Tirani struktur
Kebanyakan struktur massa merupakan akibat dari kebiasaan, apatisme dan kurangnya kritik-kritik kreatif. Keinginan untuk menjadi gerakan “massa” begitu saja diterima sebagai “kewajaran” seperti juga “kewajaran” bahwa kelompok harus mempunyai pemimpin. Bahkan anti otoritarian juga terjebak untuk menerima struktur-struktur besar dan organisasi-organisasi besar, yang katanya demi efisiensi, massa dan persatuan. Struktur-struktur besar menjadi simbol legitimasi dan satu-satunya wadah bagi kita untuk dipahami oleh pihak lain – apakah itu media, polisi ataupun gerakan-gerakan kiri lain.
Koalisi-koalisi besar menjadi kegemaran bukan saja kelompok-kelompok kiri tradisional tapi juga mereka yang menyebut dirinya anti-otoritarian. Koalisi-koalisi tersebut mempunyai daya tarik besar untuk memuaskan fantasi-fantasi mengenai massa : keinginan kelompok otoritarian untuk memimpin (atau setidaknya menjadi bagian) dari kelompok besar yang menguatkan dan melegitimasi ideologi yang dipegangnya.
Harga ‘mahal’ harus dibayar demi memenuhi fantasi-fantasi mengenai “massa”, belum lagi kalo kita menilai efektifitas kerja-kerja dan hasil-hasil yang dicapai. Struktur raksasa yang termasuk federasi, jaringan tersentralisir dan organisasi massa membutuhkan banyak energi dan sumberdaya untuk menghidupinya. Struktur dan organisasi seperti itu bukanlah mesin yang berjalan dengan sendirinya yang akan menghasilkan lebih banyak energi dari energi yang dicurahkan untuk mempertahankannya. Dalam komunitas-komunitas dengan keterbatasan sumberdaya dan energi, seperti kondisi kebanyakan kita, organisasi dan struktur raksasa cenderung mengkonsumsi sebagian besar sumberdaya dan energi kita – dengan konsekwensi kerja-kerja menjadi tidak efektif. Organisasi besar biasanya menghabiskan 2/3 dari sumberdayanya (dan bahkan lebih banyak tenaga manusia) hanya untuk mempertahankan eksitensinya : bayangkan jumlah orang dan sumberdaya untuk menjalankan kerja-kerja administrasi dan birokrasi.
Kita semua mengetahui bahwa koalisi-koalisi dan struktur-struktur besar mengadakan pertemuan-pertemuan panjang. Nah, sebagai contoh: Lain kali jika anda merasa bosan dengan sebuah pertemuan yang terlampau panjang, cobalah hitung jumlah orang yang hadir. Kalikan dengan berapa lama pertemuan teresebut berlangsung : ini akan memberikan jumlah orang-jam yang diperlukan demi mempertahankan struktur tersebut. Faktor lain a dalah waktu perjalanan dan koordinasi pertemuan. Anda akan mendapatkan jumlah kira-kira waktu aktivis yang dihabiskan untuk memuaskan kerakusan organisasi teresebut dalam mengkonsuymsi sumberdaya dan tenaga aktifis. Coba bayangkan berapa banyak kerja-kerja riil dan konkret dapat dilakukan dalam waktu dan dengan sumberdaya tersebut.
Affinitas
Struktur besar adalah sesuatu yang boros dan tidak efisien, selain juga berakibat pada penggadaian ideal-ideal kita. Pada definisinya koalisi (yang didominasi kelompok-kelompok besar) biasanya bertujuan untuk menciptakan agenda-agenda spesifik yang kemudian dipaksakan pada seluruh anggota koalisi. Dalam kelompok-kelompok seperti itu, prioritisasi akan menghasilkan hirarki, agar setiap anggota dalam kelompok mempromosikan agenda-agenda yang telah ditentukan.
Contoh paling mudah adalah peran jurubicara dengan komentar-komentarnya yang mewakili puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Dengan berpegang pada prinsip otonomi, tentunya kita tidak dapat menerima jika seseorang berbicara untuk kita – sebagai idnvidu, kolektif ataupun kelompok afinitas.
Di satu sisi, kita akan merasa sangat jengkel dengan ilusi tentang aktifis yang menjadi selebritis media dan berbagai jenis jurubicara, namun harus juga dipahami bahwa struktur besar dapat menggiring pada skenario-skenario dengan konsekwensi lebih serius. Dalam sebuah mobilisasi atau aksi massa, seringkali taktik yang akan digunakan oleh semua anggota koalisi ditentukan oleh segelintir orang dan biasanya hanya orang-orang ini yang mempunyai akses terhadap berbagai informasi penting. Sebagai anti otoritarian, konsentrasi kekuasaan dan pengaruh yang bersarang pada segelintir orang tentunya tidak dapat kita terima.
Konsisten dengan prinsip-prinsip anti otoritarian, secara umum orang-orang harus terlibat dalam affinitas-affinitasnya dan bahwa kerja-kerja yang kita lakukan harus bermakna, produktif dan menyenangkan. Ini adalah keuntungan-keuntungan dari perhimpunan-perhimpunan sukarela. Kecenderungan pada organisasi besar yang menganggap wajar keharusan akan identitas dan ideal yang sama untuk ratusan bahkan ribuan orang yang terlibat di dalamnya adalah sikap yang arogan, kalau bukan malah konyol[1] . Juga sama arogannya adalah kepercayaan bahwa sebuah kelompok dapat meyakinkan pihak-pihak lain melalui diskusi dan debat, bahwa agendanya adalah agenda yang paling penting. Akibat dari kondisi seperti diuraikan atas, organisasi-organisasi besar mempraktekkan pemaksaan agar agendanya diterima dalam sebuah koalisi. Tentunya pemaksaan tersebut (biasanya) bukanlah pemaksaan fisik, tapi dengan mempengaruhi pihak lain dengan slogan-slogan taek kucing seperti “kita harus bersatu” ataupun dengan mengungkit-ungkit masalah loyalitas.
Persatuan merupakan ideal yang arogan yang selalu dipakai untuk menyerang pihak-pihak yang menolak untuk menyerahkan otonominya kepada sebuah struktur yang lebih besar.
Bukankah kita sebenarnya harus konsisten dan mempunyai komitmen dengan garis perjuangan, bukan dengan organisasi, koalisi ataupun tokoh (sebut saja, aktivis selebritis).
Kebebasan, Solidaritas dan Keragaman Taktik
Jika kita menginginkan sebuah masyarakat yang terbebaskan, tentunya kita juga harus menciptakan masyarakat dimana adanya sikap saling percaya yang timbal balik antara berbagai pihak yang saling berhubungan. Polisi, tentara, institusi agama dan jenis-jenis hirarki yang lain secara esensi berakar pada tidak adanya sikap saling percaya. Seperti pada tradisi kemegahan gerakan kiri tradisional, organisasi besar karena merasa mengemban tugas dan misi yang besar, merasa mereka mempunyai hak-hak untuk mengatasnamakan anggotanya dalam pembuatan berbagai keputusan dan pada kerja-kerjanya. Bagi banyak aktifis, perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar berakibat pada munculnya mentalitas loyalitas. Ini adalah perasaan yang sama yang melahirkan sentimen nasionalisme dan patriotisme.
Dalam struktur-struktur besar, kita juga kehilangan kesempatan untuk melakukan kerja-kerja berdasarkan inisiatif-insiatif yang kita kembangkan sendiri dalam afinitas kita, ketika kita tereseret pada kerja-kerja dengan tujuan-tujuan yang sudah dilunakkan dan berharap bahwa orang lain akan bergabung dengan kita. Ini adalah jebakan dari partai dan koalisi besar.
Dalam kelompok-kelompok besar, kekuasaan tersentralisir, dikontrol oleh fungsionaris-fungsionaris atau kelompok-kelompok kerja, seperti juga halnya pada organisasi birokratis. Sebenarnya banyak energi diarahkan untuk mengamankan kekuasaan yang telah dipegang oleh segelintir orang dari orang/pihak/faksi lainnya dalam kelompok tersebut. Bagaimanapun bentuk luarnya terlihat, struktur besar mengembangkan iklim dimana segelintir minoritas mempunyai pengaruh besar terhadap lainnya.
Sebagai anti otoritarian, kita harus menolak segala bentuk sentralisasi kekuasaan. Selayaknya kita bersikap kritis untuk apapun yang membutuhkan penyesuaian prinsip-prinsip kelompok afinitas kita. Kita harus menjaga otonomi kita sekeras upaya struktur besar untuk menanggalkan otonomi tersebut.
Kita menjaga otonomi kita dengan mempercayai bahwa pihak lain juga mempunyai otonomi mereka masing-masing. Struktur besar melakukan yang sebaliknya, membatasi otonomi dan kerja-kerja yang berdasarkan pada affinitas dan menggantikannya dengan fantasi-fantasi arogan dan percaturan kekuasaan. Desentralisasi merupakan basis otonomi dan saling percaya. Pencapaian kebebasan yang utuh hanya akan terjadi ketika orang-orang melakukan kerja mereka berdasarkan kesukarelaan, minat dan komitmen – dan tanpa pengaruh kekuasaan di luar individu/kelompok affinitas tersebut.
Kita bisa dan harus bekerja dengan kolektif-kolektif lain, tapi hanya dengan prinsip-prinsip otonomi dan prinsip saling percaya. Dalam kerja-kerja dan aksi-aksi prinsip-prinsip otonomi dan kebebasan merupakan landasan filsafat “keragaman taktik”. Keragaman taktik berarti adanya toleransi dan rasa hormat antara satu kolektif dengan lainnya meskipun mereka mempunyai perbedaan-perbedaan, misal sebagian orang akan memakai jalur konfrontasi dan kelompok lain memakai jalan damai. Sudah saatnya kita meninggalkan ide arogan mengenai “persatuan” yang seringkali tidak lebih artinya dari dominasi segelintir pihak terhadap orang banyak yang dibawahinya. Marilah kita bersikap kritis terhadap segala bentuk struktur-struktur besar – seperti kita juga mengkritisi negara, agama, birokrasi dan korporasi.
Desentralisasi Total dan Semua Kekuasaan Untuk Kelompok-Kelompok Affinitas!!!
[1] Ok, di sini kita menganggap bahwa orang terlibat atas kesadaran dan bukan massa mengambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar