkan setiap potensi dirinya untuk mengambil kontrol atas hidupnya sendiri. Pemilihan cenderung membuat orang-orang menjadi pasif, menyandarkan semuanya pada “kebijaksanaan” mayoritas daripada melalui aksi yang bersifat langsung. Divisi antara pimpinan dan pengikut tercipta ketika para pemilih duduk sebagai penonton atas pemerintah mereka, dan bukannya sebagai pelaku. Hampir setiap jenis sistem politik mengesampingkan aksi langsung, namun demokrasi mereproduksi dirinya sendiri dengan cara yang lebih subtil. Demokrasi pada kenyataannya merupakan sistem yang restriktif. Sementara itu di sisi lain, demokrasi juga punya wajah di mana ia seolah-olah menjagokan kebebasan. Retorika demokrasi semacam ini membuat karakter tiraniknya lebih terselubung.
Demokrasi Hanyalah Salah Satu Komponen Hidup Kita
Organisasi politik formal hanya menangani beberapa aspek dari kenyataan material. Demokrasi tidaklah sepenuhnya memengaruhi hak masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebagai contoh, kebebasan masyarakat yang dirasakan di jalanan di bawah pemerintahan demokratis tidaklah meluas ke tempat kerja. Melakukan aksi langsung dan kampanye-kampanye akar rumput bisa saja memperbaiki dan sedikit merubah kondisi kerja. Meski demikian, antara pekerja dan majikan, keduanya tidak berada dalam level yang setara. Satunya majikan, yang lainnya pekerja—pemilu tidak akan merubah divisi tersebut.
Demokrasi hanyalah satu bagian dari pengalaman kita. Bila dikawinkan dengan sistem ekonomi kapitalistik, maka kita akan menemui kesulitan lainnya. Di atas telah dijelaskan bagaimana demokrasi telah memediasi tindakan-tindakan individual, sama halnya bila para birokrat negara gagal dalam melaksanakan “iktikad baik” mereka. Pada kenyataannya, kelas kapitalislah yang mengontrol setiap proses demokrasi. Ironisnya, hal tersebut tetap disebut sebagai bagian dari proses demokrasi. Inilah yang membuat rancangan-rancangan “progresif” menjadi sulit. Dikarenakan biasanya rancangan semacam itu justru merugikan kelas kapitalis, dan akan memengaruhi sektor ekonomi. Hal semacam ini berulang kali terjadi di setiap negara-negara demokratis. Dalam kata-kata Jacques Camatte, “Para spesialis telah menjadi burung pemangsa, sementara para birokrat adalah penjilat yang menyedihkan.”
Demokrasi Langsung Bukanlah Anarki!
Sampai di sini kami telah menunjukkan bahwa mayoritarianisme dalam berbagai bentuknya mengindikasikan pembatasan terhadap kemerdekaan individual dan pencegahan akan setiap tindakan langsung. Untuk itu, bila kalian mendengar bahwa kaum anarkis menghasratkan demokrasi langsung, itu jelas merupakan sesuatu yang keliru.
Kaum anarkis percaya akan relasi yang tidak termediasi antara individu-individu yang bebas, absennya setiap kekuatan yang koersif maupun alienatif di dalam masyarakat, serta hak universal untuk menentukan nasib sendiri. Cukup masuk akal bila kaum anarkis menggunakan beberapa bentuk demokrasi langsung untuk menyelesaikan beberapa masalah dalam konteks tertentu. Tapi demokrasi langsung tetaplah sekadar sebuah “cara” yang digunakan. Ia bukanlah model baku atau formal dari pengorganisiran anarkis. Demokrasi langsung juga telah memperlihatkan bagaimana individu dapat tersubordinasi oleh hierarki kelompok. Demokrasi, pada kenyataannya, menghalangi individu atau masyarakat untuk melakukan tindakan langsung.
Kesimpulan
Demokrasi yang digemakan sebagai suatu hal ideal dan final dalam kehidupan masyarakat, seperti yang disebut oleh para pakar sebagai The End of Ideology atau The End of History, merupakan penghalang kebebasan dan aktualisasi diri dari masyarakat itu sendiri. Demokrasi mengalienasi masyarakat dari putusan-putusan langsung mengenai hidupnya sendiri.
Sebagaimana yang telah dibahas di atas mengenai bagaimana demokrasi justru menciptakan keterasingan, mereduksi ide-ide ke dalam opini-opini, pengambilan keputusan yang di luar konteks, kuasa mayoritasnya yang absurd, rentannya sistem tersebut dengan demagogi dan korupsi, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa relasi demokrasi dengan kebebasan sangatlah jauh. Ini bukanlah masalah bagaimana demokrasi itu seharusnya diimplementasikan, melainkan demokrasi itu sendiri niscaya akan selalu menjadi demikian: menghalangi kebebasan masyarakat dan menciptakan kondisi alienasi dalam kehidupan masyarakat. []
Selasa, 08 Desember 2009
MENJELANG INSUREKSI: “WACANA” DI BALIK TUDINGAN TERORISME ATAS TARNAC 9
Dalam kesenyapan baru-baru ini sejumlah teks telah menghantui negara Perancis. Teks-teks ini hadir antara tahun 1999 dan 2007 yang membongkar secara efektif setiap kritik-kritik politik yang dangkal. Dikemas di dalam dua isu jurnal bertitel Tiqqun—yang disebut-sebut sebagai Organ Sadar Partai Imajiner—merupakan lumbung ide yang sukar dicerna dan diterjemahkan, antara lain: Theory of Bloom, Theses on Imaginary Party, Man-Machine: Direction for Use, First Materials for a Theory of the Young Girl, Introduction to Civil War, The Cybernetic Hypothesis, Theses on the Terrible Community, This is Not a Program, dan How Is It to Be Done? Selanjutnya, sebuah pamplet anonimus berjudul Call muncul ke permukaan sebagai respon atas provokasi Tiqqun, yang menerjemahkannya secara lebih gamblang tentang ‘bagaimana harus melakukannya.’ Dan puncaknya pada 2007 hadir pamplet The Coming Insurrection (Menjelang Insureksi), beratasnamakan “Komite Bayangan” yang baru-baru ini diklaim oleh pemerintah Perancis sebagai sebuah “manual insureksi”. Dengan menggunakannya sebagai satu-satunya bukti, Menteri Dalam Negeri Perancis telah menuduh para penulisnya melakukan “konspirasi terorisme” terkait dengan sabotase-sabotase jalur kereta di Perancis baru-baru ini...
Mungkin, sebelum menyeret diri kita ke dalam thoughtcrime (kejahatan pikiran) semacam ini, ada baiknya untuk memeriksa teks-teks tersebut secara mendalam. Meski di satu sisi pemerintah Perancis bisa saja keliru menuding mereka sebagai teroris hanya karena teks-teks yang mereka hasilkan, namun mereka patut khawatir pada ide-ide yang dikomunikasikan oleh teks-teks tersebut. Bila disimpulkan secara singkat, apa yang mereka paparkan di sejumlah teks tersebut merupakan suatu keinginan untuk membubarkan apa yang disebut sebagai dunia corakren. Bila kalian termasuk sebagai orang-orang yang menginginkan sebuah dunia yang berbeda dari sekarang, dunia yang mana kita dapat bebas mengaktualisasi hasrat kita tanpa ada kekangan negara, kapitalis, atau “masyarakat, maka, teks-teks yang akan dibahas berikut bukanlah sesuatu yang patut kita khawatirkan. Teks-teks yang akan dibahas berikut adalah Introduction to Civil War, How Is It to Be Done, Call, dan The Coming Insurrection—yang diharapkan dapat membimbing saudara ke dalam pemahaman-pemahaman yang terkandung di dalamnya.
Introduction of Civil War memaparkan horison biopolitik di mana kehidupan corakren kita terletak. Horison ini dipahami sebagai suatu “perang-sipil” global antara setiap bentuk kehidupan. How Is It to Be Done? Secara puitik menandakan kebutuhan etis untuk menjadi anonimus, dengan menjauhkan diri dari segala klasifikasi politis. Untuk memahami ini secara menyeluruh, kita harus menyelam melalui arus yang tak terdeteksi dari PEMOGOKAN MANUSIA, bahwa bentuk-bentuk tindakan di mana ketidakberfungsian menjadi sinonim dengan kemungkinan. Di dalam tujuh proposisi, Call mengkritik aktivisme kontemporer sebagai tidak hanya tidak relevan tapi juga reaksioner. Ketika ini dipahami, maka desersi dari aktivisme dapat dimulai, di mana komunisme hidup dan penyebaran anarki mengkonstitusikan dua sisi dari struktur pemberontakan. The Coming Insurrection, setelah menggaris bawahi ketujuh lingkaran neraka di mana politik Perancis bernaung, membuka strategi perlawanan yang berpusat pada multiplikasi komune-komune. Komune yang dimaksud adalah kerja-kerja yang mengusahakan kemandirian bersama dan blokade, pembebasan, dan titik-titik konfrontasi yang akan menggenangi dan meretakkan metropolis. Apa alasan dari semua ini? Untuk dapat bertahan hidup dengan riang.
Ada dua momen di mana teks-teks ini saling berkaitan satu sama lain, dua kemungkinan aksi yang bertemu dan berkesinambungan yang diartikulasikan melalui perluasan zona yang disebut komune. Dua momen ini, meski secara empirik tidak dapat dibedakan, secara logis memiliki cirinya sendiri; mereka menandakan dua sisi dari pengkomunisasian. Yaitu, pada satu sisi, suatu dekomposisi subyektif hadir melalui SINGULARITAS APAPUN di dalam pemogokan manusia; dan di sisi satunya, suatu rekonstitusi kolektif melalui membentuk dan mengalami suatu konsistensi yang intens atas strategi-strategi seperti berbagi, memblokade, dan membebaskan teritori.
“Seperti halnya möbius strip, yang di dalam terlipat keluar ke pusat dari politik-tanpa-nama ini. Contohnya, untuk menjelaskan politik-politik dari singularitas apapun, tertulis, bahwa menjadi apapun lebih revolusioner ketimbang menjadi mahkluk apapun. Membebaskan ruang-ruang seratus kali lebih membebaskan dibanding “ruang-ruang bebas” manapun. Melebihi dari aktivitas melakukan tindakan, Aku menikmati sirkulasi dari potensi-potensiku. Politik-politik singularitas apapun terletak pada ofensif. (How?)”
Dalam tatanan imperium kontemporer, di mana hidup itu sendiri adalah obyek serta lahan bagi kekuasaan politis, kemampuan untuk menghindari penangkapan sama halnya dengan kemampuan melawan kekuasaan, yang mana kekuasaan tercangkok ke dalam arsitektur kontrol yang butuh sedikit identifikasi sebelum pada akhirnya menetralisasinya. “Sekarang ini, dipahami sama halnya dengan dikalahkan.” (How?) Menjadi anonimus dan tetap singular merupakan suatu tugas corakren perlawanan hari ini, suatu tugas yang ofensif namun juga defensif. Inilah dasar bentuk dari pemogokan manusia:
“Imperium berarti bahwa dalam segala hal momen politis mendominasi momen ekonomik. Suatu pemogokan umum tak berdaya melawan hal yang demikian. Apa yang menjadi lawan dari imperium adalah sebuah pemogokan manusia. Yang tidak hanya menyerang relasi produksi tapi juga simpul ikatan yang menopang mereka. Yang meruntuhkan gairah ekonomi yang memalukan dari imperium, membawa kembali elemen etis—tentang bagaimana—yang terbelenggu antara setiap tubuh-tubuh yang dinetralisir. (How?)”
Apa yang diciptakan oleh pemogokan manusia adalah kemungkinan akan dunia-dunia yang diperuntukkan untuk berbagi, dimana saling berkomunikasi tanpa paksaan hadir berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dunia untuk berbagi ini mengkonstitusikan komune-komune. “Komune adalah unit dasar kehidupan perlawanan. Gelora insureksi mungkin hanyalah multiplikasi dari komune-komune, artikulasi serta saling keberkaitan mereka.” (Insurrection)
Pada satu sisi komune terdapat suatu garis pembubaran-diri, sebuah proses di mana identitas-identitas seperti aktivis, squatter, environmentalis, dll, menjadi makna yang kosong. Ketimbang menerima kemenangan dari “liberalisme eksistensial” (Call) dan penekanannya pada pilihan individual, hak milik khusus, kontrak-kontrak sosial, dan manajemen benda-benda, kita seharusnya menciptakan dunia-dunia yang berasal dari keinginan dan gairah kita bersama. Bila kita hidup di sebuah dunia di mana politik hanyalah suatu konsumsi atas identitas-identitas perlawanan, cara mengalahkannya adalah dengan mengenyahkan semua identitas. Menjadikan diri kita tak terlihat di mata para pengelola imperium, yang artinya kita juga harus mengurangi pengamatan mereka terhadap kita. Dengan demikian,
“Pengalaman dari desubyektifikasiku sendiri. Aku menjadi singularitas apapun
Kehadiranku mulai membanjiri keseluruhan aparatus kualitas yang tadinya terasosiasikan dengan diriku. (How?)”
Menghindar dari “polisi imperial kualitas-kualitas,” pelepasan identifikasi ini membuka ruang baru di mana eksistensi singular yang nyata dapat hadir.
Segala sesuatu yang mengisolasikan diriku sebagai sebuah subyek, sebagai tubuh yang dilekati dengan atribut-atribut konfigurasi publik, aku merasa cair. Tubuh-tubuh tiba pada puncak jenuhnya. Pada puncaknya itu, ia menjadi tidak jelas. (How?)
Eksistensi semacam ini, meski anonimus, tapi hadir secara materil. Inilah yang dinamakan sebagai BENTUK KEHIDUPAN. “Keterpaduan elementer manusia bukanlah tubuh—individual—tapi bentuk kehidupan” (War). Dengan mengekspresikan kehidupan yang bagaimana dan bukan yang apa, pengaruh ini menciptakan tubuh-tubuh individual yang saling melintang, entah bergabung dengan yang sesuai (persahabatan) atau melawan yang tidak sesuai (permusuhan). Permainan bebas antar bentuk kehidupan ini dinamakan perang sipil. “Oleh karena itu, perang sipil, karena tidak tertarik dengan separasi antara perempuan dan pria, eksistensi politis dan hidup yang biasa, sipil dan militer; karena menjadi netral berarti membuat sisi di dalam permainan bebas dari bentuk kehidupan; karena permainan antara setiap bentuk kehidupan ini tak ada akhir ataupun awal yang dapat dideklarasikan, satu-satunya akhir dari permainan ini adalah akhir fisik dari dunia yang tak ada seorangpun yang berani mendeklarasikannya. (War). Perang sipil dunia merupakan generalisasi situasi yang demikian di seluruh planet. Dalam situasi ini, musuh bukanlah sesuatu yang kita tolak, namun kalangan yang harus kita musuhi.
Bila bentuk kehidupan kita adalah bagian dari kelompok-kelompok dalam perang sipil dunia, lalu bagaimana mereka harus berkomunikasi tanpa harus menjadi identitas, tanpa harus meniru bentuk negara? Di sinilah terletak pentingnya apa yang disebut partai imajiner dan komite bayangan. Dalam pencairan kolektif untuk kualitas-kualitas seseorang, ZONA-ZONA BURAM hadir tanpa predikat-predikat, yang secara efektif menghadirkan apa yang disebut BERSAMA. Menyumbang ketidakberfungsian seseorang ke yang lain—yaitu, ikutserta dalam pemogokan manusia—menghadirkan komunikasi antartubuh tanpa memiliki nama-nama.
Aku harus menjadi anonimus agar aku dapat hadir. Semakin aku anonimus, semakin aku terlihat. Aku butuh zona-zona yang tak jelas untuk menggapai apa yang disebut BERSAMA. Untuk tidak lagi mengenali diriku dengan namaku. Untuk tidak lagi mendengar apapun atas namaku selain apa yang memanggilnya. Untuk memberi hakikat pada bagaimananya kemenjadian, dan bukan pada apa mereka itu, tapi pada bagaimana mereka menjadi seperti itu: bentuk kehidupan mereka. Aku butuh zona-zona buram di mana atribut kriminal atau brilian sekalipun tidak lagi memisahkan tubuh-tubuh.” (How)
Dalam kata lain, “pembentukan strategi secara kolektif adalah satu-satunya cara untuk jatuh kembali ke dalam identitas.” (Call) Di zona-zona tak dikenal ini, yang lahir dari pemogokan manusia, ada kemungkinan bahwa strategi semacam itu dapat hadir. Dengan membuka proses biopolitik desubyektifikasi pada satu sisi komune, kita menemukan diri kita suatu resubyektifikasi insurgen di sisi lainnya. Dengan demikian kita bergerak, dalam suatu pemilinan kemenjadian, melalui logika pemogokan manusia menuju strategi komunisasi.
“Dengan demikian strategi kita adalah sebagai berikut,” tutur Call, “untuk segera membuat suatu seri desersi, pemisahan kutub-kutub, tempat-tempat bertemu. Bagi mereka para pelarian. Bagi mereka yang meninggalkan. Suatu tempat berlindung dari kontrol sebuah peradaban yang melangkah menuju jurang” (Call). Desersi semacam ini tidak diberikan atau diciptakan; mereka terbangun dari dan melalui apa yang telah hadir. Mereka adalah mutasi-mutasi topologis dari bentuk-bentuk yang telah dihadirkan kepada kita, pengalaman semacam itu tidak mempunyai nama bagi corak-corak relasi kita dengan mereka, kecuali melalui hubungan antara berbagi dan kebutuhan. “Komunisme dimulai dari pengalaman berbagi. Dan pertama, melalui saling berbagi kebutuhan kita.” Disini “kebutuhan” tertuju pada “hubungan yang mana mahluk tertentu yang bernalar memberi makna pada elemen ini dan itu dari dunianya. (Call) Melalui pandangan ini, komunisme adalah kata lain dari “membagi-bagikan nalar,” praktik mengkoordinasikan dunia-dunia makna melintasi jurang dari hidup yang kosong.
Merekonstitusikan dunia-dunia berbagi pengalaman “hanya dapat dilakukan dengan bentuk suatu koleksi tindakan komunisasi, dengan membangun ruang berbagi ini dan itu, mesin ini dan itu, pengetahuan ini dan itu. Dengan kata lain, elaborasi dari cara berbagi yang melekat di mereka” (Call). Berbagi di sini bukanlah tindakan berbagi antar individual secara serampangan, melainkan suatu cara bertahan hidup antara tubuh-tubuh dan ruang-ruang dalam suatu seri yang konsisten dari kejadian-kejadian yang saling berkaitan. Mengkomunisasikan ruang, pengetahuan atau obyek tidaklah merubah relasi produksi, tapi menghapuskan relasi tersebut, membuat mereka secara struktur tak bermakna, tidak dapat dideterminasikan. “Mengkomunisasikan suatu tempat bermakna; membuatnya bebas digunakan, dan dalam basis pembebasan ini bereksperimen dengan relasi yang tersaring, intens, dan rumit.” (Call)
Mengkomunisasikan tanpa menganarkisasi itu sia-sia, karena seseorang harus membuat suatu ancaman bila ingin komunisme menjadi lebih dari suatu skandal yang terisolir. Logika anarki yang terkandung di sini adalah tugas untuk menyebabkan kebingungan tak terduga dan kerusakan pada musuh, yang secara berkesinambungan memperluas kekuatan swaorganisasi seseorang dengan kawan-kawannya. Tiga catatan untuk melakukan hal ini tersisih di dalam The Insurrection to Come. Pertama, hembuskan api dari setiap krisis. Kenapa? Karena “interupsi atas alur komoditas, penundaan normalitas dan kontrol polisi melepaskan suatu potensi swaorganisasi yang tak terduga dari keadaan-keadaan normal. Kedua, bebaskan teritori dari pendudukan polisi; jauhi konfrontasi langsung sebisa mungkin. Telanjangi polisi sebagaimana rupa mereka: parasit tak tahu malu yang mengambil keuntungan dari rasa takut masyarakat. Jangan mengglorifikasikan konfrontasi polisi, melainkan konfrontasikan pemberhalaan atas polisi. Dan akhirnya, BLOKADE SEMUANYA. Di sebuah “dunia yang mana kekuasaan adalah organisasinya sendiri di dalam metropolis,” ketika hidup ditunda agar kapital dapat bebas, setiap dan segala interupsi mempunyai kemungkinan untuk membuka kehidupan kembali. Namun blokade hanya dapat bergerak sejauh kapasitas para insurgen untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk berkomunikasi, sejauh keefektivan swaorganisasi dari komune-komune yang berbeda” (Insurrection). Dalam kata lain, blokade-blokade harus mengkontribusikan mutilasi ekstensif dari bentuk metropolitan serta sirkulasi intesif pengetahuan, pengaruh yang terus bergerak. Mungkin, bila seseorang menjaga kedisiplinan, bertaruh atas keseluruhan eksistensi mereka, maka mungkin saja tergapai suatu gol yang belum pernah tercapai dari setiap insureksi: dimana tidak ada lagi titik kembali. (Insurrection)
Poskrip
Sejak Desember lalu, gema Yunani dan rangkaian aksi sabotase di Perancis, telah membuat Menteri Dalam Negeri Perancis mengeluarkan pernyataan akan bahaya “terorisme anarkis internasional.” Sejak berbagai protes summit yang berakhir dengan eskalasi kekerasan terhadap otoritas di Eropa, kerusuhan-kerusuhan di Perancis, dan berbagai aksi sabotase dan perusakkan properti, wajar bila penguasa-penguasa Eropa menjadi takut. Kami tidak sedang berkata bahwa rangkaian serangan terhadap kekuasaan tersebut memiliki identitas yang sama, meski karakteristik dari berbagai pemberontakan anti-sistemik ini jelas banyak memiliki kesamaan: kejengahan atas kontrol, politik mediasi, dan bentuknya yang cenderung anonimus dan ‘tak-teridentifikasi’. Kendati demikian, di Eropa secara garis besar berbagai peraturan perbatasan serta undang-undang anti-anarkis telah mulai diimplementasikan untuk mengekang gairah-gairah kaum barbarian baru ini mendapatkan simpati yang lebih luas. Identifikasi pun telah dilancarkan secara serampangan untuk mencoba mengukur kapasitas dan mengontrol ‘api insureksional’ untuk menyebar. Kasus Tarnac 9 adalah sekian contoh dari tindakan-tindakan pencegahan tersebut. Dengan menangkap ‘sekumpulan pimpinan’ gerakan atau memberinya identitas “anarcho-autonomous” dan memanipulasi opini publik dengan menyamakan aktivitas sabotase sebagai terorisme, jelas dapat tercium rasa takut yang hebat dari pemerintah Perancis. Kendatipun, mereka tetap kebingungan ketika aktivitas sabotase sama sekali tak terhenti ketika para “pimpinan” tertangkap. Inilah salah satu karakter rizoma anti-kontrol yang sepatutnya dipahami. Ketika “pusat-pusat” telah dihancurkan, “pinggiran-pinggiran” akan membuat “pusatnya” masing-masing.
Mungkin saja, bila membandingkan praksis dan teori anarki-insureksioner, apa yang diwacanakan dan dipraktikan oleh penggiat Tiqqun sama sekali bukan sesuatu yang baru. Menciptakan ruang bersama, membebaskan ruang-ruang—multiplikasi komune—seraya menyerang titik-titik akut metropolis, melumpuhkannya, jelas telah menjadi karakteristik gerak kaum anarkis Eropa yang berpegang pada metodologi insureksioner. Sampai disini, kami para editor bukanlah kaum penggila kerusuhan serta ekstrimisme-ekstrimisme gaya baru, melainkan—seperti yang telah ditorehkan di atas—pemberontakan yang sejati bagi kami adalah yang dapat memangkas setiap rekuperasi, kooptasi, dan pengembalian pada normalitas—yang mana kami lihat mendapatkan banyak karakteristiknya di dalam teori dan praksis insureksioner: suatu cara untuk menyingkap abstraksi-abstraksi palsu dengan memosisikan diri dan musuh dalam garis batas yang tidak tanggung-tanggung.
Tapi, bagaimana dengan di Indonesia? Di suatu wilayah di mana kata anarkis hanya sebatas wacana mengambang, senantiasa terperangkap di dalam metodologi kiri dan marxisme setengah hati yang libertarian? Dapatkah kita menemukan konteks perjuangan yang sama, apalagi keberanian yang sama? Bila dicermati dari wacana di atas, perang sipil yang dimaksud jelas tidak terisolasi pada Eropa atau bahkan Perancis saja, perang sipil antara bentuk kehidupan terjadi setiap harinya dimana-mana. Perang sipil tersebut bergerak dalam lingkup imperium yang berdiri seolah-olah sebagai bentuk kehidupan yang tunggal yang mendominasi dunia. Kedudukan kita tidaklah jauh berbeda dengan mereka. Perbedaan kondisi materil dan historis justru menjadi celah kemungkinan yang besar, di mana kita harus menemukan ritme perjuangan kita sendiri. Perang sipil ini jelas bukanlah suatu impian akan menggerakan massa sebesar-besarnya, melainkan suatu pencarian akan gairah BERSAMA untuk mengkonstitusikan apa yang disebut BENTUK KEHIDUPAN yang serta-merta akan mengkonfrontasikannya dengan bentuk kehidupan yang lain.
Kondisi historis dan materil di Yunani ataupun Perancis jelas berbeda drastis dengan Indonesia atau di tempat-tempat lain, semua orang tahu itu. Tapi justru di situlah titik krusialnya. Suatu gerakan revolusioner tidak tersebar melalui kontaminasi, tapi dengan resonansi. Sesuatu yang mengkonsitusikan dirinya di sini menggema dengan gelombang kejutan yang dipancarkan oleh sesuatu yang terkonstitusi di sana. Tubuh menggema bersama tindakan menurut coraknya sendiri. Suatu insureksi bukanlah perluasan suatu wabah atau kebakaran hutan, suatu proses yang linear yang timbul oleh pemicu awal. Melainkan, suatu insureksi adalah sesuatu yang mengambil bentuk seperti musik, di mana sumber api--meski tersebar dalam ruang dan waktu--mengelola getar ritmenya sendiri. Untuk senantiasa menjadi tebal. Hingga ke titik di mana pengembalian kepada normalitas tidak lagi diinginkan atau bahkan diimpikan.
Bila gema Yunani dapat merangsang anarkis di tempat lain untuk menjadi lebih radikal dalam praksisnya dengan ritme yang berbeda, maka tidak menutup kemungkinan bagi metodologi insureksional untuk menyebar dengan bentuk-bentuknya sendiri ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk terburu-buru berpikir tentang kegagalan karena suatu alasan estetis atau “sistematis”, merupakan kefatalan. Dalam sejarah, insureksi manapun telah menemui kegagalan, dan dalam konteks tertentu juga telah mencapai kemenangannya sendiri. Memang cukup baik untuk bisa menyusun strategi ke depan serta mempunyai pemikiran yang sistematis akan suatu rancangan perjuangan. Meski demikian, rancangan terbaik pun akan ditantang kebenarannya di ranah praksis, oleh karena itu kegagalan bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Apa yang justru patut kita khawatirkan adalah panoptikon dan polisi di dalam kepala kita sendiri, yang mana kita sering tidak sadar bahwa kita masih berpikir dalam konteks yang diberikan kekuasaan pada kita. Banyak yang harus dipelajari, banyak yang harus didebatkan, tapi gairah untuk bebas tak dapat menunggu. “PERANG SIPIL” dari “BENTUK-KEHIDUPAN” harus menyebar.
“Bagi siapapun dan dimanapun kalian, bertempurlah dan jangan menyerah. Bagi mereka yang tidak tercekik dalam kemarahan, dan memberi keriangan pada garis ofensif mereka. Bagi kawan-kawan kami, anak-anak kami, saudara-saudari kami, dan komite pendukung. Janganlah takut, jangan menyesal. Kami bukanlah pahlawan, kami bukan martir. Karena skandal ini tidak punya basis legal sama sekali maka kita perlu membawa perang ke dalam relung perpolitikan. Tingkatan penyerangan yang semakin meningkat terhadap kami oleh kekuasaan politik yang absurd memanggil sebuah praktik umum kolektif untuk membela diri dimanapun dibutuhkan.
Tak ada sembilan orang yang harus diselamatkan. Tapi ada rejim yang harus diruntuhkan.”
--Aria, Benjamin, Bertrand, Elsa, Gabrielle, Manon, Matthieu, Yldune are, Julien Coupat TARNAC 9
Mungkin, sebelum menyeret diri kita ke dalam thoughtcrime (kejahatan pikiran) semacam ini, ada baiknya untuk memeriksa teks-teks tersebut secara mendalam. Meski di satu sisi pemerintah Perancis bisa saja keliru menuding mereka sebagai teroris hanya karena teks-teks yang mereka hasilkan, namun mereka patut khawatir pada ide-ide yang dikomunikasikan oleh teks-teks tersebut. Bila disimpulkan secara singkat, apa yang mereka paparkan di sejumlah teks tersebut merupakan suatu keinginan untuk membubarkan apa yang disebut sebagai dunia corakren. Bila kalian termasuk sebagai orang-orang yang menginginkan sebuah dunia yang berbeda dari sekarang, dunia yang mana kita dapat bebas mengaktualisasi hasrat kita tanpa ada kekangan negara, kapitalis, atau “masyarakat, maka, teks-teks yang akan dibahas berikut bukanlah sesuatu yang patut kita khawatirkan. Teks-teks yang akan dibahas berikut adalah Introduction to Civil War, How Is It to Be Done, Call, dan The Coming Insurrection—yang diharapkan dapat membimbing saudara ke dalam pemahaman-pemahaman yang terkandung di dalamnya.
Introduction of Civil War memaparkan horison biopolitik di mana kehidupan corakren kita terletak. Horison ini dipahami sebagai suatu “perang-sipil” global antara setiap bentuk kehidupan. How Is It to Be Done? Secara puitik menandakan kebutuhan etis untuk menjadi anonimus, dengan menjauhkan diri dari segala klasifikasi politis. Untuk memahami ini secara menyeluruh, kita harus menyelam melalui arus yang tak terdeteksi dari PEMOGOKAN MANUSIA, bahwa bentuk-bentuk tindakan di mana ketidakberfungsian menjadi sinonim dengan kemungkinan. Di dalam tujuh proposisi, Call mengkritik aktivisme kontemporer sebagai tidak hanya tidak relevan tapi juga reaksioner. Ketika ini dipahami, maka desersi dari aktivisme dapat dimulai, di mana komunisme hidup dan penyebaran anarki mengkonstitusikan dua sisi dari struktur pemberontakan. The Coming Insurrection, setelah menggaris bawahi ketujuh lingkaran neraka di mana politik Perancis bernaung, membuka strategi perlawanan yang berpusat pada multiplikasi komune-komune. Komune yang dimaksud adalah kerja-kerja yang mengusahakan kemandirian bersama dan blokade, pembebasan, dan titik-titik konfrontasi yang akan menggenangi dan meretakkan metropolis. Apa alasan dari semua ini? Untuk dapat bertahan hidup dengan riang.
Ada dua momen di mana teks-teks ini saling berkaitan satu sama lain, dua kemungkinan aksi yang bertemu dan berkesinambungan yang diartikulasikan melalui perluasan zona yang disebut komune. Dua momen ini, meski secara empirik tidak dapat dibedakan, secara logis memiliki cirinya sendiri; mereka menandakan dua sisi dari pengkomunisasian. Yaitu, pada satu sisi, suatu dekomposisi subyektif hadir melalui SINGULARITAS APAPUN di dalam pemogokan manusia; dan di sisi satunya, suatu rekonstitusi kolektif melalui membentuk dan mengalami suatu konsistensi yang intens atas strategi-strategi seperti berbagi, memblokade, dan membebaskan teritori.
“Seperti halnya möbius strip, yang di dalam terlipat keluar ke pusat dari politik-tanpa-nama ini. Contohnya, untuk menjelaskan politik-politik dari singularitas apapun, tertulis, bahwa menjadi apapun lebih revolusioner ketimbang menjadi mahkluk apapun. Membebaskan ruang-ruang seratus kali lebih membebaskan dibanding “ruang-ruang bebas” manapun. Melebihi dari aktivitas melakukan tindakan, Aku menikmati sirkulasi dari potensi-potensiku. Politik-politik singularitas apapun terletak pada ofensif. (How?)”
Dalam tatanan imperium kontemporer, di mana hidup itu sendiri adalah obyek serta lahan bagi kekuasaan politis, kemampuan untuk menghindari penangkapan sama halnya dengan kemampuan melawan kekuasaan, yang mana kekuasaan tercangkok ke dalam arsitektur kontrol yang butuh sedikit identifikasi sebelum pada akhirnya menetralisasinya. “Sekarang ini, dipahami sama halnya dengan dikalahkan.” (How?) Menjadi anonimus dan tetap singular merupakan suatu tugas corakren perlawanan hari ini, suatu tugas yang ofensif namun juga defensif. Inilah dasar bentuk dari pemogokan manusia:
“Imperium berarti bahwa dalam segala hal momen politis mendominasi momen ekonomik. Suatu pemogokan umum tak berdaya melawan hal yang demikian. Apa yang menjadi lawan dari imperium adalah sebuah pemogokan manusia. Yang tidak hanya menyerang relasi produksi tapi juga simpul ikatan yang menopang mereka. Yang meruntuhkan gairah ekonomi yang memalukan dari imperium, membawa kembali elemen etis—tentang bagaimana—yang terbelenggu antara setiap tubuh-tubuh yang dinetralisir. (How?)”
Apa yang diciptakan oleh pemogokan manusia adalah kemungkinan akan dunia-dunia yang diperuntukkan untuk berbagi, dimana saling berkomunikasi tanpa paksaan hadir berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dunia untuk berbagi ini mengkonstitusikan komune-komune. “Komune adalah unit dasar kehidupan perlawanan. Gelora insureksi mungkin hanyalah multiplikasi dari komune-komune, artikulasi serta saling keberkaitan mereka.” (Insurrection)
Pada satu sisi komune terdapat suatu garis pembubaran-diri, sebuah proses di mana identitas-identitas seperti aktivis, squatter, environmentalis, dll, menjadi makna yang kosong. Ketimbang menerima kemenangan dari “liberalisme eksistensial” (Call) dan penekanannya pada pilihan individual, hak milik khusus, kontrak-kontrak sosial, dan manajemen benda-benda, kita seharusnya menciptakan dunia-dunia yang berasal dari keinginan dan gairah kita bersama. Bila kita hidup di sebuah dunia di mana politik hanyalah suatu konsumsi atas identitas-identitas perlawanan, cara mengalahkannya adalah dengan mengenyahkan semua identitas. Menjadikan diri kita tak terlihat di mata para pengelola imperium, yang artinya kita juga harus mengurangi pengamatan mereka terhadap kita. Dengan demikian,
“Pengalaman dari desubyektifikasiku sendiri. Aku menjadi singularitas apapun
Kehadiranku mulai membanjiri keseluruhan aparatus kualitas yang tadinya terasosiasikan dengan diriku. (How?)”
Menghindar dari “polisi imperial kualitas-kualitas,” pelepasan identifikasi ini membuka ruang baru di mana eksistensi singular yang nyata dapat hadir.
Segala sesuatu yang mengisolasikan diriku sebagai sebuah subyek, sebagai tubuh yang dilekati dengan atribut-atribut konfigurasi publik, aku merasa cair. Tubuh-tubuh tiba pada puncak jenuhnya. Pada puncaknya itu, ia menjadi tidak jelas. (How?)
Eksistensi semacam ini, meski anonimus, tapi hadir secara materil. Inilah yang dinamakan sebagai BENTUK KEHIDUPAN. “Keterpaduan elementer manusia bukanlah tubuh—individual—tapi bentuk kehidupan” (War). Dengan mengekspresikan kehidupan yang bagaimana dan bukan yang apa, pengaruh ini menciptakan tubuh-tubuh individual yang saling melintang, entah bergabung dengan yang sesuai (persahabatan) atau melawan yang tidak sesuai (permusuhan). Permainan bebas antar bentuk kehidupan ini dinamakan perang sipil. “Oleh karena itu, perang sipil, karena tidak tertarik dengan separasi antara perempuan dan pria, eksistensi politis dan hidup yang biasa, sipil dan militer; karena menjadi netral berarti membuat sisi di dalam permainan bebas dari bentuk kehidupan; karena permainan antara setiap bentuk kehidupan ini tak ada akhir ataupun awal yang dapat dideklarasikan, satu-satunya akhir dari permainan ini adalah akhir fisik dari dunia yang tak ada seorangpun yang berani mendeklarasikannya. (War). Perang sipil dunia merupakan generalisasi situasi yang demikian di seluruh planet. Dalam situasi ini, musuh bukanlah sesuatu yang kita tolak, namun kalangan yang harus kita musuhi.
Bila bentuk kehidupan kita adalah bagian dari kelompok-kelompok dalam perang sipil dunia, lalu bagaimana mereka harus berkomunikasi tanpa harus menjadi identitas, tanpa harus meniru bentuk negara? Di sinilah terletak pentingnya apa yang disebut partai imajiner dan komite bayangan. Dalam pencairan kolektif untuk kualitas-kualitas seseorang, ZONA-ZONA BURAM hadir tanpa predikat-predikat, yang secara efektif menghadirkan apa yang disebut BERSAMA. Menyumbang ketidakberfungsian seseorang ke yang lain—yaitu, ikutserta dalam pemogokan manusia—menghadirkan komunikasi antartubuh tanpa memiliki nama-nama.
Aku harus menjadi anonimus agar aku dapat hadir. Semakin aku anonimus, semakin aku terlihat. Aku butuh zona-zona yang tak jelas untuk menggapai apa yang disebut BERSAMA. Untuk tidak lagi mengenali diriku dengan namaku. Untuk tidak lagi mendengar apapun atas namaku selain apa yang memanggilnya. Untuk memberi hakikat pada bagaimananya kemenjadian, dan bukan pada apa mereka itu, tapi pada bagaimana mereka menjadi seperti itu: bentuk kehidupan mereka. Aku butuh zona-zona buram di mana atribut kriminal atau brilian sekalipun tidak lagi memisahkan tubuh-tubuh.” (How)
Dalam kata lain, “pembentukan strategi secara kolektif adalah satu-satunya cara untuk jatuh kembali ke dalam identitas.” (Call) Di zona-zona tak dikenal ini, yang lahir dari pemogokan manusia, ada kemungkinan bahwa strategi semacam itu dapat hadir. Dengan membuka proses biopolitik desubyektifikasi pada satu sisi komune, kita menemukan diri kita suatu resubyektifikasi insurgen di sisi lainnya. Dengan demikian kita bergerak, dalam suatu pemilinan kemenjadian, melalui logika pemogokan manusia menuju strategi komunisasi.
“Dengan demikian strategi kita adalah sebagai berikut,” tutur Call, “untuk segera membuat suatu seri desersi, pemisahan kutub-kutub, tempat-tempat bertemu. Bagi mereka para pelarian. Bagi mereka yang meninggalkan. Suatu tempat berlindung dari kontrol sebuah peradaban yang melangkah menuju jurang” (Call). Desersi semacam ini tidak diberikan atau diciptakan; mereka terbangun dari dan melalui apa yang telah hadir. Mereka adalah mutasi-mutasi topologis dari bentuk-bentuk yang telah dihadirkan kepada kita, pengalaman semacam itu tidak mempunyai nama bagi corak-corak relasi kita dengan mereka, kecuali melalui hubungan antara berbagi dan kebutuhan. “Komunisme dimulai dari pengalaman berbagi. Dan pertama, melalui saling berbagi kebutuhan kita.” Disini “kebutuhan” tertuju pada “hubungan yang mana mahluk tertentu yang bernalar memberi makna pada elemen ini dan itu dari dunianya. (Call) Melalui pandangan ini, komunisme adalah kata lain dari “membagi-bagikan nalar,” praktik mengkoordinasikan dunia-dunia makna melintasi jurang dari hidup yang kosong.
Merekonstitusikan dunia-dunia berbagi pengalaman “hanya dapat dilakukan dengan bentuk suatu koleksi tindakan komunisasi, dengan membangun ruang berbagi ini dan itu, mesin ini dan itu, pengetahuan ini dan itu. Dengan kata lain, elaborasi dari cara berbagi yang melekat di mereka” (Call). Berbagi di sini bukanlah tindakan berbagi antar individual secara serampangan, melainkan suatu cara bertahan hidup antara tubuh-tubuh dan ruang-ruang dalam suatu seri yang konsisten dari kejadian-kejadian yang saling berkaitan. Mengkomunisasikan ruang, pengetahuan atau obyek tidaklah merubah relasi produksi, tapi menghapuskan relasi tersebut, membuat mereka secara struktur tak bermakna, tidak dapat dideterminasikan. “Mengkomunisasikan suatu tempat bermakna; membuatnya bebas digunakan, dan dalam basis pembebasan ini bereksperimen dengan relasi yang tersaring, intens, dan rumit.” (Call)
Mengkomunisasikan tanpa menganarkisasi itu sia-sia, karena seseorang harus membuat suatu ancaman bila ingin komunisme menjadi lebih dari suatu skandal yang terisolir. Logika anarki yang terkandung di sini adalah tugas untuk menyebabkan kebingungan tak terduga dan kerusakan pada musuh, yang secara berkesinambungan memperluas kekuatan swaorganisasi seseorang dengan kawan-kawannya. Tiga catatan untuk melakukan hal ini tersisih di dalam The Insurrection to Come. Pertama, hembuskan api dari setiap krisis. Kenapa? Karena “interupsi atas alur komoditas, penundaan normalitas dan kontrol polisi melepaskan suatu potensi swaorganisasi yang tak terduga dari keadaan-keadaan normal. Kedua, bebaskan teritori dari pendudukan polisi; jauhi konfrontasi langsung sebisa mungkin. Telanjangi polisi sebagaimana rupa mereka: parasit tak tahu malu yang mengambil keuntungan dari rasa takut masyarakat. Jangan mengglorifikasikan konfrontasi polisi, melainkan konfrontasikan pemberhalaan atas polisi. Dan akhirnya, BLOKADE SEMUANYA. Di sebuah “dunia yang mana kekuasaan adalah organisasinya sendiri di dalam metropolis,” ketika hidup ditunda agar kapital dapat bebas, setiap dan segala interupsi mempunyai kemungkinan untuk membuka kehidupan kembali. Namun blokade hanya dapat bergerak sejauh kapasitas para insurgen untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk berkomunikasi, sejauh keefektivan swaorganisasi dari komune-komune yang berbeda” (Insurrection). Dalam kata lain, blokade-blokade harus mengkontribusikan mutilasi ekstensif dari bentuk metropolitan serta sirkulasi intesif pengetahuan, pengaruh yang terus bergerak. Mungkin, bila seseorang menjaga kedisiplinan, bertaruh atas keseluruhan eksistensi mereka, maka mungkin saja tergapai suatu gol yang belum pernah tercapai dari setiap insureksi: dimana tidak ada lagi titik kembali. (Insurrection)
Poskrip
Sejak Desember lalu, gema Yunani dan rangkaian aksi sabotase di Perancis, telah membuat Menteri Dalam Negeri Perancis mengeluarkan pernyataan akan bahaya “terorisme anarkis internasional.” Sejak berbagai protes summit yang berakhir dengan eskalasi kekerasan terhadap otoritas di Eropa, kerusuhan-kerusuhan di Perancis, dan berbagai aksi sabotase dan perusakkan properti, wajar bila penguasa-penguasa Eropa menjadi takut. Kami tidak sedang berkata bahwa rangkaian serangan terhadap kekuasaan tersebut memiliki identitas yang sama, meski karakteristik dari berbagai pemberontakan anti-sistemik ini jelas banyak memiliki kesamaan: kejengahan atas kontrol, politik mediasi, dan bentuknya yang cenderung anonimus dan ‘tak-teridentifikasi’. Kendati demikian, di Eropa secara garis besar berbagai peraturan perbatasan serta undang-undang anti-anarkis telah mulai diimplementasikan untuk mengekang gairah-gairah kaum barbarian baru ini mendapatkan simpati yang lebih luas. Identifikasi pun telah dilancarkan secara serampangan untuk mencoba mengukur kapasitas dan mengontrol ‘api insureksional’ untuk menyebar. Kasus Tarnac 9 adalah sekian contoh dari tindakan-tindakan pencegahan tersebut. Dengan menangkap ‘sekumpulan pimpinan’ gerakan atau memberinya identitas “anarcho-autonomous” dan memanipulasi opini publik dengan menyamakan aktivitas sabotase sebagai terorisme, jelas dapat tercium rasa takut yang hebat dari pemerintah Perancis. Kendatipun, mereka tetap kebingungan ketika aktivitas sabotase sama sekali tak terhenti ketika para “pimpinan” tertangkap. Inilah salah satu karakter rizoma anti-kontrol yang sepatutnya dipahami. Ketika “pusat-pusat” telah dihancurkan, “pinggiran-pinggiran” akan membuat “pusatnya” masing-masing.
Mungkin saja, bila membandingkan praksis dan teori anarki-insureksioner, apa yang diwacanakan dan dipraktikan oleh penggiat Tiqqun sama sekali bukan sesuatu yang baru. Menciptakan ruang bersama, membebaskan ruang-ruang—multiplikasi komune—seraya menyerang titik-titik akut metropolis, melumpuhkannya, jelas telah menjadi karakteristik gerak kaum anarkis Eropa yang berpegang pada metodologi insureksioner. Sampai disini, kami para editor bukanlah kaum penggila kerusuhan serta ekstrimisme-ekstrimisme gaya baru, melainkan—seperti yang telah ditorehkan di atas—pemberontakan yang sejati bagi kami adalah yang dapat memangkas setiap rekuperasi, kooptasi, dan pengembalian pada normalitas—yang mana kami lihat mendapatkan banyak karakteristiknya di dalam teori dan praksis insureksioner: suatu cara untuk menyingkap abstraksi-abstraksi palsu dengan memosisikan diri dan musuh dalam garis batas yang tidak tanggung-tanggung.
Tapi, bagaimana dengan di Indonesia? Di suatu wilayah di mana kata anarkis hanya sebatas wacana mengambang, senantiasa terperangkap di dalam metodologi kiri dan marxisme setengah hati yang libertarian? Dapatkah kita menemukan konteks perjuangan yang sama, apalagi keberanian yang sama? Bila dicermati dari wacana di atas, perang sipil yang dimaksud jelas tidak terisolasi pada Eropa atau bahkan Perancis saja, perang sipil antara bentuk kehidupan terjadi setiap harinya dimana-mana. Perang sipil tersebut bergerak dalam lingkup imperium yang berdiri seolah-olah sebagai bentuk kehidupan yang tunggal yang mendominasi dunia. Kedudukan kita tidaklah jauh berbeda dengan mereka. Perbedaan kondisi materil dan historis justru menjadi celah kemungkinan yang besar, di mana kita harus menemukan ritme perjuangan kita sendiri. Perang sipil ini jelas bukanlah suatu impian akan menggerakan massa sebesar-besarnya, melainkan suatu pencarian akan gairah BERSAMA untuk mengkonstitusikan apa yang disebut BENTUK KEHIDUPAN yang serta-merta akan mengkonfrontasikannya dengan bentuk kehidupan yang lain.
Kondisi historis dan materil di Yunani ataupun Perancis jelas berbeda drastis dengan Indonesia atau di tempat-tempat lain, semua orang tahu itu. Tapi justru di situlah titik krusialnya. Suatu gerakan revolusioner tidak tersebar melalui kontaminasi, tapi dengan resonansi. Sesuatu yang mengkonsitusikan dirinya di sini menggema dengan gelombang kejutan yang dipancarkan oleh sesuatu yang terkonstitusi di sana. Tubuh menggema bersama tindakan menurut coraknya sendiri. Suatu insureksi bukanlah perluasan suatu wabah atau kebakaran hutan, suatu proses yang linear yang timbul oleh pemicu awal. Melainkan, suatu insureksi adalah sesuatu yang mengambil bentuk seperti musik, di mana sumber api--meski tersebar dalam ruang dan waktu--mengelola getar ritmenya sendiri. Untuk senantiasa menjadi tebal. Hingga ke titik di mana pengembalian kepada normalitas tidak lagi diinginkan atau bahkan diimpikan.
Bila gema Yunani dapat merangsang anarkis di tempat lain untuk menjadi lebih radikal dalam praksisnya dengan ritme yang berbeda, maka tidak menutup kemungkinan bagi metodologi insureksional untuk menyebar dengan bentuk-bentuknya sendiri ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk terburu-buru berpikir tentang kegagalan karena suatu alasan estetis atau “sistematis”, merupakan kefatalan. Dalam sejarah, insureksi manapun telah menemui kegagalan, dan dalam konteks tertentu juga telah mencapai kemenangannya sendiri. Memang cukup baik untuk bisa menyusun strategi ke depan serta mempunyai pemikiran yang sistematis akan suatu rancangan perjuangan. Meski demikian, rancangan terbaik pun akan ditantang kebenarannya di ranah praksis, oleh karena itu kegagalan bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Apa yang justru patut kita khawatirkan adalah panoptikon dan polisi di dalam kepala kita sendiri, yang mana kita sering tidak sadar bahwa kita masih berpikir dalam konteks yang diberikan kekuasaan pada kita. Banyak yang harus dipelajari, banyak yang harus didebatkan, tapi gairah untuk bebas tak dapat menunggu. “PERANG SIPIL” dari “BENTUK-KEHIDUPAN” harus menyebar.
“Bagi siapapun dan dimanapun kalian, bertempurlah dan jangan menyerah. Bagi mereka yang tidak tercekik dalam kemarahan, dan memberi keriangan pada garis ofensif mereka. Bagi kawan-kawan kami, anak-anak kami, saudara-saudari kami, dan komite pendukung. Janganlah takut, jangan menyesal. Kami bukanlah pahlawan, kami bukan martir. Karena skandal ini tidak punya basis legal sama sekali maka kita perlu membawa perang ke dalam relung perpolitikan. Tingkatan penyerangan yang semakin meningkat terhadap kami oleh kekuasaan politik yang absurd memanggil sebuah praktik umum kolektif untuk membela diri dimanapun dibutuhkan.
Tak ada sembilan orang yang harus diselamatkan. Tapi ada rejim yang harus diruntuhkan.”
--Aria, Benjamin, Bertrand, Elsa, Gabrielle, Manon, Matthieu, Yldune are, Julien Coupat TARNAC 9
PENGHAPUSAN DUNIA KERJA
TAK ADA SEORANG PUN YANG SEHARUSNYA BEKERJA.
Kerja merupakan sumber dari hampir seluruh kesengsaraan di dunia ini. Nyaris semua kebusukan yang dapat kamu sebutkan tentang dunia ini tercipta dari bekerja atau hidup di dunia yang dirancang untuk bekerja. Untuk dapat berhenti menderita, kita HARUS berhenti bekerja.
Menghapuskan dunia kerja bukan berarti kita harus berhenti melakukan sesuatu. Penghapusan dunia kerja berarti menciptakan sebuah gaya hidup baru yang berdasarkan permainan; dengan kata lain, sebuah revolusi kegembiraan. Harap diingat pula, bahwa yang saya maksud dengan ”kesenangan” di sini mencakup juga kreativitas, kegembiraan makan bersama, pesta perayaan, dan bahkan mungkin juga kesenian. Bermain memiliki arti yang lebih luas dari sekedar “bermain” versi anak-anak (meskipun hal tersebut juga sangat bermanfaat). Saya menyerukan sebuah petualangan kolektif yang dilengkapi kegembiraan dan relasi saling menguntungkan yang bebas. Untuk bermain adalah berarti untuk tidak menjadi pasif. Adalah sesuatu yang tak terbantahkan bahwa sekarang, berapapun pendapatan serta apa pun pekerjaan kita, kita butuh lebih banyak waktu untuk bersenang-senang dari yang telah kita nikmati sekarang ini: saat pulih dari kelelahan-akibat-pengabdian, hampir semua dari kita ingin BERTINDAK.
Hidup dengan bermain jelas sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kenyataan yang ada saat ini. “Kenyataan” selalu lebih buruk, seakan-akan ia berfungsi sebagai gravitasi yang menyedot seluruh vitalitas yang tersisa dalam hidup. Vitalitas yang membedakan antara hidup dengan hanya sekedar bertahan hidup. Anehnya—atau malah mungkin tidak—hampir semua ideologi kuno bersifat konservatif karena mereka percaya pada konsep kerja. Beberapa di antaranya, seperti Marxisme dan sejumlah merk dari Anarkisme, sangat mempercayai konsep kerja karena mereka sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dipercaya.
Kaum liberal menyerukan penghapusan diskriminasi dalam pengisian lapangan kerja. Saya justru menyerukan penghapusan dunia kerja. Kaum konservatif mendukung UU Hak-Untuk-Bekerja. Dengan mengikuti langkah “anak haram” Marx, Paul Lafargue, saya mendukung Hak-Untuk-Bermalas-malasan. Kaum kiri menginginkan kesempatan kerja untuk semuanya. Segaris dengan kaum surealis (bedanya, saya TIDAK bercanda) saya menginginkan pengangguran total. Kaum Trotskyis mengagitasikan revolusi yang permanen. Saya mengagitasikan kegembiraan yang permanen. Anehnya, meskipun para “ideologis” tersebut mengadvokasikan kerja (yang tujuan sebenarnya adalah untuk membuat orang lain melakukan pekerjaan mereka), mereka terkesan enggan untuk mengakuinya. Mereka akan berbicara panjang-lebar-anjing-edan soal upah, jam kerja, kondisi kerja, eksploitasi/produktifitas, laba, dan lain sebagainya. Pokoknya mereka akan dengan senang hati membahas apa saja KECUALI definisi tentang kerja itu sendiri. Mereka, para ahli yang selalu “berfikir untuk kepentingan kita” ini tidak pernah membagi kesimpulan-kesimpulan mereka tentang dunia kerja, dan seberapa menonjolnya hal itu dalam kehidupan kita semua. Dalam lingkarnya sendiri, mereka membahasnya sedetil mungkin. Serikat dan pihak manajemen telah sepakat bahwa kita harus menjual sebagian waktu hidup kita agar dapat bertahan hidup, di mana mereka yang akan melakukan tawar-menawar soal harga jualnya. Para Marxis berfikir bahwa atasan kita seharusnya adalah birokrat. Para feminis tidak peduli siapa pun atasan kita asalkan mereka adalah perempuan. Jelas bahwa tukang-tukang mastrubasi ideologi ini punya perbedaan prinsipil mengenai bagaimana membagi kursi kekuasaan. Serta sangatlah jelas pula, bahwa tak ada satu pun dari mereka yang memiliki masalah dengan kekuasaan dan bahwa mereka menginginkan kita untuk TETAP kerja.
Mungkin kamu penasaran ingin tahu apakah saya bercanda atau serius. Saya bercanda dengan serius. Mendedikasikan hidup kita untuk bermain bukanlah sesuatu yang menggelikan. Bermain bukan berarti menjadi tidak karuan, meskipun ketidakkaruan bukanlah sesuatu yang remeh: hanya saja seringkali ketidakkaruan kita belum diangkat sampai ke tingkatan yang lebih serius. Saya menginginkan hidup menjadi sebuah permainan—permainan dengan taruhan tertinggi. Saya ingin bermain selamanya.
Alternatif dari kerja bukan hanya bermalas-malasan (walaupun itu sangatlah menyenangkan). Meskipun saya sangat menyukai kelambanan, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada saat ia menyebabkan munculnya proyek-proyek kesenangan lainnya. Tentunya di sini saya sama sekali tidak mendukung konsep penjaga disiplin termanajemen yang disebut “waktu luang”. Waktu luang adalah waktu tidak bekerja UNTUK kepentingan kerja. Waktu luang adalah waktu yang dihabiskan untuk memulihkan diri dengan cara-cara yang menyedihkan untuk mencoba melupakan kepenatan bekerja. Banyak orang pulang dari liburan dengan begitu lelahnya, sampai-sampai mereka mencari waktu untuk beristirahat agar dapat kembali bekerja. Satu-satunya perbedaan antara bekerja dengan waktu luang adalah bahwa di saat bekerja—setidaknya—kamu dibayar untuk keterasingan dan kelelahanmu.
Dalam tulisan ini, saya tidak bertujuan untuk bermain dengan kata-kata pada siapa pun. Ketika saya bilang bahwa saya ingin menghapuskan kerja, saya mengatakannya dengan sungguh-sungguh, tetapi saya juga ingin menjelaskan definisi saya tentang kerja secara sederhana. Yang saya definisikan tentang kerja di sini adalah kerja yang dipaksakan, yaitu, kewajiban untuk melakukan produksi. Kedua elemen tersebut sangatlah esensial. Kerja merupakan produksi yang didorong oleh tujuan-tujuan ekonomi ataupun politik, tak ada bedanya menggunakan wortel atau tongkat (karena wortel hanyalah tongkat dalam pemaknaannya yang berbeda). Tetapi tidak semua kreasi adalah pekerjaan. Kerja tidak pernah dilakukan demi kerja itu sendiri (dengan kata lain demi kesenangan saat melakukannya), tetapi demi produk yang dihasilkannya ataupun hasil berupa gaji yang diperoleh oleh si pekerja atau laba bagi si pemilik modal. Inilah yang dimaksud dengan kerja. Untuk mendefinisikannya adalah untuk membencinya. Tentu saja BEKERJA itu jauh lebih menyebalkan dibanding definisi terhadapnya.
Dinamika dominasi yang berkaitan dengan kerja dari waktu-waktu cenderung saling terelaborasi. Di setiap masyarakat maju yang gila kerja, temasuk seluruh masyarakat yang terindustrialisi—baik itu komunis atau kapitalis, kerja senantiasa mencerminkan keburukannya.
Biasanya (dan hal ini umumnya lebih sering terjadi di negara-negara komunis daripada kapitalis, di mana negara praktis menjadi satu-satunya majikan dan semua orang adalah pekerja), bekerja berarti menjadi buruh upahan, dengan kata lain menjual dirimu untuk dibeli dengan cara dicicil. Sementara di negara seperti AS, 95% pekerjaanya bekerja untuk orang lain (atau malah untuk sesuatu, entah apa), di negara-negara dengan sistem yang “unik” seperti Kuba dan Cina angkanya malahan hampir mencapai 100%. Hal ini berbeda dengan yang diterapkan di negara-negara “jelata” dunia ketiga seperti di Meksiko, Brazil, India, dan Turki. Tempat-tempat penampungan sementara bagi kaum-kaum agrikultrualis tradisional, di mana sistem klsik dari abad lalu masih dimanfaatkan secara optimal: pembayaran pajak (= jatah preman) kepada negara (= tuan tanah parasitis) untuk sekedar dibiarkan hidup tak terganggu sebagai gantinya (yang herannya justru dianggap merupakan suatu konsekuensi logis yang harus diterima oleh semua orang). Pokoknya, pada intinya semua pekerja industrial dan kantoran masa kini adalah bawahan, dan semuanya berada di bawah satu bentuk pengawasan yang bertujuan untuk mempertahankan watak penghambatan.
Pekerjaan zaman modern ini masih memiliki implikasi yang lebih buruk lagi. Orang tidak lagi sekedar bekerja, mereka punya PEKERJAAN. Sekarang satu orang hanya melakukan salah satu bagian dalam proses produksi secara terus-menerus. Meskipun bagiannya masih menarik untuk dilakukan, misalnya (yang TIDAK pernah terjadi pada umumnya pekerjaan), kemonotonan dari eksklusifitas kewajiban tersebut akan menghilangkan semua potensi permainan dalam pekerjaan tersebut. Suatu “pekerjaan” yang menghabiskan energi seseorang, serta dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas untuk bersenang-senang adalah sebuah beban berat bagi mereka yang harus melakukannya selama 40 jam dalam seminggu, tanpa berhak mengeluarkan pendapat sama sekali mengenai apa yang seharusnya dilakukan, untuk mengalirkan keuntungan kepada para pemilik modal yang sama sekali tidak membantu proses produksi, tanpa diberi kesempatan untuk membagi tugas di antara mereka yang berkewajiban mengerjakannya. Inilah dunia kerja yang sesungguhnya: sebuah dunia yang penuh dengan blunder demokratis, pelecehan seksual, dan diskriminasi dari para bos-bos keparat yang mengeksploitasi dan mengkambinghitamkan anak buahnya, yang secara rasional (bila dilihat dari kriteria teknisnya) lebih kredibel dalam mengambil keputusan. Tetapi tentu saja kontrol organisasional tidak ditentukan dengan rasio, melainkan oleh maksimalisasi produktifitas dan keuntungan. Itulah yang namanya kapitalisme.
Degradasi moral yang dialami para pekerja di tempat kerja merupakan akumulasi dari bentuk penghinaan yang sering disebut dengan “disiplin”. Seorang Foucault telah menjadi terkenal karena merumitkan fenomena yang sebenarnya simpel ini. Yang disebut disiplin adalah hasil akhir dari semua bentuk kontrol totaliter di tempat kerja: pengawasan, rotasi kerja, kecepatan kerja yang dipaksakan, kuota produksi, absensi, dll. Disiplin adalah benang merah persamaan yang dapat ditarik antara pabrik, kantor, dan toko dengan penjara, sekolah, dan rumah sakit jiwa. Ia adalah sesuatu yang secara historis orisinal dan mengerikan. Ia adalah sesuatu yang diimpi-impikan oleh para diktator legendaris seperti Nero, Genghis khan, dan Ivan The Terrible yang belum memiliki aparatus teknologi yang cukup untuk mengontrol subyek mereka sehebat para penerusnya di zaman milenium ini. Disiplin adalah bentuk termodern dari kontrol, sebuah gangguan inovatif yang harus dihancurkan pada kesempatan pertama.
Itulah kerja. Sementara bermain adalah sesuatu yang sangat berbeda-beda. Bermain adalah sesuatu yang selalu dilakukan dengan sukarela. Sesuatu yang disebut bermain, jika ia dipaksakan maka akan berubah menjadi kerja. Pernyataan ini tentu sudah jelas kebenarannya. Bernie de Koven telah mendefinisikan bermain sebagai “penahanan terhadap konsekuensi”. Ini tentu tidak dapat diterima jika ia berarti tidak memiliki konsekuensi. Itu bukanlah intinya serta cenderung merendahkan nilai dari bermain. Intinya adalah bahwa jika bermain memiliki konsekuensi, maka ia adalah sesuatu yang serampangan. Bermain dan memberi adalah sesuatu yang berhubungan dekat, keduanya adalah sifat yang berada di bawah daya rangsangan yang sama: insting bermain. Keduanya sama-sama membenci hasil akhir. Seorang pemain mendapatkan kesenangannya dari bermain, itulah alasannya untuk bermain. Kesenangannya memuncak saat ia melakukan aktifitas. Beberapa orang meneliti bermain, seperti John Huizinga yang menyebutnya sebagai permainan yang menuruti aturan. Meskipun saya sangat menghormati karya ilmiahnya, saya sangat membenci batasan-batasan yang dibuat oleh Huizinga. Walaupun ada banyak permainan mengasyikkan yang memiliki peraturan-peraturan (sepak bola, poker, gaple, ular tangga) akan tetapi bermain tidak melulu harus terpaku pada suatu permainan. Ngobrol, berhubungan seks, slam dancing, traveling, atau vandalisme, bukanlah suatu permainan, mereka tidak memiliki aturan baku, tapi siapa bilang aktivitas-aktivitas itu tidak termasuk bermain? Permainan mana yang lebih menyenangkan daripada mempermainkan peraturan?
Kerja adalah sebuah pelecehan terhadap kebebasan. Kita selalu diberitahu bahwa kita semua memiliki hak asasi serta hidup di negara yang demokratis (yayaya, dan panggil saya Mickey Mouse), sementara orang-orang yang tak seberuntung kita harus hidup di negara polisi, mereka harus menuruti perintah sebagaimana pun absurdnya. Kalau tidak menurut, pihak penguasa akan mengawasi mereka secara konstan. Para birokrat mengontrol seluruh detil terkecil kehidupan sehari-hari, informan-informan secara teratur memberikan laporan kepada pemerintah. Penolakan dan pembangkangan akan dihukum berat, semua ini adalah sesuatu yang sangat buruk, ya kan?
Dan memang iya kok, walau sebenarnya semua itu tidak lebih dari sebuah diskripsi tempat kerja modern. Kaum liberal, konservatif, dan libertarian yang mengeluhkesahkan totaliarinisme tak lebih dari segerombolan pembohong yang munafik. Tidak ada perbedaan antara kebebasan di sebuah tempat kerja di AS dengan yang terjadi di sebuah negara diktatorial Stalinis. Kamu akan melihat hierarki dan disiplin yang sama di sebuah pabrik atau kantor dengan yang di penjara atau biara. Bahkan seperti telah dijelaskan oleh Foucault, pabrik dan penjara muncul pada waktu yang bersamaan, dan para pengurusnya dengan sengaja saling meminjam teknik satu sama lain. Seorang pekerja adalah budak paruh waktu. Kapan dia datang, kapan dia pulang, dan apa yang harus dia lakukan diatur oleh si bos. Si bos juga yang mengatur seberapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan serta seberapa cepat menyelesaikannya. Si bos bebas mengatur apa saja yang ia inginkan, jika perlu baju apa yang harus kamu pakai dan seberapa sering kamu pergi ke kamar kecil. Dia berhak memecatmu dengan alasan apa pun, atau tanpa alasan sekalipun. Dia memata-mataimu lewat kepala bagian dan pengawas, mereka juga memiliki dokumen yang berisi data dari setiap bawahannya. Mendebatnya akan disebut “ketidakpatuhan”, seolah-olah sang bawahan masih kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa, serta bukan hanya akan membuatmu kehilangan pekerjaan, tetapi juga uang kompensasi dan tunjangan. Adalah suatu kebetulan anak-anak kecil mendapatkan perlakuan yang kurang lebih serupa di sekolah, yang pada kasusnya mereka dibenarkan oleh “ketidakdewasaanya”, nah sekarang apa alasan bagi para orang tua dan guru mereka yang bekerja?
Sistem dominasi yang saya jelaskan di atas mengatur kehidupan mayoritas laki-laki dan perempuan selama setengah dari umur hidup mereka. Sebenarnya tidaklah terlalu menyesatkan untuk menyebut sistem yang kita hidupi sekarang dengan demokrasi, kapitalisme, dan indrustrialisasi. Akan tetapi nama sesungguhnya adalah fasisme pabrik serta oligarki kantor. Siapa pun yang mengatakan bahwa para pekerja itu bebas adalah seorang pembohong. Kamu adalah apa yang kamu lakukan, jika kamu melakukan pekerjaan yang membosankan, bodoh, dan monoton, kemungkinannya kamu adalah seseorang yang membosankan, bodoh, dan monoton. Kerja lebih menekankan kepasifan daripada mekanisme-mekanisme pembodohan macam televisi dan pendidikan. Orang yang sepanjang hidupnya mengikuti aturan, dari mulai sekolah hingga ke tempat kerja serta terkurung oleh ikatan keluarga pada awal hingga akir hidupnya, akan menjadi terbiasa dengan hierarki dan akan terus menghamba secara psikologis. Kebebasan pun akan menjadi suatu fobia akut mereka. Sikap penurut yang mereka sempurnakan di tempat kerja itu nantinya akan diturunkan kepada keluarga yang akan mereka buat, sehingga akan mereproduksi sistem yang ada sekarang ini menjadi semakin banyak pada sendi kehidupan, politik, budaya, dll. Begitu seseorang telah kehilangan vitalitasnya karena pekerjaan, mereka cenderung menunduk pada hierarki dan mempraktekkanya dalam hidup sehari-hari. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan.
Kita telah begitu terbiasa hidup di dunia kerja sehingga kita tidak bisa melihat apa yang dia lakukan terhadap kita. Kita harus bergantung pada para pengamat dari tempat dan budaya lain untuk menyadari posisi kita yang menyedihkan ini. Ada kalanya di masa lalu kita, ketika yang kita sebut dengan “etika kerja” tak akan dapat dimengerti, waktu di mana Weber menghubungkan kerja dengan sebuah agama: Calvinisme, yang jika muncul saat ini akan dianggap sebuah sekte. Apa pun dia, yang harus kita lakukan adalah berkaca ke zaman purbakala untuk dapat menempatkan kerja pada perspektif sesungguhnya. Orang-orang purba memandang kerja sebagaimana mestinya, dan pandangan mereka bertahan lama, tak tergoyahkan hingga masa industrialisme datang dan merusak semuanya.
Mari kita berpura-pura sejenak, dan menganggap bahwa kerja tidak merubah manusia menjadi robot penghamba. Mari berpura-pura menganggap kerja sama sekali tidak memiliki pengaruh pada watak karakteristik para pelakunya, juga bahwa kerja ceritanya tidak semembosankan, semelelahkan, dan semerendahkan martabat seperti pada kenyataannya. Bahkan setelah segitunya pun, kerja TETAP melecehkan bentuk-bentuk aspirasi demokratis dan humanistis, karena ia memakan terlalu banyak waktu kita. Socrates pernah mengatakan bahwa para buruh manual adalah seorang teman dan warga yang sangat buruk karena ia tidak memiliki waktu untuk memenuhi kewajiban mereka dalam pertemanan dan kemasyarakatan, (untuk kali ini) si Soc sangatlah benar. Akibat dari bekerja, apa pun yang kita perbuat akan selalu melihat ke jam. Satu-satunya yang “bebas” dalam waktu luang kita adalah kenyataan bahwa si bos bebas untuk tidak membayar kita. Sebagian besar dari waktu luang kita habis untuk bersiap-siap pergi kerja, berangkat kerja, pulang kerja, juga beristirahat setelah lelah bekerja. Waktu luang hanyalah kata yang-lebih-sopan untuk menyatakan bahwa sang pekerja adalah salah satu bagian dari mekanik mesin faktor produksi, yang bukan hanya menanggung sendiri biaya transportnya baik saat menuju maupun kembali dari tempat kerja, tetapi juga bertanggung jawab penuh terhadap perawatan dan perbaikannya sendiri! Wow! Baja ataupun batu bara tidak dapat melakukan hal semacam itu, demikian juga mesin tik atau ban berjalan. Tidak heran kalau dalam salah satu film gangster klasik, Edward G. Robinson pernah berkata: “kerja itu hanya untuk orang dungu!!!”
Baik Plato maupun Xenophon sama-sama memiliki pemikiran yang sama dengan Socrates, mereka semua mewaspadai efek destruktif dari bekerja terhadap pelakunya sebagai seorang manusia yang bermasyarakat. Herodotus mentalikan kebencian terhadap kerja dengan puncak kebudayaan Yunani kuno. Untuk menyebut satu orang Romawi sebagai contoh, Cicero mengatakan bahwa “siapa pun yang memberikan tenaganya untuk uang, maka ia telah menjual dan memposisikan dirinya sendiri sebagai seorang budak”. Meskipun keterusterangan semacam ini tentunya sangat sulit ditemui lagi, tetapi masyarakat primitif kontemporer masih terus menyediakan juru bicara-juru bicara yang memberikan “pencerahan” kepada para antrophologis di seluruh dunia. Suku Kapauku di Irian Jaya misalnya, memiliki sebuah konsep keseimbangan dalam hidup dan karenanya, hanya sesekali saja bekerja. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu unuk beristirahat guna “memulihkan kekuatan dan kesehatan”. Para leluhur kita, bahkan sampai abad ke-18 saat mereka telah sampai ke tahap awal untuk menuju ke zaman kita sekarang, paling tidak masih menyadari apa yang telah kita lupakan, kepercayaan relijius mereka kepada “St. Monday” yang secara de facto menciptakan sistem 5 hari kerja dalam seminggu 150-200 tahun sebelum pengesahan legalnya (hal ini tentu saja sangat mengecewakan para pemilik pabrik pada zamannya). Butuh jangka waktu yang panjang bagi mereka untuk tunduk pada tirani dari bunyi lonceng (nenek moyang dari bel) kerja. Bahkan dibutuhkan penggantian dari pekerja pria dewasa menjadi wanita yang lebih cenderung bersifat penurut agar lebih mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan pabrik, selama 1-2 generasi lamanya. Para petani yang tereksploitir oleh rezim klasik pun masih mampu merebut kembali waktu-waktu substansialnya dari para tuan tanah—hampir seperempat dari kalender petani Prancis diisi oleh hari-hari libur, juga di masyarakat yang kurang progresif seperti Rusia pada masa Tsar, para petaninya mendedikasikan hari keempat dan kelima untuk beristirahat. Jika kita hanya berlomba-lomba untuk mengontrol produktifitas, jelas bahwa kita tertinggal sangat jauh di belakang masyarakat-masyarakat tadi. Seorang muzhik yang tereksploitasi pun akan heran kenapa ada di antara kita yang bekerja. Kita juga seharusnya menanyakan pertanyaan yang sama.
Untuk dapat secara utuh memahami kemerosotan kita, mari kita lihat kembali kondisi pertama umat manusia, masa tanpa pemerintah maupun kepemilikan, ketika kita masih mengembara sebagai kaum pemburu yang mengumpulkan makanan. Hobbes menyimpulkan pada masa itu hidup sangatlah keras dan brutal. Seterusnya, ia juga menganggap bahwa hidup adalah perjuangan berat untuk tetap bertahan, sebuah perang melawan alam yang kejam, dengan kematian sebagai ganjaran bagi mereka yang tidak cukup kuat (atau beruntung) dalam usaha mempertahankan hidup. Sebenarnya itu hanyalah ketakutan akan jatuhnya sebuah pemerintahan di dalam sebuah masyarakat yang tidak terbiasa hidup tanpanya, seperti masyarakat Inggris pada masa perang sipil zaman Hobbes hidup. Rekan-rekan sejawatnya juga telah menemui masyarakat alternatif dengan cara hidup yang berbeda, terutama di Amerika Utara, tetapi hal ini tentu saja terlalu jauh dari pengalaman mereka untuk dapat dimengerti (orang-orang dari kelas lebih rendah, dapat lebih dimengerti. Selama abad ke-17, penduduk Inggris lebih banyak membelot untuk bergabung dengan suku-suku Indian, sebagian tertangkap saat perang menolak untuk kembali ke koloni Inggris), sementara Darwinisme versi Thomas Huxley lebih disebabkan oleh kondisi ekonomis rakyat Inggris pada masa ratu Victoria ketimbang seleksi alam, seperti yang ditulis sang anarkis Kropotkin dalam bukunya Mutual Aid: A Factor in Evolution (Kropotkin adalah seorang ilmuwan, ahli geografi, yang melakukan penelitiannya saat diasingkan di Siberia, percayalah, dia tahu apa yang ia bicarakan). Akhirnya, seperti kebanyakan teori-teori sosial-politik lainya, dongeng yang diceritakan oleh Hobbes dkk. terdengar seperti sebuah otobiografi yang tidak diakui.
Marshal Sahlins, seorang antrophologis yang melakukan survei-survei pada data-data masyarakat pengumpul-makanan purbakala, menghancurkan Hobbesian lewat artikelnya yang berjudul Mayarakat Makmur Yang Sebenarnya. Di sana ia menuliskan bahwa mereka (masyarakat purba) bekerja lebih sedikit dari kita, dan pekerjaan mereka nyaris tak dapat dibedakan dengan apa yang disebut dengan bermain. Sahlin mengatakan, “pemburu dan pengumpul makanan sangat jarang bekerja, kebutuhan akan makanan hanya muncul sebentar-sebentar, tidak berkesinambungan, waktu bersantai diperbanyak, dan jumlah tidur per kapita adalah yang terbesar bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat manapun.” Mereka bekerja sekitar 4 jam dalam sehari, ini pun dengan mengasumsikan bahwa mereka memang “bekerja”. “Pekerjaan” mereka tampaknya adalah kerja yang membutuhkan keahlian, di mana mereka menggunakan kemampuan intelektual dan fisikal mereka, seperti yang dikatakan Sahlin, “pekerjaan tanpa keahlian, baik dalam skala besar maupun kecil, adalah sesuatu yang mustahil dilakukan oleh masyarakat industri.” Inilah yang menggembirakan, definisi bermainnya Friedrich Schiller, di mana satu-satunya kesempatan bagi manusia untuk menyadari kemanusiannya secara penuh adalah saat membebaskan sifat kembar bermainnya: berfikir dan merasakan. Seperti yang dikatakannya: “binatang bekerja ketika perampasan menjadi dorongan utama aktivitasnya.” Bermain dan kebebasan selalu, dengan tetap menghargai produksi, hidup berdampingan. Bahkan seorang Marx, yang selalu berada di pihak produktivis (dengan seluruh niat mulianya), mengutarakan hasil pengamatannya, “kebebasan tidak dapat direalisasikan sebelum saatnya telah lewat di mana buruh tidak perlu lagi bekerja di bawah dorongan kebutuhan dan keperluan eksternal.” Dia nampaknya tidak pernah bisa menyebut situasi menggembirakan ini sebagaimana yang kita ketahui: penghapusan kerja! Marx agaknya memang kurang sreg untuk menjadi pro-pekerja yang anti-kerja, dia tidak bisa melakukannya, tapi KITA bisa.
Aspirasi untuk hidup tanpa kerja sangatlah nampak dalam sejarah sosio-kultural pra-industri Eropa, di antaranya dalam karya M. Dorothy George England in Transition, serta Popular Culture in Early Modern Europe oleh Peter Burke. Essai dari Daniel Bell yang juga berhubungan Work And It’s Discontents adalah teks pertama (sepengetahuan saya), yang mengangkat tema “pemberontakan terhadap kerja” yang, kalau saja dapat dipahami secara menyeluruh, dapat menjadi koreksi penting bagi volume di mana teks tersebut diterbitkan yaitu The End of Ideologi. Para kritisi nampaknya tidak berhasil menangkap bahwa thesis akhir ideologi tersebut bukanlah bertujuan untuk menandai akhir dari keresahan sosial, akan tetapi sebuah awal dari fase baru yang tak terbatasi oleh ideologi. Adalah Seymour Lipset (dalam bukunya, Political Man) dan bukan Bell, yang pada waktu hampir bersamaan mengatakan, “masalah-masalah yang mendasar dalam Revolusi industri telah berhasil diselesaikan.” Hengkang dari UC Berkeley untuk mengungsi ke Havard yang masih tenang. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, dengan segala antusiasmenya tentang pasar dan devisi kerja, ternyata masih lebih sigap (dan jujur) untuk mengungkapkan sisi gelap dari kerja ketimbang Ayn Ryand, para ekonom Chicago, atau seluruh pengikut modern Smith lainnya, “manusia terbentuk oleh pekerjaan sehari-harinya, seseorang yang menghabiskan hidupnya dengan melakukan sebuah kegiatan sederhana terus-menerus tidak memiliki waktu untuk menggunakan pemahamannya, kemungkinan besarnya ia akan menjadi sebodoh-bodohnya umat manusia.” Ok berikut ini, dengan kata-kata kasar, adalah kritik saya pribadi terhadap kerja. Bell yang menulis pada tahun 1956, sebuah tahun emas dengan keidiotan Eisenhower dan kepuasan diri bangsa Amerika, telah meramalkan kedisorganisasian era 70-an dan seterusnya, yang tak mampu dikekang oleh tendensi politik apa pun yang disebutkan di dalam laporan HEW Work in America, yang tak dapat dieksploitasi (dan karena tidak sanggup). Inilah yang disebut dengan pemberontakan terhadap kerja. Ia tidak dapat dihitung oleh ekonom manapun (Milton Friedman, Murray Rothbard, Richard Posner, …) karena, dengan meminjam idiom Star Trek ia “does not compute”.
Jika semua keberatan ini, dengan berdasarkan akan rasa cinta pada kebebasan, tidak juga berhasil membujuk umat manusia untuk merubah pendapatnya mengenai kerja, masih ada fakta-fakta lain yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kerja bukan saja membahayakan kesehatan, bahkan kerja adalah pembunuhan massal atau pembantaian. Secara langsung maupun tidak, kerja akan membunuh mayoritas orang yang kini tengah membaca tulisan saya. Di AS, sekitar 14.000-25.000 orang yang bekerja terbunuh setiap tahunnya. Lebih dari 2 juta lainnya menjadi cacat. 20-25 juta orang terluka setiap tahun. Angka-angka ini berdasarkan perkiraan yang sangat-sangat konservatif soal apa yang dihitung sebagai kecelakaan kerja. Berarti, per tahun ada setengah juta kasus tentang penyakit-akibat-pekerjaan yang TIDAK dihitung, saya pernah membaca tentang sebuah catatan medis mengenai penyakit-akibat-pekerjan yang panjangnya 1.200 halaman. Tapi fakta-fakta ini pun baru awalnya saja. Statistik lain yang tersedia menunjukan tentang 4.000 orang yang bekerja di antaranya akan mati dalam setahun. Apa yang TIDAK ada dalam statistik adalah milyaran orang yang umumnya diperpendek umurnya oleh bekerja (bukankah ini yang disebut pembunuhan?!). Hitung sendiri para dokter yang membunuh dirinya sendiri dengan terus bekerja di usia 50 tahun, hitung pula para pecandu-pekerja.
Kalaupun kamu tidak terbunuh atau menjadi cacat saat bekerja, kamu mungkin mengalaminya saat berangkat kerja, pulang kerja, mencari kerja, ataupun berlibur (= berusaha melupakan kerja). Mayoritas korban kecelakaan otomotif adalah orang-orang yang tengah melakukan aktifitas kerja ini, ataupun justru menjadi korban mereka yang sedang melakukannya. Tentu saja harus kita masukkan pula mereka yang menjadi korban polusi-industri, juga para alkoholik/pecandu obat-obatan yang disebabkan oleh kepenatan bekerja. Baik penyakit paru-paru maupun penyakit jantung akibat dari bekerja.
Dengan demikian, kerja telah meninstitusionalisasikan pembunuhan menjadi sebuah gaya hidup. Banyak yang menganggap bahwa orang-orang Kamboja itu gila karena menghabisi rakyat mereka sendiri, yayaya... dan apa bedanya dengan kita? Paling tidak rezim Pol Pot masih memiliki pandangan (meskipun harus diakui sangat-sangat kacau) menuju masyarakat yang egaliter. Kita membunuh orang dalam jumlah enam digit per tahun untuk menjual Big Mac dan Motorola kepada yang masih hidup! 50.000 orang yang terbunuh di jalan tol kita setiap tahunnya adalah korban, bukan martir. Mereka mati sia-sia, atau lebih tepatnya, mereka mati demi kerja, dan tidak ada nyawa yang seharusnya mati demi sesuatu yang sia-sia.
Kontrol Negara terhadap perekonomian adalah solusi yang sama menyedihkannya. Kerja justru menjadi lebih membahayakan di Negara-negara “sosialis” ketimbang di sini. Ada ribuan pekerja Rusia yang tewas dalam pembangunan jalur kereta bawah tanah di Moskow, tragedy Chernobyl (yang selama ini ditutup-tutupi), dan bencana-bencana instalasi nuklir Soviet lainnya membuat pemboman WTC terlihat seperti latihan gempa bumi bagi anak-anak SMA. Sementara itu, deregulasi (sesuatu yang tampaknya sedang “in”), tidak akan membantu dan justru makin memperburuk keadaan. Jika dilihat dari sudut pandang, antara lain, kesehatan dan keselamatan kerja berada dalam kondisi terjeleknya pada saat keadaan ekonomi tengah berada dalam kondisi laissez-faire. Ahli sejarah dari Eugene Genovese telah secara persuasif mengatakan bahwa pekerja pabrik-pabrik di Negara bagian Amerika Utara dan Eropa sebenarnya berada dalam keadaan yang lebih buruk dari para budak perkebunan di selatan. Peninjauan ulang terhadap hubungan birokrat-bisnismen tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti pada proses produksi. Implementasi yang serius dari standar-standar yang, secara teoritis wajib dipenuhi, akan berakibat pada terhambatnya perkembangan ekonomi. OSHA, yang menciptakan standar-standar ini, nampaknya sangat mengerti akan hal ini, karena mereka sama sekali tidak pernah berusaha untuk menindak pabrik-pabrik yang melanggarnya.
Apa yang saya katakan sejauh ini sama sekali tidak ada yang kontroversial. Ada sangat banyak pekerja yang sudah muak bekerja, tingginya dan meningkatnya angka absensi, pencurian oleh pegawai, sabotase, pemogokan massal, serta berbagai bentuk sentimen anti tempat kerja lainnya. Mungkin ada pula sebuah gerakan yang menuju kepada kesadaran dan bukan hanya penolakan sementara terhadap kerja. Toh secara keseluruhan, pandangan yang universal di antara para bos, agen-agen mereka, dan bahkan di antara para pekerja sendiri, adalah bahwa kerja adalah sesuatu yang tak bisa dihindari serta dibutuhkan.
Saya tidak setuju! Adalah sebuah hal yang mungkin untuk menghapuskan kerja dan menggantinya, asalkan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, dengan sejumlah kegiatan bebas lain. Untuk dapat menghapuskan kerja, kita harus menyerangnya dari dua sisi: kualitatif dan kuantitatif. Pada sisi kuntitatifnya kita harus menurunkan secara drastis jumlah pekerjaan yang harus dilakukan. Kebanyakan pekerjaan yang ada sekarang ini sama sekali tidak berguna, dan yang harus kita lakukan hanyalah menyingkirkannya. Sementara di sisi yang lain (dan menurut saya ini adalah inti dari permasalahannya, serta merupakan sebuah awal baru yang revolusioner), kita harus merubah pekerjaan yang bermanfaat yang tersisa menjadi sebuah waktu luang yang menyenangkan, tidak berbeda dengan waktu luang yang lainnya KECUALI bahwa ia kebetulan memiliki hasil akhir berupa produk yang bermanfat. Sehingga semua batasan artifisial kekuasaan dan kepemilikan akan runtuh. Kreasi dapat menjadi rekreasi, dan kita dapat berhenti untuk saling mencurigai satu sama lain.
Tentunya tidak akan mengingkari kenyataan bahwa tidak semua pekerjaan dapat diselamatkan dengan cara ini. Lagipula tidak semua pekerjaan itu layak untuk diselamatkan, hanya sebagian kecil pekerjaan saja yang benar-benar memiliki kegunaan di luar usaha mempertahankan dan memproduksi sistem kerja serta kroni-kroni politis legalnya. 20 tahun yang lalu, Paul dan Percival Goodman memperkirakan bahwa dari semua bentuk pekerjaan yang dilakukan saat itu, hanya 5% darinya yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan minimal kita untuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Walaupun perkiraan mereka hanyalah sebuah tebakan akademis semata, tetapi saya rasa kalian mengerti maksudnya bukan? Secara langsung maupun tidak, kebanyakan kerja memiliki tujuan non-produktif untuk mendapatkan sukses komersil dan kontrol sosial. Dengan menghapuskan pekerjaan-pekerjaan tersebut, kita sekaligus akan memerdekakan ribuan salesman, tentara, manajer, polisi, pialang saham, pemuka agama, bankir, pengacara, guru, tuan tanah, petugas sekuriti, orang periklanan, dan semua yang bekerja untuk mereka. Hal ini juga memiliki efek bola salju, karena untuk setiap orang besar yang kita singkirkan, berarti kita juga membebaskan anak-anak buahnya pula. Dan ekonomi akan rusak dibuatnya.
40% dari tenaga kerja adalah kaum pekerja kerah putih, yang kebanyakan memiliki pekerjaan paling idiotik yang pernah dibuat. Contohnya: industri asuransi, perbankan, dan real estate yang tidak pernah melakukan apa pun selain menumpuk kertas-kertas. Maka rasanya bukanlah sebuah kebetulan jika sektor tertier (bidang jasa) mengalami perkembangan pesat, sementara sektor sekunder (industri) terjebak dalam stagnasi, dan sektor primer (agrikultural = pertanian bagi kalian yang malas membaca!) berada di ambang kepunahan. Karena bekerja tidaklah berguna kecuali untuk mempertahankan kekuasaan bagi yang berkuasa, maka pekerja dipindahkan dari bidang yang bermanfaat ke bidang yang sama sekali tidak bermanfaat sebagai jaminan untuk mempertahankan kontrol atas masyarakat. Itulah sebabnya kamu tidak diizinkan pulang sampai mereka memiliki dirimu. Kalau tidak kenapa juga rata-rata hari kerja dalam seminggu tidak juga berkurang pada 50 tahun terakhir?
Berikutnya kita dapat membahas hasil produksi itu sendiri. Tidak ada lagi perang produksi, tenaga nuklir, junk food, deodoran, dan yang paling penting, tidak ada lagi industri otomotif yang membuat Detroit dan Los Angeles jadi terkenal. Hal tersebut jelas TIDAK bisa diterima. Dengan melakukan itu, berarti kita (tanpa harus repot-repot) telah menyelesaikan masalah krisis energi, krisis lingkungan, serta masalah-masalah sosial yang punya mitos “tak terpecahkan”.
Selanjutnya, kita semua akan melakukan sebuah pekerjaan terberat, dengan jam kerja terpanjang, bayaran terendah, dan tugas-tugas paling menyebalkan. Tahu apa yang saya maksudkan di sini? Saya membicarakan tentang ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga sambil mengurus anak! Dengan menghapuskan kerja-upahan serta menciptakan pengangguran total, kita telah meruntuhkan perbedaan seksual dalam pekerjaan. Yang kita kenal sebagai “keluarga nuklir” merupakan produk adaptasi dari pengkelasan kerja yang disebabkan oleh pekerjaan modern. Suka atau tidak, dalam beberapa abad terakhir mitos seorang lelaki yang bekerja untuk mencari makan bagi keluarganya telah dianggap sebagai hal wajar, sementara itu sang istri melakukan tugas-tugas rumah, dan sang anak terpuruk ke dalam kamp-kamp konsentrasi modern yang disebut “sekolah” agar tidak mengganggu kesibukan ibunya, di mana ia akan mempelajari kebiasaan-kebiasaan menjadi penurut serta tepat waktu, yang merupakan suatu kebutuhan di dalam dunia kerja. Jika kita ingin menghancurkan patriarki, hancurkanlah keluarga nuklir, di mana “pekerjaan bayangan” tanpa bayaran yang dihasilkannya telah memungkinkan sistem-kerja untuk membuat kerja menjadi suatu yang diperlukan. Sesuatu yang juga tak terhidarkan di dalam strategi “anti-nuklir” ini adalah penghapusan sekolah. Di dunia modern ini ada lebih banyak pelajar penuh-waktu daripada pekerja penuh-waktu. Kita butuh anak-anak sebagai guru, bukan murid, karena mereka memiliki lebih banyak peran di dalam sebuah revolusi kegembiraaan ketimbang orang dewasa. Kenapa? Karena mereka jauh lebih ahli dalam bermain daripada kita-kita ini. Orang dewasa dan seorang anak tentu saja tidaklah sama, tapi akan menjadi setara di dalam saling ketergantungan, dan hanya bermainlah yang dapat menjembatani dua generasi yang berbeda.
Satu hal yang belum saya sebutkan pada tulisan ini adalah tentang kemungkinan untuk mengurangi sebagian pekerjaan dengan mengotomatiskannya. Para ilmuwan dan insinyur yang telah terbebaskan dari kejenuhan melakukan riset untuk alat-alat perang akan menyibukkan diri mereka dengan bereksperimen mengenai cara-cara untuk menghilangkan kelelahan atau mengurangi bahaya dari aktivitas semacam menambang. Yang pasti, mereka semua akan menemukan proyek-proyek yang menarik bagi minat mereka. Mungkin mereka akan membangun sebuah sistem komunikasi multimedia yang mencakup seluruh dunia, atau sebuah koloni luar angkasa. Mungkin saja. Secara pribadi, saya memang bukanlah seorang maniak elektronik, hidup di surga teknologi di mana semuanya dapat dilakukan cukup dengan menekan tombol bukanlah salah satu impian saya. Ya, memang tidak ada salahnya dengan teknologi yang dapat menghemat tenaga, tetapi saya kira hal itu janganlah dilakukan secara berlebihan. Catatan-catatan historis maupun pra-historis tentang hal ini tidaklah terlalu membesarkan hati. Saat teknologi produktif meninggalkan masa mengumpulkan makanan menuju masa bercocok tanam dan kemudian masa industrialisasi, kerja semakin meningkat sementara keahlian dan juga determinasi diri semakin menurun. Evolusi berikutnya dari industrialisasi adalah penitikberatan pada apa yang disebut oleh Henry Braverman dengan degradasi kerja. Para pengamat/intelektual sudah lama menyadari hal ini. John Stuart Mill menuliskan bahwa dari semua teknologi pembantu kerja yang pernah ditemukan, tidak satu pun ada yang membantu pekerja menghemat tenaganya. Sementara Karl Marx pernah menulis, “adalah sangat mungkin untuk mencatat semua penemuan, mulai dari tahun 1830, yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan senjata kepada para pemilik modal guna melawan pemberontakan kelas pekerja.” Para penggila teknologi macam Saint-Simon, Comte, Lenin, dan B.F Skiner, semuanya adalah juga teknokrat otoritarian. Kita juga harus bersikap lebih skeptis tentang mistis-mistis mengenai komputer. Mereka adalah pekerja keras, dan jika mereka memiliki kontribusi yang lebih berguna kepada umat manusia selain dari perkembangan hi-tech yang tak terbendung, kita harus mulai mendengarnya.
Yang sebenarnya saya inginkan adalah merubah kerja menjadi sebuah permainan. Langkah pertama untuk memulainya adalah dengan menyingkirkan pemikiran-pemikiran tentang “pekerjaan” dan “mencari nafkah”. Sebetulnya ada aktivitas-aktivitas yang memiliki unsur bergembira di dalamnya, akan tetapi unsur tersebut telah semakin menghilang seiring dengan terdegradasinya aktivitas itu menjadi sebuah “pekerjan”, di mana segelintir pelakunya telah melakukannya dengan terpaksa. Bukankah sangat aneh jika ada seorang petani bermandi keringat di ladang sementara bosnya, yang menghabiskan waktu di ruang berAC, pulang ke rumah setiap akhir minggu dan bermalas-malasan di taman mereka? Di bawah sebuah sistem kerjaan non-permanen, kita akan melihat masa keemasan yang akan membuat kaum Renaissance menjadi malu. Tak akan ada lagi pekerjaan, hanya hal untuk dilakukan dan orang yang akan melakukannya.
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Charles Fourier, rahasia dari merubah kerja menjadi permainan adalah dengan memanfaatkan apa yang ingin dilakukan sejumlah orang. Dalam waktu yang berbeda, dan mengaturnya menjadi sebuah aktivitas yang bermanfaat. Hal tersebut memungkinkan bagi sebagian orang untuk melakukan apa yang mereka suka lakukan—sudah cukuplah untuk menghilangkan irasionalitas aktivitas ini jika ia terdistorsi dalam bentuk sebuah pekerjaan. Saya misalnya, akan sangat menikmati mengajar (asalkan tidak terlalu sering), namun saya tidak ingin memaksa murid saya, juga saya tidak merasa perlu untuk sok bersifat keilmu-ilmuan agar mendapatkan kedudukan tetap sebagai seorang profesor.
Ada juga hal-hal yang suka dikerjakan orang dari waktu ke waktu, asalkan tidak terlalu lama, dan tentunya tidak dikerjakan setiap saat. Kamu mungkin kadang kala menikmati baby sitting selama beberapa jam, sekedar untuk bermain dengan anak kecil, tetapi tentunya tidak sesering orang tuanya. Sementara orang tuanya akan sangat berterimakasih atas waktu yang kamu berikan pada mereka berdua, meskipun mereka berdua akan khawatir jika terlalu lama berpisah dengan anaknya. Perbedaan di antara individual-individual inilah yang memungkinkan kita untuk hidup berdasarkan permainan yang bebas. Prinsip serupa dapat diaplikasikan juga pada aktivitas-aktivitas lainnya, terutama aktivitas-aktivitas primer, karena hampir semua orang akan menikmati saat ia memasak untuk mengisi waktu luangnya, bukan karena ia harus mengisi perut orang lain untuk mencari nafkah.
Hal-hal yang menyebalkan untuk dikerjakan seorang diri, di lingkungan yang tidak menyenangkan, dan atas perintah orang lain dapat menjadi menyenangkan, paling tidak untuk waktu yang tidak terlalu panjang, asalkan kondisi-kondisi tadi dirubah. Hal ini mungkin bisa diterapkan kepada semua jenis pekerjaan. Orang akan memanfaatkan kecerdikannya secara maksimal untuk menjadikan pekerjaan yang membosankan menjadi sebuah permainan. Memang benar bahwa sebuah aktivitas yang menarik bagi satu orang belum tentu dianggap menarik pula oleh orang lain, tetapi paling tidak semua orang memiliki kesukaan yang beragam serta menyukai keragaman. Fourier pernah menspekulasikan bagaimana perilaku yang menyimpang serta kecenderungan sifat suka melawan dapatlah diterapkan pada masyarakat pasca-peradaban, inilah apa yang mereka sebut dengan keselarasan. Menurutnya kaisar Nero tidak akan menjadi orang sakit jiwa, kalau saat kecil ia melepaskan sifat haus darahnya dengan bekerja di rumah jagal. Saya tidak bermaksud untuk mendukung contoh kecil ini, melainkan prinsip dasarnya, yang menurut saya sangatlah masuk akal sebagai salah satu bagian dari sebuah revolusi yang menyeluruh. Tentu saja perlu diingat kembali bahwa kita tidak harus mengambil seluruh pekerjaan yang ada saat ini dan mencocokannya dengan orang yang tepat, jika begitu caranya, maka sebagian darinya harus diisi oleh seorang bajingan yang sesungguhnya.
Di dalam semua ini, peran teknologi adalah untuk mengotomatiskan kerja hingga ke titik punah, dan bukan membuka ruang rekreasi baru. Malah, kita mungkin ingin kembali ke pertukangan, yang menurut William Morris merupakan hasil yang paling memungkinkan serta diinginkan dari sebuah revolusi komunis. Seni akan dirampas kembali dari makhluk-makhluk menyebalkan (=seniman) serta kolektor, akan dihapuskan hak istimewanya sebagai sebuah keterampilan spesial yang diperuntukkan bagi khalayak elit, serta dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai hasil kreasi yang integral dengan kehidupan (di mana ia telah dicuri oleh kerja). Adalah menggelikan bagaimana kita memamerkan di museum, juga menuliskan puluhan puisi, bagi sebuah jambangan yunani yang pada masanya adalah sebuah tempat untuk menyimpan minyak zaitun. Saya meragukan kemampuan artefak-artefak sehari-hari kita untuk dapat menyaingi sukses tersebut di masa datang—itu pun jika memang kita punya masa depan. Intinya adalah bahwa tidaklah ada apa yang disebut kemajuan di dalam dunia kerja, yang bisa kita temukan hanyalah kemunduran. Jika kita melihat apa yang ditawarkan masa lalu, maka kita tidak perlu berfikir dua kali untuk menimbunnya dalam-dalam, para leluhur tidak akan kehilangan apa pun sementara kita diperkaya.
Pada kenyataannya, ada lebih banyak spekulasi sugestif tentang hal ini dari yang disangka oleh kebanyakan orang. Selain Fourier dam Morris (serta beberapa “bocoran” di sana-sini dari Marx), ada pula tulisan Kropotkin, para sindikalis Pataud dan Pouget, anarko-komunis klasik seperti Berkman (ataupun yang baru seperti Bookchin), karya dari Goodman bersaudara Communitas, merupakan contoh bagus untuk menggambarkan bentuk apa yang harus diikuti dari fungsi-fungsi (atau tujuan?) yang diceritakan di atas, dan tentu saja ada banyak yang bisa kita curi dari kaum pengikut “teknologi alternatif” yang sering digembar-gemborkan seperti Schumacher dan (terutama) Illich. Tentu setelah kita hancurkan mesin-mesin kabut mereka. Seperti juga yang telah dicerminkan oleh Raoul Vaneigem dalam Revolution of Everyday Life ataupun lewat antologi mereka, para Situasionist terkenal sangat-sangat riang sekaligus mematikan, meskipun mereka tidak pernah sempat menyelesaikan pengesahan dewan pekerja dengan tuntutan penghapusan kerjanya. Keganjilan mereka tetap lebih baik bila dibandingkan dengan segala versi Kiri-isme yang masih ada, di mana semua pengikutnya adalah pembela sejati konsep kerja, karena tanpa kerja berarti tidak ada pekerja, dan tanpa pekerja, siapa lagi yang tersisa untuk diorganisir.
Karenanya, kaum penghapus kerja kemungkinan besar memang harus melakukannya sendiri. Tak ada seorang pun yang dapat mengetahui apa akibat dari membebaskan kekuatan kreatif yang selama ini terpenjara oleh kerja. Apa pun dapat terjadi. Masalah perdebatan vs kebutuhan akan terpecahkan dengan sendirinya ketika produksi nilai-guna telah seimbang dengan konsumsi aktivitas yang menggembirakan.
Hidup akan menjadi sebuah permainan, atau lebih tepatnya bermacam permainan. Sebuah pertemuan seksual yang optimal adalah sebuah paradigma bagi permainan yang produktif, saat para partisipannya saling membagi kenikmatan yang satu dengan yang lain, tanpa ada orang yang menjaga papan skor, dengan semua orang sebagai pemenang. Semakin banyak yang kau beri, semakin banyak banyak pula yang kau terima. Dalam sebuah kehidupan yang penuh kegembiraan, seks yang menyenangkan akan menjadi bagian penting dalam sebuah kehidupan yang lebih baik, penggeneralisiran permainan juga dapat memancing nafsu birahi akan kehidupan. Dan seks pun tak akan begitu mendesak dan menyedihkan lagi, tetapi menjadi inovatif dan penuh eksperimen. Dengan bermain, kita akan mendapatkan lebih dalam hidup dari apa yang kita dambakan, tetapi hanya bila kita SUNGGUH-SUNGGUH bermain.
Workers of the world.....relax!!!
Bob Black
Kerja merupakan sumber dari hampir seluruh kesengsaraan di dunia ini. Nyaris semua kebusukan yang dapat kamu sebutkan tentang dunia ini tercipta dari bekerja atau hidup di dunia yang dirancang untuk bekerja. Untuk dapat berhenti menderita, kita HARUS berhenti bekerja.
Menghapuskan dunia kerja bukan berarti kita harus berhenti melakukan sesuatu. Penghapusan dunia kerja berarti menciptakan sebuah gaya hidup baru yang berdasarkan permainan; dengan kata lain, sebuah revolusi kegembiraan. Harap diingat pula, bahwa yang saya maksud dengan ”kesenangan” di sini mencakup juga kreativitas, kegembiraan makan bersama, pesta perayaan, dan bahkan mungkin juga kesenian. Bermain memiliki arti yang lebih luas dari sekedar “bermain” versi anak-anak (meskipun hal tersebut juga sangat bermanfaat). Saya menyerukan sebuah petualangan kolektif yang dilengkapi kegembiraan dan relasi saling menguntungkan yang bebas. Untuk bermain adalah berarti untuk tidak menjadi pasif. Adalah sesuatu yang tak terbantahkan bahwa sekarang, berapapun pendapatan serta apa pun pekerjaan kita, kita butuh lebih banyak waktu untuk bersenang-senang dari yang telah kita nikmati sekarang ini: saat pulih dari kelelahan-akibat-pengabdian, hampir semua dari kita ingin BERTINDAK.
Hidup dengan bermain jelas sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kenyataan yang ada saat ini. “Kenyataan” selalu lebih buruk, seakan-akan ia berfungsi sebagai gravitasi yang menyedot seluruh vitalitas yang tersisa dalam hidup. Vitalitas yang membedakan antara hidup dengan hanya sekedar bertahan hidup. Anehnya—atau malah mungkin tidak—hampir semua ideologi kuno bersifat konservatif karena mereka percaya pada konsep kerja. Beberapa di antaranya, seperti Marxisme dan sejumlah merk dari Anarkisme, sangat mempercayai konsep kerja karena mereka sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dipercaya.
Kaum liberal menyerukan penghapusan diskriminasi dalam pengisian lapangan kerja. Saya justru menyerukan penghapusan dunia kerja. Kaum konservatif mendukung UU Hak-Untuk-Bekerja. Dengan mengikuti langkah “anak haram” Marx, Paul Lafargue, saya mendukung Hak-Untuk-Bermalas-malasan. Kaum kiri menginginkan kesempatan kerja untuk semuanya. Segaris dengan kaum surealis (bedanya, saya TIDAK bercanda) saya menginginkan pengangguran total. Kaum Trotskyis mengagitasikan revolusi yang permanen. Saya mengagitasikan kegembiraan yang permanen. Anehnya, meskipun para “ideologis” tersebut mengadvokasikan kerja (yang tujuan sebenarnya adalah untuk membuat orang lain melakukan pekerjaan mereka), mereka terkesan enggan untuk mengakuinya. Mereka akan berbicara panjang-lebar-anjing-edan soal upah, jam kerja, kondisi kerja, eksploitasi/produktifitas, laba, dan lain sebagainya. Pokoknya mereka akan dengan senang hati membahas apa saja KECUALI definisi tentang kerja itu sendiri. Mereka, para ahli yang selalu “berfikir untuk kepentingan kita” ini tidak pernah membagi kesimpulan-kesimpulan mereka tentang dunia kerja, dan seberapa menonjolnya hal itu dalam kehidupan kita semua. Dalam lingkarnya sendiri, mereka membahasnya sedetil mungkin. Serikat dan pihak manajemen telah sepakat bahwa kita harus menjual sebagian waktu hidup kita agar dapat bertahan hidup, di mana mereka yang akan melakukan tawar-menawar soal harga jualnya. Para Marxis berfikir bahwa atasan kita seharusnya adalah birokrat. Para feminis tidak peduli siapa pun atasan kita asalkan mereka adalah perempuan. Jelas bahwa tukang-tukang mastrubasi ideologi ini punya perbedaan prinsipil mengenai bagaimana membagi kursi kekuasaan. Serta sangatlah jelas pula, bahwa tak ada satu pun dari mereka yang memiliki masalah dengan kekuasaan dan bahwa mereka menginginkan kita untuk TETAP kerja.
Mungkin kamu penasaran ingin tahu apakah saya bercanda atau serius. Saya bercanda dengan serius. Mendedikasikan hidup kita untuk bermain bukanlah sesuatu yang menggelikan. Bermain bukan berarti menjadi tidak karuan, meskipun ketidakkaruan bukanlah sesuatu yang remeh: hanya saja seringkali ketidakkaruan kita belum diangkat sampai ke tingkatan yang lebih serius. Saya menginginkan hidup menjadi sebuah permainan—permainan dengan taruhan tertinggi. Saya ingin bermain selamanya.
Alternatif dari kerja bukan hanya bermalas-malasan (walaupun itu sangatlah menyenangkan). Meskipun saya sangat menyukai kelambanan, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada saat ia menyebabkan munculnya proyek-proyek kesenangan lainnya. Tentunya di sini saya sama sekali tidak mendukung konsep penjaga disiplin termanajemen yang disebut “waktu luang”. Waktu luang adalah waktu tidak bekerja UNTUK kepentingan kerja. Waktu luang adalah waktu yang dihabiskan untuk memulihkan diri dengan cara-cara yang menyedihkan untuk mencoba melupakan kepenatan bekerja. Banyak orang pulang dari liburan dengan begitu lelahnya, sampai-sampai mereka mencari waktu untuk beristirahat agar dapat kembali bekerja. Satu-satunya perbedaan antara bekerja dengan waktu luang adalah bahwa di saat bekerja—setidaknya—kamu dibayar untuk keterasingan dan kelelahanmu.
Dalam tulisan ini, saya tidak bertujuan untuk bermain dengan kata-kata pada siapa pun. Ketika saya bilang bahwa saya ingin menghapuskan kerja, saya mengatakannya dengan sungguh-sungguh, tetapi saya juga ingin menjelaskan definisi saya tentang kerja secara sederhana. Yang saya definisikan tentang kerja di sini adalah kerja yang dipaksakan, yaitu, kewajiban untuk melakukan produksi. Kedua elemen tersebut sangatlah esensial. Kerja merupakan produksi yang didorong oleh tujuan-tujuan ekonomi ataupun politik, tak ada bedanya menggunakan wortel atau tongkat (karena wortel hanyalah tongkat dalam pemaknaannya yang berbeda). Tetapi tidak semua kreasi adalah pekerjaan. Kerja tidak pernah dilakukan demi kerja itu sendiri (dengan kata lain demi kesenangan saat melakukannya), tetapi demi produk yang dihasilkannya ataupun hasil berupa gaji yang diperoleh oleh si pekerja atau laba bagi si pemilik modal. Inilah yang dimaksud dengan kerja. Untuk mendefinisikannya adalah untuk membencinya. Tentu saja BEKERJA itu jauh lebih menyebalkan dibanding definisi terhadapnya.
Dinamika dominasi yang berkaitan dengan kerja dari waktu-waktu cenderung saling terelaborasi. Di setiap masyarakat maju yang gila kerja, temasuk seluruh masyarakat yang terindustrialisi—baik itu komunis atau kapitalis, kerja senantiasa mencerminkan keburukannya.
Biasanya (dan hal ini umumnya lebih sering terjadi di negara-negara komunis daripada kapitalis, di mana negara praktis menjadi satu-satunya majikan dan semua orang adalah pekerja), bekerja berarti menjadi buruh upahan, dengan kata lain menjual dirimu untuk dibeli dengan cara dicicil. Sementara di negara seperti AS, 95% pekerjaanya bekerja untuk orang lain (atau malah untuk sesuatu, entah apa), di negara-negara dengan sistem yang “unik” seperti Kuba dan Cina angkanya malahan hampir mencapai 100%. Hal ini berbeda dengan yang diterapkan di negara-negara “jelata” dunia ketiga seperti di Meksiko, Brazil, India, dan Turki. Tempat-tempat penampungan sementara bagi kaum-kaum agrikultrualis tradisional, di mana sistem klsik dari abad lalu masih dimanfaatkan secara optimal: pembayaran pajak (= jatah preman) kepada negara (= tuan tanah parasitis) untuk sekedar dibiarkan hidup tak terganggu sebagai gantinya (yang herannya justru dianggap merupakan suatu konsekuensi logis yang harus diterima oleh semua orang). Pokoknya, pada intinya semua pekerja industrial dan kantoran masa kini adalah bawahan, dan semuanya berada di bawah satu bentuk pengawasan yang bertujuan untuk mempertahankan watak penghambatan.
Pekerjaan zaman modern ini masih memiliki implikasi yang lebih buruk lagi. Orang tidak lagi sekedar bekerja, mereka punya PEKERJAAN. Sekarang satu orang hanya melakukan salah satu bagian dalam proses produksi secara terus-menerus. Meskipun bagiannya masih menarik untuk dilakukan, misalnya (yang TIDAK pernah terjadi pada umumnya pekerjaan), kemonotonan dari eksklusifitas kewajiban tersebut akan menghilangkan semua potensi permainan dalam pekerjaan tersebut. Suatu “pekerjaan” yang menghabiskan energi seseorang, serta dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas untuk bersenang-senang adalah sebuah beban berat bagi mereka yang harus melakukannya selama 40 jam dalam seminggu, tanpa berhak mengeluarkan pendapat sama sekali mengenai apa yang seharusnya dilakukan, untuk mengalirkan keuntungan kepada para pemilik modal yang sama sekali tidak membantu proses produksi, tanpa diberi kesempatan untuk membagi tugas di antara mereka yang berkewajiban mengerjakannya. Inilah dunia kerja yang sesungguhnya: sebuah dunia yang penuh dengan blunder demokratis, pelecehan seksual, dan diskriminasi dari para bos-bos keparat yang mengeksploitasi dan mengkambinghitamkan anak buahnya, yang secara rasional (bila dilihat dari kriteria teknisnya) lebih kredibel dalam mengambil keputusan. Tetapi tentu saja kontrol organisasional tidak ditentukan dengan rasio, melainkan oleh maksimalisasi produktifitas dan keuntungan. Itulah yang namanya kapitalisme.
Degradasi moral yang dialami para pekerja di tempat kerja merupakan akumulasi dari bentuk penghinaan yang sering disebut dengan “disiplin”. Seorang Foucault telah menjadi terkenal karena merumitkan fenomena yang sebenarnya simpel ini. Yang disebut disiplin adalah hasil akhir dari semua bentuk kontrol totaliter di tempat kerja: pengawasan, rotasi kerja, kecepatan kerja yang dipaksakan, kuota produksi, absensi, dll. Disiplin adalah benang merah persamaan yang dapat ditarik antara pabrik, kantor, dan toko dengan penjara, sekolah, dan rumah sakit jiwa. Ia adalah sesuatu yang secara historis orisinal dan mengerikan. Ia adalah sesuatu yang diimpi-impikan oleh para diktator legendaris seperti Nero, Genghis khan, dan Ivan The Terrible yang belum memiliki aparatus teknologi yang cukup untuk mengontrol subyek mereka sehebat para penerusnya di zaman milenium ini. Disiplin adalah bentuk termodern dari kontrol, sebuah gangguan inovatif yang harus dihancurkan pada kesempatan pertama.
Itulah kerja. Sementara bermain adalah sesuatu yang sangat berbeda-beda. Bermain adalah sesuatu yang selalu dilakukan dengan sukarela. Sesuatu yang disebut bermain, jika ia dipaksakan maka akan berubah menjadi kerja. Pernyataan ini tentu sudah jelas kebenarannya. Bernie de Koven telah mendefinisikan bermain sebagai “penahanan terhadap konsekuensi”. Ini tentu tidak dapat diterima jika ia berarti tidak memiliki konsekuensi. Itu bukanlah intinya serta cenderung merendahkan nilai dari bermain. Intinya adalah bahwa jika bermain memiliki konsekuensi, maka ia adalah sesuatu yang serampangan. Bermain dan memberi adalah sesuatu yang berhubungan dekat, keduanya adalah sifat yang berada di bawah daya rangsangan yang sama: insting bermain. Keduanya sama-sama membenci hasil akhir. Seorang pemain mendapatkan kesenangannya dari bermain, itulah alasannya untuk bermain. Kesenangannya memuncak saat ia melakukan aktifitas. Beberapa orang meneliti bermain, seperti John Huizinga yang menyebutnya sebagai permainan yang menuruti aturan. Meskipun saya sangat menghormati karya ilmiahnya, saya sangat membenci batasan-batasan yang dibuat oleh Huizinga. Walaupun ada banyak permainan mengasyikkan yang memiliki peraturan-peraturan (sepak bola, poker, gaple, ular tangga) akan tetapi bermain tidak melulu harus terpaku pada suatu permainan. Ngobrol, berhubungan seks, slam dancing, traveling, atau vandalisme, bukanlah suatu permainan, mereka tidak memiliki aturan baku, tapi siapa bilang aktivitas-aktivitas itu tidak termasuk bermain? Permainan mana yang lebih menyenangkan daripada mempermainkan peraturan?
Kerja adalah sebuah pelecehan terhadap kebebasan. Kita selalu diberitahu bahwa kita semua memiliki hak asasi serta hidup di negara yang demokratis (yayaya, dan panggil saya Mickey Mouse), sementara orang-orang yang tak seberuntung kita harus hidup di negara polisi, mereka harus menuruti perintah sebagaimana pun absurdnya. Kalau tidak menurut, pihak penguasa akan mengawasi mereka secara konstan. Para birokrat mengontrol seluruh detil terkecil kehidupan sehari-hari, informan-informan secara teratur memberikan laporan kepada pemerintah. Penolakan dan pembangkangan akan dihukum berat, semua ini adalah sesuatu yang sangat buruk, ya kan?
Dan memang iya kok, walau sebenarnya semua itu tidak lebih dari sebuah diskripsi tempat kerja modern. Kaum liberal, konservatif, dan libertarian yang mengeluhkesahkan totaliarinisme tak lebih dari segerombolan pembohong yang munafik. Tidak ada perbedaan antara kebebasan di sebuah tempat kerja di AS dengan yang terjadi di sebuah negara diktatorial Stalinis. Kamu akan melihat hierarki dan disiplin yang sama di sebuah pabrik atau kantor dengan yang di penjara atau biara. Bahkan seperti telah dijelaskan oleh Foucault, pabrik dan penjara muncul pada waktu yang bersamaan, dan para pengurusnya dengan sengaja saling meminjam teknik satu sama lain. Seorang pekerja adalah budak paruh waktu. Kapan dia datang, kapan dia pulang, dan apa yang harus dia lakukan diatur oleh si bos. Si bos juga yang mengatur seberapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan serta seberapa cepat menyelesaikannya. Si bos bebas mengatur apa saja yang ia inginkan, jika perlu baju apa yang harus kamu pakai dan seberapa sering kamu pergi ke kamar kecil. Dia berhak memecatmu dengan alasan apa pun, atau tanpa alasan sekalipun. Dia memata-mataimu lewat kepala bagian dan pengawas, mereka juga memiliki dokumen yang berisi data dari setiap bawahannya. Mendebatnya akan disebut “ketidakpatuhan”, seolah-olah sang bawahan masih kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa, serta bukan hanya akan membuatmu kehilangan pekerjaan, tetapi juga uang kompensasi dan tunjangan. Adalah suatu kebetulan anak-anak kecil mendapatkan perlakuan yang kurang lebih serupa di sekolah, yang pada kasusnya mereka dibenarkan oleh “ketidakdewasaanya”, nah sekarang apa alasan bagi para orang tua dan guru mereka yang bekerja?
Sistem dominasi yang saya jelaskan di atas mengatur kehidupan mayoritas laki-laki dan perempuan selama setengah dari umur hidup mereka. Sebenarnya tidaklah terlalu menyesatkan untuk menyebut sistem yang kita hidupi sekarang dengan demokrasi, kapitalisme, dan indrustrialisasi. Akan tetapi nama sesungguhnya adalah fasisme pabrik serta oligarki kantor. Siapa pun yang mengatakan bahwa para pekerja itu bebas adalah seorang pembohong. Kamu adalah apa yang kamu lakukan, jika kamu melakukan pekerjaan yang membosankan, bodoh, dan monoton, kemungkinannya kamu adalah seseorang yang membosankan, bodoh, dan monoton. Kerja lebih menekankan kepasifan daripada mekanisme-mekanisme pembodohan macam televisi dan pendidikan. Orang yang sepanjang hidupnya mengikuti aturan, dari mulai sekolah hingga ke tempat kerja serta terkurung oleh ikatan keluarga pada awal hingga akir hidupnya, akan menjadi terbiasa dengan hierarki dan akan terus menghamba secara psikologis. Kebebasan pun akan menjadi suatu fobia akut mereka. Sikap penurut yang mereka sempurnakan di tempat kerja itu nantinya akan diturunkan kepada keluarga yang akan mereka buat, sehingga akan mereproduksi sistem yang ada sekarang ini menjadi semakin banyak pada sendi kehidupan, politik, budaya, dll. Begitu seseorang telah kehilangan vitalitasnya karena pekerjaan, mereka cenderung menunduk pada hierarki dan mempraktekkanya dalam hidup sehari-hari. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan.
Kita telah begitu terbiasa hidup di dunia kerja sehingga kita tidak bisa melihat apa yang dia lakukan terhadap kita. Kita harus bergantung pada para pengamat dari tempat dan budaya lain untuk menyadari posisi kita yang menyedihkan ini. Ada kalanya di masa lalu kita, ketika yang kita sebut dengan “etika kerja” tak akan dapat dimengerti, waktu di mana Weber menghubungkan kerja dengan sebuah agama: Calvinisme, yang jika muncul saat ini akan dianggap sebuah sekte. Apa pun dia, yang harus kita lakukan adalah berkaca ke zaman purbakala untuk dapat menempatkan kerja pada perspektif sesungguhnya. Orang-orang purba memandang kerja sebagaimana mestinya, dan pandangan mereka bertahan lama, tak tergoyahkan hingga masa industrialisme datang dan merusak semuanya.
Mari kita berpura-pura sejenak, dan menganggap bahwa kerja tidak merubah manusia menjadi robot penghamba. Mari berpura-pura menganggap kerja sama sekali tidak memiliki pengaruh pada watak karakteristik para pelakunya, juga bahwa kerja ceritanya tidak semembosankan, semelelahkan, dan semerendahkan martabat seperti pada kenyataannya. Bahkan setelah segitunya pun, kerja TETAP melecehkan bentuk-bentuk aspirasi demokratis dan humanistis, karena ia memakan terlalu banyak waktu kita. Socrates pernah mengatakan bahwa para buruh manual adalah seorang teman dan warga yang sangat buruk karena ia tidak memiliki waktu untuk memenuhi kewajiban mereka dalam pertemanan dan kemasyarakatan, (untuk kali ini) si Soc sangatlah benar. Akibat dari bekerja, apa pun yang kita perbuat akan selalu melihat ke jam. Satu-satunya yang “bebas” dalam waktu luang kita adalah kenyataan bahwa si bos bebas untuk tidak membayar kita. Sebagian besar dari waktu luang kita habis untuk bersiap-siap pergi kerja, berangkat kerja, pulang kerja, juga beristirahat setelah lelah bekerja. Waktu luang hanyalah kata yang-lebih-sopan untuk menyatakan bahwa sang pekerja adalah salah satu bagian dari mekanik mesin faktor produksi, yang bukan hanya menanggung sendiri biaya transportnya baik saat menuju maupun kembali dari tempat kerja, tetapi juga bertanggung jawab penuh terhadap perawatan dan perbaikannya sendiri! Wow! Baja ataupun batu bara tidak dapat melakukan hal semacam itu, demikian juga mesin tik atau ban berjalan. Tidak heran kalau dalam salah satu film gangster klasik, Edward G. Robinson pernah berkata: “kerja itu hanya untuk orang dungu!!!”
Baik Plato maupun Xenophon sama-sama memiliki pemikiran yang sama dengan Socrates, mereka semua mewaspadai efek destruktif dari bekerja terhadap pelakunya sebagai seorang manusia yang bermasyarakat. Herodotus mentalikan kebencian terhadap kerja dengan puncak kebudayaan Yunani kuno. Untuk menyebut satu orang Romawi sebagai contoh, Cicero mengatakan bahwa “siapa pun yang memberikan tenaganya untuk uang, maka ia telah menjual dan memposisikan dirinya sendiri sebagai seorang budak”. Meskipun keterusterangan semacam ini tentunya sangat sulit ditemui lagi, tetapi masyarakat primitif kontemporer masih terus menyediakan juru bicara-juru bicara yang memberikan “pencerahan” kepada para antrophologis di seluruh dunia. Suku Kapauku di Irian Jaya misalnya, memiliki sebuah konsep keseimbangan dalam hidup dan karenanya, hanya sesekali saja bekerja. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu unuk beristirahat guna “memulihkan kekuatan dan kesehatan”. Para leluhur kita, bahkan sampai abad ke-18 saat mereka telah sampai ke tahap awal untuk menuju ke zaman kita sekarang, paling tidak masih menyadari apa yang telah kita lupakan, kepercayaan relijius mereka kepada “St. Monday” yang secara de facto menciptakan sistem 5 hari kerja dalam seminggu 150-200 tahun sebelum pengesahan legalnya (hal ini tentu saja sangat mengecewakan para pemilik pabrik pada zamannya). Butuh jangka waktu yang panjang bagi mereka untuk tunduk pada tirani dari bunyi lonceng (nenek moyang dari bel) kerja. Bahkan dibutuhkan penggantian dari pekerja pria dewasa menjadi wanita yang lebih cenderung bersifat penurut agar lebih mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan pabrik, selama 1-2 generasi lamanya. Para petani yang tereksploitir oleh rezim klasik pun masih mampu merebut kembali waktu-waktu substansialnya dari para tuan tanah—hampir seperempat dari kalender petani Prancis diisi oleh hari-hari libur, juga di masyarakat yang kurang progresif seperti Rusia pada masa Tsar, para petaninya mendedikasikan hari keempat dan kelima untuk beristirahat. Jika kita hanya berlomba-lomba untuk mengontrol produktifitas, jelas bahwa kita tertinggal sangat jauh di belakang masyarakat-masyarakat tadi. Seorang muzhik yang tereksploitasi pun akan heran kenapa ada di antara kita yang bekerja. Kita juga seharusnya menanyakan pertanyaan yang sama.
Untuk dapat secara utuh memahami kemerosotan kita, mari kita lihat kembali kondisi pertama umat manusia, masa tanpa pemerintah maupun kepemilikan, ketika kita masih mengembara sebagai kaum pemburu yang mengumpulkan makanan. Hobbes menyimpulkan pada masa itu hidup sangatlah keras dan brutal. Seterusnya, ia juga menganggap bahwa hidup adalah perjuangan berat untuk tetap bertahan, sebuah perang melawan alam yang kejam, dengan kematian sebagai ganjaran bagi mereka yang tidak cukup kuat (atau beruntung) dalam usaha mempertahankan hidup. Sebenarnya itu hanyalah ketakutan akan jatuhnya sebuah pemerintahan di dalam sebuah masyarakat yang tidak terbiasa hidup tanpanya, seperti masyarakat Inggris pada masa perang sipil zaman Hobbes hidup. Rekan-rekan sejawatnya juga telah menemui masyarakat alternatif dengan cara hidup yang berbeda, terutama di Amerika Utara, tetapi hal ini tentu saja terlalu jauh dari pengalaman mereka untuk dapat dimengerti (orang-orang dari kelas lebih rendah, dapat lebih dimengerti. Selama abad ke-17, penduduk Inggris lebih banyak membelot untuk bergabung dengan suku-suku Indian, sebagian tertangkap saat perang menolak untuk kembali ke koloni Inggris), sementara Darwinisme versi Thomas Huxley lebih disebabkan oleh kondisi ekonomis rakyat Inggris pada masa ratu Victoria ketimbang seleksi alam, seperti yang ditulis sang anarkis Kropotkin dalam bukunya Mutual Aid: A Factor in Evolution (Kropotkin adalah seorang ilmuwan, ahli geografi, yang melakukan penelitiannya saat diasingkan di Siberia, percayalah, dia tahu apa yang ia bicarakan). Akhirnya, seperti kebanyakan teori-teori sosial-politik lainya, dongeng yang diceritakan oleh Hobbes dkk. terdengar seperti sebuah otobiografi yang tidak diakui.
Marshal Sahlins, seorang antrophologis yang melakukan survei-survei pada data-data masyarakat pengumpul-makanan purbakala, menghancurkan Hobbesian lewat artikelnya yang berjudul Mayarakat Makmur Yang Sebenarnya. Di sana ia menuliskan bahwa mereka (masyarakat purba) bekerja lebih sedikit dari kita, dan pekerjaan mereka nyaris tak dapat dibedakan dengan apa yang disebut dengan bermain. Sahlin mengatakan, “pemburu dan pengumpul makanan sangat jarang bekerja, kebutuhan akan makanan hanya muncul sebentar-sebentar, tidak berkesinambungan, waktu bersantai diperbanyak, dan jumlah tidur per kapita adalah yang terbesar bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat manapun.” Mereka bekerja sekitar 4 jam dalam sehari, ini pun dengan mengasumsikan bahwa mereka memang “bekerja”. “Pekerjaan” mereka tampaknya adalah kerja yang membutuhkan keahlian, di mana mereka menggunakan kemampuan intelektual dan fisikal mereka, seperti yang dikatakan Sahlin, “pekerjaan tanpa keahlian, baik dalam skala besar maupun kecil, adalah sesuatu yang mustahil dilakukan oleh masyarakat industri.” Inilah yang menggembirakan, definisi bermainnya Friedrich Schiller, di mana satu-satunya kesempatan bagi manusia untuk menyadari kemanusiannya secara penuh adalah saat membebaskan sifat kembar bermainnya: berfikir dan merasakan. Seperti yang dikatakannya: “binatang bekerja ketika perampasan menjadi dorongan utama aktivitasnya.” Bermain dan kebebasan selalu, dengan tetap menghargai produksi, hidup berdampingan. Bahkan seorang Marx, yang selalu berada di pihak produktivis (dengan seluruh niat mulianya), mengutarakan hasil pengamatannya, “kebebasan tidak dapat direalisasikan sebelum saatnya telah lewat di mana buruh tidak perlu lagi bekerja di bawah dorongan kebutuhan dan keperluan eksternal.” Dia nampaknya tidak pernah bisa menyebut situasi menggembirakan ini sebagaimana yang kita ketahui: penghapusan kerja! Marx agaknya memang kurang sreg untuk menjadi pro-pekerja yang anti-kerja, dia tidak bisa melakukannya, tapi KITA bisa.
Aspirasi untuk hidup tanpa kerja sangatlah nampak dalam sejarah sosio-kultural pra-industri Eropa, di antaranya dalam karya M. Dorothy George England in Transition, serta Popular Culture in Early Modern Europe oleh Peter Burke. Essai dari Daniel Bell yang juga berhubungan Work And It’s Discontents adalah teks pertama (sepengetahuan saya), yang mengangkat tema “pemberontakan terhadap kerja” yang, kalau saja dapat dipahami secara menyeluruh, dapat menjadi koreksi penting bagi volume di mana teks tersebut diterbitkan yaitu The End of Ideologi. Para kritisi nampaknya tidak berhasil menangkap bahwa thesis akhir ideologi tersebut bukanlah bertujuan untuk menandai akhir dari keresahan sosial, akan tetapi sebuah awal dari fase baru yang tak terbatasi oleh ideologi. Adalah Seymour Lipset (dalam bukunya, Political Man) dan bukan Bell, yang pada waktu hampir bersamaan mengatakan, “masalah-masalah yang mendasar dalam Revolusi industri telah berhasil diselesaikan.” Hengkang dari UC Berkeley untuk mengungsi ke Havard yang masih tenang. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, dengan segala antusiasmenya tentang pasar dan devisi kerja, ternyata masih lebih sigap (dan jujur) untuk mengungkapkan sisi gelap dari kerja ketimbang Ayn Ryand, para ekonom Chicago, atau seluruh pengikut modern Smith lainnya, “manusia terbentuk oleh pekerjaan sehari-harinya, seseorang yang menghabiskan hidupnya dengan melakukan sebuah kegiatan sederhana terus-menerus tidak memiliki waktu untuk menggunakan pemahamannya, kemungkinan besarnya ia akan menjadi sebodoh-bodohnya umat manusia.” Ok berikut ini, dengan kata-kata kasar, adalah kritik saya pribadi terhadap kerja. Bell yang menulis pada tahun 1956, sebuah tahun emas dengan keidiotan Eisenhower dan kepuasan diri bangsa Amerika, telah meramalkan kedisorganisasian era 70-an dan seterusnya, yang tak mampu dikekang oleh tendensi politik apa pun yang disebutkan di dalam laporan HEW Work in America, yang tak dapat dieksploitasi (dan karena tidak sanggup). Inilah yang disebut dengan pemberontakan terhadap kerja. Ia tidak dapat dihitung oleh ekonom manapun (Milton Friedman, Murray Rothbard, Richard Posner, …) karena, dengan meminjam idiom Star Trek ia “does not compute”.
Jika semua keberatan ini, dengan berdasarkan akan rasa cinta pada kebebasan, tidak juga berhasil membujuk umat manusia untuk merubah pendapatnya mengenai kerja, masih ada fakta-fakta lain yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kerja bukan saja membahayakan kesehatan, bahkan kerja adalah pembunuhan massal atau pembantaian. Secara langsung maupun tidak, kerja akan membunuh mayoritas orang yang kini tengah membaca tulisan saya. Di AS, sekitar 14.000-25.000 orang yang bekerja terbunuh setiap tahunnya. Lebih dari 2 juta lainnya menjadi cacat. 20-25 juta orang terluka setiap tahun. Angka-angka ini berdasarkan perkiraan yang sangat-sangat konservatif soal apa yang dihitung sebagai kecelakaan kerja. Berarti, per tahun ada setengah juta kasus tentang penyakit-akibat-pekerjaan yang TIDAK dihitung, saya pernah membaca tentang sebuah catatan medis mengenai penyakit-akibat-pekerjan yang panjangnya 1.200 halaman. Tapi fakta-fakta ini pun baru awalnya saja. Statistik lain yang tersedia menunjukan tentang 4.000 orang yang bekerja di antaranya akan mati dalam setahun. Apa yang TIDAK ada dalam statistik adalah milyaran orang yang umumnya diperpendek umurnya oleh bekerja (bukankah ini yang disebut pembunuhan?!). Hitung sendiri para dokter yang membunuh dirinya sendiri dengan terus bekerja di usia 50 tahun, hitung pula para pecandu-pekerja.
Kalaupun kamu tidak terbunuh atau menjadi cacat saat bekerja, kamu mungkin mengalaminya saat berangkat kerja, pulang kerja, mencari kerja, ataupun berlibur (= berusaha melupakan kerja). Mayoritas korban kecelakaan otomotif adalah orang-orang yang tengah melakukan aktifitas kerja ini, ataupun justru menjadi korban mereka yang sedang melakukannya. Tentu saja harus kita masukkan pula mereka yang menjadi korban polusi-industri, juga para alkoholik/pecandu obat-obatan yang disebabkan oleh kepenatan bekerja. Baik penyakit paru-paru maupun penyakit jantung akibat dari bekerja.
Dengan demikian, kerja telah meninstitusionalisasikan pembunuhan menjadi sebuah gaya hidup. Banyak yang menganggap bahwa orang-orang Kamboja itu gila karena menghabisi rakyat mereka sendiri, yayaya... dan apa bedanya dengan kita? Paling tidak rezim Pol Pot masih memiliki pandangan (meskipun harus diakui sangat-sangat kacau) menuju masyarakat yang egaliter. Kita membunuh orang dalam jumlah enam digit per tahun untuk menjual Big Mac dan Motorola kepada yang masih hidup! 50.000 orang yang terbunuh di jalan tol kita setiap tahunnya adalah korban, bukan martir. Mereka mati sia-sia, atau lebih tepatnya, mereka mati demi kerja, dan tidak ada nyawa yang seharusnya mati demi sesuatu yang sia-sia.
Kontrol Negara terhadap perekonomian adalah solusi yang sama menyedihkannya. Kerja justru menjadi lebih membahayakan di Negara-negara “sosialis” ketimbang di sini. Ada ribuan pekerja Rusia yang tewas dalam pembangunan jalur kereta bawah tanah di Moskow, tragedy Chernobyl (yang selama ini ditutup-tutupi), dan bencana-bencana instalasi nuklir Soviet lainnya membuat pemboman WTC terlihat seperti latihan gempa bumi bagi anak-anak SMA. Sementara itu, deregulasi (sesuatu yang tampaknya sedang “in”), tidak akan membantu dan justru makin memperburuk keadaan. Jika dilihat dari sudut pandang, antara lain, kesehatan dan keselamatan kerja berada dalam kondisi terjeleknya pada saat keadaan ekonomi tengah berada dalam kondisi laissez-faire. Ahli sejarah dari Eugene Genovese telah secara persuasif mengatakan bahwa pekerja pabrik-pabrik di Negara bagian Amerika Utara dan Eropa sebenarnya berada dalam keadaan yang lebih buruk dari para budak perkebunan di selatan. Peninjauan ulang terhadap hubungan birokrat-bisnismen tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti pada proses produksi. Implementasi yang serius dari standar-standar yang, secara teoritis wajib dipenuhi, akan berakibat pada terhambatnya perkembangan ekonomi. OSHA, yang menciptakan standar-standar ini, nampaknya sangat mengerti akan hal ini, karena mereka sama sekali tidak pernah berusaha untuk menindak pabrik-pabrik yang melanggarnya.
Apa yang saya katakan sejauh ini sama sekali tidak ada yang kontroversial. Ada sangat banyak pekerja yang sudah muak bekerja, tingginya dan meningkatnya angka absensi, pencurian oleh pegawai, sabotase, pemogokan massal, serta berbagai bentuk sentimen anti tempat kerja lainnya. Mungkin ada pula sebuah gerakan yang menuju kepada kesadaran dan bukan hanya penolakan sementara terhadap kerja. Toh secara keseluruhan, pandangan yang universal di antara para bos, agen-agen mereka, dan bahkan di antara para pekerja sendiri, adalah bahwa kerja adalah sesuatu yang tak bisa dihindari serta dibutuhkan.
Saya tidak setuju! Adalah sebuah hal yang mungkin untuk menghapuskan kerja dan menggantinya, asalkan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, dengan sejumlah kegiatan bebas lain. Untuk dapat menghapuskan kerja, kita harus menyerangnya dari dua sisi: kualitatif dan kuantitatif. Pada sisi kuntitatifnya kita harus menurunkan secara drastis jumlah pekerjaan yang harus dilakukan. Kebanyakan pekerjaan yang ada sekarang ini sama sekali tidak berguna, dan yang harus kita lakukan hanyalah menyingkirkannya. Sementara di sisi yang lain (dan menurut saya ini adalah inti dari permasalahannya, serta merupakan sebuah awal baru yang revolusioner), kita harus merubah pekerjaan yang bermanfaat yang tersisa menjadi sebuah waktu luang yang menyenangkan, tidak berbeda dengan waktu luang yang lainnya KECUALI bahwa ia kebetulan memiliki hasil akhir berupa produk yang bermanfat. Sehingga semua batasan artifisial kekuasaan dan kepemilikan akan runtuh. Kreasi dapat menjadi rekreasi, dan kita dapat berhenti untuk saling mencurigai satu sama lain.
Tentunya tidak akan mengingkari kenyataan bahwa tidak semua pekerjaan dapat diselamatkan dengan cara ini. Lagipula tidak semua pekerjaan itu layak untuk diselamatkan, hanya sebagian kecil pekerjaan saja yang benar-benar memiliki kegunaan di luar usaha mempertahankan dan memproduksi sistem kerja serta kroni-kroni politis legalnya. 20 tahun yang lalu, Paul dan Percival Goodman memperkirakan bahwa dari semua bentuk pekerjaan yang dilakukan saat itu, hanya 5% darinya yang harus kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan minimal kita untuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Walaupun perkiraan mereka hanyalah sebuah tebakan akademis semata, tetapi saya rasa kalian mengerti maksudnya bukan? Secara langsung maupun tidak, kebanyakan kerja memiliki tujuan non-produktif untuk mendapatkan sukses komersil dan kontrol sosial. Dengan menghapuskan pekerjaan-pekerjaan tersebut, kita sekaligus akan memerdekakan ribuan salesman, tentara, manajer, polisi, pialang saham, pemuka agama, bankir, pengacara, guru, tuan tanah, petugas sekuriti, orang periklanan, dan semua yang bekerja untuk mereka. Hal ini juga memiliki efek bola salju, karena untuk setiap orang besar yang kita singkirkan, berarti kita juga membebaskan anak-anak buahnya pula. Dan ekonomi akan rusak dibuatnya.
40% dari tenaga kerja adalah kaum pekerja kerah putih, yang kebanyakan memiliki pekerjaan paling idiotik yang pernah dibuat. Contohnya: industri asuransi, perbankan, dan real estate yang tidak pernah melakukan apa pun selain menumpuk kertas-kertas. Maka rasanya bukanlah sebuah kebetulan jika sektor tertier (bidang jasa) mengalami perkembangan pesat, sementara sektor sekunder (industri) terjebak dalam stagnasi, dan sektor primer (agrikultural = pertanian bagi kalian yang malas membaca!) berada di ambang kepunahan. Karena bekerja tidaklah berguna kecuali untuk mempertahankan kekuasaan bagi yang berkuasa, maka pekerja dipindahkan dari bidang yang bermanfaat ke bidang yang sama sekali tidak bermanfaat sebagai jaminan untuk mempertahankan kontrol atas masyarakat. Itulah sebabnya kamu tidak diizinkan pulang sampai mereka memiliki dirimu. Kalau tidak kenapa juga rata-rata hari kerja dalam seminggu tidak juga berkurang pada 50 tahun terakhir?
Berikutnya kita dapat membahas hasil produksi itu sendiri. Tidak ada lagi perang produksi, tenaga nuklir, junk food, deodoran, dan yang paling penting, tidak ada lagi industri otomotif yang membuat Detroit dan Los Angeles jadi terkenal. Hal tersebut jelas TIDAK bisa diterima. Dengan melakukan itu, berarti kita (tanpa harus repot-repot) telah menyelesaikan masalah krisis energi, krisis lingkungan, serta masalah-masalah sosial yang punya mitos “tak terpecahkan”.
Selanjutnya, kita semua akan melakukan sebuah pekerjaan terberat, dengan jam kerja terpanjang, bayaran terendah, dan tugas-tugas paling menyebalkan. Tahu apa yang saya maksudkan di sini? Saya membicarakan tentang ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga sambil mengurus anak! Dengan menghapuskan kerja-upahan serta menciptakan pengangguran total, kita telah meruntuhkan perbedaan seksual dalam pekerjaan. Yang kita kenal sebagai “keluarga nuklir” merupakan produk adaptasi dari pengkelasan kerja yang disebabkan oleh pekerjaan modern. Suka atau tidak, dalam beberapa abad terakhir mitos seorang lelaki yang bekerja untuk mencari makan bagi keluarganya telah dianggap sebagai hal wajar, sementara itu sang istri melakukan tugas-tugas rumah, dan sang anak terpuruk ke dalam kamp-kamp konsentrasi modern yang disebut “sekolah” agar tidak mengganggu kesibukan ibunya, di mana ia akan mempelajari kebiasaan-kebiasaan menjadi penurut serta tepat waktu, yang merupakan suatu kebutuhan di dalam dunia kerja. Jika kita ingin menghancurkan patriarki, hancurkanlah keluarga nuklir, di mana “pekerjaan bayangan” tanpa bayaran yang dihasilkannya telah memungkinkan sistem-kerja untuk membuat kerja menjadi suatu yang diperlukan. Sesuatu yang juga tak terhidarkan di dalam strategi “anti-nuklir” ini adalah penghapusan sekolah. Di dunia modern ini ada lebih banyak pelajar penuh-waktu daripada pekerja penuh-waktu. Kita butuh anak-anak sebagai guru, bukan murid, karena mereka memiliki lebih banyak peran di dalam sebuah revolusi kegembiraaan ketimbang orang dewasa. Kenapa? Karena mereka jauh lebih ahli dalam bermain daripada kita-kita ini. Orang dewasa dan seorang anak tentu saja tidaklah sama, tapi akan menjadi setara di dalam saling ketergantungan, dan hanya bermainlah yang dapat menjembatani dua generasi yang berbeda.
Satu hal yang belum saya sebutkan pada tulisan ini adalah tentang kemungkinan untuk mengurangi sebagian pekerjaan dengan mengotomatiskannya. Para ilmuwan dan insinyur yang telah terbebaskan dari kejenuhan melakukan riset untuk alat-alat perang akan menyibukkan diri mereka dengan bereksperimen mengenai cara-cara untuk menghilangkan kelelahan atau mengurangi bahaya dari aktivitas semacam menambang. Yang pasti, mereka semua akan menemukan proyek-proyek yang menarik bagi minat mereka. Mungkin mereka akan membangun sebuah sistem komunikasi multimedia yang mencakup seluruh dunia, atau sebuah koloni luar angkasa. Mungkin saja. Secara pribadi, saya memang bukanlah seorang maniak elektronik, hidup di surga teknologi di mana semuanya dapat dilakukan cukup dengan menekan tombol bukanlah salah satu impian saya. Ya, memang tidak ada salahnya dengan teknologi yang dapat menghemat tenaga, tetapi saya kira hal itu janganlah dilakukan secara berlebihan. Catatan-catatan historis maupun pra-historis tentang hal ini tidaklah terlalu membesarkan hati. Saat teknologi produktif meninggalkan masa mengumpulkan makanan menuju masa bercocok tanam dan kemudian masa industrialisasi, kerja semakin meningkat sementara keahlian dan juga determinasi diri semakin menurun. Evolusi berikutnya dari industrialisasi adalah penitikberatan pada apa yang disebut oleh Henry Braverman dengan degradasi kerja. Para pengamat/intelektual sudah lama menyadari hal ini. John Stuart Mill menuliskan bahwa dari semua teknologi pembantu kerja yang pernah ditemukan, tidak satu pun ada yang membantu pekerja menghemat tenaganya. Sementara Karl Marx pernah menulis, “adalah sangat mungkin untuk mencatat semua penemuan, mulai dari tahun 1830, yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan senjata kepada para pemilik modal guna melawan pemberontakan kelas pekerja.” Para penggila teknologi macam Saint-Simon, Comte, Lenin, dan B.F Skiner, semuanya adalah juga teknokrat otoritarian. Kita juga harus bersikap lebih skeptis tentang mistis-mistis mengenai komputer. Mereka adalah pekerja keras, dan jika mereka memiliki kontribusi yang lebih berguna kepada umat manusia selain dari perkembangan hi-tech yang tak terbendung, kita harus mulai mendengarnya.
Yang sebenarnya saya inginkan adalah merubah kerja menjadi sebuah permainan. Langkah pertama untuk memulainya adalah dengan menyingkirkan pemikiran-pemikiran tentang “pekerjaan” dan “mencari nafkah”. Sebetulnya ada aktivitas-aktivitas yang memiliki unsur bergembira di dalamnya, akan tetapi unsur tersebut telah semakin menghilang seiring dengan terdegradasinya aktivitas itu menjadi sebuah “pekerjan”, di mana segelintir pelakunya telah melakukannya dengan terpaksa. Bukankah sangat aneh jika ada seorang petani bermandi keringat di ladang sementara bosnya, yang menghabiskan waktu di ruang berAC, pulang ke rumah setiap akhir minggu dan bermalas-malasan di taman mereka? Di bawah sebuah sistem kerjaan non-permanen, kita akan melihat masa keemasan yang akan membuat kaum Renaissance menjadi malu. Tak akan ada lagi pekerjaan, hanya hal untuk dilakukan dan orang yang akan melakukannya.
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Charles Fourier, rahasia dari merubah kerja menjadi permainan adalah dengan memanfaatkan apa yang ingin dilakukan sejumlah orang. Dalam waktu yang berbeda, dan mengaturnya menjadi sebuah aktivitas yang bermanfaat. Hal tersebut memungkinkan bagi sebagian orang untuk melakukan apa yang mereka suka lakukan—sudah cukuplah untuk menghilangkan irasionalitas aktivitas ini jika ia terdistorsi dalam bentuk sebuah pekerjaan. Saya misalnya, akan sangat menikmati mengajar (asalkan tidak terlalu sering), namun saya tidak ingin memaksa murid saya, juga saya tidak merasa perlu untuk sok bersifat keilmu-ilmuan agar mendapatkan kedudukan tetap sebagai seorang profesor.
Ada juga hal-hal yang suka dikerjakan orang dari waktu ke waktu, asalkan tidak terlalu lama, dan tentunya tidak dikerjakan setiap saat. Kamu mungkin kadang kala menikmati baby sitting selama beberapa jam, sekedar untuk bermain dengan anak kecil, tetapi tentunya tidak sesering orang tuanya. Sementara orang tuanya akan sangat berterimakasih atas waktu yang kamu berikan pada mereka berdua, meskipun mereka berdua akan khawatir jika terlalu lama berpisah dengan anaknya. Perbedaan di antara individual-individual inilah yang memungkinkan kita untuk hidup berdasarkan permainan yang bebas. Prinsip serupa dapat diaplikasikan juga pada aktivitas-aktivitas lainnya, terutama aktivitas-aktivitas primer, karena hampir semua orang akan menikmati saat ia memasak untuk mengisi waktu luangnya, bukan karena ia harus mengisi perut orang lain untuk mencari nafkah.
Hal-hal yang menyebalkan untuk dikerjakan seorang diri, di lingkungan yang tidak menyenangkan, dan atas perintah orang lain dapat menjadi menyenangkan, paling tidak untuk waktu yang tidak terlalu panjang, asalkan kondisi-kondisi tadi dirubah. Hal ini mungkin bisa diterapkan kepada semua jenis pekerjaan. Orang akan memanfaatkan kecerdikannya secara maksimal untuk menjadikan pekerjaan yang membosankan menjadi sebuah permainan. Memang benar bahwa sebuah aktivitas yang menarik bagi satu orang belum tentu dianggap menarik pula oleh orang lain, tetapi paling tidak semua orang memiliki kesukaan yang beragam serta menyukai keragaman. Fourier pernah menspekulasikan bagaimana perilaku yang menyimpang serta kecenderungan sifat suka melawan dapatlah diterapkan pada masyarakat pasca-peradaban, inilah apa yang mereka sebut dengan keselarasan. Menurutnya kaisar Nero tidak akan menjadi orang sakit jiwa, kalau saat kecil ia melepaskan sifat haus darahnya dengan bekerja di rumah jagal. Saya tidak bermaksud untuk mendukung contoh kecil ini, melainkan prinsip dasarnya, yang menurut saya sangatlah masuk akal sebagai salah satu bagian dari sebuah revolusi yang menyeluruh. Tentu saja perlu diingat kembali bahwa kita tidak harus mengambil seluruh pekerjaan yang ada saat ini dan mencocokannya dengan orang yang tepat, jika begitu caranya, maka sebagian darinya harus diisi oleh seorang bajingan yang sesungguhnya.
Di dalam semua ini, peran teknologi adalah untuk mengotomatiskan kerja hingga ke titik punah, dan bukan membuka ruang rekreasi baru. Malah, kita mungkin ingin kembali ke pertukangan, yang menurut William Morris merupakan hasil yang paling memungkinkan serta diinginkan dari sebuah revolusi komunis. Seni akan dirampas kembali dari makhluk-makhluk menyebalkan (=seniman) serta kolektor, akan dihapuskan hak istimewanya sebagai sebuah keterampilan spesial yang diperuntukkan bagi khalayak elit, serta dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai hasil kreasi yang integral dengan kehidupan (di mana ia telah dicuri oleh kerja). Adalah menggelikan bagaimana kita memamerkan di museum, juga menuliskan puluhan puisi, bagi sebuah jambangan yunani yang pada masanya adalah sebuah tempat untuk menyimpan minyak zaitun. Saya meragukan kemampuan artefak-artefak sehari-hari kita untuk dapat menyaingi sukses tersebut di masa datang—itu pun jika memang kita punya masa depan. Intinya adalah bahwa tidaklah ada apa yang disebut kemajuan di dalam dunia kerja, yang bisa kita temukan hanyalah kemunduran. Jika kita melihat apa yang ditawarkan masa lalu, maka kita tidak perlu berfikir dua kali untuk menimbunnya dalam-dalam, para leluhur tidak akan kehilangan apa pun sementara kita diperkaya.
Pada kenyataannya, ada lebih banyak spekulasi sugestif tentang hal ini dari yang disangka oleh kebanyakan orang. Selain Fourier dam Morris (serta beberapa “bocoran” di sana-sini dari Marx), ada pula tulisan Kropotkin, para sindikalis Pataud dan Pouget, anarko-komunis klasik seperti Berkman (ataupun yang baru seperti Bookchin), karya dari Goodman bersaudara Communitas, merupakan contoh bagus untuk menggambarkan bentuk apa yang harus diikuti dari fungsi-fungsi (atau tujuan?) yang diceritakan di atas, dan tentu saja ada banyak yang bisa kita curi dari kaum pengikut “teknologi alternatif” yang sering digembar-gemborkan seperti Schumacher dan (terutama) Illich. Tentu setelah kita hancurkan mesin-mesin kabut mereka. Seperti juga yang telah dicerminkan oleh Raoul Vaneigem dalam Revolution of Everyday Life ataupun lewat antologi mereka, para Situasionist terkenal sangat-sangat riang sekaligus mematikan, meskipun mereka tidak pernah sempat menyelesaikan pengesahan dewan pekerja dengan tuntutan penghapusan kerjanya. Keganjilan mereka tetap lebih baik bila dibandingkan dengan segala versi Kiri-isme yang masih ada, di mana semua pengikutnya adalah pembela sejati konsep kerja, karena tanpa kerja berarti tidak ada pekerja, dan tanpa pekerja, siapa lagi yang tersisa untuk diorganisir.
Karenanya, kaum penghapus kerja kemungkinan besar memang harus melakukannya sendiri. Tak ada seorang pun yang dapat mengetahui apa akibat dari membebaskan kekuatan kreatif yang selama ini terpenjara oleh kerja. Apa pun dapat terjadi. Masalah perdebatan vs kebutuhan akan terpecahkan dengan sendirinya ketika produksi nilai-guna telah seimbang dengan konsumsi aktivitas yang menggembirakan.
Hidup akan menjadi sebuah permainan, atau lebih tepatnya bermacam permainan. Sebuah pertemuan seksual yang optimal adalah sebuah paradigma bagi permainan yang produktif, saat para partisipannya saling membagi kenikmatan yang satu dengan yang lain, tanpa ada orang yang menjaga papan skor, dengan semua orang sebagai pemenang. Semakin banyak yang kau beri, semakin banyak banyak pula yang kau terima. Dalam sebuah kehidupan yang penuh kegembiraan, seks yang menyenangkan akan menjadi bagian penting dalam sebuah kehidupan yang lebih baik, penggeneralisiran permainan juga dapat memancing nafsu birahi akan kehidupan. Dan seks pun tak akan begitu mendesak dan menyedihkan lagi, tetapi menjadi inovatif dan penuh eksperimen. Dengan bermain, kita akan mendapatkan lebih dalam hidup dari apa yang kita dambakan, tetapi hanya bila kita SUNGGUH-SUNGGUH bermain.
Workers of the world.....relax!!!
Bob Black