Rabu, 07 Januari 2009

DI BALIK KEPINGAN-KEPINGAN

Sebuah tanggapan terhadap “Masyarakat Industri dan Masa Depannya”
John Moore


Para komentator umumnya mengambil dua sikap yang berlawanan pada Unabomber’, bahkan dalam lingkungan anarkis sendiri. Pada satu sisi, terdapat penolakan halus terhadap kekerasan seperti yang telah diduga. Pada sisi lain, terdapat romantisasi pada pengebom tersebut sebagai pahlawan pelanggar hukum. Kedua respon tersebut terjebak dalam kesalahan. Sikap pertama dapat langsung ditolak hanya sebagai gejala lain dari kaum borjuis yang menganggap dirinya revolusioner, lebih menyedihkan lagi ditambah dengan pujian mereka terhadap aktivitas kekerasan di waktu dan tempat yang berbeda. Sikap kedua lebih bermasalah karena Unabomber memang mengangkat isu penting dari zaman kita: kebutuhan yang mendesak akan serangan seketika pada sistem industri. Daripada menilai tindakan-tindakan Unabomber (yang bisa dilakukan orang lain dengan lebih baik), esai ini lebih fokus pada sesuatu yang lebih nyata: manifesto Unabomber, “Masyarakat Industri dan Masa Depannya”. Jika diskusi berikut tetap kritis pada FC (Freedom Club), hal ini seharusnya bukan pada cercaan apa pun terhadap pengeboman, tetapi pada sebuah pertanyaan terhadap motivasi ideologinya. Emma Goldman menolak untuk mengutuk Leon Czolgosz ketika Leon membunuh presiden Mckinlay, meskipun Emma mencurigai motivasinya dan tidak setuju dengan tindakannya, dan ini merupakan contoh seorang anarkis yang mengagumkan—bahkan sekarang, ketika saya menawarkan dukungan kekritisan pada tindakan FC. Namun FC, tidak seperti Czolgosz, bertindak berdasarkan seperangkat prinsip, dan hal ini menuntut penelitian yang cermat. Esai ini mempertanyakan komitmen FC pada radikalisme anti-otoritarian dan karenanya bermaksud untuk memberikan jeda bagi mereka yang tidak bersikap kritis pada Unabomber.

Pendahuluan: Budaya Bom

Baudrillard menyatakan bahwa ledakan bom teroris menyebabkan sebuah ledakan makna ke dalam, sebuah lubang yang menganga lebar dalam struktur sosial yang sering ditutupi oleh peguasa untuk mengembalikan tirani makna. Jika hal ini benar, maka “Masyarakat Industri dan Masa Depannya” tanpa sadar berada pada pihak penguasa. Saat membaca teks FC saya kecewa, bukannya merasakan jijik, ketakutan atau kekejaman. FC gagal mengekspresikan sebuah kritik yang menyeluruh dan mengajukan sebuah alternatif radikal dalam kesempatannya pada panggung nasional atau bahkan internasional. Seperti yang diindikasikan para komentator lain, tindakan FC bukannya tidak etis: tindakan-tindakan tersebut memalukan, namun tidak mencukupi. Yang lebih parah adalah kata-kata yang digunakan FC tidak layak. Sebagai kritik, sebagai pandangan, FC lebih menawarkan ideologi yang suram. Ketika kata-kata pemberontakan dibutuhkan, FC malah menggunakan kata-kata remeh dari ide usang budaya pop. Diam mungkin lebih baik. Pada kasus ini, tindakan mungkin bisa bersuara lebih keras dari kata-kata. Tindakan-tindakan tersebut mungkin tidak cukup, namun mereka tidak membutuhkan apologi dari “Masyarakat Industri dan Masa Depannya”.

Terserak di antara tumpukan sampah, penguji yang cermat dapat menemukan permata dalam teks FC, meskipun permata tersebut harus diuraikan dengan hati-hati dari puing-puing konsep ideal, reruntuhan dari sistem kesengsaraan yang diformalkan ini. Esai “Whose Unabomber?” dan “Letter Bombs and Fixed Ideas” mampu melakukannya, dan saya tidak bermaksud untuk mengulangi pekerjaan mereka. Malahan, berfokus pada tesis 180-206 dari “Masyarakat Industri dan Masa Depannya” yang berkonsentrasi pada isu strategi, saya berencana untuk melanjutkan diskusi menuju di balik kepingan-kepingan ledakan FC.

Ideologi dan Strategi

Seperti kritik kaum kiri pada tesis pembuka manifesto, FC hanya menawarkan ideologi. Merangkum sikap mereka terhadap perubahan sosial, mereka menyatakan (tesis 166):

Oleh karena itu terdapat dua hal menghadapi mereka yang membenci perbudakan di mana sistem industri mereduksi umat manusia. Pertama, kita harus bekerja untuk menambah tekanan sosial dalam sistem untuk meningkatkan kemungkinan menghancurkan atau cukup melemahkan sehingga dapat terjadi revolusi terhadap sistem tersebut. Kedua, perlu untuk membangun dan menyebarkan sebuah ideologi yang melawan teknologi dan masyarakat industri jika dan ketika sistem tersebut telah menjadi cukup lemah.

Gagasan mengenai tekanan sosial bertentangan, tetapi dalam konteks tindakan-tindakan FC hal itu barangkali berkenaan pada bom yang karenanya menjadi terkenal. Permasalahan dengan gagasan semacam itu adalah bahwa kapital, dalam suatu kondisi kritis yang terus-menerus, menjaga kelangsungan tekanan sosial, dan kekuasaan menggunakan tekanan itu sebagai cara untuk menguatkan kontrol mereka – khususnya pada era ini, di mana sosial-ekonomi merestrukturisasi pelayan harian dalam suatu bentuk baru dari totalitarianisme demokrasi menejerial. Meningkatkan tekanan sosial, tanpa alternatif radikal apa pun, berarti bermain ke dalam kompleks kontrol. Tetapi FC hanya menawarkan alternatif yang serupa – hanya merek lain dari ideologi (Tesis 183):

Namun sebuah ideologi, untuk memperoleh dukungan yang antusias, harus memiliki sebuah cita-cita positif sama halnya dengan yang negatif; haruslah UNTUK sesuatu seperti MELAWAN sesuatu. Cita-cita positif yang kami ajukan adalah alam. Yaitu, alam liar; aspek-aspek fungsi dari bumi dan mahluk hidup yang independen dari pengaturan manusia dan bebas dari kontrol dan campur tangan manusia. Dan manusia termasuk dalam alam liar, maksudnya yaitu aspek-aspek fungsi dari individu manusia yang bukan merupakan bagian dari peraturan oleh masyarakat yang terorganisir namun merupakan hasil dari kesempatan, atau kehendak bebas atau Tuhan (tergantung pada pendapat religius atau filosofi anda).

Alam—dan khususnya alam liar—tentu merupakan sebuah konstruksi ideologi dan seseorang tidak dapat melarikan diri dari cengkeraman ideologi dengan meniru ‘alam’—sebuah konsep yang relatif baru dalam pemikiran manusia—dan melawan budaya. Di sini, FC hanya mengulangi kesalahan dari para ahli ekologi dalam dan kesalahan filsafat Rousseau sebelumnya. Selain itu, pada tahap lanjut dalam lintasan peradaban ini, agak terlambat untuk mengambil karakteristik alamiah manusia. Hal tersebut telah hilang karena berkompromi dengan restrukturisasi peradaban pada manusia, dan kita tidak lagi dapat menentukan mana yang mungkin merupakan perilaku alami manusia. Manusia sekarang hanya dapat memilih untuk menjadi liar: kondisi tersebut tidak lagi bersifat spontan. Harimau (sebagai contoh) tidak perlu berpikir tentang bertindak ‘secara alami’, dia melakukannya begitu saja. Bagi manusia, menjadi liar berarti secara sadar memilih untuk meniru perilaku dari salah satu spesies hewan yang dijadikan simbol liar dalam sistem ideologi yang dominan. Tindakan seperti itu bukanlah lari dari peradaban, namun keterikatan lebih jauh dalam kategori-kategorinya. Alam (atau belantara) lebih merupakan metafor untuk beberapa kualitas yang dianggap berharga—dan beginilah FC menggunakannya. Namun ini merupakan sebuah metafor yang dicurigai, tepatnya karena ini adalah sebuah produk dari kategori ideologi peradaban, bukan lawannya.

Semuanya menjadi lebih jelas ketika FC mulai menggambarkan target dari ideologi tersebut (tesis 187, 188):

Pada level yang lebih canggih ideologi harus menempatkan dirinya pada orang-orang yang pandai, bijaksana dan rasional. Objeknya harus membuat sekelompok orang yang akan menentang sistem industri dengan sebuah dasar yang rasional, penuh pertimbangan, dengan apresiasi pada persoalan-persoalan dan ambiguitas yang ada, dan pada harga yang harus dibayar untuk menyingkirkan sistem itu. Khususnya penting untuk menarik tipikal orang seperti ini, karena mereka memiliki kemampuan dan akan dapat mempengaruhi yang lain…. Pada level kedua, ideologi harus disebarkan dalam sebuah bentuk yang sederhana yang memungkinkan bagi mayoritas yang tidak berpikir untuk melihat konflik antara teknologi melawan alam dalam terminologi yang tidak rancu.

FC menerima pembagian hierarki peradaban, dibanding menolaknya. Dan bersembunyi di balik pembedaan antara yang berpikir dan yang tidak atau canggih dan tidak canggih individu adalah sebuah agenda kelas yang jelas tersembunyi. FC lebih mirip dengan kaum kiri lebih dari yang mereka akui—karenanya mungkin kejahatan dari serangan mereka pada kaum kiri pada bagian paling awal dari manifesto. Seperti kaum kiri, FC tidak hanya mengartikulasikan sebuah ideologi politik, dan dengan demikian telah berbicara dalam terminologi mengontrol struktur dan pemerintahan; mereka juga mengajukan sebuah ideologi borjuis untuk kelanjutan penaklukkan dari ‘mayoritas masyarakat yang tidak berpikir’. Asketisme tersebut, monomania dan otoritarianisme barisan depan yang politis tidak terlalu berbeda, dan memang tidak (tesis 200, 201, 206):

Hingga sistem industri sepenuhnya dihancurkan, penghancuran sistem tersebut harus menjadi satu-satunya tujuan kaum revolusioner. Tujuan lain akan mengalihkan perhatian dari tujuan utama…. Sebagai contoh kaum revolusioner mengambil keadilan sosial sebagai tujuan. Manusia menjadi sebagaimana adanya, keadilan sosial tidak akan spontan; ini menjadi sesuatu yang dipaksakan. Untuk memaksakannya kaum revolusioner harus menguasai organisasi pusat dan kontrol… Bukannya kami menentang keadilan sosial, namun harus dilarang untuk campur tangan dengan usaha untuk menyingkirkan sistem teknologi… dengan hormat pada strategi kaum revolusioner, satu-satunya poin yang kami tuntut adalah tujuan utamanya haruslah penyingkiran teknologi modern, dan tidak ada tujuan lain yang diperkenankan untuk menyainginya.

Retorika yang nyaring dan bahasa yang imperatif (‘harus menjadi satu-satunya tujuan kaum revolusioner’, ‘tidak diperkenankan’, ‘kami tuntut’) mengindikasikan kehadiran seorang politisi otoriter. Campuran antara arogansi dan miopi hanyalah merupakan hasil dari totalitarienisme dalam sebuah dunia realisasi-diri dan kesenangan-diri. Keadilan sosial—sebagai contoh, perlakuan yang pantas dalam dominansi sistem sekarang—tetap merupakan sebuah tujuan yang terbatas. Namun meskipun keadilan sosial menyumbangkan sedikit untuk penghancuran sistem industri: bahkan impuls minimal bagi pembebasan manusia tidak boleh diijinkan untuk ‘campur tangan’ atau ‘berkompetisi’ dengan satu-satunya tujuan dari menyingkirkan teknologi modern. Dan itu adalah sisi negatif FC bahwa terlepas dari tuntutan awal mereka tentang spontanitas dan alam liar sebagai ideologi tandingan, sekarang mereka mengungkapkan sinisme mereka, mengatakan bahwa manusia merupakan kategori yang pasti (‘manusia sebagaimana adanya’) sebagai pembenaran bagi sebuah kebutuhan untuk organisasi pusat dan kontrol pos-revolusi yang tak terelakkan. Sama seperti perkataan kaum kiri pada perempuan bahwa setelah revolusi isu-isu perempuan akan diperhatikan, maka setelah revolusi anti-industri, isu keadilan sosial mungkin (bukannya akan) diperbaiki—tidak diragukan lagi oleh komite pusat yang sama!

Genderang dan Tombak

Mengesampingkan elemen-elemen “Masyarakat dan Masa Depannya” yang absurd dan seringkali reaksioner (tesis 204),

Kaum revolusioner harus memiliki anak sebanyak yang mereka mampu. Terdapat bukti saintifik yang kuat bahwa perilaku sosial sampai tingkat yang signifikan diturunkan.

Ini adalah esensi dari strategi FC untuk perubahan. Fakta bahwa pertimbangan strategi-strategi ini berdasarkan sebuah kerangka otoritarian, diskursus politik (strategi revolusi) menunjukkannya sendiri. Diskursus politik ini memperlihatkan, paling tidak dalam manifesto, bahwa FC tidak memiliki sesuatu yang baru, tidak ada alternatif radikal yang ditawarkan. Meskipun strategi-strategi tersebut mengajukan kebutuhan untuk menghancurkan sistem industri dengan tepat, mereka gagal untuk meletakkan tujuan ini sebagai bagian dari proyek regenerasi manusia yang lebih luas melalui negasi dari totalitas. Dan tanpa kontekstualisasi semacam itu, gagasan-gagasan mereka dikuatkan kembali oleh politik otoritarian. Penekanan ideologi mereka, dan karenanya kebobrokan ideologi, lebih merefleksikan kebobrokan dari formulasi sosial di mana ideologi mereka adalah sebuah produk.

Secara kasar, paling baik FC telah memutarbalikkan persoalan. Regenerasi manusia hanya dapat muncul dari regenerasi budaya. (dengan ‘budaya’ maksud saya bukan sistem mediasi yang dikomodifikasi yang belakangan dipahami, namun tindakan yang dipilih secara bebas dan interaksi yang dicirikan oleh kreativitas yang spontan). Usaha untuk mendorong regenerasi manusia tanpa regenerasi budaya dapat dengan sangat mudah berakhir pada totalitarianisme. Regenerasi manusia dan budaya saling bergantung secara dialektis, namun regenerasi budaya menyediakan semua konteks sehingga regenerasi manusia dapat berhasil.

Fredy Perlman, dalam perlawanan pribumi terhadap peradaban, mengatakan (“Againts His-story, Againts Leviathan!”, 258):

Perlawanan utamanya bukan pertarungan bersenjata… perlawanan terletak pada drum, bukan pada tombak; perlawanan terletak pada musik, dalam ritme yang dihidupi komunitas di mana mitos dan jalan hidup terus berlangsung untuk memelihara dan mendukung mereka.

Bagian ini menimbulkan pertanyaan terhadap relasi antara drum dan tombak, budaya dan perjuangan bersenjata, namun kita tidak berada pada posisi kaum pribumi: peradaban telah mencabut kami dari hal-hal yang dilihat Perlman sebagai inti dari perlawanan. Kami tidak memiliki komunitas bebas individu, mitos dan jalan pendukung kehidupan, tidak memiliki komunitas yang nyata. Jadi kita tidak dapat melawan dengan cara yang sama. Kami tidak memiliki drum, dan lalu FC menyarankan kami untuk menggunakan tombak saja. Perlman mengindikasikan bahwa hal ini hanya menuntun pada lebih banyak mesin perang, lebih banyak sistem kontrol. Maka pilihan apa yang tersisa?

Jelaslah, bagi kita, harus ada relasi yang lebih dekat dan jelas antara drum dan tombak, bahkan jika yang tombak subordinat dibanding dengan drum. Namun untuk membuat tombak subordinat adalah kegilaan. Tombak harus berada pada posisinya—tetapi posisi mereka tetap mengakar pada drum. Dan jika drum tidak lagi berbunyi, maka kita harus memukulnya. Dan jika kita tidak memiliki drum, kita harus membuatnya. Dan jika kita telah lupa bagaimana memainkan drum, maka kita harus mengutamakan keterputusan kita dan membuatnya sekali lagi.

Kaum anarkis dapat menunjukkan solidaritas mereka paling baik pada mereka jika campur tangan yang signifikan secara sejarah oleh ‘Unabomber’ dengan membuat ulang formula pemberontakkan anti-industri FC dalam istilah anti-otoritarian yang radikal—sebagai contoh, dengan memajukan proyek insureksi melalui aksi langsung dan melahirkan kembali tujuan proyek pada menghapuskan kekuasaan secara total.

Diterbitkan pada Green Anarchist #51, Musim Semi 1998
Diterjemahkan oleh: Kecoa Intip


John Moore (1957 – 27 Oktober 2002) adalah seorang penulis anarkis Inggris, guru, dan organiser. Dia meninggal setelah mengalami kolaps pada saat berada di jalan menuju tempat kerjanya sebagai dosen penulisan kreatif pada University of Luton (sekarang bernama University of Bedfordshire). Dia merupakan anggota dari Kelompok Riset Anarkis (Anarkis Research Group) di London pada tahun 1980an, dia juga merupakan salah satu teoritisi utama dari anarkisme pro-Situ pada tahun 1990an (terutama berasosiasi dengan Hakim Bey), dan secara khusus begitu antusias terhadap anarko-primitis; karya terbaiknya yang paling terkenal adalah essai “Pemikiran Utama Seorang Primitivis” (“A Primitivist Primer”). Meskipun sangat terpengaruh oleh Fredy Perlman, terakhir Moore mulai mengkritik primitivisme dan berpaling kepada para teoritisi bahasa dan subyektifitas, seperti Julia Kristeva, Friedrich Nietzsche dan Max Stirner.

Selama seumur hidupnya dia mempublikasikan beberapa buku-buku pendek: “Anarki dan Ecstasy” (“Anarchy and Ecstasy”), “Lovebite”, dan “The Book of Levelling”. Sebuah antologinya yang dikerjakan sebelum dia meninggal, “Aku Bukan Manusia, Aku Adalah Dinamit! Friedrich Nietzsche dan Tradisi Anarkis “(“I Am Not A Man, I Am Dynamite! Friedrich Nietzsche and the Anarchist Tradition”) telah dilengkapi oleh Spencer Sunshine dan dipublikasikan oleh Autonomedia pada 2004. (sumber: wikipedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar