Jumat, 23 Desember 2011

LAWAN DEMOKRASI!

Teks ini digunakan sebagai bahan pembicaraan awal yang diberikan di London dan Brighton pada tahun 1993, yang berisi ringkasan oposisi kelas pekerja terhadap demokrasi. Direproduksi untuk referensi.

Tujuan dari pembicaraan singkat ini adalah untuk meyakinkan anda sekalian bahwa orang-orang revolusioner haruslah menentang demokrasi dalam setiap variannya.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin mendapatkan argumen tentang penggunaan kata yang keluar dari jalur. Banyak orang akan sepakat dengan apa yang aku bicarakan (atau akan berpikir bahwa mereka sepakat) tapi mereka akan berkata, “Ah iya, tapi apa yang kamu katakan adalah demokrasi borjuis. Apa yang aku maksud dengan demokrasi adalah sesuatu yang berbeda.” Aku ingin mengusulkan bahwa ketika orang-orang berbicara mengenai demokrasi “yang sebenarnya” atau “para pekerja” demokrasi yang bertentangan dengan demokrasi borjuis, pada kenyataannya yang mereka maksud adalah hal yang sama dengan para borjuis memaksudkan demokrasi, walaupun sepintas berbeda. Kenyataan bahwa mereka memilih untuk menggunakan kata demokrasi sebenarnya jauh lebih signifikan daripada klaim mereka. Inilah mengapa penting untuk mengatakan “Matilah demokrasi!”. Sebuah analogi kabur mungkin sama dengan kata “pembangunan" (development). Orang-orang kiri dunia ketiga umumnya akan berkata bahwa mereka sepakat terhadap pembangunan. Ketika kamu berkata, “Bukankah itu yang diinginkan oleh IMF?”, mereka akan menjawab “Bukan, kami menginginkan pembangunan yang sebenarnya”. Ketika kamu berbicara dengan mereka maka kamu semakin menemukan bahwa pada kenyataannya apa yang mereka inginkan sama dengan yang diinginkan oleh IMF... hanya saja IMF lebih realistis dalam memahami maksudnya.

Pandangan dasar pertentanganku di sini adalah bagaimanapun kamu mengklaim menentang hak milik (sebagaimana yang dilakukan oleh para Leninis-Trotskyis-Stalinis) atau bahkan melawan negara (sebagaimana yang dilakukan oleh para anarkis), jika kamu mendukung demokrasi maka sebenarnya apa yang kamu lakukan adalah demi hak milik atau demi negara.

APA SIH DEMOKRASI ITU?

Dalam term yang paling umum, demokrasi adalah peraturan tentang hak-hak dan kesetaraan. Ini adalah hal yang paling mudah untuk melihat bahwa hal tersebut adalah kapitalis. “Hak-hak” mengimplikasikan eksistensi dari para individu yang teratomisasi dalam kompetisi dengan sesamanya. Hal ini juga mengimplikasikan eksistensi dari negara, atau suatu bentuk dari kekuasaan semi-negara, yang menjamin hak-hak masyarakat. “Kesetaraan” mengimplikasikan eksistensi dari sebuah masyarakat di mana orang-orang dapat hak yang sama layak—yaitu sebuah masyarakat yang berdasarkan pada tenaga kerja abstrak. Demokrasi sering didefinisikan sebagai Peraturan Masyarakat—masyarakat selalu dipahami sebagai massa dari warga yang teratomisasi dengan hak-hak.

Pada level yang paling abstrak kamu bisa berkata bahwa kapitalisme adalah sebuah paham yang selalu demokratis. Kamu dapat berkata bahwa demokrasi mengekspresikan esensi dari kapital—jika kamu suka menempatkan sesuatu dalam term-term yang mirip tersebut!—bahwa kesetaraan hanyalah sebuah ekspresi dari kesamaan komoditi-komoditi.

Marx pernah membuat komentar paling nista tentang demokrasi ketika dia mendeskripsikan demokrasi sebagai sesuatu yang “Kristiani”:

“Politik demokrasi adalah Kristiani sebagaimana hal tersebut memandang manusia—bukan hanya satu orang tapi semua manusia—sebagai sebuah makhluk yang berdaulat dan agung; tapi manusia dalam posisinya yang tidak diolah, aspek yang tidak luwes, manusia yang tergantung akan eksistensinya, manusia sebagai dirinya, manusia sebagai bagian yang korup, hilang akan dirinya sendiri, terjual, dan terekspos pada kaidah kondisi dan elemen tidak manusiawi dari keseluruhan organisasi masyarakat kita—dengan kata lain, manusia yang belum menjadi spesies yang sesungguhnya. Kedaulatan manusia—tapi manusia sebagai sebuah makhluk asing (alien) yang berbeda dengan manusia sebenarnya—adalah fantasi, mimpi, postulat dari Kristianitas, sedangkan dalam demokrasi hal itu nyata dan material, sebuah adagium sekuler.”

Marx, On the Jewish Question

JADI, APA KONSEKUENSI PRAKTIS DARI SEMUA HAL INI?

Hal yang paling umum adalah bahwa demokrasi adalah sesuatu yang kontra-revolusi, yang mengekspresikan dirinya sendiri dalam perjuangan kelas yang berada di seputar pertanyaan-pertanyaan tentang kelas penguasa dan organisasi dari kekuasaan tersebut. Dengan “kekuasaan kelas” aku bermaksud memberi pengakuan terhadap kenyataan bahwa kita berada di dalam situasi perang kelas sehingga perlu untuk memajukan posisi kita di dalam perang tersebut, dan untuk memenangkan perang tersebut kita perlu menghancurkan dan membinasakan musuh-musuh kita.

Di jalan yang sama kita tidak akan memberikan hadiah berupa hak-hak pada musuh-musuh kita, maka kita juga tidak akan menuntut hak-hak dari musuh-musuh kita. Hal ini jelas adalah sebuah persoalan yang rumit karena, pada kenyataannya, kerap kali susah untuk membedakan antara menuntut sesuatu dengan menuntut sebuah hak untuk hal tersebut. Aku tidak ingin mencoba untuk berurusan dengan semua aspek-aspek dari pertanyaan ini. Aku akan ambil contoh soal Hak Untuk Mogok sebagai contohnya. Secara umum, sebagaimana yang kiranya Hegel katakan, “dalam setiap hak terdapat kewajiban”. Jadi, sebagai contoh, kamu punya hak untuk bepergian menggunakan transportasi publik dan kewajiban untuk membayar ongkosnya. Hak untuk mogok mengimplikasikan bahwa para pekerja diperbolehkan untuk tidak bekerja secara damai dalam rangka menghormati peraturan publik dan secara umum tidak melakukan apa pun agar membuat pemogokan berjalan efektif. Tidak ada arti lain, bukan? Kesimpulannya, hak adalah sesuatu yang dihadiahkan oleh hukum—kamu bisa berusaha dengan keras mendekati polisi dan memintanya menjagamu saat kamu membakar truk-truk.

Aku pikir bahwa, secara umum, menuntut hak-hak adalah sebuah ekspresi dari kelemahan kelas kita. Kita tidak lagi berkata pada musuh kita, “jika kamu macam-macam dengan kami, akan kami tendang kepalamu,” atau tak perlu basa-basi lagi dan langsung menendang kepala mereka begitu saja. Kita malah berkata “tolong hargai hak-hak kami, kami tidak benar-benar bermaksud untuk membuat kamu rugi.” Tentu saja kelas kita berada dalam posisi yang lemah, dan tak ada jawaban super untuk hal ini. Tapi aku pikir kita bisa melangkah lebih maju dengan mengenali bahwa kelas-menengah baik-baik yang mengkampanyekan hak-hak bukanlah teman yang berada di sisi kita—bahkan meskipun beberapa dari mereka adalah pengacara necis kekiri-kirian yang kadang-kadang membantu mengeluarkan kita dari masalah.

Apa yang kukatakan sejauh ini mungkin tidaklah sekontroversial itu. Apa yang kukatakan sejauh ini menyangkut pengeksklusian kategori-kategori orang-orang tertentu. Ingin mengekslusikan orang-orang dari demokrasi sangatlah cocok dengan menjadi seorang demokrat—sangat menakjubkan berapa banyak liberal akan berkata bahwa mereka secara tak bersyarat mendukung kebebasan berbicara lalu tiba-tiba berubah pikiran ketika seseorang berkata, “hmm, lalu bagaimana dengan para fasis?”

Lebih kontroversialnya, aku sekarang ingin bicara tentang demokrasi “di dalam kalangan kita sendiri”—yaitu, di antara para proletar yang sedang berjuang. Arguman “demokrasi pekerja” biasanya, misalnya, akan berkata “OK, kita tidak punya hubungan demokratis dengan para borjuis tapi di antara diri kita sendiri harus ada persamaan dan kehormatan atas hak yang sempurna”. Ini biasanya dipandang sebagai cara untuk menghindari birokratisasi dan dominasi oleh kelompok kecil dan memastikan bahwa sebanyak mungkin orang terlibat dalam sebuah perjuangan tertentu. Idenya adalah bila orang-orang diijinkan haknya untuk bicara, haknya untuk memilih, dan sebagainya, maka kamu bisa begitu saja ikut pada sebuah pertemuan dan tiba-tiba menjadi bagian dari kolektivitas demokratis ini dan segera jadi terlibat.

APA MAKNA MENDEMOKRATISKAN SEBUAH PERLAWANAN DALAM PRAKTEKNYA?

Maknanya adalah hal-hal semacam:

1) Mayoritarianisme—Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali mayoritas menyetujuinya.

2) Pemisahan antara pembuatan keputusan dan aksi—Tidak ada yang bisa dilakukan sampai setiap orang punya kesempatan untuk mendiskusikannya. Ini bisa dilihat sebagai analogi terhadap pemisahan antara lengan-lengan legislatif dan eksekutif pemerintah dari sebuah negara demokrasi. Bukanlah kebetulan bahwa diskusi-diskusi di dalam organisasi demokratis biasanya mirip dengan debat parlementer!

3) Penjelmaan dari pandangan bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya—Struktur demokratis menelah mentah-mentah pandangan “perang dari semua melawan semua” dan melembagakannya. Perwakilan selalu harus bisa digulingkan sehingga mereka tidak akan mengejar agenda tersembunyi mereka sendiri yang, sayangnya, tentu saja dimiliki setiap orang.

Semua prinsip-prinsip ini mewujudkan atomisasi sosial. Mayoritarianisme karena setiap orang setara dan biasanya punya satu suara. Pemisahan antara pembuatan keputusan dan aksi karena hanya adil bila kamu berkonsultasi dengan tiap orang sebelum bertindak—kalau tidak maka kamu telah melanggar hak mereka. Sebuah contoh menyebalkan dari hal ketiga—penjelmaan pandangan tidak ada yang bisa dipercaya—adalah tuntukan untuk “Hak Fraksi” yang disampaikan oleh para Trotskyis. Biasanya mereka meminta ini ketika sebuah organisasi berusaha menjatuhkan mereka. Apa yang bisa terjadi dengan hak ini adalah kebebasan untuk berplot dan berkonspirasi melawan anggota lain dari apa yang seharusnya sebuah organisasi kelas pekerja. Jelasnya, tidak ada organisasi komunis sejati yang tertarik dengan ide manapun dari hak fraksi ini.

Hal kedua lah dari prinsip-prinsip ini yang menjadi bagian terpenting dan butuh ditekankan di sini.

Prinsip-prinsip demokratis ini hanya bisa berdiri berlawanan seutuhnya dengan perlawanan kelas karena, secara definisi, perlawanan kelas menyiratkan lepasnya diri dari atomisasi sosial dan pembentukan semacam komunitas—bagaimanapun sempit, samar-samar atau temporernya hal ini.

Peristiwa-peristiwa besar dalam perjuangan kelas hampir tidak pernah dimulai dengan pemungutan suara atau konsultasi dengan setiap orang. Peristiwa-peristiwa tersebut hampir selalu dimulai dengan aksi oleh sekelompok minoritas nekad yang lepas dari pasifitas dan isolasi proletar mayoritas di sekitar mereka. Mereka lalu mencoba menyebarkan aksi ini lewat contoh daripada lewat argumen beralasan. Dengan kata lain, pemisahan antara pembuatan keputusan dengan aksi selalu dilanggar dalam prakteknya. Para populis sayap-kanan (dan sebagian kecil anarkis) mengeluh bahwa aktivitas-aktivitas yang membuat masalah (trouble-making) diorganisir oleh kelompok-kelompok aktivis yang ditunjuk oleh diri mereka sendiri dan tidak mewakili siapa pun kecuali diri mereka sendiri.... dan, tentu saja, hal itu benar!

Aksi mogok penambang di Inggris pada tahun 1984-1985 memberikan banyak contoh penuh inspirasi tentang bagaimana perlawanan kelas anti-demokrasi dalam prakteknya. Pemogokan itu sendiri tidak dimulai dengan demokratis—tidak ada pengambilan suara, tidak ada serentetan pertemuan massa. Aksi tersebut dimulai dengan mogok yang dilakukan oleh para pekerjanya lalu disebarkan dengan papan tuntutan yang beterbangan. Selama pemogokan tersebut ada persekutuan tidak suci dari sayap kanan Partai Buruh dan Partai Komunis Revolusioner mengatakan bahwa penambang harus mengadakan pengambilan suara nasional. Para penambang paling militan secara konsisten menolak ini, mereka lalu mengatakan hal-hal seperti, “orang kudisan tidak punya hak untuk menggagalkan pekerjaan orang lain”—yang merupakan susunan kata-kata demokratis tapi aku kira kamu pun tahu bahwa sikap di baliknya jelas-jelas bukan. Kadang-kadang, para anggota Partai Komunis Revolusioner dipukuli dan dipanggil “Tories”[*] karena dukungan mereka terhadap pemungutan suara.

Ada juga sejumlah contoh sabotase dan perusakan properti milik Coal Board, yang seringkali diorganisir oleh semacam “regu pemukul” semi-klandestin. Jelasnya, aktivitas-aktivitas semacam itu, tidak bisa diorganisir secara demokratis—tak peduli pada seberapa besar penerimaan mayoritas pemogok atasnya.

KOMUNITAS PERLAWANAN

Konsep yang telah aku gunakan di sini, dan yang aku cukup lekat padanya, adalah “komunitas perlawanan”. Jelasnya, sebuah pertanyaan yang akan ditanyakan adalah, “Bila sebuah komunitas perlawanan tidak beraksi secara demokratis, bagaimana dia beraksi?”. Tidak ada jawaban sederhana untuk ini, kecuali dengan mengatakan bahwa dasar aksi adalah rasa percaya dan solidaritas antara orang-orang yang terlibat dan bukan kesetaraan hak-hak. Sebagai contoh, bila kita ingin mengirim seseorang sebagai utusan/delegasi (baiklah, aku tidak suka dengan kata “perwakilan”) untuk menyebarkan perlawanan kita tidak akan memaksa mereka dipilih oleh setidaknya 51% peserta rapat atau agar mereka membawa telepon genggam sehingga kita bisa memanggil mereka kembali pada suatu waktu dan mengganti mereka dengan orang lain. Kita akan memaksa agar mereka dapat dipercaya dan bisa diandalkan—seorang kamerad terpercaya lebih berharga dari seribu perwakilan yang bisa digulingkan! Tentu saja, akan ada sejumlah besar komponen politis untuk kepercayaan ini—kita tidak akan mengirim seorang anggota Partai Buruh karena pandangan-pandangan politik mereka akan secara otomatis membuat mereka bertindak melawan kepentingan kelas pekerja.

MASYARAKAT KOMUNIS

Akhirnya, aku ingin mengatakan beberapa hal tentang implikasi semua ini terhadap karakter masyarakat komunis.

Ide tentang revolusi komunis sebagai reorganisasi demokratis yang sangat luas dari sebuah masyarakat sangatlah kuat, bahkan dengan tendensi politik yang kita pikir mungkin ada sesuatu yang sedang mendukung mereka. Dewan Komunis (seperti Pannekoek) secara harfiah melihat dewan pekerja sebagai parlemennya kelas pekerja. Bahkan para Situationis telah mengadakan pembicaraan serius tentang demokrasi—bicara tentang “demokrasi langsung” dan sebagainya. Kalau kamu membaca Enrages and Situationists in the Movement of the Occupations kamu akan menemukan mereka membuat berbagai klaim tentang bagaimana aksi-aksi mereka mengekspresikan kehendak demokratis dari Perhimpunan Sorbonne (Sorbonne Assembly) ketika jelas-jelas mereka terus-menerus melanggar keputusan majelis atau hanya memintanya memberi stempel karet pada apa yang mereka lakukan.

Secara umum, bukanlah kebetulan bahwa orang-orang yang membela demokrasi juga cenderung membela swakelola (self-management)—yaitu mengambil kendali sebongkah masyarakat ini dan menjalankannya sendiri. Hubungannya sangat sederhana—komunisme adalah tentang mentransformasikan hubungan-hubungan sosial, bukan hanya tentang mengubah rezim-rezim politik, seperti yang diinginkan oleh para demokrat.

Dalam kasus dewan komunis, swakelola sudah sangat jelas menjadi bagian darinya. Soal para Situasionis, terdapat lebih dari satu kasus dari mereka yang tidak membuat gebrakan nyata dari orisinalitas swakelola mereka.

Contoh lain dari permasalahan semacam ini bisa jadi adalah konsep “perencanaan”, yang aku tahu membuat banyak orang tertarik. Untukku, “perencanaan” menyiratkan kita semua akan berkumpul bersama dan memutuskan apa yang akan kita lakukan 5 tahun ke depan untuk kemudian kita pergi dan melakukannya. Ini terdengar seperti contoh lain dari ketertarikan pada momen pembuatan keputusan. Jadi sebagai komunis, yang bisa dibilang: musuh demokrasi, kupikir kita haruslah sangat curiga pada konsep perencanaan. Sebagai lawan dari sosial-demokrasi kita harus menolak demokrasi dalam setiap bentuknya sebagaimana kita menolak sosialisme.


Wildcat UK


Keterangan:

[*] Tory adalah partai ultra-konservatif di Inggris yang mendambakan persatuan negera-negara Britania Raya. Sementara Tories adalah julukan bagi para penganut paham konservatif dan anggota partai Tory. Secara umum, mereka mengadvokasikan monarkisme.

TEKNOFASIS KAPITALISME

TEKNOFASIS KAPITALISME:
PERSPEKTIF PESIMIS TENTANG KAPITALISME, TEKNOLOGI, DAN PENINDASAN MANUSIA




... if the natural utilization of productive force is impeded by the property system, the increase in technical devices, in speed, and in the sources of energy will press for an unnatural utilization... (Walter Benjamin)[1]


PENDAHULUAN
Ada banyak pandangan terhadap teknologi modern. Pandangan dominan melihat teknologi modern sebagai cahaya terang yang akan membebaskan manusia dari jerat kelangkaan (scarcity) dan kemiskinan. Di kalangan Marxis, Lenin berpandangan optimis terhadap teknologi modern dan mengatakan bahwa komunisme tiada lain adalah kekuasaan Soviet plus kelistrikan. Karena keyakinan inilah kemudian Lenin, dan terutama di tangan Stalin, Uni Soviet memaksakan industrialisasi yang telah mengantar Uni Soviet ke jajaran negara-negara dengan teknologi maju terpenting di dunia[2]. Karl Marx sendiri pernah memuji borjuasi sebagai kelas revolusioner tidak hanya karena berhasil menumbangkan hegemoni feodalisme, tetapi juga karena mereka sanggup menghasilkan teknologi sebagai kekuatan produktif modern dengan kemakmuran yang dihasilkannya jauh melampaui prestasi peradaban-peradaban yang pernah ada sebelumnya[3].

Namun, di antara suara-suara optimis, ada juga keluhan-keluhan yang tidak hanya kritis, tetapi juga pesimis. Kaum kritis-pesimis[4] melihat pembebasan yang pernah diemban borjuasi dengan teknologi modernnya hanyalah bayangan maya dari wujud sebenarnya yang ternyata menindas. Teknologi modern dan perkembangannya di bawah dorongan akumulasi dan ekspansi kapital ternyata hanya mengabdi kepada kapital, bukannya demi kemaslahatan umat manusia. Dengan teknologi modern, Kapitalisme menjadi sistem yang kian totaliter dan berupaya mengendalikan manusia beserta kehidupannya. Tulisan ini akan mengulas dan mempertahankan pandangan kritis-pesimis tentang kedudukan teknologi di bawah formasi sosial Kapitalisme, khususnya dalam pembentukan tatanan totaliter yang menindas manusia bahkan hingga ke akar definisinya.

PARADOKS PEMBEBASAN TEKNOLOGI KAPITALIS
Kapitalisme tidak hanya dibangun di atas pengusiran-pengusiran, kolonisasi, dan kokangan senjata. Ia juga dihidupi semangat pembebasan. Seruan terpenting revolusi borjuis ialah kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan. Demi pembebasan manusia dari penindasan ini, sebagai kelas tertindas di dalam formasi sosial feodal, borjuasi berjuang penuh semangat memenggal semua kepala naga feodal dalam perang panjang mereka. Mereka tebas leher Louis XIV dan mendirikan parlemen; mereka runtuhkan kuasa Paus dan mencetak Alkitab untuk umat awam; mereka lepaskan uang dan pasar dari kerangkeng perupetian kuno dan membiakkan ekonomi pasar-bebas; mereka juga berhasil ciptakan ilmu dan teknologi modern yang mengubah pandangan tentang bumi dan menjadikannya salah satu tumpuan proyek industrialisasi. Dihapuslah segala mitos tentang omong-kosong indahnya hirarkhi dan sucinya bumi. Semua manusia setara di hadapan Kapitalisme, dan bumi bukanlah Bunda Agung atau ladang semaian kasih Tuhan tetapi sekadar sumberdaya yang harus dikeruk demi produksi kekayaan. Pokoknya, Kapitalisme telah memberangus semua sumber derita dan cerita-cerita palsu yang pernah hidup di jaman sebelumnya[5].

Kapitalisasi pertanian dan sistem pabrik di Inggris di akhir abad ke-18 telah membebaskan para petani-hamba dari belenggu upeti dan ikatan-ikatan perhambaan[6]. Keluarga-keluarga petani kini lepas dari kewajiban-kewajiban hina untuk menghamba pada tuan tanah. Tuan-tuan tanah bebas memerdekakan hamba dan menjual atau menyewakan tanah-tanahnya. Para hamba yang telah bebas ini betul-betul bebas untuk bekerja atau tidak; bebas untuk hidup atau mati. Perempuan-perempuan di dalam keluarga mereka juga bebas untuk bekerja ataupun tidak. Para tuan feodal tidak lagi punya hak untuk meniduri mereka tanpa membayar. Di dalam Kapitalisme, lepas sudah derita panjang perempuan sebagai makhluk nista. Sejak matahari cerah sistem pabrik dan industrialisasi menyingsing di Inggris dan kemudian menyebarkan kehangatannya ke penjuru dunia lewat kolonisasi dan imperialisme, perempuan menjadi setara dengan laki-laki. Perempuan boleh bekerja dan menjual dirinya bila menghendaki. Bila pun tidak, itu bukan soal. Pilihan ada pada perseorangan. Tapi mesti diingat, satu-satunya sumber kehidupan bagi siapa saja yang tidak memiliki kapital atau tanah ialah menjual tenaganya kepada yang punya.

Pertanyaannya: dari mana Kapitalisme mendapat kekuatannya membentuk masyarakat baru yang ‘membebaskan’ sekaligus menciptakan bentuk penindasan baru itu? Karl Marx, dalam Das Kapital[7], menjelaskan bahwa penghisapan nilai-lebih, akumulasi kapital, dan ekspansi kapital hanya dimungkinkan dengan peningkatan kekuatan produktif. Meski bukan satu-satunya, teknologi adalah kekuatan produktif yang memungkinkan munculnya sistem pabrik, kolonisasi, dan akhirnya, pasar dunia. Tujuan akhir pengembangan teknologi adalah meningkatkan serta melindungi akumulasi dan ekspansi kapital. Teknologi menghapus semua batas-batas, geografis maupun mitologis. Ruang, waktu, dan psikologi dipampatkan sedemikian rupa sehingga pengekang gerak kapital sepenuhnya (atau paling tidak hampir seluruhnya) ditumbangkan. Teknologi modern adalah agen pembebas. Semuanya dibebaskan, terutama kekang kapital. Hanya melalui gerbang nilai paling mulia dalam Kapitalisme inilah segalanya lewat. Tidak ada kartu pas untuk tujuan lain.

Teknologi modern yang perkembangannya didorong hasrat akumulasi dan ekspansi kapital punya satu ciri pokok: ia tidak akan berhenti berkembang. Hanya tuhan dan siluman yang bisa menghentikannya. Selama keduanya tidak turut campur, teknologi kapitalis akan terus-menerus berkembang. Mengapa? Bukan karena fitrahnya ia berkelakuan demikian. Ia hanya ‘sesuatu’ buatan manusia. Akarnya tidak berada dalam teknologi itu sendiri. Segala hal di dunia ini sejak peradaban Jericho hingga sekarang, ialah pantulan dari tatanan dan dinamika masyarakat, dan kalbu terdalam tatanan dan dinamika masyarakat adalah produksi-distribusi-pertukaran; ringkasnya ekonomi-politik. Copernicus tidak diperlukan sejarah selama pandangan dunia masyarakat melihat bumi itu datar seperti meja sehingga eksplorasi sumber-sumber kekayaan terhalang oleh naga-naga penjaga tepi bumi. Ia dilahirkan sejarah ekonomi-politiknya. Begitu pula sistem kredit dan ekonomi spekulasi beserta Internetnya sekarang ini. Jadi, dari mana teknologi memiliki daya linuwih mengembangkan dirinya terus-menerus?

Bagi kaum pesimis, teknologi memanggul kutukan ketika ia pertama kali disentuh tangan Kapitalisme. Ruh Absolut Kapitalisme atau nilai pemandu gerak kehidupannya ialah akumulasi dan ekspansi kapital. Seperti bocah manja yang dilahirkan dari keluarga kaya yang boros, Kapitalisme akan selalu meminta lebih dan lebih tanpa pembatas selain kematiannya sendiri. Akumulasi kapital hanya mungkin dengan ekspansinya. Ekspansi kapital hanya mungkin lewat akumulasi penghisapan nilai-lebih. Akumulasi penghisapan nilai-lebih hanya mungkin dengan memeras tenaga kerja. Pemerasan tenaga kerja hingga tetes terakhirnya tidaklah mungkin. Tenaga kerja tidak boleh diperas sampai kering sebab kematiannya akan merusak semua roda mesin Kapitalisme. Lalu apa yang bisa dilakukan? Peningkatan produktivitas kerja, tentu saja. Caranya ialah meningkatkan efektivitas dan efisiensi dengan meningkatkan teknik dan perkakas.

Peningkatan produktivitas atau dengan istilah lain ‘pembebasan kapital dari halangan untuk terakumulasi dan berekspansi’ ternyata seperti Marduk yang telah membebaskan peradaban Babilonia dari sopan-santun terhadap Bunda Bumi Tiamat. Ia meminta korban. Tidak tanggung-tanggung, korban yang diminta adalah manusia. Di dalam Discipline and Punish, Michel Foucault mengajukan pandangan bahwa di bawah kapitalisme, teknologi produksi saja tidak cukup untuk menjaga akumulasi kapital. Kapitalisme memerlukan metoda baru untuk menata proses akumulasi kapital ini dengan teknik akumulasi manusia sebagai sumberdaya atau apa yang disebut Foucault sebagai ‘teknologi pendisiplinan’[8]. Akumulasi kapital dan akumulasi manusia tidak bisa dipisahkan. Tidaklah mungkin pemecahan masalah akumulasi manusia dibereskan tanpa pertumbuhan perangkat produksi yang memungkinkan keberlangsungan hidup dan pemanfaatannya. Sebaliknya, teknik-teknik yang memungkinkan akumulasi kapital didukung oleh pemanfaatan teknik-teknik pelangsungan dan pemanfaatan manusia. Dengan kata lain, mutasi-mutasi teknologis perangkat produksi, pembagian kerja, dan penerapan teknik-teknik pendisiplinan merupakan satu kesatuan yang memungkinkan Kapitalisme tetap hidup sebagai sebuah sistem totaliter.

Teknik pendisiplinan seperti apa yang (harus) berkembang dalam Kapitalisme? Yaitu yang meresapkan pengawasan sampai ke tulang sum-sum atau Foucault menyebutnya dengan Panoptisisme. Teknik ini jauh lebih manusiawi, halus, elegan, dan canggih ketimbang teknik-teknik jaman feodal. Tubuh tidak dikurung secara fisik, tidak dilecut, dicambuk, atau dihancurkan, tetapi ia disusupi miliaran menara pengawas gaib yang menuntun tubuh untuk patuh bahkan sebelum ia menyadarinya. Tubuh di sini bukanlah badan wadag semata. Ialah tubuh-berkesadaran, kesadaran-menubuh, tubuh-tubuh populasi, dan dinamika kuasa atasnya disebut Foucault sebagai biopolitik. Mengapa harus demikian? Senjata ideologis yang dulu digunakan borjuasi melawan tirani feodal tentu tidak bisa dilenyapkan. Ideal kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan malah menjadi salah satu ikatan nilai pokok dalam kebudayaan borjuis. Tentu tidak istiqomah bila nilai-nilai mulia ini hanya untuk mereka. Bukankah mereka berjuang sebagai wakil umat manusia di muka bumi?

Dalam persoalan pendisiplinan tubuh, teknik ‘manajemen sumber daya manusia’ yang dikembangkan di universitas-universitas dan diterapkan di perusahaan-perusahaan hanya salah satu teknik pendisiplinan. Sekolah, media massa, persekutuan agama, partai politik, keluarga, bahkan serikat-serikat buruh adalah aparatus-aparatus pendisiplinan yang penting. Bukan hanya proletariat yang didisiplinkan, tetapi semua. Bukan hanya mereka yang di pabrik yang didisplinkan oleh Kapitalisme, tetapi semua orang, semua golongan, baik di kafe, sekolah, lembaga penelitian, kampus, pos ronda, rumah, parlemen, pengadilan, atau markas serikat buruh. Merekalah pengawas-pengawas tata tertib dan semua orang adalah kadet-kadet siap perang demi akumulasi dan ekspansi kapital. Seperti Mungkar dan Nakir, aparatus pendisiplinan mencatat dan melaporkan segalanya kepada Kapitalisme. Saluran catatan dan laporan ini salah satunya ialah ilmu (pengetahuan).

Henri Lefebvre, dalam the Survival of Capitalism, mengajukan dua kesimpulan terkait dengan peranan ilmu dalam Kapitalisme. Ilmu ialah kepanjangan tangan dari teknik akumulasi dan ekspansi kapital. Ilmu sosial, misalnya, menjadi alat kendali politik dari ibadah Kapitalisme ini[9]. Hal ini berlaku bagi ekonomi, politik, psikologi, sosiologi, dan tentu saja antropologi. Ada pembauran antara ilmu ideologis dan siasat akumulasi kapital. Contohnya, di dalam babak Kapitalisme-lanjut dari 1950 hingga 1970-an, sosiologi menjadi alat kendali kehidupan sosial secara tak langsung, terutama lewat dominasi teori-teori fungsionalisme dan interaksi simbolik-nya yang masyur itu[10]. Secara langsung, ilmu-ilmu sosial menjadi pemasok data (terutama yang dibangun lewat statistik) yang dijual ke pengguna melalui media bank datanya. Ilmu-ilmu kealaman bahkan berada dijantung akumulasi itu sendiri. Ilmu kealaman secara langsung menyatu ke dalam produksi lewat teknologi dan pengembangan permesinan demi akumulasi. Akhirnya Lefebvre menyimpulkan bahwa Kapitalisme tidak lagi soal akumulasi sederhana kekayaan atau peningkatan kinerja perkakas-perkakas produksi, tapi juga soal akumulasi teknik, informasi, serta pengetahuan pada umumnya untuk mengendalikan manusia dan kehidupannya.

Di luar ilmu, media massa, terutama televisi yang merupakan anak kandung perkembangan teknologi elektronika modern dan disebut Lefebvre tiada lain sebagai ‘piranti produksi tontonan’, memeragakan atau menjelaskan nilai-nilai dan norma Kapitalisme melalui tampilan ‘sederhana’[11]. Media massa bukan saluran jutaan informasi demi memenuhi kebutuhan pemirsa, tapi lebih sebagai podium ‘pengkhotbahan’ yang mewartakan Kabar Baik, menuntun, dan merekayasa kebutuhan pemirsa. Media massa menempatkan pemirsa sebagai umat awam yang pasif menerima curahan berkah dari kerangka pikir dan cara hidup yang selaras dengan kebudayaan Kapitalisme.

Dalam pandangan Herbert Marcuse, kebudayaan Kapitalisme ialah kebudayaan komoditi; kebudayaan yang berbasis pengejaran laba. Di bawah kebudayaan ini semua nilai ditakar dengan takaran komoditi atau laku-atau-tidaknya di pasar. Tujuan kehidupan bermasyarakat seperti kerja, produksi barang, produksi budaya dan penciptaan seni, pendidikan, dan lain-lain berada di bawah pengawasan hukum besi komoditi yang tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya, tetapi kebutuhan semu yang direka-reka. Segala tujuan diarahkan dan diperjuangkan sepanjang ‘laba’ menghendaki. Produksi umum bukan untuk memenuhi kebutuhan manusiawi tetapi agar terjual. Kebutuhan manusiawi yang sebenarnya, terutama komunikasi dan kebersamaan, malah tidak terpenuhi[12]. Dalam kebudayaan komoditi, “manusia tidak (perlu) lagi saling berhubungan sebagai sesama manusia. Benda-benda material telah mengambil alih hubungan antarmanusia yang seharusnya manusiawi itu”[13].

Bagi Marcuse, teknologi bermain penting dalam pengendalian dan rekayasa keinginan; menggiring manusia seperti seorang gembala menggiring domba-domba patuhnya ke dalam kerangkeng yang menjadikan dimensi-dimensi manusia yang beraneka itu cuma tinggal satu: sebagai komoditi belaka. Manusia yang dipandang sebagai benda akhirnya ikut memandang dirinya (tanpa disadarinya) tak lebih dari sekadar benda. Ketika sedang mengkritisi teknologi kepatuhan rezim-rezim otoriter, F. Budi Hardiman menyimpulkan bahwa “Dalam era industrialisasi dan teknologisasi masyarakat, manusia mengadaptasi dirinya dalam dunia teknis dan memperlakukan dirinya sendiri sebagai suatu komponen dalam sebuah sistem produksi”[14]. ‘Individu-individu bebas’ ditempatkan oleh dan menempatkan dirinya sebagai sekrup mesin raksasa produksi kekayaan. Di dalam keadaan seperti ini, akhirnya, mengambil perumpamaan Theodore Adorno, manusia di bawah rezim kebudayaan Kapitalis berperilaku “... seperti narapidana yang mencintai kerangkengnya karena tidak ada hal lagi yang bisa dicintai”[15].

Di dalam sistem teknofasis kapitalisme ini, seperti dalam agama-agama totaliter, keluar jalur berarti murtad dan hukumnya jelas: pembasmian. Di dalam pandangan Marcuse dan kaum pesimis lainnya, tidak ada sekam menyala sepercik pun yang bisa menerangi kegelapan dalam kebudayaan kapitalis. Semua bara telah dipadamkan. Semua pintu telah terkunci. Kita yang berada di dalamnya haruslah terbiasa dengan dan mencintai kegelapan. Ideal revolusi proletariat yang pernah menjadi bara pembakar kini telah padam. Ia telah menjadi sejarah abad ke-20; sudah menjadi mitos serta dongeng sebelum tidur yang hanya cocok untuk meredakan lelah setelah sepanjang hari menjadi sekrup mesin Kapitalisme. Walter Benjamin, seorang pesimis lainnya, tidak sedang bernubuat ketika menulis:

“Pertentangan-pertentangan yang ditimbulkan oleh modernitas melawan bakat-bakat kreatif manusia [...] melampaui batas kekuatan-kekuatan manusia. Dapatlah dimengerti kalau manusia menjadi lelah dan mencabut nyawanya sendiri”[16] (dikutip Hardiman 2007, 88-9).

OTOMASAI TEKNOLOGI, ILUSI PEMBEBASAN, DAN KELANJUTAN PENINDASAN
Dalam kepustakaan Marxis, ada Grudrisse, buku setebal kitab suci yang isinya ancangan kasar, komentar-komentar, dan catatan-catatan terkait dengan penulisan buku tentang ekonomika. Grundrisse menyimpan gagasan tentang munculnya tatanan masyarakat jenis baru di dalam Kapitalisme yang berlandaskan perkembangan teknologi paling maju yang disebutnya tahap otomasi (automation)[17].

Menurut Marx, otomasi akan meluas sehingga mesin-mesin canggih berswadaya sanggup menggantikan tenaga manusia. Produksi tidak lagi bertumpu kepada manusia, tetapi kepada teknologi sebagai porosnya. Bila di masa sebelumnya mesin hanya bisa ‘bekerja’ di bawah kendali manausia, maka dalam tahap otomasi teknologi, mesin-mesin bisa ‘bekerja’ sendiri dan manusia sekadar membantunya. Mesin dan teknik-teknik produksi modern memungkinkan produksi yang efisien dan sedikit saja membutuhkan tenaga kerja manusia sehingga banyak waktu luang yang dihasilkan. Dalam keadaan seperti ini manusia (kelas pekerja) tidak lagi diperbudak oleh ekonomi dan bisa meluangkan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Namun sayangnya kekuatan produktif baru yang membebaskan manusia dari kerja-fisik tersebut ternyata tidak untuk kemaslahatan semua orang. Tujuan pokok dalam pengembangan teknologi bukanlah meringankan beban manusia, tetapi semata-mata untuk meningkatkan daya hisap kegiatan produksi atas nilai-lebih. Bagi kelas pekerja, waktu kerja bukannya menjadi semakin berkurang, tapi malah bertambah, dan waktu luang yang dihasilkan teknologi otomasi hanya dimanfaatkan untuk akumulasi dan ekspansi kapital lebih lanjut. Meminjam istilah Anthony Giddens[18], ekonomi kapitalis adalah ‘ekonomi tunggang-langgang’ yang terus berlari mengejar bayangan kepalanya sendiri, dan di dalam sistem ekonomi seperti ini perkembangan teknologi seperti apapun justru merupakan malapetaka ketimbang juru selamat.

Selain itu, tahap otomasi juga diiringi oleh terbentuknya kelas-kelas pekerja baru yang lebih terampil, berpendidikan, dan akrab dengan teknologi tinggi. Kelas pekerja baru ini akan menggeser kelas pekerja tradisional. Kelas pekerja lama ini pada akhirnya akan menjadi setumpuk cadangan industrial yang ‘berguna’ untuk mempertahankan rata-rata pengeluaran kapital-kerja di masa-masa krisis. Kebutuhan akan jenis pekerja baru yang berpendidikan tinggi pada ujungnya mengharuskan kapitalis memperdulikan persoalan pendidikan yang selama ini masih menjadi ‘eksternalitas’ dalam perhitungan ekonomi mereka. Paling tidak, kapitalis harus mendesak Negara sebagai lembaga yang dikhayalkan otonom itu untuk mengerjakan pekerjaan kapitalis menghasilkan tenaga-tenaga kerja jenis baru ini. Tentu saja, proses menghasilkan tenaga-tenaga kerja jenis baru ini tidak boleh dilepaskan dari rancangan untuk menghasilkan ‘sumberdaya manusia’ yang patuh karena reproduksi kapital harus selaras dengan reproduksi sumberdaya manusia seperti yang disinyalir Foucault.

Di sisi lain lembaga-lembaga pendidikan bukan lagi sekadar lembaga kebudayaan dengan ideal-ideal borjuasi lama yang bertujuan meningkatkan martabat manusia di dunia modern ini. Dengan meningkatnya ketergantungan kapitalisme kepada pengoperasian teknologi canggih, maka lembaga-lembaga pendidikan lebih merupakan lembaga produksi jasa penghasil komoditi yang bernama pengoperasi teknologi. Ilmu pengetahuan menjadi semakin terkomodifikasi dan terkena langsung oleh hukum pasar kapitalis. Ilmu menjadi semakin teknis dan ilmu-ilmu yang semakin dekat dengan proses sirkulasi kapital akan semakin berkembang, sementara ilmu-ilmu yang jauh dari sirkulasi kapital semakin surut. Sejak akhir dasawarsa 1980-an, jenis ilmu terapan baru, teknik informatika, muncul dan berkembang pesat. Tentu saja bukan karena kurikulum, kualitas pengajar, dan sumbangsihnya bagi kemanusiaan yang membuat teknik informatika, administrasi niaga, hukum, manajemen bisnis, dan psikologi industri lebih berkembang ketimbang arkeologi, antropologi, filologi, sastra, atau filsafat. Sebabnya jelas terkait dengan perubahan moda sirkulasi kapital dan keterkaitan ilmu-ilmu tersebut dengannya.

Selain itu, dengan berubahnya sirkulasi kapital berupa kecenderungan ekonomi dunia yang bergerak ke arah ekonomi spekulasi finansial berbasis internet atau yang dalam istilah Giddens disebut ekonomi elektronik global (global electronic economy/GEE)[19], teknik-teknik manajemen sumberdaya manusia juga harus berubah. Tidak lagi untuk mengendalikan tubuh-tubuh pekerja upahan di pabrik-pabrik, tetapi untuk mengontrol pikiran sehingga di mana saja mereka bekerja, maka mereka bekerja sesuai dengan kepentingan kapital.

Sekali lagi, perkembangan teknologi hingga pada tahap otomasi yang semestinya banyak membebaskan manusia dari beban kerja fisik dan menyumbang pada peningkatan waktu luang yang dihasilkan peningkatan produktivitasnya, ternyata tidak untuk manusia, tapi untuk kepentingan berhala kapital yang kini semakin mirip dengan Marduk, tuhan yang diciptakan peradaban Babilonia yang telah membebaskan manusia dari penghambaan terhadap batas-batas alamiah Bunda Bumi. Seperti juga Marduk, kapital dipuja. Doa-doa dan kurban bakaran dipanjatkan. Kurban itu adalah manusia sendiri.

PENUTUP
Dari sudut pandang pesimis, di dasar kotak Pandora Kapitalisme tidak ada lembar harapan[20]. Kelangsungan formasi sosial Kapitalisme tidak cukup dengan terpenuhinya kebutuhan akan bahan baku, pasokan tenaga kerja murah, dan pasar dunia yang terbuka lebar, tetapi jauh lebih dalam lagi terkait persoalan penyeragaman-kesadaran melalui berbagai aparatus ideologis yang menyusupkan ke dalam tubuh satu generasi ke generasi berikutnya tentang segala kewajaran dunia sosial dalam Kapitalisme. Teknologi tidak hanya berperan sebagai alat dalam mewujudkan kesuraman nasib manusia ini. Ia mungkin satu-satunya pemeran paling penting. Ia telah mengangkut manusia dari kedudukan sebagai pencipta menjadi sekadar ciptaan. Ia mengasingkan manusia dari perannya sebagai pelaku dan pembentuk kehidupan menjadi sekadar wayang-wayang bisu yang bergerak kesana-kemari mengikuti tangan dalang gaib yang mahakuasa: Kapital. Seperti tersurat dari pernyataan Walter Benjamin di muka, di bawah naungan Kapitalisme, peningkatan teknologi lebih berperan sebagai malaikat petaka ketimbang juru selamat, entah bagi manusia ataupun bagi lingkungan.


Zorosastro Wardoyo,
Perhimpunan Muda


CATATAN KAKI:
[1] W. Benjamin, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, dalam Continental Philosophy: An Anthology (disunting W. McNeill dan K.S. Feldman), Massachusetts dan Oxford: Blackwell Publishers, 1998, hlm. 250.

[2] F. Magnis-Suseno, Teknologi dalam Tayangan Filosofis, Pijar-pijar Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 2005, hlm. 26.

[3] lihat K. Marx dan F. Engels, The Communist Manifesto, New York: International Publishers, 2004.

[4] Di dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan kaum kritis-pesimis terutama merujuk kepada Herbert Marcuse dan mereka yang melihat semata-mata keburukan sistem teknologi modern di bawah Kapitalisme.

[5] Borjuasi berasal dari istilah burg (kota-benteng) dan burgher (penduduk kota benteng yang hidupnya dari sektor perdagangan, keuangan, dan industri di akhir jaman feodal Eropa). Tentang peran borjuasi dalam perjuangan pembebasan dari penindasan feodal dan membangun basis tatanan sosial modern, lihat Kuntowijoyo, Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa, Jogjakarta: Ombak, 2005.

[6] proses kapitalisasi pertanian ini berlangsung berbeda-beda masa di berbagai tempat, namun pada dasarnya dimulai di Inggris akhir abad ke-18 lalu merembet ke Jerman dan Prancis. Dari negeri-negeri Eropa tersebut kapitalisasi pertanian merambah negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika seiring dengan gencarnya kolonisasi dan penjajahan yang menghancurkan tatanan sosial feodal di sana (lihat K. Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi-Politik Buku I, Jakarta: Hasta Mitra, 2004, hlm. 800-832; kasus Indonesia lihat M. Hoadley, Toward a Feudal Mode of Production, West Java 1680-1800, Sinagpora: ISEAS, 1994; J. Kahn, Merchantilism and the Emergence of Serville Labour in Colonial Indonesia, The Anthropology of Pre-capitalist Society (Joel Kahn ed.), London: Macmillan, 1984, hlm. 185-213.

[7] Marx, Karl, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Buku I, Jakarta: Hasta Mitra, 2004.

[8] M. Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, terjemahan Alan Sheridan, New York: Pantheon, 1978, hlm. 216-228.

[9] H. Lefebvre, The Survival of Capitalism, New York: St. Martin’s Press, 1976, hlm. 111-112.

[10] Di Indonesia, dominasi teori modernasi pada masa Orde Baru merupakan contoh peran ilmu sosial dalam akumulasi kapital. Teori modernasi bukan hanya salah satu teori dominan dalam ilmu sosial di Indonesia, dia menjadi ilmu sosial itu sendiri (lihat H. Farid, Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (V.R. Hadiz dan D. Dakhidae, ed.), Jakarta: Equinox Publishing Indonesia, 2006, hlm. 187-217).

[11] Lefebvre, op.cit, hlm. 74-75.

[12] H. Marcuse, One Dimensional Man, Boston: Beacon Press, 1964.

[13] F.K. Sitorus, Menuju Dunia yang Filosofis: Rekonstruksi Historis Lukacs atas Roh Absolut Hegel, Jurnal Filsafat Driyarkara, XXVII No. 2, 2004, hlm. 71.

14] F.B. Hardiman, Tubuh dan Mesin: Mengurai Teknologi Kepatuhan, dalam Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Jakarta: Penerbit Kompas, 2005, hlm. 117.

[15] dikutip F.B. Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Jogjakarta: Kanisius, 2007, hlm. 108.

[16] ibid, hlm. 89-89.

[17] K. Marx, Grundrisse: the Foundations to the Critique of Political Economy, terjemahan dan pengantar oleh M. Nicolaus, Harmondsworth: Penguin Books dan New Left Review, 1973, hlm. 692-695.
[18] A. Giddens, Dunia yang Lepas Kendali: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2004.
[19] ibid, hlm. xv.

[20] Dalam mitologi Yunani Kuno, seorang Dewi bernama Pandora diberi sebuah kotak yang diamanatkan untuk tidak dibuka. Pandora membukanya dan keluarlah segala kehajatan dan kenistaan ke dunia manusia tanpa bisa dicegah dan ditutupi. Namun, ketika semua isi kotak keluar, Pandora melihat ada lembar harapan di dasarnya.


KEPUSTAKAAN
Benjamin, Walter, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, dalam Continental Philosophy: An Anthology (disunting W. McNeill dan K.S. Feldman), Massachusetts dan Oxford: Blackwell Publishers, 1998, hlm. 244-252.

Farid, Hilmar, Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (V.R. Hadiz dan D. Dakhidae, ed.), hlm. 187-217, Jakarta: Equinox Publishing Indonesia, 2006.

Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, terjemahan Alan Sheridan, New York: Pantheon, 1978.

Giddens, Anthony, Dunia yang Lepas Kendali: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2004.

Hardiman, F. Budi, Tubuh dan Mesin: Mengurai Teknologi Kepatuhan, dalam Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, hlm. 114-146, Jakarta: Penerbit Kompas, 2005.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Fragmentaris, Jogjakarta: Kanisius, 2007.

Hoadley, Mason, Toward a Feudal Mode of Production West Java 1680-1800, Singapore: ISEAS, 1994.

Kahn, Joel, Merchantilism and the Emergence of Serville Labour in Colonial Indonesia, The Anthropology of Pre-capitalist Society (Joel Kahn ed.), hlm. 185-213, London: Macmillan, 1984.

Kuntowijoyo, Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Jogjakarta: Ombak, 2005.

Lefebvre, Henri, The Survival of Capitalism, New York: St. Martin’s Press, 1976.

Magnis-Suseno, Franz, Teknologi dalam Tayangan Filosofis, Pijar-pijar Filsafat, hlm. 25-39, Jogjakarta: Kanisius, 2005.

Marcuse, Herbert, One Dimensional Man, Boston: Beacon Press, 1964.

Marx, Karl, Grundrisse: the Foundations to the Critique of Political Economy, terjemahan dan pengantar oleh M. Nicolaus, Harmondsworth: Penguin Books dan New Left Review, 1973.

Marx, Karl, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Buku I, terjemahan Oey Hay Djoen, Jakarta: Hasta Mitra, 2004.

Marx, Karl dan Frederick Engels, The Communist Manifesto, New York: International Publishers, 2004.

Sitorus, Fitzgerald K. Menuju Dunia yang Filosofis: Rekonstruksi Historis Lukacs atas Roh Absolut Hegel, Jurnal Filsafat Driyarkara, XXVII No. 2, hlm. 63-77, 2004.

Senin, 19 Desember 2011

SWA-ORGANISASI OTONOM DAN INTERVENSI ANARKIS: SEBUAH TEGANGAN DALAM PRAKSIS

INTRODUKSI: BEBERAPA DEFENISI DAN PENJELASANNYA

Potensi perjuangan pembebasan apa pun yang terjadi di antara mereka yang tereksploitasi dan terampas mestinya berdasarkan pada pengorganisasian diri yang otonom. Sebagai anarkis, yang biasanya berada disekitar mereka yang tereksploitasi, kita memiliki banyak alasan untuk berpartisipasi dalam/dan mendorong bentuk perjuangan semacam ini. Akan tetapi semenjak kita juga memiliki ide-ide spesifik mengenai arah dari perjuangan kita dan tujuan revolusioner yang juga spesifik, bentuk partisipasi kita mengambil bentuk intervensi yang mencoba menggerakkan perjuangan dalam arah yang lebih spesifik. Tak memiliki hasrat untuk menjadi vanguard atau pun pemimpin atau berada dalam suatu permainan politis yang tanpa kegembiraan sama sekali, kita menemukan diri kita sendiri berada dalam suatu ketegangan yang mencoba untuk menghidupkan konsepsi perjuangan dan kebebasan kita dalam konteks realitas yang tak bebas sama sekali, mencoba untuk menghadapi masalah-masalah keseharian yang kita hadapi melalui bentuk penolakan kita untuk bermain menurut aturan dunia ini. Hingga kini, pertanyaan mengenai swa-organisasi yang benar-benar otonom dan bentuk intervensi ala anarkis telah menjadi masalah yang sering dihadapi, menolak untuk jatuh ke dalam jawaban-jawaban mudah serta keyakinan dalam “kemujaraban” pola organisasional. Untuk mulai mengeksplorasi pertanyaan ini mari kita mulai dengan beberapa defenisi dan penjelasan-penjelasan mengenai hal tersebut.

SWA-ORGANISASI OTONOM

Ketika saya berbicara mengenai swa-organisasi, saya berbicara mengenai fenomena spesifik yang cenderung muncul kapan pun orang-orang, yang dibuat marah karena kondisi mereka dan kehilangan keyakinan pada mereka yang didelegasikan untuk bertindak bagi mereka, memutuskan untuk bertindak bagi diri mereka sendiri. Swa-organisasi yang otonom oleh karena itu sama sekali tidak pernah terwujud dalam bentuk partai politik, serikat pekerja atau pun jenis organisasi representatif lainnya. Semua bentuk seperti ini mengklaim diri sebagai representasi dari orang-orang yang sedang berjuang, serta bertindak atas nama mereka. Dan hal yang mendefenisikan swa-organisasi yang otonom sesungguhnya merupakan penolakan atas semua bentuk representasi. Partai-partai serikat buruh dan bentuk organisasi representatif lainnya cenderung berinteraksi dengan organisasi otonom hanya dalam bentuk rekuperator dari suatu perjuangan, berusaha keras untuk mengambilalih kepemimpinan dan mengesankan diri mereka sendiri sebagai juru bicara dari mereka yang sedang berjuang–seringkali dengan tujuan untuk bernegosiasi dengan para penguasa. Dengan cara demikian, mereka hanya dapat dilihat sebagai pengambilalih kekuasaan yang sangat potensial di mana pun pemberontakan nyata dari mereka yang mengorganisir diri sendiri terjadi.

Swa-organisasi otonom memiliki sifat esensial yang mendefenisikannya. Paling pertama adalah non-hirarkis. Tak ada aspek institusional, kepemimpinan permanen, atau pun otoritas di dalamnya.Ketika seseorang terbukti memiliki pengetahuan secara khusus berkenaan dengan persoalan-persoalan spesifik yang berkaitan dengan perjuangan yang sedang dilakukan akan mendapat perhatian yang sepatutnya diterima olehnya atas pengetahuan tersebut, hal ini tak dapat dibiarkan begitu saja menjadi dasar bagi peran kepemimpinan permanen apa pun, sebab hal tersebut dapat merusak sifat/karakter esensial dari pola organisasi-diri yang otonom tersebut, yang terdiri atas: bentuk komunikasi horizontal dan pertalian/hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan persoalan yang terkait dengan komunikasi satu dengan yang lain, interaksi, pengekspresian keinginan serta hasrat secara terbuka, mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi bersama dan dalam terminologi praksis, tanpa memerlukan kepemimpinan apa pun untuk memenuhi ekspresi ini sesuai jalur-jalur yang ada. Hal tersebut membawa kita pada sifat mendasar lainnya, salah satu yang menjadi hal kontroversial bagi ideologi-ideologi kolektivis, namun itu merupakan satu-satunya jalan untuk menjamin sifat yang pertama : unit yang mendasari swa-organisasi otonom adalah individual. Di lain pihak, hal itu dapat membantah bahwa semua bentuk negara dan dunia bisnis adalah bentuk swa-organisasi yang otonom, sebab dalam level institusional dan kolektif mereka juga mengorganisir diri mereka sendiri, namun individu-individu yang terdiri dari komponen-komponen manusiawi tersebut terdefenisikan oleh institusi semacam ini dan ditempatkan sesuai (atau berdasar pada) kebutuhan-kebutuhan institusional.

Jadi swa-organisasi yang otonom di atas semuanya ialah individu yang mengorganisir perjuangannya sendiri atas kondisi-kondisi yang dipaksakan terhadap dirinya, atau menemukan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenangkan perjuangan itu. Tetapi di antara sumber-sumber yang diperlukan itu hal yang tak kalah pentingnya juga ialah relasi/hubungan dengan orang lain, oleh karena itu bentuk swa-organisasi otonom juga berarti praktek-praktek secara kolektif. Namun praktek kolektif tersebut tidaklah berdasarkan pada bentuk penyesuaian masing-masing individual terhadap kebutuhan organisasional yang dipaksakan, tapi lebih kepada pembentukan relasi-relasi yang mutual di antara mereka di mana setiap orang akan menemukan area-area komunalitas di setiap perjuangan dan kebutuhan mereka demi suatu realisasi sepenuhnya dari individu-individu yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya untuk mengklarifikasi point tersebut (dan meng-counter dikotomi keliru yang seringkali timbul di lingkungan revolusioner), siapa pun dapat melihat dalam terminologinya sebagai bentuk perjuangan kelas yang revolusioner. Ketika detail-detail yang berbeda, anti-negara, para kaum revolusioner anti-kapitalis pada umumnya setuju bahwa “tugas revolusioner” dari kelas yang tereksploitasi ialah untuk menghapus kelas itu seperti halnya struktur kelas masyarakat.

Apakah makna dari pernyataan tersebut dan apakah itu terjadi pada rangkaian perjuangan revolusioner? Hal itu bagi saya justru berarti suatu bentuk penemuan diri sebagai individual di mana hasrat, keinginan, serta mimpi-mimpinya tak memiliki relasi apa pun dengan apa yang ditawarkan oleh kapital, setiap hasrat, keinginan, serta mimpi-mimpi tersebut terpenuhi dalam suatu asosiasi bebas dengan yang lain berdasar pada mutualitas dan affiniti. Ketika, dalam rangkaian perjuangan, yang tereksploitasi mulai menemukan metode-metode mengorganisir aktivitas mereka sendiri secara bersama-sama, proses pengabolisian diri mereka sebagai kelas telah dimulai semenjak mereka telah mulai benar-benar berbicara dan bertindak kepada masing-masing orang sebagai individual-individual. Akhirnya, swa-organisasi otonom itu pun terpraksiskan. Semua itu bukan merupakan usaha dari bentuk organisasi formal apa pun untuk merepresentasikan segala hal. Hal tersebut lebih condong untuk mengajukan elemen-elemen yang diperlukan untuk menyelesaikan beragam tugas dan aktivitas bagi suatu perjuangan tertentu.

Hal ini cenderung akan mengikutsertakan perkembangan dari setiap pola komunikasi, cara untuk mengkoordinasikan bentuk aksi, cara untuk mengumpulkan perangkat yang dibutuhkan dan demikian seterusnya. Berikutnya kita akan melihat selanjutnya, dalam perjuangan skala yang lebih luas, bentuk pertemuan yang bertujuan untuk mendiskusikan hal-hal yang diperlukan, hal ini bukanlah suatu bentuk struktur yang terformalkan, namun merupakan metode-metode spesifik guna menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi.

INTERVENSI ANARKIS

Para anarkis dan juga kita seringkali berada di antara/atau menjadi yang tereksploitasi. Dengan demikian, kita memiliki kebutuhan yang sangat mendesak untuk berjuang melawan tatanan sosial ini. Pada saat yang sama, kita menghadapi perjuangan keseharian tersebut dengan kesadaran perspektif revolusioner dan disertai pula oleh ide-ide spesifik mengenai bagaimana untuk mewujudkan perjuangan tersebut. Oleh karena itu, tak bisa dihindari lagi bahwa bentuk partisipasi kita sebagai para anarkis akan mengambil suatu bentuk intervensi. Maka adalah hal yang berguna untuk mencoba mempertimbangkan mengenai apa yang menjadikan partisipasi kita sebagai bentuk intervensi.

Paling pertama, sebagai para anarkis, kita muncul dalam setiap perjuangan dengan perspektif revolusioner yang berkesadaran. Apa pun bentuk spesifik yang memprovokasi munculnya suatu pemberontakan, kita mengenalinya sebagai aspek dari suatu tatanan sosial yang mesti dihancurkan dengan tujuan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi suatu eksistensi yang bebas serta memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki (self-determined). Perjuangan dan pemberontakan secara umum terprovokasi oleh keadaan-keadaan tertentu, bukan oleh pengakuan massa atas keinginan untuk menghancurkan negara, kapital, dan semua institusi yang membawa segala bentuk dominasi dan eksploitasi. Intervensi Anarkis, oleh karena itu, berusaha untuk memperluas perjuangan melampaui segala batasan yang mungkin menjadi penyebabnya, untuk menegaskan, tidak hanya di dalam perkataan, tapi melalui aksi yang dapat menghubungkan masalah-masalah spesifik yang dihadapi dengan realitas secara luas dari tatanan sosial yang ada di sekitar kita. Hal ini akan disertai oleh penemuan dan membongkar komponen-komponen yang sama di antara beragam perjuangan dan demikian juga dengan perbedaan yang dapat meningkatkan kualitas dari bentuk pemberontakan yang lebih luas.

Karena kita para anarkis yang muncul di setiap bentuk perjuangan apa pun dengan perspektif revolusioner yang spesifik, Adalah tugas dan keinginan kita untuk mengajukan suatu metodologi perjuangan yang menyertakan perspektif ini di dalamnya, suatu metodologi prinsipil yang menyediakan basis/dasar bagi keterlibatan kita di segala bentuk perjuangan. Metodologi yang saya bicarakan di sini adalah bukan hanya suatu metodologi perjuangan, namun sesuatu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sejauh mungkin. Pertama, suatu perjuangan mesti benar-benar dijauhkan dari segala bentuk organisasi representatif. Kita perlu mengenali serikat buruh dan partai-partai sebagai pengambilalih kekuasaan dan mulai untuk menentukan aktifitas spesifik kita di setiap perjuangan kita sendiri, tanpa perlu memperdulikan tuntutan-tuntutan dari partai-partai tersebut. Kedua, praktek-praktek kita memerlukan aksi-aksi langsung yang sesungguhnya–mencermati bagaimana cara untuk menyelesaikan tugas-tugas spesifik yang mewakili keberadaan kita, dan bukannya menuntut otoritas atau pun sesuatu yang “representatif” untuk berjuang bagi diri kita. Ketiga, kita perlu untuk tetap terlibat dalam konflik permanen dengan tatanan sosial yang kita lawan dengan mempertimbangkan hal-hal yang spesifik, terus memelihara setiap serangan kita dengan tujuan untuk memperjelas bahwa kita sama sekali tak memiliki tujuan untuk terekuperasi. Keempat, kita perlu untuk melakukan serangan, serta menolak untuk bernegosiasi atau pun berkompromi dengan mereka yang berkuasa. Metodologi seperti ini turut disertai oleh prinsip swa-organisasi dan keinginan revolusioner untuk menghancurkan tatanan kekuasaan saat ini.

Karena sifat alamiah dari aspirasi anarkis yang kita miliki tersebut, maka intervensi kita dalam akan selalu mengekspresikan dirinya sebagai tekanan di beberapa level tertentu. Hal yang paling pertama, seperti yang saya katakan, sebagian besar dari kita (para anarkis) juga merupakan bagian dari mereka yang tereksploitasi dan yang terampas hak-haknya dalam tatanan sosial saat ini, dan bukan menjadi bagian dari kelas penguasa atau pun kelas pengatur. Dengan demikian, kita menghadapi suatu realitas yang sangat dekat dengan mereka yang ada di sekitar kita, dengan hasrat yang sama untuk suatu relief yang sama pula. Akan tetapi kita juga memiliki hasrat untuk suatu tatanan dunia yang baru dan hendak membawa hasrat ini ke dalam setiap perjuangan kita, bukan hanya sekedar kata-kata saja, namun dalam setiap bentuk praksis yang kita lakukan.

Jadi, terdapat tekanan di dalamnya yang dengan sadar bergerak melalui otonomi dan kebebasan di bawah kondisi-kondisi yang menyesakkan/menindas. Di samping itu, kita memiliki cara-cara spesifik yang kita hendaki akan menyertai setiap perjuangan dan perjalanan kehidupan kita. Metode sperti ini adalah berdasarkan pada relasi-relasi/pertalian yang horizontal dan juga bentuk penolakan atas hirarki dan vanguardisme/kepeloporan. Dengan demikian ada semacam tekanan/tensi yang berusaha keras untuk menemukan jalan guna mengedepankan konsepsi-konsepsi yang kita miliki tentang bagaimana melakukan perjuangan yang mampu mendorong berbagai tendensi-tendensi yang eksis melalui swa-organisasi dan aksi langsung yang takkan berakhir menjadi metode-metode evangelisme politis. Kita, karena itu, mencari cara untuk menghubungkan para kamerad dan accomplices, bukan pemimpin. Dan kemudian terdapat tekanan yang menginginkan untuk segera bertindak melawan tekanan dari orang-orang ini terhadap hidup kita, bagaimana pun juga, tingkat perjuangan saat ini untuk sementara ini dapat menghindarkan tendensi vanguardisme mana pun.

Dalam beberapa hal, intervensi anarkis merupakan tali penyelamat antara menghidupkan setiap perjuangan dalam kehidupan kita sehari-hari dan menemukan jalan untuk menghubungkan perjuangan ini dengan perjuangan dari mereka yang tereksploitasi, yaitu orang-orang yang sama sekali belum menyadari perspektif yang kita miliki, suatu koneksi yang sangat diperlukan jika kita ingin mengarah pada suatu bentuk insureksi sosial dan revolusi. Kekeliruan dalam satu arah akan mengembalikan perjuangan kita berbalik ke kondisi semula, mentransformasikannya ke dalam hedonisme radikal individu yang tak memiliki relevansi sosial apa pun. Suatu kesalahan di arah yang lain akan menjadikan perjuangan kita hanya sekedar bentuk persaingan ala partai politik (apa pun nama yang diberikan untuk menyembunyikan kenyataan ini) untuk mengontrol perjuangan sosial. Itulah sebabnya mengapa kita perlu untuk mengingat bahwa kita pada dasarnya sama sekali tidak mencari pengikut atau pun penganut, namun kaki tangan dalam suatu kejahatan kebebasan.

Intervensi anarkis dapat terwujud di bawah dua kondisi tertentu: di mana perjuangan yang terorganisir-sendiri dari mereka yang tereksploitasi sedang berjalan/mengalir, atau di mana situasi tertentu/spesifik membutuhkan respon yang cepat dan usaha keras para anarkis untuk mendorong metode-metode swa-organisasi. Contoh dari situasi yang pertama seperti pemogokan yang dilakukan oleh gerakan wildcat dalam bagian di mana para anarkis dapat mengekspresikan solidaritas, mendorong tersebar luasnya pemogokan, menyingkap penghianatan oleh serikat, memberikan kritik yang lebih luas mengenai serikat sebagai insitusi dan berbagi visi mengenai perbedaan cara pandang mengenai dunia dan kehidupan dibanding sekedar bekerja untuk menjaga kelangsungan bertahan hidup pada level-level tertentu. Kita akan melihat jenis dari contoh-contoh yang lain dibawah ini. Jenis intervensi yang kedua seperti dalam pembangunan pangkalan nuklir di sebuah area di mana seseorang atau polisi membunuh orang-orang miskin dan minoritas. Hal itu segera membutuhkan respon yang cepat, dan dalam menghadapi situasi-situasi semacam ini para anarkis akan memilih untuk menjaga dan mendorong respon-respon otonom dengan menggunakan aksi langsung ketimbang membuat tuntutan-tuntutan terhadap mereka yang berkuasa. Cara yang tepat yang mana para anarkis dapat mengintervensi -tangan dalam situasi semacam ini akan sangat bergantung pada kondisi yang ada. Namun titik penekanannya adalah selalu pada mendorong kecenderungan menuju otonomi, swa-organisasi, dan aksi langsung daripada menekan perspektif politik.

BEBERAPA PERISTIWA SEJARAH DAN SITUASI SAAT INI

Untungnya, sejak kehidupan yang tercuri dari mereka sering mencapai level kemarahan pada kondisi serta rasa tidak percaya pada aturan2 dan pada mereka yang mengklaim merepresentasikan mereka yang tereksploitasi, tidaklah sulit untuk menemukan contoh-contoh mengenai praktek swa-organisasi otonom. Dalam beberapa kondisi, kita juga dapat menemukan beberapa contoh-contoh intervensi melalui para revolusioner anti-politik ( meskipun tidak melulu para anarkis) dalam perjuangan ini. Sebagai tambahan, saya telah menemukan satu contoh mengenai intervensi anarkis dalam merespon situasi-situasi yang spesifik, di mana mereka berperan untuk mendorong swa-organisasi, aksi langsung melawan pangkalan instalasi nuklir di Sisilia. Mari kita lihat beberapa contohnya.

ITALIA TAHUN 1970-AN

Selama tahun 1970-an, italia mendapatkan pengalaman yang massif mengenai gerakan sosial yang juga menyertakan para pekerja, pelajar, kaum miskin dan kaum muda yang tereksploitasi, dengan wanita yang berperan penting dalam aktifitas tersebut. Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari gerakan ini boleh dikata otonom dari organisasi yang biasanya yang mengklaim merepresentasi/mewakili gerakan dari mereka yang tereksploitasi. Tak juga serikat buruh atau pun partai-partai yang mampu menggiring pergerakan dan kecurigaan dari organisasi-organisasi ini sedemikian tinggi dan makin membesar semencolok usaha yang dilakukan oleh partai-partai dan serikat buruh dalam merekuperasi atau mendiskrediktkan perjuangan-perjuangan yang menunjukkan sifat mereka yang paling mendasar.

Rangkaian perjuangan-perjuangan ini, berbagai macam bentuk pemogokan wildcat yang berbeda bentuk, demonstrasi yang massif, sabotase, masifnya pendudukan bangunan dan ruang-ruang publik yang lain, pertempuran jalanan dengan para polisi dan para fasis dan sejumlah besar bentuk-bentuk lain dari aksi langsung telah mengambil tempat di sepanjang negeri. Berkaitan dengan hal itu, perjuangan bersenjata mulai terbentuk dalam beragam bentuk yang berbeda, seringkali kurang spektakuler dan terspesialisasi dalam kelompok-kelompok seperti Red Brigades. Guna mengkomunikasikan realitas dari perjuangan ini dengan yang lain dan mengkoordinasikan beragam aktivitas, dewan-dewan mulai terbentuk secara spontan di berbagai pabrik, Universitas yang diduduki serta di lingkungan pemukiman. Diskusi-diskusi dan debat yang penuh semangat telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kondisi mendasar masyarakat saat ini dan bagaimana melakukan perlawanan terhadap hal tersebut dalam tingkat level tertinggi, termasuk mempertanyakan kerja dan tidak hanya dalam wilayah spesifik seperti kondisi kerja, pernikahan dan keluarga sebagai sumber dari penindasan gender dan relasi umur, dari aparatus teknologis dan sifat alamiah dari produksi dan demikian seterusnya.

Tentu saja, terdapat sekian banyak anarkis dan para kaum revolusioner anti-politik lain yang juga turut terlibat dalam pergerakan ini. Intervensi mereka turut mengambil bentuk yang mungkin akan saya sebutkan beberapa. Terdapat banyak sekali publikasi-publikasi yang menyebarluaskan analisa-analisa anarkis dan anti-politik mengenai rangkaian insureksi tersebut. Sejumlah besar stasiun radio pembajak mulai eksis dan sangat menolong dalam meningkatkan penyebarluasan informasi mengenai perjuangan spesifik dalam wilayah di mana mereka berlokasi. Terkait dengan hal tersebut, banyak para anarkis (dan juga yang lain) secara bersama dalam kelompok affiniti melakukan serangan-serangan spesifik dan aksi-aksi sabotase yang berhubungan dengan aspek-aspek spesifik dari perjuangan yang sedang berlangsung tersebut. Banyak dari kelompok-kelompok ini muncul secara temporer dengan tujuan untuk melengkapi aksi yang lebih spesifik. Salah satu kelompok bersenjata yang spesifik, Azione Rivoluzionaria (AR) juga turut menumbuhkan perspektif anti-politik, anti-otoritarian, dan anti-kapitalis.

Saat membaca teks-teks teoritis dan communiques, semakin jelas bahwa kelompok tersebut secara luas terinspirasi oleh Vaneigem. Untuk semua kepentingan praktis, adalah federasi informal dari kelompok affniti yang melakukan beragam serangan bersenjata terhadap institusi kekuasaan. Tidak seperti Stalinis Red Brigades, yang sangat jelas berniat untuk menjadi partai bersenjata yang akan menggiring para proletariat menuju kemenangan, AR hanya memandang keberadaan mereka sebagai sebuah langkah maju dari generalisasi perjuangan bersenjata. Meskipun demikian, perjuangan bersenjata tersebut melakukan serangannya dalam cara yang memungkinkan untuk ter-spektakuler-kan dan terpisah dari perjuangan yang lebih luas, cara demikian dalam tataran praktis telah menjadi bagian yang sangat spesial dalam satu perangkat khusus suatu perjuangan.

Perjuangan insurgen pada tahun 1970-an di Italia telah berkembang sangat maju. Tentu saja banyak revolusi yang berhasil diketahui/tercium (termasuk oleh, sangat disayangkan, otoritas). Adalah hal yang tak mungkin untuk mengetahui hal yang lebih luas dari aktivitas spesifik para anarkis atau revolusiner anti-politik lain yang telah mempengaruhi arah dari suatu pemberontakan besar, namun banyak dari bentuk intervensi (mulai dari radio untuk melakukan sabotase hingga yang lebih dari itu) terbukti sangat berguna. Dan dalam cara di mana banyak dari perjuangan otonom–khususnya aksi-aksi yang berskala kecil–yang terorganisir mengingatkan pada ide-ide dan praktek para anarkis yang dipengaruhi oleh ide-ide Galleani. Jika kelompok-kelompok seperti Azione Rivoluzionaria jatuh ke dalam peranan yang lebih spesifik, maka hal itu akan menumpulkan kegunaan dari aktivitas yang mereka lakukan, banyak di antaranya yang tidak, dan di dalalamnya terdapat suatu kapasitas bagi kritik yang sangat serius di tengah perjuangan yang memungkinkan kita untuk belajar dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Pada akhirnya, kerasnya represi negara yang dikombinasi dengan ditaburkannya benih kesalahpahaman di antara pemberontakan tersebut telah membawa pada kenyataan hilangnya pergerakan semacam ini. Ketika negara menghantam, pergerakan itu tidak dalam kondisi yang siap untuk mempertahankan diri. Meskipun isyarat dari kemungkinan untuk memperluas perjuangan bersenjata masih ada (individu-individu yang tidak menjadi bagian dari kelompok bersenjata manapun mulai perlahan mempersenjatai diri mereka untuk tujuan mempertahankan diri), kombinasi dari berbagai pernyataan yang berasal dari kelompok-kelompok kiri tertentu mengatakan bahwa waktunya belumlah matang untuk melakukan konflik bersenjata yang dikombinasikan dengan spektakulerisasi yang dilakukan oleh media terhadap kelompok-kelompok bersenjata tertentu guna mencegah munculnya kejelasan dari pertanyaan ini. Meskipun demikian, uraian yang sangat penting dari analisa para anarkis mengenai keadaan saat ini telah muncul guna menyelesaikan berbagai pertanyaan tentang bagaimana suatu perjuangan bersenjata itu dibentuk, terkait bentuk intervensi para anarkis, perjuangan bersenjata dan seterusnya. Dan masalah yang sangat besar terkait eksperimentasi dan bentuk eksplorasi melalui jalur-jalur semacam ini yang terus berlanjut di Italia hingga saat ini.

SPANYOL PADA TAHUN 1976-1979

Pada Desember tahun 1975, Franco, yang telah menjadi rezim diktator di Spanyol selama lebih dari 35 tahun, meninggal dunia. Saat rezim yang baru mencoba untuk mengembalikan tatanan ke dalam bentuk negara demokratik, gerakan wildcat menggebrak kemungkinan yang terbuka bagi tatanan masyarakat yang baru di mana negara dan para majikan tak akan memperoleh tempat sama sekali. Pergerakan wildcat tersebut berhasil merefleksikan beberapa aspek di masa itu, yang antara lain adalah: terbukanya kesempatan yang muncul seiring dengan kejatuhan rezim Franco, dalam merestrukturisasi kapital Spanyol yang sangat diinginkan oleh kelas penguasa dengan mengorbankan para pekerja, menyerahnya serikat buruh dan berbagai partai kiri dalam menuntut kelas penguasa dalam harapan akan adanya suatu proses legislasi, kesiapan dari mereka yang selama ini terseksploitasi untuk meraih kesempatan yang ada untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Perjuangan itu menyebar di sejumlah besar kota yang ada di Spanyol. Para pekerja memblokade jalan-jalan, menyebarkan berita mengenai pemogokan tersebut ke tempat-tempat lain, menyusun barikade-barikade, bertempur melawan para polisi dan menduduki pabrik-pabrik dan ruang-ruang publik lainnya. Berbagai aksi dari para pemogok terorganisir melalui pertemuan dewan-dewan pabrik di mana keputusan-keputusan riil dihasilkan dan secara dwi-mingguan melakukan pertemuan di mana hal tersebut diperuntukkan hanya untuk tujuan koordinasi saja. Untuk kepentingan itu, saat pergerakan mulai menyebar, dewan-dewan ketetanggaan juga dibentuk, menyebarkan perjuangan menentang eksploitasi di seluruh wilayah kehidupan harian. Menariknya, hal tersebut menjadi medium penyebaran gerakan dewan-dewan melampaui tembok-tembok pabrik yang juga turut menggiring pada berbagai kritik dan pertanyaan mengenai keberadaan buruh upahan itu sendiri.

Kelemahan terbesar dari pergerakan ini sepertinya terdapat pada sikap tolerannya terhadap serikat buruh dan kooptasi partai di dalam dewan-dewan yang terbentuk. Para pelayan dari berbagai birokrasi oposisional tersebut, tentu saja, selalu mengajak mereka untuk bernegosiasi dan bermoderasi, dan berusaha untuk mengontrol dewan-dewan tersebut. Meskipun mereka seringkali diabaikan, mereka tidak juga keluar dari dewan-dewan yang terbentuk itu dan dalam beberapa insiden, mereka merusak perjuangan tersebut dengan cara merebut dan bernegosiasi dengan para penguasa. Hal ini memainkan peranan besar yang pada akhirnya memboroskan energi pemberontakan tersebut.

Semenjak Spanyol telah memiliki latar belakang sejarah anarkis yang sangat kuat, para anarkis tak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat signifikan di dalam perjuangan ini. Akan tetapi bukan melalui bentuk organisasi-organisasi yang selama ini telah dikenal luas. Organisasi “anarkis” yang sangat diketahui di Spanyol, yaitu CNT, telah membuktikan sekali lagi bahwa adalah serikat buruh, dapat dikatakan, merupakan suatu organisasi yang merepresentasikan perjuangan para pekerja dalam bentuk negosiasi dengan para majikan. Seperti serikat buruh yang lainnya, mereka terus mencari-cari celah legislasi dengan rezim yang baru, yang pada dasarnya juga memainkan peranan sama dengan apa yang mereka lakukan–salah satunya dengan mencoba untuk memanipulasi perjuangan tersebut ke arah moderasi dan kompromi.

Di lain pihak, terdapat juga para revolusioner anti-politik yang terlibat dalam gerakan wildcat ini dengan cara yang sangat bervariasi. Sepanjang waktu tersebut berbagai tulisan-tulisan anonim juga menyebarkan analisa mengenai situasi dari perspektif revolusioner yang sangat tegas dan mengekspos bentuk manipulasi yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh dan partai-partai. Salah satu group/kelompok, yang menyebut diri mereka “uncontrollables”, menggunakan istilah menghina bahwa setiap orang yang berasal dari para republikan dan CNTistas adalah sangat bertentangan dengan para revolusioner yang tak mau mematuhi para pemimpin yang berkompromi di tahun 1930-an, menawarkan analisa mengenai situasi yang berlangsung saat itu.

Untuk tujuan tersebut, muncul beberapa “kelompok-kelompok otonom” yang kemudian terlibat aktif dalam pergerakan tersebut. Kelompok-kelompok ini terbentuk dari individu-individu yang berasal dari kelas tereksploitasi dengan analisa revolusioner yang memutuskan untuk berhenti bekerja dan hidup di luar dari hukum yang ada, turut mengambil bagian dalam bentuk perjuangan di titik ini. Praktek yang mereka lakukan dimulai dari kebutuhan dan keinginan mereka sendiri, namun sejak hal ini turut menyertakan solidaritas dengan yang lain, tindakan pengambilalihan yang mereka lakukan, yakni vandalisme dan sabotase akan merefleksikan bentuk keterlibatan ini. Mereka tidak memandang diri mereka sebagai para spesialis mana pun, namun hanya semata-mata sebagai individual yang mengambil pilihan tentang bagaimana mereka akan hidup dan kini dalam pertempuran dengan tatanan sosial ini, serta bertindak berdasarkan pilihan tersebut. Bentuk intervensi mereka begitu tepat dan ditargetkan demikian sebagaimana yang dipahami dalam terminologi rangkaian pergerakan wildcat.

COMISO, SISILIA TAHUN 1982-1983

Pada Desember 1979, Amerika membuat kesepakatan dengan pemerintah Italia utnuk membuat pangkalan peluru kendali di Italia. Perjanjian tersebut dibuat secara rahasia, namun pada musim semi di tahun 1981, berita mengenai hal tersebut mulai bocor. Sebuah airport di dekat kota Comiso di bagian selatan Sicilia telah dipilih sebagai basis guna menyimpan 112 misil nuklir. Dengan Seketika, muncul kemarahan atas hal ini yang jelas mengacaukan hidup dari orang-orang yang ada di area tersebut. Orang-orang mulai mendiskusikan masalah tersebut dan para anarkis turut mengambil bagian dalam diskusi tersebut, mendistribusikan leaflet-leaflet dan menghadiri pertemuan-pertemuan terkait dengan hadirnya pangkalan tersebut.

Biasanya para rekuperator juga muncul dalam situasi tersebut, bersama dengan partai-partai kiri yang membentuk komite perdamaian yang mengarah pada protes-protes simbolik untuk mempengaruhi keputusan para penguasa. Namun para anarkis dan revolusioner yang lain,tertarik pada potensi radikal dari orang-orang yang marah di wilayah tersebut, membentuk kelompok yang cenderung melakukan pendekatan berdasarkan bentuk aksi langsung dan melakukan penyerangan secara langsung.

Ketika komite perdamaian mengorganisir demonstrasi simbolis massif yang menuntut “perdamaian”, Para anarkis dan revolusioner lain dari kelompok yang terorganisir tersebut berdebat tentang bagaimana membangun dan mengkonsentrasikan perjuangan di Comiso dan area-area lain yang sedang menghadapi gangguan yang sama dengan objektif spesifik bagi perjuangan tersebut. Para anarkis dari Catania mengatakan bahwa perjuangan mesti mengambil bagian di basis sosial dan basis revolusioner. Di tahun 1982, terkait dengan berbagai kontradiksi yang tak terpecahkan, kelompok yang terorganisir tersebut memutuskan untuk memecah diri.

Pada bulan April 1982, komite perdamaian mengorganisir barisan perdamaian di Comiso. Barisan tersebut hanyalah barisan damai menyebalkan seperti biasanya, hanya merefleksikan oportunisme dari partai-partai kiri. Oleh karena itu di bulan Mei, para anarkis dari Ragusa dan Catania memutuskan untuk menghalanginya dengan maksud untuk membawa oposisi yang massif ke pangkalan tersebut, dengan tujuan untuk menduduki tempat pangkalan tersebut.

Selama beberapa bulan berikutnya mereka mengadakan rangkaian pertemuan publik dan mendistribusikan literatur-literatur lain terkait dengan topik tersebut. Para wanita anarkis berkunjung dari rumah ke rumah dengan maksud untuk berbicara dengan para wanita di wilayah tersebut yang sangat jarang keluar rumah mengingat masih ekstremnya sifat kultur patriarki di wilayah tersebut. Muncul berbagai respon positif yang berasal dari populasi lokal tersebut, Sehingga para anarkis mengajukan suatu metode guna mengorganisir perjuangan dalam cara yang otonom. Insurgensi Sicilia di masa lalu telah banyak diketahui, dan salah satu bentuk paling umum swa-organisasi yang sering ditempuh adalah liga swa-kelola. Para anarkis merekomendasikan bahwa orang-orang berpikir untuk mengadopsi bentuk semacam ini lagi bagi perjuangan tersebut. Sebuah konfrensi para anarkis yang mengambil tempat pada juli 31/1 Agustus diakhiri dengan pertemuan terbuka lainnya di mana perjuangan dalam menentang pangkalan missil tersebut memiliki keterkaitan dengan penolakan atas militerisme saat salah satu anarkis menghancurkan surat keterangan wajib militernya.

Liga-liga swa-kelola mulai terbentuk dan para anarkis mulai menata kantor untuk berkoordinasi guna menunjang mereka secara teknis dan untuk memfasilitasi komunikasi di antara liga-liga yang ada. Para anarkis terus menerus melangsungkan pertemuan publik dan mendistribusikan leaflet-leaflet. Seiring dengan terbentuknya liga-liga di antara para pekerja, para pelajar, pengangguran dan demikian seterusnya, berbagai aksi, seringkali ditujukan guna mengambil waktu dan ruang yang diperlukan untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Secara khusus, para pelajar tingkat tinggi di Vitoria melakukan pemogokan, memanfaatkan waktu untuk mendiskusikan apa yang akan dilakukan.

Di waktu yang sama efek-efek yang ditimbulkan oleh hadirnya pangkalan tersebut makin bertambah jelas seiring dengan tersingkirnya para petani dari tanah mereka untuk memberi ruang bagi test/latihan jarak jangkauan missil tersebut, sementara para pejabat Amerika dan NATO memesan pelayanan berbagai hotel dan pelayanan yang lainnya dan sementara itu para Mafia* menggunakan intimidasi serta teror untuk mencoba menakuti mereka yang menentang keberadaan pangkalan tersebut. Para anarkis terus menerus berhubungan dengan para pekerja, pengangguran, pelajar dan ibu rumah tangga di area tersebut, namun kekuatan represi bertindak untuk menghalangi aktivitas mereka melalui intimidasi, menyebarkan informasi yang keliru dan demikian seterusnya.

Pendudukan itu sendiri tak pernah terjadi. Saat proyek tersebut mulai melangkah maju sejumlah besar anarkis pun berdatangan ke Comiso, dan sebagian besar dari mereka merasa bahwa pendudukan tersebut terlalu beresiko untuk saat itu. Meskipun demikian, aktivitas yang sedang berlangsung untuk menentang pangkalan selama masa itu telah membawa berbagai ledakan situasi dan tentunya mengindikasikan keterbukaan diri banyak orang terhadap perjuangan bercorak swa-organisasi. Inisiatif tersebut diakhiri dengan demonstrasi besar-besaran yang mengarah ke pangkalan missil tersebut. Polisi melakukan sejumlah kekerasan terhadap para demonstran yang berakhir beberapa jam kemudian. Para polisi, pada kenyataannya, terus mengejar para demonstran hingga satu kilometer. Pangkalan missil tersebut mulai beroperasi di pertengahan tahun 1980-an, namun kemudian berhenti beroperasi di tahun 1992.

Hal yang menarik dari inisiatif ini bukanlah sukses atau kegagalannya, akan tetapi dari usaha yang dilakukannya guna mendorong munculnya pemberontakan dengan pola swa-organisasi untuk menentang keberadaan pangkalan tersebut dan disaat yang bersamaan juga beroposisi dengan protes-protes simbolik yang terus dipromosikan oleh Partai Komunis Italia dan partai-partai kiri lainnya. Pada akhirnya, para anarkis telah menunjukkan suatu koneksi antara munculnya pangkalan missil dan realitas eksploitasi yang terjadi di area pangkalan tersebut–yakni tersingkirnya para petani dari tanah mereka, makin memburuknya situasi ekonomi bagi para pekerja, pengingkaran atas janji-janji pekerjaan sepanjang periode pembangunan pangkalan tersebut, dll. Mereka juga bercermin kembali pada insurgensi yang pernah terjadi di wilayah tersebut di masa lalu, membawa kembali metode-metode swa-organisasi yang terbentuk terkait dengan hal ini. Di balik semua ini, para anarkis hanya membantu untuk menyediakan perangkat yang diperlukan. Apakah mereka berhasil lolos dari bentuk praktek-praktek politisasi saat mereka melakukan hal tersebut…??? Bagi saya mereka berhasil, namun hal ini dapat diperdebatkan lebih lanjut lagi.

ALBANIA 1997

Di tahun 1997, sebuah pemberontakan terjadi di Albania di mana aparatus kekuasaan hampir dijinakkan. Sebagaimana yang sering terjadi, pemberontakan tersebut juga lebih ditandai dengan kedangkalan daripada suatu ideologi besar. Saat mendesak presiden Albania Sali Berisha, sejumlah besar keluarga Albania telah menginvestasikan seluruh tabungan mereka di beberapa perusahaan finansial yang berjanji akan memberikan keuntungan besar. Perusahaan-perusahaan tersebut rupanya mengoperasikan beberapa versi dari skema piramida. Di bulan Januari, perusahaan-perusahaan ini mulai beranjak bangkrut satu demi satu, menghilangkan populasi Albania yang telah dimiskinkan oleh tindakan perusahaan-perusahaan tersebut.

Partai Sosialis mengajak untuk melakukan demonstrasi di pusat kota dengan harapan untuk menjadikan diri mereka sebagai pemimpin gerakan protes damai tersebut. Kemarahan diekspresikan dalam demonstrasi yang memperlihatkan ke semua partai bahwa ledakan ini tak dapat dikontrol sama sekali. Kerasnya aksi demonstrasi tersebut menyebar lebih jauh. Kantor-kantor polisi, pengadilan, dan kantor-kantor kementerian serta partai diserang dengan lemparan batu. Balai-balai kota juga turut dibakar. Perdana menteri yang buruk disandera dan dilukai. Parlemen diserang dan juga terjadi pemberontakan di penjara. Semua kejadian tersebut terjadi dalam dua minggu pertama.

Seiring dengan resistensi yang menyebarkan serangan terhadap struktur-struktur negara dan kapital mulai beranjak meningkat. Orang-orang mulai mempersenjatai diri mereka dengan menyerang kantor-kantor polisi, dengan merampas persenjataan militer (di mana para tentara wajib militer seringkali terlibat di dalamnya) dan melalui berbagai sumber-sumber lainnya. Ketika tuntutan pertama dibuat, serangan-serangan mulai menjadi praktek yang biasa. Gedung-gedung pemerintahan, markas besar partai, markas polisi, bank-bank dan kantor-kantor dinas rahasia seluruhnya menjadi sasaran yang wajar untuk diserang. Saat pemberontakan menyebar luas, maka makin banyak pula orang-orang yang mempersenjatai diri. Mereka dapat menyusun blokade-blokade untuk menghentikan kendaraan-kendaraan yang coba mengendalikan kontrol huru-hara yang bergerak di antara berbagai kota. Para pemberontak tersebut berkeinginan melucuti para polisi (hingga, dapat mempersenjatai diri mereka lebih jauh lagi), menelanjangi mereka dan membakar kendaraan mereka. Bahkan kediaman/residen Berisha diserang dan dibakar. Penjara, sebagaimana penjara pada umumnya, diserang dan para tahanannya dibebaskan. Para insurgen telah menunjukkan secara praktis dalam mengejutkan dan mengambil senjata dari kantor-kantor polisi (dan membebaskan para tahanan dari penjara mereka) sebelum membakar kantor polisi tersebut, hal yang sama juga selalu dilakukan dengan mempersulit operasi polisi dengan mencuri atau menghancurkan perlengkapan polisi.

Setiap orang, baik pria, wanita dan anak-anak mempersenjatai diri mereka untuk melawan para polisi dan militer. Barikade dan blokade dibangun di daerah di mana para insurgen memegang kendali untuk mengantisipasi serangan balik pemerintah. Agen-agen polisi seringkali juga melakukan penculikan atau bahkan membunuh ; personil militer seringkali membangkang dan bergabung dengan para insurgen.

Saat hal tersebut makin menjelaskan bahwa militer Albania tidak dapat mengalahkan para insurgen (terkait dengan banyaknya pembangkangan yang dilakukan oleh tentara/desersi), kekuatan rekuperasi juga mulai bermain. Para pemimpin dari partai-partai oposisi, menyatakan diri mereka sebagai representatif dari para insurgen dan mendeklarasikan sebuah kondisi untuk menyerahkan senjata–suatu kondisi yang semata-mata berarti mengganti pemerintahan yang ada. Tak satu pun dari hal ini, tentu saja, dilakukan berdasarkan permintaan para insurgen.

Di waktu yang sama, para insurgen terus menerus menyerang bangunan-bangunan pemerintah, menjarah toko-toko, mempersenjatai diri dan membangun pertahanan. Banyak dari anggota militer yang membangkang, dan memilih untuk bergabung dengan para insurgen atau melarikan diri ke Yunani. Menyebarnya pemberontakan ini telah memaksa Berisha untuk melakukan rekonsiliasi dengan beberapa partai oposisi dengan tujuan untuk merekuperasi pemberontakan tersebut. Public Health Committees (Komite-komite kesehatan publik), termasuk anggota-angota partai oposisi yang berkeinginan untuk mengontrol dan menjinakkan insurgensi itu, terbentuk di sejumlah kota-kota para insurgen. Ketika mereka menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh Berisha dengan partai sosialis, para insurgen tersebut mengabaikan PHC (Public Health Committees) itu, dan membuat keputusan mereka sendiri. Insurgensi tersebut menyebar dengan cepat dan negara-negara yang berbatasan dengan Albania mulai dilanda rasa takut bahwa situasi yang sama juga akan menyebar keluar dari perbatasan negara itu. Di pertengahan Maret, pemerintah, termasuk polisi rahasia, dipaksa untuk mengamankan pusat kota/pemerintahan. Penjarah persenjataan dan barang-barang lainnya makin merajalela, dan kantor dinas rahasia serta Bank Negara mengalami serangan.

Di titik ini EU menjanjikan suatu “intervensi humanitarian” dengan 50 ribu pasukan seperti yang disarankan oleh penasehat teknis guna membantu otoritas Albania untuk menghidupkan kembali fungsi kekuatan polisi dan militer. Untuk saat ini, insurgensi tersebut telah meraih suatu titik di mana menurut pendapat Perdana Menteri Albania,”sama sekali tak ada penjara-penjara yang berfungsi.” Pada akhir Maret, di luar intervensi militer pun telah dimulai. Antara bulan April dan Agustus, kombinasi dari tindakan represi, rekuperasi dan pendudukan militer berhasil mengembalikan tatanan publik. Melalui proses pemilihan di akhir bulan Juni, dapat dikatakan bahwa revolusi yang mengancam tersebut telah berangsur-angsur menghilang dengan kembalinya tatanan politik, dan pada 12 Agustus, kekuatan Multinasional pun meninggalkan Albania.

Bahkan setelah jatuhnya rezim “komunis” Hoxha, Albania bukanlah tempat yang mudah untuk memperoleh informasi, sehingga sangatlah sulit untuk mengetahui secara jelas bagaimana para insurgen mengorganisasikan perjuangan mereka. Hal yang muncul ialah bahwa mereka membentuk dewan-dewan. Di sana pun juga terdapat “konsil-konsil insurgen”, meskipun mereka benar-benar organisasi dari orang-orang tereksploitasi yang otonom, atau organisasi untuk merekuperasi melalui partai-partai oposisional masih belum diketahui. Semenjak banyak orang-orang Albania masih benar-benar merupakan daerah pedesaan, maka sepertinya struktur-struktur lama para petani seolah menawarkan beberapa basis guna menciptakan pengambilan keputusan secara horizontal.

Karena luasnya tingkat kecenderungan ekonomi Italia di Albania, maka tidak mengherankan jika hal itu kemudian memunculkan penindasan internasional terhadap pemberontakan tersebut. Di saat yang sama, para anarkis Italia tetap mencari cara untuk menyelesaikan situasi tersebut dan memetakan cara dalam mengekspresikan bentuk solidaritas dengan para insurgen Albania. Sayangnya, represi yang mereka hadapi bersama dengan investigasi Marini telah berhasil membatasi segala kemungkinan yang ada, khususnya ketika sejumlah anarkis tersebut berhasil dijebloskan ke penjara.

BOLIVIA TAHUN 2000 - HINGGA SEKARANG

Terdapat banyak sekali aktivitas yang seolah tak pernah berhenti di Amerika bagian selatan selama lebih dari beberapa tahun dan Bolivia telah menjadi pusat dari beberapa aktivitas yang sangat menarik. Ada sejumlah alasan yang turut mendorong terjadinya pemberontakan-pemberontakan di Bolivia : Usaha pemerintah untuk menyerahkan kontrol hak atas sumber daya air kepada kekuasaan asing; situasi yang dialami oleh beragam pekerja, kelompok-kelompok pribumi, para petani coca (cocaleros), sejumlah orang-orang yang berutang, usaha pemerintah untuk menjual sumber daya gas alam ke perusahaan multinasional, dll. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan secara resmi tersebut telah bertemu dengan blokade-blokade jalan dan kota, pemogokan-pemogokan, kerusuhan, serangan-serangan di kantor-kantor polisi dan gedung-gedung milik pemerintah. Di sana pun terdapat sejumlah kecil koordinasi dari berbagai aktivitas.

Meskipun serikat buruh dan partai-partai, sebagaimana halnya organisasi poltik yang lainnya memiliki beberapa keterlibatan dengan berbagai pemberontakan, hal itu secara umum seolah-olah menjadi sesuatu yang periferal dan tujuan ke arah hal-hal yang bergerak pada arah reformasi dan pengesahan pemerintahan yang “lebih demokratik”. Meskipun begitu, beberapa pemimpin dari kelompok-kelompok ini sepertinya lebih memiliki pengaruh dibanding sehatnya suatu gerakan.

Namun disamping faktor reformis ini, metode dari perjuangan ini dalam beberapa tahun terakhir secara umum diambil dari bentuk aksi langsung yang otonom. Para petani pribumi di dataran tinggi dan cocaleros telah kembali ke metode-metode tradisional-informal dan non-hirarkis sebagai suatu cara dalam mengorganisir perjuangan mereka. Pada satu titik, mereka yang menjadi bagian dari perjuangan tersebut menyerukan pengabolisian parlemen dan membentuk dewan-dewan popular, sesuatu yang menandakan keinginan akan swa-organisasi atas kehidupan seiring dengan munculnya perjuangan mereka. Di samoing itu, para petani dan cocaleros mulai merespon represi dengan mulai mempersenjatai diri mereka.

Para anarkis telah begitu banyak terlibat dalam pemberontakan ini. Juvantedas Libertarias (Libertarian Youth) telah begitu aktif dalam perjuangan, berpartisipasi, menyediakan kritik-kritik sesegera mungkin terhadap berbagai aktivitas rekuperatif yang dilakukan oleh serikat buruh, partai-partai dan kelompok politik serta memperoleh berita dari luar.

Mujeres Creando (Woman`s Inisiative), yang merupakan sebuah kelompok anarcho-feminis, telah begitu aktif, khususnya dalam membantu orang-orang yang berutang (small debtors) dalam mengorganisasikan perjuangan mereka. Mungkin salah satu bentuk aksi mereka yang sangat dikenal adalah ketika small Debtors dipersenjatai dengan dinamit dan molotov cocktail, di antara para wanita yang merupakan para wanita yang terlibat dengan Mujeres Creando, yang berhasil mengambil alih tiga gedung pemerintahan.

Perjuangan yang terjadi di Bolivia sangatlah menarik dalam beberapa hal tertentu. Seluruh kelompok yang tereksploitasi, masing-masing dengan masalah dan pengalaman spesifik mereka, telah mampu mengkoordinasikan pemberontakan mereka, serta bertindak dalam suatu solidaritas. Metode-metode swa-organisasi yang sangat bermanfaat bagi perjuangan ini berhasil ditemukan dalam tradisi pribumi di negara tersebut. Para anarkis telah memainkan bagian yang sangat signifikan dalam perjuangan itu dan secara terus-menerus mengekspos kekuatan-kekuatan yang sifatnya rekuperatif.

WILAYAH KABAYLE, ALGERIA TAHUN 2001 - HINGGA SEKARANG

Pada April 2001, polisi di area Tizi Ouzou di wilayah Kabayle-Algeria telah membunuh seorang anak sekolah. Kericuhan dengan segera terjadi di Beni-Douala, sebuah perkampungan di area tersebut. Kerusuhan dan berbagai demonstrasi menyebar begitu cepat ke kota-kota dan perkampungan yang lain. Para perusuh menyerang kantor polisi dan pasukan detasemen dengan batu, molotov dan ban-ban yang dibakar, serta membakar kendaraan-kendaraan milik polisi, kantor milik pemerintah dan pengadilan. Target-target penyerangan meluas dengan begitu cepat hingga ke sejumlah gedung-gedung milik pemerintah, kantor-kantor partai politik dan kelompok-kelompok fundamentalis Islam. Pada Akhir bulan April seluruh wilayah Kabayle menjadi wilayah yang terbuka bagi Insureksi. Upaya-upaya pemerintah dalam menekan Insureksi tersebut membawa situasi itu pada suatu konflik terbuka beserta kematian dan luka-luka dikedua belah pihak.

Wilayah tersebut telah memiliki suatu tradisi pedesaan pribumi dan juga dewan-dewan regional yang sangat lampau. Oleh karena itu, cukup mudah bagi mereka untuk mulai mempertahankan dewan-dewan tersebut sebagai suatu cara yang dipakai dalam mengorganisasikan perjuangan mereka. Di samping itu, sejak abad ke 19 gerakan perlawanan terhadap aturan kolonial Perancis telah membentuk suatu metode guna mengkoordinasikan berbagai aktivitas pedesaan dan dewan-dewan regional yang dikenal sebagai aarch. Hal ini juga dibangkitkan kembali. Manfaat dari metode tersebut adalah murni sebagai bentuk koordinasi, dan para delegasi dari dewan-dewan desa diberi mandat secara spesifik dan mandat mereka dapat pula dicabut kapan saja. Mereka juga mesti menyepakati suatu hal yang sangat menarik yang disebut sebagai “code of honor”. Melalui bentuk swa-organisasi ini, orang-orang Kabaylia telah berhasil mengorganisasikan demonstrasi yang sangat massif, pemogokan besar-besaran, aksi-aksi perlawanan terhadap polisi dan pemilihan umum.

Di pertengahan Juni, kontrol negara di wilayah tersebut hampir benar-benar dilumpuhkan, markas besar polisi berhasil dirusak dan polisi itu sendiri hampir secara keseluruhan menghindarkan diri, memaksa pemerintah untuk menyuplai makanan kepada mereka dan kebutuhan-kebutuhan mendasar lainnya via helikopter dan konvoi-konvoi tentara. aarch menolak untuk bertemu dengan pemerintah, dan di pertengahan Juli, the aarch “code of honor” menimbulkan efek yang memerlukan para delegasi untuk “tidak melakukan aktivitas atau urusan apa pun yang bertujuan untuk menciptakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan kekuasaan beserta kolaborator mereka”, “tidak menggunakan gerakan tersebut dan mengakhirinya sebagai gerakan para partisan atau menggiringnya ke dalam kompetisi elektoral atau berbagai kemungkinan lain untuk menaklukkan kekuasaan”, dll. Ikrar atau janji ini dengan seketika diuji ketika para anggota serikat buruh dan anggota partai mencoba untuk menginfiltrasi pergerakan mereka. Gagalnya upaya mereka dalam membajak pergerakan tersebut makin diperjelas saat para demonstrator di tengah pemogokan besar-besaran berseru “Out with the traitors..! Out with the unions!”

Ketika aparat pemerintahan mencoba untuk meyakinkan beberapa orang dalam aarch untuk melakukan negosiasi, para insurgen menjauhkan seluruh aparat pemerintah dari wilayah Kabayle. Mereka yang mencoba untuk masuk akan disambut dengan lemparan batu. Di bulan Oktober, para demonstran mencoba untuk menghadirkan daftar tuntutan terhadap pemerintah, namun mereka disambut dengan sejumlah perlakuan represif. Guna merespon hal tersebut, the aarch dan kelompok-kelompok dewan lainnya memutuskan bahwa mereka tak mau lagi mengajukan tuntutan mereka kepada pemerintah, bahwa tuntutan-tuntutan mereka sungguh-sungguh tak dapat dinegosiasikan lagi dan siapa pun yang mencoba untuk bernegosiasi dengan pemerintah akan ditendang keluar dari tersebut. Di antara sekian banyak tuntutan tersebut adalah pembersihan seluruh bigade polisi dari wilayah mereka.

Penolakan secara keseluruhan terhadap ketetapan pemerintah telah menjadi satu norma di Kabylia. Saat pemerintah memberanikan diri untuk muncul kembali di tengah jalanan konflik dengan seketika, dan dalam tingkat yang lebih jauh lagi dipaksa keluar dari wilayah tersebut. Pergerakan itu juga mampu mengkoordinasikan dua pemboikotan massif terhadap proses pemilihan di mana hampir tak seorang pun di Kabylia yang mengikuti proses pemilihan dan di Algeria secara keseluruhan, jumlah para calon pemilih mengalami penurunan yang sangat tajam.

Pada akhir 2002 hingga awal tahun 2003, pemerintah Algeria mengambil tindakan represif terhadap gerakan tersebut dan khususnya terhadap the aarch. Sekitar 100 orang berhasil ditangkap, akan tetapi berlangsung pula aksi protes. Sekalipun represi tersebut berhasil memperlambat aktivitas para insurgen dan para polisi telah kembali lagi ke wilayah tersebut, pemberontakan itu tidak juga berhenti. Kerusuhan terus berlangsung sebagai respon yang biasa terhadap kelalaian negara beserta kekejamannya. Di samping itu, Presiden Algeria Bouteflika sudah bisa menduga bahwa kedatangannya akan disambut dengan kerusuhan dan hujanan batu kapan pun dia mengunjungi wilayah Kabayle. The aarch menyerukan suatu pemogokan besar-besaran di wilayah tersebut yang terjadi pada 18 Maret 2004 dan pemboikotan proses pemilihan terhadap pemilihan Presiden yang baru saja berlangsung pada waktu itu (April, 2004).

Tak diragukan bahwa terdapat banyak sekali pernyataan sepihak anarkis di Algeria. Di luar Algeria, seperti di Itali dan Perancis, sejumlah besar anarkis menyebarkan informasi mengenai perjuangan itu dan melakukan aksi solidaritas. Masih dapat dipertanyakan apakah intervensi langsung di Algeria merupakan langkah yang tepat atau dapat membantu, namun aktivitas solidaritas itu sendiri pastinya telah menjawab pertanyaan tersebut.

ARGENTINA 2001 - ?

Sebelum terjadi kerusuhan pada Desember 2001, jauh sebelumnya Argentina memang tak pernah tenang. Hancurnya ekonomi memang memiliki efek yang sangat merusak, dan dengan angka tingkat pengangguran yang lebih dari 25%, tidak adanya lapangan pekerjaan, di antara faktor lainnya, telah bercampur aduk dalam suatu protes massif yang disertai dengan berbagai blokade dan bentuk-bentuk aksi langsung lainnya. Akan tetapi di bulan Desember 2001, ekonomi Argentina mulai mengalami kolaps. Orang-orang mulai menarik uang mereka dari berbagai bank dan bersamaan dengan itu Menteri Ekonomi menetapkan batasan atas seberapa banyak jumlah uang yang bisa ditarik. Respon pun muncul dengan seketika. Pada 20 Desember, kerusuhan dan penjarahan mulai berlangsung di kota Buenos Aires yang disertai pula dengan berbagai demonstrasi. Bank-bank dan institusi pemerintah mengalami serangan. Meskipun seringkali dilukiskan sebagai pergerakan “kelas menengah”*, peristiwa tersebut pada kenyataannya juga mencakup keseluruhan dari mereka berada di luar dari politik dan ekonomi kelas penguasa.

Kerusuhan, penjarahan, dan demonstrasi-demonstrasi menyebar hingga melampaui kota Buenos Aires, termasuk seluruh kota-kota besar dan sebagian besar dari wilayah negara tersebut. Dalam demonstrasi tersebut, orang-orang seringkali menyerukan untuk secara menyeluruh mematikan fungsi pemerintah, dan dalam kenyataannya selama beberapa minggu pertama dari aksi kerusuhan itu, beberapa presiden dipaksa untuk turun dari kekuasaannya.

Dan pada bulan Desember itu juga, Dewan ketetanggaan pertama mulai muncul di Buenos Aires dengan tujuan untuk menyediakan ruang bagi setiap orang guna mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dan bagaimana mereka akan menjalankan perjuangan mereka. Dewan-dewan tersebut mengambil tempat di sudut jalan dan di taman-taman. Menjadi suatu dewan yang membuka diri, tentu saja, akan mengundang para penyusup dari partai-partai politik dan serikat-serikat buruh masuk dengan harapan untuk mengambil-alih pergerakan tersebut, namun usaha-usaha mereka untuk mengkooptasi gerakan sama sekali tak dapat ditolerir. Saat kerusuhan menyebar, maka demikian pula dengan metode swa-organisasi, berhasil beradaptasi terhadap kondisi-kondisi tertentu.

Ketika aksi demonstrasi, menyerang berbagai institusi pemerintah dan lokasi bisnis, berbagai blokade dan bahkan serangan terhadap para politisi-politisi tertentu terus berlangsung(satu dari mereka dipukuli di sebuah restoran tempat ia makan), dewan-dewan tersebut mulai mengambil bentuk aksi yang juga sama. Ruang-ruang publik diduduki dengan tujuan untuk mengembangkan berbagai aktivitas dan proyek-proyek. Para pekerja juga menduduki berbagai pabrik dan membentuk dewan-dewan pabrik. Terdapat pula beberapa pertemuan yang dilangsungkan antara para pekerja dari pabrik-pabrik yang diduduki, orang-orang dari dewan-dewan ketetanggaan dan mereka yang termasuk dalam kelompok-kelompok pengangguran guna mendiskusikan di mana mereka akan menjalankan perjuangan tersebut. Hal ini merupakan pertanyaan yang signifikan, sebab berbagai macam aksi pendudukan juga berarti membutuhkan bermacam-macam perangkat yang berfungsi bagi masyarakat saat ini dan akan digunakan oleh para insurgen. Pertanyaannya disini ialah apa yang akan mereka lakukan dengan berbagai alat/perangkat tersebut.

Ruang-ruang yang telah diduduki oleh dewan-dewan ketetanggaan telah dipandang sebagai ruang bagi mereka yang terlibat dalam berbagai aktivitas dan proyek yang mereka kehendaki sendiri. Para pekerja di pabrik-pabrik yang diduduki itu sepertinya masih kurang jelas dengan hal baru yang akan mereka lakukan. Pada kenyataannya, sejumlah pekerja dengan begitu mudahnya mulai menyokong proses produksi di bawah label“Kontrol para pekerja”. Di salah satu pabrik, tuntutan yang muncul ialah “nasionalisasi melalui kontrol para pekerja”. Tak ada lagi berita baru dari Argentina sejak kabar terjadinya pendudukan ini. Sangatlah mungkin bahwa “realisme” para pekerja, atau sederhananya kesulitan untuk mencoba hidup secara berbeda saat dunia terus-menerus mengikuti bentuk eksploitasi dan dominasi telah berhasil mendinginkan segala sesuatunya untuk sekarang ini.

Argentina telah menjadi sejarah lampau anarkis, oleh karena itu tidaklah mengejutkan jika di sana terdapat sejumlah kelompok anarkis. Apa yang mengejutkan di sini adalah betapa tidak siapnya mereka dalam menghadapi pemberontakan ini. Pada kenyataannya, pernyataan yang pertama kali saya peroleh dari para anarkis Argentina sungguh sangat mengejutkan, mereka berusaha menjauhkan diri mereka dari berbagai aksi penjarahan dan kerusuhan tersebut, dan nyaris berbicara mengenai hal tersebut sebagai aksi holiganisme semata. Tentu saja ini telah berubah, namun meski begitu, para anarkis di sana sepertinya telah berhasil memanfaatkan pergerakan tersebut. Satu hal yang mereka lakukan, mereka telah menjadi partisipan aktif di berbagai dewan ketetanggaan, aksi pendudukan dan sejenisnya, dan seseorang dapat mengasumsikan bahwa mereka turut mengambil peran dalam memelihara kecurigaan terhadap para politisi dan pemimpin, itulah bagian yang paling menyegarkan dari pemberontakan ini.

BASILICATA, ITALIA, NOVEMBER 2003

Gubernur wilayah Basilicata telah mendapatkan suatu kejutan yang sangat tidak diinginkan pada akhir bulan November saat menyadari bahwa terkadang orang-orang tidak hanya tidur menyaksikan keputusan ditetapkan atas hidup mereka. Gubernur telah membuat suatu perjanjian untuk membangun tempat penampungan limbah buangan nuklir di salah satu tempat di wilayah tersebut, yang berdekatan dengan kota Scanzano Jonica. Penduduk di kota ini tidak hanya tinggal diam. Meski mereka dapat saja membawa petisi untuk memohon gubernur mereka guna mengubah keputusannya. Daripada melakukan hal itu mereka malah memutuskan untuk mengambil langkah dengan melakukan aksi langsung, pemblokadean jalan-jalan di seluruh wilayah tersebut dan menutupnya.

Di wilayah itu tak ada satu pun kelompok politik yang terlibat dalam mengorganisir aktivitas ini. Mereka malah memilih untuk bertemu secara bersama-sama dalam suatu pertemuan guna mendiskusikan berbagai pertanyaan serta mengorganisir aksi pemblokadean. Dan rupanya satu politisi mencoba untuk ikut terlibat, namun tidak mendapatkan sambutan baik. Untuk beberapa minggu pada bulan November, gerakan tersebut tetap mempertahankan pemblokadean di wilayah itu. Dengan berakhirnya bulan November, Gubernur tersebut mengurungkan niatnya untuk mendirikan tempat pembuangan limbah nuklir. Meskipun kemudian orang-orang Scanzano Jonica akhirnya menghentikan aksi blokadenya, mereka tetap membangun suatu dewan umum guna mendiskusikan realitas kehidupan yang mereka alami. Ketidakyakinan mereka terhadap para penguasa sudah sangat jelas, dan keberlanjutan dari dewan-dewan tersebut menyediakan suatu basis yang sangat potensial untuk perjuangan kedepannya nanti.

Saya tidak mendengar adanya para anarkis yang turut berperan secara langsung dalam perjuangan ini, akan tetapi jika terdapat anarkis yang tinggal di wilayah tersebut, saya berasumsi bahwa mereka pun ikut terlibat. Pergerakan itu sendiri terekspresikan dalam suatu elemen-elemen praktis, yaitu : praktek aksi langsung, pembentukan suatu metode untuk berkoordinasi secara langsung, serta berkomunikasi secara horizontal, ketidakpercayaan terhadap solusi-solusi politis dan menolak untuk bernegosiasi atau pun menyerah.

PEMOGOKAN WILDCAT DI ITALIA, MUSIM DINGIN 2003-4

Pada 1 Desember 2003, para sopir angkutan jalan di Milan melakukan suatu pemogokan pada hari itu. Hari itu merupakan hari yang tepat untuk melakukan aksi semacam itu, karena hari itu juga menjadi hari pertama dilangsungkannya konferensi mengenai lingkungan di kota Milan—suatu konferensi di mana para politisi dan pemimpin-pemimpin ekonomi akan mendiskusikan bagaimana memperkecil kerusakan serta penyusutan sumber daya alam sambil terus-menerus memaksimalkan profit dan kekuasaan mereka.

Pada 15 Desember, terjadi sejumlah aksi wildcat yang dilakukan oleh sopir angkutan kota di seluruh Italia. Di Turin dan Brescia, para sopir tersebut melakukan pemogokan dan banyak di antara mereka yang membakar kartu-kartu anggota serikat buruh mereka. Di beberapa kota lainnya terjadi mogok kerja yang sangat massif. Beberapa hari kemudian, para pekerja airport di kota Roma menjadwalkan suatu pemogokan wildcat, melakukan blokade di pintu-pintu masuk yang menuju bandara, hal ini mereka lakukan untuk memprotes pemberhentian yang akan menimpa mereka.

Pada 19 Desember, serikat buruh menandatangani kesepakatan baru dengan transit boss terhadap para pekerja transit. Respon pun muncul dengan seketika saat para pekerja transit di seluruh Italia melakukan pemogokan wildcat, tidak masuk kerja dengan alasan sakit, dan “work-to-rule” perlahan-lahan mulai menurun selang beberapa hari kemudian. Dewan-dewan secara spontan dibentuk di banyak stasiun dan jumlah pekerja yang membakar kartu anggota serikat buruh mereka pun semakin bertambah.

Pada 22 Desember, meskipun pemerintah telah mengembalikan tatanan seperti semula, para pemogok tetap memilih untuk melanjutkan perjuangan mereka. Polisi dipanggil untuk memaksa mereka kembali bekerja, namun di beberapa tempat, seperti di Brescia, para pekerja mampu untuk memukul mundur serangan polisi tersebut.

Berbagai aksi wildcat tetap berlanjut, dengan terjadinya beberapa pemogokan berikutnya di bulan Januari, pusat serikat buruh (yaitu COBAS dan serikat buruh yang diketahui peringkat dan data-datanya secara legal) menyerukan pemogokan legal nasional guna memprotes perjanjian yang menyangkut serikat buruh pada 19 Desember sebelumnya. Karena serikat buruh ini, meskipun secara relative mereka memiliki bentuk yang terdesentralisir, pada esensinya tak lain merupakan organ-organ negosiasi seperti halnya serikat buruh konfederal yang besar, ini bisa dilihat dalam setiap kejadian-kejadian rekuperatif yang terjadi. Meskipun demikian, di Genoa, para pekerja transit memilih untuk mengadakan suatu pemogokan yang sifatnya illegal. Pada 12 Januari, para pekerja di Milan menjadwalkan untuk melakukan pemogokan wildcat secara tiba-tiba. Pemerintah mengeluarkan isu mengenai perintah untuk “kembali bekerja”. Para pekerja di Milan menentang hal tersebut, dengan memperpanjang pemogokan mereka hingga 13 Januari. Dan pada 19 Januari, para pekerja airport di kota Roma sekali lagi melumpuhkan bandara selama 8 jam.

Di samping itu, berlangsung pula perjuangan untuk menentang Alfa Romeo, yang memprotes pemberhentian kerja. Di beberapa aksi ini, para pekerja yang diberhentikan dan mereka yang tidak diberhentikan melakukan aksi ini secara bersama-sama. Selain itu, hal tersebut juga muncul di para pekerja yang berada di industry metal/logam, disuapi dengan keterlibatan serikat buruh dan para majikan, telah menjadi catatan tersendiri dari berbagai aksi para pekerja transit wildcat. Bagaimana pun, perjuangan Alfa-Romeo sepertinya secara luas berada di bawah kendali Serikat buruh pusat, dan juga melampaui ekspresi ketidakpuasan, Saya sama sekali tidak mendengar aksi spesifik yang dilakukan oleh para pekerja logam. Jadi sangat sulit untuk mengatakan kemana hal tersebut mengarah. Pada kenyataannya, untuk sekarang hal tersebut tampaknya telah mereda.

Dewan-dewan di stasiun-stasiun dan berbagai blokade terhadap jalan-jalan publik yang merupakan metode yang sangat penting dari aksi pemogokan ini telah menyediakan suatu ruang bagi sejumlah komunikasi langsung antara para pekerja transit dan yang lainnya. Di beberapa pemogokan, para pekerja yang lain dan para supporter dari aksi pemogokan tersebut turut serta mengambil peran dalam blokade ini. Pada akhir Januari dewan-dewan yang lebih besar juga turut mengambil tempat, namun mereka sepertinya muncul dengan berada di bawah kendali serikat buruh pusat. Di salah satu dewan semacam itu, para pekerja berjanji untuk mengadakan pertemuan-pertemuan di tempat-tempat kerja mereka guna meningkatkan dukungan terhadap para pekerja transit dan Alfa-Romeo. Jika ada para pekerja transit yang mengalami represi, respon massa akan diorganisir di semua tempat-tempat kerja. Akan tetapi kendali dari serikat buruh pusat menjadikan mereka sepertinya penuh dengan kecurigaan, terutama sejak waktu keterlibatan mereka yang pertama kali (9 Januari), sama sekali tidak terjadi aksi-aksi otonom di luar dari dua hari pemogokan wildcat yang terjadi di kota Milan dan setengah hari di Genoa.

Di bulan Februari, cengkeraman represi mulai menurun. Komite-komite Solidaritas terbentuk. Meskipun saya tidak pernah mendengarnya secara lebih detail, rupanya masih terdapat kelanjutan aksi-aksi yang dilakukan oleh para pekerja Alfa-Romeo yang diberhentikan dan pekerja yang lainnya di sepanjang kota Italia, meskipun seluruhnya berada di bawah kendali dari berbagai serikat-serikat buruh.

Jadi situasi telah ditenangkan. Sulit untuk mengetahui berapa lama ketenangan tersebut akan terus berlangsung atau apa tepatnya peranan kekuatan rekuperatif dalam mendinginkan perjuangan ini.Pastinya tanpa menyebar dalam cara-cara swa-organisasi, perjuangan tersebut tak dapat bertahan lama. Sebagian besar keluarga para pekerja, bekerja di bawah kondisi-kondisi yang sangat riskan (banyak di antara merek yang menjadi pekerja temporer atau masih dalam situasi training percobaan) dan tentunya memiliki upah rendah bagi seorang pekerja yang di wadahi oleh serikat pekerja. Serikat pekerja Konfederal merupakan musuh bagi wildcat sejak dari awalnya, dan serikat buruh pusat juga memiliki status legalnya sebagai perantara dalam memperselisihkan para buruh guna melindungi kepentingan majikan. Menjadikan para pekerja selalu kalah dalam berhadapan dengan majikannya. Insurgensi di Italia yang terjadi di tahun 1970-an diwarnai oleh aktivitas wildcat, akan tetapi keadaannya telah jauh berbeda sekarang. Sehingga sulit untuk membuat prediksi apa pun mengenai hal tersebut.

Para anarkis dan para revolusioner anti-politik lain yang melibatkan diri dalam perjuangan ini melalui sejumlah flyer dan bentuk komunikasi langsung, mengekspresikan solidaritas dan memberi harapan pada orang-orang yang terlibat.

BEBERAPA BAGIAN YANG SANGAT SIGNIFIKAN

Ada beberapa hal signifikan yang muncul dari beberapa situasi di atas:

Kerusuhan, pemberontakan dan insureksi tidak seluruhnya diinspirasi oleh suatu ide besar, mimpi-mimpi utopian atau pun kritik-kritik teoritikal total atas tatanan sosial. Seringkali hal yang memunculkan peristiwa tersebut adalah cukup banal/dangkal: misalnya ketidakstabilan ekonomi, kondisi kerja yang buruk, pengkhianatan dari orang-orang yang mengklaim diri merepresentasikan hak-hak seseorang, serta dari kebrutalan polisi. Hal yang tampaknya merupakan detail-detail kecil ini memunculkan peberontakan ketika kemarahan terkombinasikan dengan rasa ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi kekuasaan maupun yang oposisional. Fakta ini merupakan seruan bagi para anarkis untuk menghindari suatu bentuk kemurnian ideologis yang menganggap bentuk partisipasi hanya dapat tercapai dalam suatu perjuangan secara total. Kenyataan tersebut juga merupakan seruan bagi suatu bentuk teoritikal yang tajam yang mampu memahami situasi-situasi tertentu yang muncul secara cepat dalam terminologi totalitas dominasi, eksploitasi dan alienasi, dan pada saat yang sama juga dapat membuat aplikasi praktis dari teori tersebut. Hal ini membutuhkan keinginan besar untuk secara konstan menyelesaikan segala realitas yang terbentuk di sekeliling kita, membuat suatu hubungan yang dapat menunjukkan kebutuhan atas keterputusan revolusioner, di mana pada saat yang sama juga mengurutkan area-area yang tepat untuk melakukan suatu intervensi dan dengan tepat menargetkan sasaran serangan.

Ketika suatu pemberontakan atau pun perjuangan berdasarkan spontanitas bergerak melampaui tingakatan paling awal, yaitu mereka yang tereksploitasi dapat mengenali kebutuhan akan komunikasi secara horizontal. Dewan-dewan atau sesuatu yang sejenis secara spontan akan terbentuk. Penolakan terhadap politik dan representasi akan muncul dengan sendirinya dalam berbagai metode ini. Pada saat yang sama, akan selalu muncul serangan dari berbagai partai dan serikat buruh, yang muncul bersama predator-predator lainnya, guna mencari titik terlemah di mana mereka dapat “menawarkan pertolongan mereka”. Di sini kembali, para anarkis dan revolusioner anti-politik perlu memelihara perangkat mereka demi keberlangsungan serangan terhadap berbagai tendensi rekuperatif yang sedang bermain, demikian juga dorongan-dorongan konstan terhadap perjuangan dalam arah anti-politik yang terencana di mana negosiasi dan segala bentuk representasi tidak akan mendapatkan tempat sama sekali.

Ruang-ruang yang cenderung akan mengarahkan setiap orang pada suatu tujuan yang bukan menjadi keinginan mereka ditransformasikan pada kemungkinan yang jauh lebih luas dalam ruang-ruang di mana setiap orang dapat melakukan proyek-proyek yang mereka kehendaki. Aspek ini merupakan aspek yang sangat penting, sebab tatanan kekuasaan akan melakukan segala hal yang mereka bisa guna mematikan atau mengontrol setiap ruang publik yang ada. Di tahun 1970-an pabrik-pabrik sesungguhnya dapat menyediakan ruang bagi segala aktivitas dewan-dewan dan insurgensi.

Di mana terdapat sejumlah tradisi dan sejarah yang dapat diketahui mengenai swa-organisasi, maka seringkali ini dapat menyediakan semacam dasar bagi munculnya pemberontakan yang memiliki bentuk sejenis. Berbagai tradisi pribumi tertentu seringkali menyediakan struktur-struktur semacam itu. Di lain pihak, jika sama sekali tak terdapat tradisi semacam itu yang pernah eksis, imajinasi dan kapasitas guna dapat menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi suatu hal yang sangat esensial. Hal ini menunjuk pada wilayah lain di mana resistensi serentak menjadi hal yang sangat diperlukan : meningkatnya degradasi terhadap kapasitas pemikiran kreatif perlu untuk diperangi mati-matian. Standarisasi atas ide ke dalam kalkulasi semata-mata mesti ditolak dan ditentang, sehingga kapasitas untuk benar-benar bergulat dengan situasi yang ada dapat terus berlangsung.

KESIMPULAN

Swa-Organisasi Otonom menjadi dasar baik bagi eksistensi kebebasan yang sesungguhnya maupun dari perjuangan untuk mencapai eksistensi tersebut. Hal tersebut sangat bertentangan dengan politik-politik dan praktek yang menolaknya atau pun yang dihancurkan olehnya. Praktek swa-organisasi sepertinya terbentuk secara spontan ketika orang-orang bangkit untuk melakukan pemberontakan. Apa yang membedakannya dari politik yang ada ialah oposisinya terhadap segala bentuk representasi dan kompromi–tidak hanya dengan tatanan sosial yang ada, namun juga dalam gerakan swa-organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, dibanding mencari cara untuk menentukan keputusan kolektif yang melibatkan kompromi, ia justru menjadi suatu usaha untuk dapat menemukan metode guna menjalin segala kehendak, ketertarikan dan kebutuhan dari semua yang terlibat dalam cara yang dapat diperkenankan oleh masing-masing individu.

Ini bukan hanya merupakan aspek yang kecil, akan tetapi menjadi aspek yang sangat esensial. Sekali tujuan dari pengorganisasian perjuangan kita beserta hidup kita menemui suatu perhentian dan menemukan jalan untuk menjalin hasrat, ketertarikan dan segala kebutuhan kita yang berbeda sehingga kesemua hal tersebut dapat terpenuhi dan malahan menemui suatu titik di mana segala kompromi, posisi, program serta platform mulai mengambil-alih berbagai hasrat, mimpi dan aspirasi. Kemudian, representatif dari berbagai posisi, program dan platform yang beranekaragam mendapatkan tempatnya dalam sebuah situasi dan mentransformasikan swa-organisasi ke dalam politik. Hal tersebut pernah terjadi sebelumnya dalam suatu situasi revolusioner dengan hasil yang justru sangat mengerikan.

Hal ini mengindikasikan cara intervensi anarkis menjadi sesuatu yang patut diterima. Kami tak perlu untuk menciptakan semacam organisasi politik apa pun untuk merepresentasikan anarki. Dengan melakukan hal itu, pada kenyataannya justru bekerja bertentangan dengan swa-organisasi. Justru kita perlu untuk memulai dari diri kita sendiri, dari kondisi kita sebagai individu yang telah tercuri hidupnya, perjuangan kita melawan kondisi tersebut dan hasrat kita untuk menjadi pencipta atas eksistensi kita sendiri. Dari dasar inilah, intervensi anarkis tidak akan menjadi evangelisme atas program-program politik atau pun kesadaran revolusioner. Bentuk Intervensi Anarkis justru akan menjadi suatu pencarian bentuk penyelesaian, pembentukan relasi affiniti, jalinan kehendak dan hasrat kita, atas segala kemarahan kita yang destruktif, ide-ide dan mimpi kita dengan orang lain dalam perjuangan dan pemberontakan mereka. Pencarian semacam itu dapat menemukan jalannya di tengah-tengah gerakan pemberontakan sosial, menemukan penyebaran afiniti yang menawarkan keterlibatan suatu bentuk federasi informal, dan dalam urat nadi yang tersembunyi ini mungkin akan ditemukan suatu embrio dari bentuk gerakan sosial yang lebih baru.

Dalam beberapa hal, intervensi ini, dalam penolakan politik beserta metodenya, telah menjadi tekanan besar yang mengarah ke revolusi dan kebebasan dalam hidup dan perjuangan, terus-menerus mendorong dan menjungkirbalikkan segala bentuk dominasi dan eksploitasi, untuk mengakhiri semua bentuk praktek spesialisasi dan representasi termasuk segala bentuk aktivisme yang terspesialisasi. Hal tersebut merupakan tekanan besar yang bersumber dari pengetahuan akan hasrat seseorang dan di saat yang sama mengetahui bahwa seseorang sedang menghadapi dunia yang dirancang guna menghindari realisasi dari hasrat individu–mengetahui, dengan kata lain, bahwa hidup seseorang adalah suatu pertempuran. Hal ini, di saat yang sama, merupakan tekanan dari keterlibatan hasrat di mana segala perbedaan antara individu-individu telah menciptakan suatu jalinan harmoni dari berbagai affiniti yang mengindikasikan arah bagi jalan hidup yang benar-benar bebas. Ini terjadi dalam suatu tekanan besar di mana swa-organisasi yang spesifik dari kesadaran pemberontakan anarkis dapat menemukan jalan untuk berjalinan dengan perjuangan harian dari semua yang tereksploitasi di titik di mana mereka yang berjuang itu akan mulai bereksperimen dengan bentuk-bentuk aksi-langsung dan swa-organisasi. Dunia yang berdasarkan pada kegembiraan dan eksplorasi dari kehendak kita adalah sesuatu yang mungkin, hal itu akan mulai bertumbuh di mana pun bentuk swa-organisasi dari suatu pemberontakan terhadap dunia ini mengalir menuju pada swa-organisasi kehidupan itu sendiri.

* Di sisilia, Mafia masih tetap menjadi bagian yang signifikan dari struktur kekuasaan. Mafia juga dengan sangat jelas mengenali sejumlah area yang dapat mendatangkan keuntungan dengan munculnya pangkalan yang berkisar di wilayah operasi-operasi “legal” hingga pada prostitusi dan obat-obatan terlarang.

* Istilah ini secara relatif tidak memiliki makna sebagaimana yang digunakan saat ini. Dalam konteks pemberontakan ini hal tersebut merujuk pada fakta yang terjadi di antara mereka yang dikenai efek dengan kolapsnya ekonomi di mana orang-orang yang berada dalam pendudukan membayar dengan jumlah yang sedang, tidak seperti mereka yang miskin.