Kamis, 14 Mei 2009

REPRODUKSI KEHIDUPAN HARIAN

Fredy Perlman


Masyarakat tribal melalui aktifitas praksis hariannya, telah mereproduksi atau mengekalkan sebuah tribal itu sendiri. Reproduksi ini tidak hanya dilakukan secara fisikal, tetapi juga secara sosial. Melalui aktifitas hariannya tersebut, masyarakat tribal mereproduksi lebih dari sekedar sebuah kelompok manusia: mereka telah mereproduksi sebuah suku, yakni suatu bentuk tatanan sosial tertentu di mana kelompok manusia ini melakukan aktifitas-aktifitas spesifik dengan cara yang juga spesifik. Aktifitas-aktifitas spesifik ini bukanlah hasil karakteristik “alamiah” dari manusia yang melakukannya sebagaimana halnya cara madu diproduksi adalah sebuah hasil dari karakteristik alamiah seekor lebah. Aktifitas nyata kehidupan harian yang dikekalkan oleh masyarakat tribal ini adalah sebuah respon sosial yang spesifik dari kondisi-kondisi material dan historis tertentu.

Para budak melalui aktifitas hariannya, juga telah mereproduksi perbudakan. Melalui aktifitas hariannya, para budak tidak hanya mereproduksi diri mereka dan tuan mereka sendiri secara fisik; mereka juga mereproduksi perangkat-perangkat yang biasa digunakan oleh tuan-tuan mereka untuk merepresi mereka, serta kebiasaan mereka untuk patuh pada otoritas tuan-tuan mereka. Bagi seseorang yang hidup dalam sebuah masyarakat perbudakan, hubungan antara tuan dan budak tampak seperti sebuah hubungan yang alamiah dan abadi. Tapi toh bagaimanapun juga, sesungguhnya manusia tidak dilahirkan baik sebagai seorang budak ataupun seorang tuan. Perbudakan merupakan sebuah bentuk tatanan sosial yang spesifik dan manusia mematuhinya hanya dalam sebuah kondisi-kondisi material dan historis tertentu.

Sementara aktifitas praksis harian pekerja-upahan juga telah mereproduksi sistem kerja-upahan dan kapital. Melalui aktifitas hariannya, manusia “modern,” seperti halnya masyarakat tribal dan para budak, telah mereproduksi masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan idea-idea dari masyarakatnya; mereka mereproduksi bentuk tatanan sosial hidup harian. Seperti sistem tribal dan perbudakan, sistem kapitalis bukanlah sebuah sistem yang alamiah ataupun bentuk final bagi masyarakat manusia; seperti halnya bentuk tatanan sosial yang sebelumnya, kapitalisme juga hanya merupakan sebuah respon spesifik dari kondisi-kondisi material dan historis tertentu.

Tidak seperti bentuk aktifitas-aktifitas sosial sebelumnya, kehidupan harian dalam masyarakat kapitalis secara sistematis mentransformasikan kondisi-kondisi material yang pada awalnya direspon oleh kapitalisme. Beberapa batas material dalam aktifitas manusia secara berangsur-angsur masuk ke bawah kendali manusia. Dalam sebuah industrialisasi tingkat tinggi, aktifitas praksis menciptakan kondisi-kondisi material sebagaimana juga bentuk tatanan sosialnya sendiri. Dengan demikian, pembahasan analisisnya tidak hanya tentang bagaimana aktifitas praksis dalam masyarakat kapitalis telah dan terus mereproduksi masyarakat kapitalis, tetapi juga tentang bagaimana aktifitas ini dengan sendirinya mengeliminir kondisi-kondisi material di mana pada awalnya kapitalisme hadir sebagai responnya.



Kehidupan Harian dalam Masyarakat Kapitalis

Bentuk sosial dari aktifitas-aktifitas reguler masyarakat di bawah kapitalisme adalah sebuah respon dari sebuah situasi material dan historis tertentu. Kondisi-kondisi material dan historis ini menjelaskan asal mula bentuk kapitalis, tetapi sama sekali tidak menjelaskan bagaimana bentuk ini terus-menerus berlanjut setelah situasi awalnya lenyap. Sebuah konsep “cultural lag” bukanlah penjelasan dari keberlanjutan sebuah bentuk sosial setelah kondisi awal di mana ia merespon telah menghilang. Konsep ini hanyalah sebuah nama bagi keberlanjutan bentuk sosial ini. Ketika “cultural lag” terlihat sebagai sebuah nama bagi suatu “kekuatan sosial” yang menentukan aktifitas manusia, hal ini menjadi sebuah pengaburan yang mempresentasikan aktifitas masyarakat sebagai sebuah kekuatan external yang tak dapat mereka kontrol sama sekali. Ini tidak hanya berlaku bagi sebuah konsep seperti “cultural lag.” Banyak istilah-istilah yang digunakan oleh Marx untuk mendeskripsikan aktifitas dari masyarakat telah dibawa pada pengertian eksternal dan bahkan sebagai sebuah kekuatan “alamiah” yang menentukan aktifitas masyarakat; karenanya, konsep seperti “perjuangan kelas”, “hubungan produksi” dan khususnya “dialektika” dalam teori beberapa orang “Marxis” telah memainkan peranan yang sama dengan “dosa”, “nasib” dan “takdir” dari teori para pendongeng abad pertengahan.

Dalam melaksanakan aktifitas hariannya, anggota-anggota masyarakat kapitalis melakukan dua proses sekaligus: mereka mereproduksi bentuk aktifitas mereka dan sekaligus menghilangkan kondisi-kondisi material yang direspon oleh bentuk aktifitas ini pada awalnya. Namun mereka tidak menyadari bahwa mereka melakukan proses tersebut; aktifitas yang mereka lakukan sendiri sama sekali tidak transparan bagi mereka. Mereka berada di bawah ilusi bahwa aktifitas mereka merupakan respon dari kondisi-kondisi alamiah tak mampu mereka kontrol, serta tidak melihat bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang sesungguhnya menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Tugas ideologi kapitalis adalah untuk terus memberi tabir agar masyarakat tidak mampu melihat bahwa mereka sendirilah yang sebenarnya mereproduksi bentuk hidup harian mereka dengan aktifitas-aktifitas mereka; dan telah menjadi tugas bagi teori kritis untuk membuka tabir aktifitas-aktifitas harian masyarakat, membuatnya transparan, untuk membuat reproduksi bentuk sosial aktifitas kapitalis tampak jelas dalam aktifitas harian masyarakat.


Di bawah kapitalisme, hidup harian diisi oleh aktifitas-aktifitas yang saling berhubungan yang mereproduksi dan memperluas bentuk aktifitas sosial kapitalis. Penjualan waktu kerja demi sebuah upah (gaji), penjelmaan waktu kerja ke dalam komoditi (barang yang dapat dijual, baik yang nyata maupun yang tak nyata), konsumsi komoditi nyata dan tak nyata (seperti barang-barang konsumer dan spektakular)—aktifitas-aktifitas yang menjadi karakteristik kehidupan harian di bawah kapitalisme ini bukanlah manifestasi dari sifat “alamiah manusia”, bukan juga sesuatu yang dipaksakan kepada menusia oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar kendalinya.


Jika memang benar bahwa seluruh manusia itu alamiahnya adalah anggota masyarakat tribal yang tidak berdaya-cipta dan seorang pengusaha yang berdaya-cipta, seorang budak yang patuh dan seorang pengrajin yang penuh kebanggaan, seorang pemburu yang mandiri dan seorang pekerja-upahan yang tidak mandiri, maka “sifat alami manusia” bisa jadi hanyalah sebuah konsep yang kosong, atau pada faktanya “sifat alami” manusia ditentukan oleh kondisi-kondisi material dan historisnya, dan memang pada faktanya “sifat alami” manusia hanyalah sebuah respon dari kondisi-kondisi tersebut.



Alienasi Aktifitas Hidup

Dalam masyarakat kapitalis, aktifitas kreatif mengambil bentuk dalam produksi komoditi, yakni produksi barang-barang yang dapat dipasarkan, dan karenanya aktifitas manusiapun juga mengambil bentuk komoditi-komoditi. Kemampuan untuk dijual ataupun laris di pasaran, merupakan karakteristik universal dari seluruh aktifitas praktis dan semua produk.

Hasil-hasil produksi aktifitas manusia yang penting dalam proses bertahan hidup juga memiliki bentuk sebagai barang-barang yang dapat dijual: barang-barang yang hanya tersedia apabila dipertukarkan dengan uang. Dan uang juga hanya tersedia untuk dipertukarkan dengan komoditi. Jika sebagian besar manusia menerima legitimasi dari kesepakatan-kesepakatan ini, jika mereka menerima kesepakatan bahwa komoditi adalah sebuah prasyarat untuk mendapatkan uang dan uang adalah suatu prasyarat bagi proses bertahan hidup mereka, maka mereka akan menemukan diri mereka sendiri terkunci dalam sebuah lingkaran yang kejam. Karena mereka tidak memiliki komoditi, satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kejam ini adalah dengan menganggap diri mereka sendiri, atau beberapa bagian dari diri mereka sendiri, sebagai komoditi. Dan inilah, yang pada kenyataannya, sebuah “solusi” ganjil yang diberikan manusia pada diri mereka sendiri di hadapan kondisi-kondisi material dan historis yang spesifik. Mereka tidak menukar tubuh mereka, atau sebagian dari tubuh mereka untuk uang. Mereka menukarkan daya kreatif dari hidup, aktifitas praksis harian mereka, demi uang.


Sesegera manusia menerima uang sebagai sesuatu yang berbanding sama dengan hidup, maka penjualan aktifitas hidup menjadi sebuah kondisi dari proses bertahan hidup mereka secara fisikal maupun sosial. Hidup telah dipertukarkan dengan proses bertahan hidup. Kreasi dan produksi dimaknai sebagai aktifitas berjualan. Aktifitas manusia dianggap “produktif”, berguna bagi masyarakat, hanya jika aktifitas ini dapat dijual. Dan manusia sendiri adalah seorang anggota produktif dari masyarakat hanya jika aktifitas hidup harian mereka dapat dijual. Sesegera manusia menerima syarat-syarat pertukaran seperti ini, aktifitas harian mengambil bentuk prostitusi universal.


Penjualan tenaga kreatif, atau penjualan aktifitas harian, mengambil bentuknya dalam kerja. Kerja adalah suatu bentuk aktifitas manusia yang spesifik secara historis. Kerja adalah aktifitas abstrak yang hanya memiliki satu khasiat: ia dapat dipasarkan, ia dapat dijual untuk sejumlah uang yang diberikan. Kerja adalah aktifitas yang tak berbeda: tak berbeda dalam artian tugas yang dilakukan dan tak berbeda dalam artian terutama pada subjek di mana tugas itu ditujukan. Menggali, mencetak dan mengukir adalah aktifitas yang berbeda, namun ketiganya adalah sama-sama kerja dalam masyarakat kapitalis. Kerja adalah sekedar “memperoleh uang.” Aktifitas hidup yang mengambil bentuk kerja adalah sebuah proses untuk memperoleh uang. Hidup menjadi sebuah proses bertahan hidup.


Pembalikan yang ironis ini bukanlah klimaks dramatis dari novel yang imajinatif; ini adalah sebuah fakta tentang hidup harian dalam masyarakat kapitalis. Bertahan hidup, katakanlah pelestarian diri dan reproduksi, menjadi bukan lagi proses bagi aktifitas praksis yang kreatif, melainkan jelas-jelas justru kebalikannya. Aktifitas kreatif dalam bentuk kerja, katakanlah aktifitas berjualan, adalah sebuah keharusan menyakitkan untuk bertahan hidup; kerja adalah proses bagi pelestarian diri dan reproduksi.

Penjualan aktifitas hidup membawa satu pembalikan yang lain lagi. Melalui penjualan, kerja dari seorang individu menjadi “milik” individu lain, kerja tersebut diambil oleh individu lain, kerja tersebut menjadi berada di bawah kontrol individu lain. Dengan kata lain, aktifitas seseorang menjadi aktifitas orang lain, aktifitas pemiliknya; akibatnya aktifitas tersebut menjadi asing bagi orang yang melakukannya. Dengan demikian, hidup seseorang, pencapaian-pencapaian seorang individu dalam dunia, perbedaan yang ia buat dalam perjalanan hidup kemanusiaan, tidak hanya tertransformasikan ke dalam kerja, sebuah kondisi menyakitkan untuk bertahan hidup; hidup tertransformasikan ke dalam aktifitas yang asing, aktifitas yang dilakukan oleh si pembeli kerja. Dalam masyarakat kapitalis, arsitek, ahli mesin, pekerja, bukanlah mereka yang membangun; orang-orang yang membeli kerja merekalah yang membangun; proyek-proyek, kalkulasi-kalkulasi dan gerak yang mereka lakukan adalah sesuatu yang asing bagi diri mereka sendiri; aktifitas hidup mereka, pencapaian-pencapaian yang mereka lakukan, dimiliki oleh sang pembeli kerja.

Para sosiolog akademik, yang menganggap penjualan kerja ini sebagai sesuatu yang lumrah, memahami keterasingan kerja ini sebagai sebuah perasaan: aktifitas pekerja “tampak” asing bagi pekerjanya, ia “tampak” dikontrol oleh orang lain. Bagaimanapun juga, setiap pekerja dapat menjelaskan pada para sosiolog akademik bahwa keterasingan bukanlah sebuah perasaan ataupun hanya sebuah idea yang ada dalam otak pekerja, melainkan sebuah fakta nyata tentang hidup harian pekerja. Aktifitas penjualan pada faktanya asing bagi pekerja; kerja yang dilakukan pada faktanya dikontrol oleh sang pembeli kerjanya.


Dari pertukaran atas penjualan aktifitasnya, pekerja mendapatkan uang, proses bertahan hidup yang secara konvensional telah diterima dalam masyarakat kapitalis. Dengan uang ini, ia dapat membeli komoditi, berbagai hal, namun ia tidak dapat membeli kembali aktifitasnya sendiri. Hal ini memperlihatkan adanya “jurang” yang ganjil dalam konsep uang sebagai “pembanding universal.” Seseorang dapat menjual komoditi demi uang, dan ia dapat membeli komoditi dengan uang. Ia dapat menjual aktifitas hidupnya demi uang, tapi ia tidak dapat membeli aktifitas hidupnya itu dengan uang.


Benda-benda yang dibeli oleh pekerja dengan upahnya pertama-tama adalah barang-barang konsumer yang dapat memungkinkan pekerja tersebut untuk terus bertahan hidup, untuk mereproduksi tenaga kerjanya agar ia dapat terus menjualnya; dan semua itu menjadi spectacle, obyek bagi kekaguman yang pasif. Ia mengkonsumsi dan mengagumi produk-produk dari aktifitas manusia dengan pasif. Ia tidak eksis di dunia ini sebagai seorang agen yang aktif mentransformasikannya, melainkan sebagai seorang yang tak berdaya, seorang spektator yang impoten; ia bisa saja menganggap pengertian dari ketidakberdayaan yang dikaguminya ini sebagai “kebahagiaan,” dan sejak kerja adalah sesuatu yang menyakitkan, ia mungkin menghasrati “bahagia,” katakanlah ketidakaktifan, untuk sepanjang hidupnya (sebuah kondisi yang mirip dengan terlahir mati). Komoditi, spectacle-spectacle, mengkonsumsi dirinya; ia menggunakan energi hidup ke dalam kekaguman yang pasif; ia dikonsumsi oleh berbagai benda. Dalam pengertian ini, semakin banyak ia memiliki, maka semakin berkuranglah dirinya. (Seorang individu bisa saja mengatasi mati-selagi-hidup ini dengan melakukan aktifitas kreatif sampingan; tapi populasi tidak bisa, kecuali dengan cara mengabolisi bentuk kapitalis dari aktifitas praktis, dengan mengabolisi kerja-upahan, dan dengan demikian juga menghilangkan keterasingan aktifitas kreatif).



Fetishisme Komoditi

Dengan mengalienaskani aktifitas mereka sendiri dan mewujudkannya dalam bentuk komoditi, orang-orang mereproduksi diri mereka sendiri dan menciptakan kapital melalui wadah materialnya yaitu: kerja manusia.

Dari sudut pandang ideologi kapitalis, dan khususnya ilmu-ilmu Ekonomi akademik, pernyataan berikut bukanlah sesuatu yang benar: komoditi-komoditi “bukanlah produk dari pekerja saja”; tetapi juga diproduksi oleh “faktor primordial dari produksi”. Tanah, Tenaga Kerja, dan Kapital, atau apa yang sering disebut sebagai Trinitas Suci kapitalis, dan “faktor” utamanya jelas pahlawan di antara bagian tersebut, kapital.


Trinitas suci ini bukanlah sebuah analisa, semenjak para ahli-ahli ekonomi tidak dibayar untuk menganalisa. Mereka dibayar untuk melakukan pengaburan, untuk menopengi bentuk sosial dari aktifitas praksis di bawah kapitalisme, untuk menyelubungi fakta bahwa para produsen mereproduksi diri mereka sendiri, para eksploitator mereka dan juga perangkat-perangkat yang menjadi alat eksploitasi mereka. Formula Trinitas tidak cukup meyakinkan untuk mengungkap kenyataan ini. Sudah lumrah bagi kita bahwa tanah tidak lebih dari sekedar produsen komoditi sebagaimana juga air, udara atau matahari Terlebih lagi Kapital, yang dulu pernah menjadi nama bagi hubungan sosial yang terjadi antara para pekerja dan para kapitalis, nama bagi perangkat produksi yang diimilki oleh si kapitalis, dan nama bagi uang yang berharga sama dengan perangkatt produksi dan “aset-aset” milik kapitalis tersebut, tidak mereproduksi apapun selain ejakulasi-ejakulasi yang dikikis ke dalam bentuk-bentuk materi publikasi oleh para ekonom akademik. bahkan perangkat-perangkat produksi yang merupakan kapital bagi seorang kapitalis adalah “faktor produksi” primordial hanya jika seseorang membutakan batas pandangnya pada satu firma kapitalis yang terisolir, semenjak pandangan menyeluruh atas sistem ekonomi akan menjelaskan bahwa kapital dari seorang kapitalis merupakan wadah material dari alienasi para pekerja bagi kapitalis lainnya. Bagaimanapun juga, walaupun formula Trinitas ini tidak meyakinkan, ia telah melakukan tugasnya dalam pengaburan dengan cara menukar subyek dari pertanyaan: bukannya menanyakan mengapa aktifitas orang-orang di bawah kapitalisme mengambil bentuk pekerja-upahan, para analis yang potensial dari kehidupan harian kapitalis akan mentransformasikannya ke dalam pola yang ditanyakan oleh para akademisi Marxis rumahan yang mempertanyakan apakah benar pekerja adalah satu-satunya “faktor produksi”.


Dengan demikian, para ekonom (dan ideologi kapitalis pada umumnya) memperlakukan tanah, uang dan hasil kerja sebagai hal-hal yang memiliki kekuatan untuk memproduksi, menciptakan nilai, untuk bekerja bagi pemiliknya, untuk mentransformasikan dunia. Inilah apa yang oleh Marx disebut sebagai fetishisme yang mengkarakteristikan konsep keseharian masyarakat, yang telah dibesarkan hingga pada level dogma oleh para ekonom. Bagi para ekonom, orang hidup adalah benda (“faktor produksi”), dan benda adalah sesuatu yang hidup (uang “bekerja”, Kapital “memproduksi”).


Para pemuja fetish menghargai produk dari aktifitasnya sendiri sebagai fetish. Sebagai hasilnya, ia berhenti menggunakan kekuatannya sendiri (kekuatan untuk mentransformasikan alam, kekuatan untuk menentukan bentuk dan isi dari kehidupan hariannya); ia hanya menghentikan “kekuatan-kekuatan” tersebut yang kemudian ia persembahkan pada fetishnya (“kekuatan” untuk membeli komoditi-komoditi). Dengan kata lain, para pemuja fetish mengebiri diri mereka sendiri dan lebih menghargai kejantanan fetishnya.


Tapi fetish adalah sebuah benda mati, bukan sesuatu yang hidup: ia tak memiliki gairah hidup. Fetish tak lebih dari sekedar benda yang mana, dan melaluinya, relasi kapitalis dimapankan. Kekuatan misterius dari Kapital, “kekuatannya” untuk memproduksi, dayanya, tidaklah terkandung di dalam Kapital itu sendiri, melainkan terkandung dalam fakta bahwa orang-orang mengalienasikan aktifitas kreatif mereka, menjual tenaga kerja mereka pada para kapitalis, mematerialisasikan atau mereifikasikan tenaga kerja mereka yang telah teralienasikan ke dalam komoditi. Dengan kata lain, manusia dibeli oleh produk dari aktifitas mereka sendiri, di mana mereka menganggap bahwa aktifitas mereka sendiri adalah aktifitas Kapital dan juga produk-produk yang mereka hasilkan adalah produk-produk dari Kapital. Dengan menghargakan kekuatan kreatif mereka pada Kapital, mereka mempersembahkan aktifitas hidup mereka, kehidupan harian mereka, pada Kapital, yang berarti juga bahwa manusia memberikan diri mereka sendiri, setiap hari, kepada personifikasi Kapital, yaitu sang kapitalis.


Dengan menjual tenaga kerja mereka, mengalienasikan aktifitas mereka, orang-orang setiap hari mereproduksi personifikasi-personifikasi bentuk dominan aktiftas di bawah kapitalisme, mereka mereproduksi bentuk pekerja-upahan dan bentuk kapitalis. Mereka tidak saja mereproduksi individual-individual secara fisikal namun juga secara sosial; mereka mereproduksi individual-individual yang menjadi para penjual tenaga kerja, dan individual-individual yang menjadi para pemilik produksi; mereka mereproduksi individual termasuk aktifitas-aktifitas spesifiknya, penjualannya dan juga kepemilikannya.

Setiap kali orang-orang melakukan aktifitas yang bukan demi diri mereka sendiri dan berada di luar kendali mereka sendiri, setiap kali mereka membayar untuk barang-barang yang telah mereka produksi dengan uang yang mereka terima dari hasil pertukaran aktifitas mereka yang teralienasikan, setiap kali mereka secara pasif memuja produk-produk dari aktiftas mereka sendiri sebagai benda asing yang didapatkan oleh uangnya, mereka memberikan nafas kehidupan baru pada Kapital dan mematikan hidup mereka sendiri.

Tujuan dari proses ini adalah untuk mereproduksi hubungan antara pekerja dan kapitalis. Namun bagaimanapun juga, ini bukanlah tujuan dari para pelaku individual yang berkutat di dalamnya. Aktifitas yang mereka lakukan ini tidak tampak jelas bagi mereka; mata mereka terpaku pada fetish yang berada di antara aksi dan hasil akhirnya. Para pelaku aktifitas ini menancapkan mata mereka hanya pada benda-benda, sesuatu yang berada tepat di mana hubungan-hubungan kapitalis dimapankan.

Pekerja sebagai seorang pemroduksi bertujuan mempertukarkan kerja harian mereka dengan uang-gaji, tujuannya jelas adalah benda yang mana melaluinya hubungannya dengan sang kapitalis dimapankan kembali, benda yang mana melaluinya ia mereproduksi dirinya sendiri sebagai seorang pekerja upahan dan yang lain sebagai seorang kapitalis. Pekerja sebagai konsumer mempertukarkan uangnya untuk hasil produksi kerjanya, tepatnya benda-benda yang mana oleh sang kapitalis dijual untuk merealisasikan Kapital-nya.


Transformasi harian aktifitas kehidupan ke dalam Kapital, dimediasikan oleh benda-benda, bukannya dilakukan oleh benda-benda. Para pemuja fetish tidak mengetahui hal ini; baginya, kerja, tanah, perangkat-perangkat dan uang, para pengusaha dan bankir, semuanya adalah “faktor” dan “pelaku”. Ketika seorang pemburu menggunakan jimat saat menjatuhkan seekor rusa dengan batu, ia mungkin saja menganggap jimatnya sebagai “faktor” penting dalam menjatuhkan rusa dan bahkan juga dalam menyediakan rusa sebagai obyek untuk dijatuhkan. Apabila pemburu ini seorang yang beretanggung jawab dan pemuja fetish yang berpendidikan tinggi, maka ia akan mengerucutkan perhatiannya pada jimat ini, merawatnya dengan seksama dan penuh rasa sayang; dengan tujuan meningkatkan kondisi-kondisi material kehidupannya, ia akan meningkatkan cara ia menggunakan fetishnya, bukan bagaimana cara ia melempar batu; dalam sebuah ikatan, ia bahkan mungkin akan mengirimkan jimatnya untuk berburu untuknya. Aktifitas-aktifitas hariannya tidak tampak jelas baginya: saat ia makan dengan baik, ia gagal untuk melihat bahwa itu adalah karena aksinya dalam melempar baru, dan bukan aksi jimat, yang telah berhasil menyediakan makanan baginya; saat ia lapar, ia gagal melihat bahwa itu adalah karena aksi pemujaan terhadap jimatnya, bukan aksi berburunya, dan bukan kegusarannya terhadap fetishnya, yang menyebabkan ia kelaparan.


Fetishisme komoditi dan uang, mistifikasi aktifitas-aktifitas hidup harian seseorang, agama harian yang membuat aktifitas hidup menjadi benda-benda tak nyata, bukanlah sebuah mental yang terlahir mendadak dalam imajinasi manusia; ia memiliki karakter yang berakar dari relasi sosial di bawah kapitalisme. Apa yang seseorang lakukan dalam faktanya selalu berhubungan dengan orang lain melalui benda-benda; fetish dalam faktanya adalah sebuah kondisi di mana mereka beraksi secara kolektif, dan melaluinya juga mereka mereproduksi aktifitas mereka. Tetapi bukan fetish yang melakukan aktifitas tersebut. Bukan Kapital yang mentransformasikan bahan mentah, bukan pula Kapital yang yang memproduksi barang. Apabila aktifitas hidup tidak mentransformasikan material-material, maka semuanya tak akan ada yang tertransformasikan, semuanya akan tetap tak berdaya dan sekedar benda mati. Apabila seseorang tidak ingin terus menjual aktifitas hidupnya, akan terbukalah impotensi Kapital; Kapital akan terhapus dari eksistensinya; potensi terakhirnya akan terus membuat orang-orang tetap melewati kehidupan hariannya yang secara karakteristik merupakan sebuah pelacuran universal.


Pekerja mengalienasikan hidupnya agar supaya mempertahankan hidupnya. Apabila ia tidak menjual aktifitas hidupnya ia tak akan mendapat upah dan tak akan dapat bertahan hidup. Namun bagaimanapun juga, bukanlah upah yang mengalienasikan kondisi bertahan hidup. Apabila manusia secara kolektif tidak ingin terus menjual aktifitas hidupnya, memilih mengambil alih kontrol atas aktifitas-aktifitas mereka sendiri, maka pelacuran universal tak akan menjadi sebuah kondisi bertahan hidup. Adalah posisi manusia yang terus menjual tenaga mereka, dan bukan karena benda-benda yang membuat mereka menjual tenaganya, yang membuat alienasi aktifitas kehidupan menjadi penting untuk dihapuskan dari kehidupan.


Aktifitas hidup yang dijual oleh pekerja dibeli oleh kapitalis. Dan hanya aktifitas hiduplah yang menghembuskan nafas kehidupan pada Kapital dan membuatnya “produktif”. Kapitalis, seorang “pemilik” bahan baku dan perangkat-perangkat produksi, merepresentasikan barang-barang alami dan hasil-hasil kerja dari tenaga orang lain, sebagai “kepemilikan privat”nya sendiri. Tetapi ini bukanlah kekuatan misterius Kapital yang menciptakan “kepemilikan privat” bagi kapitalis; aktifitas hiduplah yang menciptakan “kepemilikan” dan bentuk aktifitas tersebutlah yang membuatnya menjadi tetap “privat”.



Transformasi Aktifitas Hidup ke dalam Kapital

Transformasi aktifitas hidup ke dalam kapital diakomodir setiap hari melalui benda-benda, tetapi tidak dilaksanakan oleh benda-benda tersebut. Benda-benda yang mana merupakan produk-produk dari aktifitas manusia tampak sebagai agen-agen yang aktif karena berbagai kontak dan aktifias dilakukan untuk dan melalui benda-benda tersebut, dan karena berbagai aktifitas manusia tidak transparan bagi diri mereka sendiri; mereka mencampur adukkan antara barang yang memediasi dengan penyebab semuanya itu dapat terjadi.

Dalam proses produksi kapitalis, pekerja mewujudkan atau mematerialisasikan energi hidupnya yang teralienasi ke dalam sebuah barang yang tidak berdaya dengan menggunakan berbagai perangkat yang merupakan perwujudan aktifitas orang lain. (Berbagai perangkat industri yang rumit mewujudkan aktifitas intelektual maupun manual dari berbagai generasi yang tak terhitung jumlahnya yang menjadi penemu, pengembang dan produsen dari seluruh penjuru dunia dan berbagai macam bentuk masyarakat.) Berbagai perangkat itu sendiri sebenarnya adalah barang-barang yang tak berdaya; yang merupakan perwujudan material dari aktifitas hidup, namun perangkat-perangkat tidak hidup dengan sendirinya. Satu-satunya agen aktif dalam proses produksi adalah yang hidup dan mengerjakannya. Ia menggunakan produk kerja orang lain dan mengisinya dengan kehidupan, maka dapat dikatakan bahwa hidup tetaplah miliknya sendiri; ia tak mampu menghidupkan kembali individu-individu yang telah menyimpan aktifitas hidupnya dalam perangkat-perangkat yang ia gunakan.

Perangkat-perangkat tersebut dapat saja membuatnya melakukan sesuatu lebih banyak dalam waktu yang diberikan, dan dalam pengertian ini, perangkat-perangkat tersebut dapat meningkatkan produktifitasnya. Tetapi hanya pekerja hidup yang mampu melakukan produksilah yang dapat menjadi produktif.


Sebagai contoh, saat seorang pekerja industri menggunakan sebuah mesin elektrik, ia menggunakan berbagai produk kerja dari berbagai generasi ahli fisika, penemu, ahli mesin, para pembuat mesin. Pekerja ini tentunya jauh lebih produktif dibandingkan dengan seorang pengrajin yang membuat benda yang sama dengan menggunakan tangan. Tetapi bukan lantas berarti bahwa “Kapital” yang dihasilkan oleh pekerja industri tersebut menjadi lebih “produktif” dibandingkan “Kapital” sang pengrajin. Apabila saja berbagai generasi intelektual dan aktifitas manual tidak mewujudkan aktifitasnya dalam mesin elektrik, apabila sang pekerja industri harus menciptakan mesin, listrik, dan mesin elektrik, maka akan dibutuhkan waktu yang nyaris sepanjang hidup bagi sang pekerja industri tersebut untuk mengubah sebuah benda menjadi sebuah mesin elektrik, dan tidak akan ada sejumlah Kapital yang dapat meningkatkan produktifitasnya melebihi sang pengrajin yang membuat bendanya dengan menggunakan tangan.


Sebutan bagi “produktifitas kapital” dan khususnya ukuran detail dari “produktifitas” adalah hasil temuan-temuan para Ekonom yang “ilmiah”, agama kehidupan harian kapitalis yang menggunakan enersi masyarakat dalam penyembahan, pemelukan dan penyanjungan fetish utama masyarakat kapitalis. Kolega-kolega mediaval dari para “ilmuwan” ini menggunakan ukuran-ukuran detail dari tinggi dan lebar para malaikat di Surga, tanpa pernah mempertanyakan apakah malaikat ataupun Surga itu sendiri, dan menerima begitu saja keberadaan keduanya.


Hasil dari penjualan aktifitas pekerja ini adalah sebuah produk yang tidak lagi menjadi milik sang pekerja itu sendiri. Produk ini merupakan perwujudan dari kerjanya, sebuah materialisasi dari sebagian hidupnya, sebuah wadah yang berisi aktifitas hidupnya, tetapi produk itu sendiri bukanlah miliknya; produk tersebut menjadi sesuatu yang asing baik baginya maupun bagi aktifitas kerjanya. Yang memutuskan untuk membuat produk tersebut juga bukan sang pekerja, dan ketika produk tersebut dibuat bukan sang pekerja juga yang mengaturnya. Apabila ia menginginkan produk tersebut, ia harus membelinya. Apa yang dibuat oleh sang pekerja bukanlah semata-mata sebuah produk yang memiliki berbagai kegunaan; karenanya sang pekerja tak perlu menjual kerjanya bagi seorang kapitalis untuk dipertukarkan dengan sejumlah upah; ia hanya perlu mengambil beberapa material yang dibutuhkan serta alat-alat yang tersedia, ia hanya harus membentuk material-material tersebut dipandu dengan tujuan-tujuan yang ingin ia capai dan hanya dibatasi oleh pengetahuan dan kemampuannya. (Umumnya seorang individu hanya dapat melakukan aktifitas sebagai sampingan; pengambilan dan penggunaan berbagai material dan alat oleh orang-orang hanya dapat terjadi setelah penggulingan bentuk aktifitas kapitalis.)


Apa yang diproduksi oleh pekerja di bawah berbagai kondisi kapitalis adalah sebuah produk dengan guna yang juga sangat spesifik, guna untuk dijual. Apa yang diproduksi oleh aktifitasnya yang telah teralienasi adalah sebuah komoditi.


Karena produksi kapitalis adalah produksi komoditi, maka pernyataan bahwa tujuan proses produksi tersebut adalah demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi sepenuhnya palsu; proses produksi tersebut adalah sebuah rasionalisasi dan apologi. “Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia” bukanlah tujuan dari kapitalis atau para pekerja yang terlibat dalam produksi, bukan juga hasil dari proses tersebut. Pekerja menjual kerjanya demi mendapat upah; apapun kandungan spesifik dari kerjanya baginya sama saja; ia tidak akan mengalienasikan kerjanya kepada seorang kapitalis yang tidak memberikan upah sebagai pertukaran atas kerjanya, tidak peduli seberapa banyak kebutuhan manusia yang dapat terpenuhi oleh produk kapitalis tersebut. Sang kapitalis membeli kerja dan menempatkannya dalam proses produksi untuk digabungkan dengan berbagai komoditi yang dapat dijual. Ia tidak peduli kegunaan-kegunaan khusus dari produknya, sama seperti ia yang tak peduli dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat; apa yang menarik hatinya dalam sebuah produk adalah seberapa menguntungkan produk itu dapat dijual, dan segala sesuatu yang menarik hatinya berkaitan dengan kebutuhan masyarakat adalah sebanyak apa yang masyarakat “butuhkan” untuk membeli dan bagaimana mereka dapat dipengaruhi melalui propaganda dan pengkondisian psikologis agar selalu “butuh” lebih. Tujuan kapitalis adalah untuk memenuhi kebutuhannya untuk terus memproduksi dan memperbesar Kapital, dan hasil dari proses ini adalah perluasan produksi kerja-upahan dan Kapital (yang mana artinya bukanlah “kebutuhan-kebutuhan manusia”).


Komoditi yang diproduksi oleh pekerja dipertukarkan oleh kapitalis dengan sejumlah khusus uang; komoditi adalah sebuah nilai yang dipertukarkan untuk sebuah nilai yang setara. Dengan kata lain, hidup dan materialisasi kerja masa lalu dapat eksis dalam dua bentuk yang berbeda tetapi setara, yaitu dalam komoditi dan dalam uang, ataupun juga dalam bentuk nilai, sesuatu yang umum bagi keduanya. Ini bukan berarti nilai adalah kerja. Nilai adalah sebuah bentuk sosial dari reifikasi (materialisasi) kerja dalam masyarakat kapitalis.


Dalam kapitalisme berbagai hubungan sosial tidak dibangun secara langsung; semuanya dibangun melalui nilai. Aktifitas harian tidak dipertukarkan secara langsung; tetapi dipertukarkan dalam bentuk nilai. Konsekuensinya, apa yang terjadi pada aktifitas hidup dalam kapitalisme tak dapat dilacak dengan mengamati aktifitas itu sendiri, tetapi hanya dengan cara menyusuri metamorfosis nilai.

Ketika aktifitas hidup masyarakat mengambil bentuk kerja (aktifitas yang teralienasi), aktifitas tersebut membutuhkan benda-benda yang dimiliki untuk dipertukarkan; aktifitas tersebut membentuk nilainya. Dengan kata lain, kerja dapat dipertukarkan dengan sejumlah uang (upah) yang setara.

Pengalienasian aktifitas hidup yang dilakukan dengan sengaja, yang mana dirasa oleh anggota-anggota masyarakat kapitalis sebagai sesuatu yang penting untuk dapat bertahan hidup, telah mereproduksi bentuk kapitalis dalam hal di mana alienasi dibutuhkan agar dapat bertahan hidup. Karena adanya fakta bahwa aktifitas hidup terwujud dalam bentuk nilai, maka produk-produk dari aktifitas tersebut juga harus terwujud dalam bentuk nilai: yaitu bahwa produk-produk tersebut harus dapat dipertukarkan dengan uang. Hal ini telah jelas semenjak apabila produk kerja tidak terwujud dalam bentuk nilai, misalnya terwujud dalam bentuk barang-barang yang berguna bagi pembangunan masyarakat, maka produk-produk tersebut akan tetap tersimpan dalam pabrik atau juga akan dapat diambil dengan cuma-cuma oleh anggota-anggota masyarakat saat hadir kebutuhan akan produk-produk tersebut; dalam kasus lain, upah-uang yang diterima oleh para pekerja tidak memiliki nilai, dan aktifitas hidup tak dapat dijual untuk sejumlah uang yang setara; aktifitas hidup tak dapat dialienasikan. Konsekuensinya, begitu aktifitas hidup terwujud dalam bentuk nilai, reproduksi kehidupan harian terjadi melalui perubahan-perubahan atau metamorfosis-metamorfosis nilai.


Sang kapitalis menjual produk-produk hasil kerja dalam sebuah pasar; ia mempertukarkannya dengan sejumlah uang yang setara; ia menyadari akan sebuah nilai yang menjadi penentu. Besaran spesifik nilai tersebut ini di sebuah pasar tertentu merupakan harga komoditi-komoditi. Bagi para Ekonom akademik, Harga adalah kunci milik Santo Petrus untuk membuka gerbang surga. Layaknya Kapital sendiri, Harga bergerak dalam sebuah dunia menakjubkan yang seluruhnya penuh berisi barang; barang-barang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lain, mengkomunikasikan satu sama lain; mereka menikahkan dan menghasilkan anak-anak. Dan tentunya semua itu hanya dapat terwujud melalui berkah barang-barang yang intelek, kuat dan kreatif yang dengannya orang akan sangat berbahagia dalam masyarakat kapitalis.


Untuk merepresentasikan bagaimana Surga bekerja melalui gambaran seorang Ekonom, para malaikat mengerjakan semuanya sementara manusia tidak melakukan apapun; manusia sekedar menikmati apa yang dilakukan oleh mahkluk-mahkluk superior tersebut bagi mereka. Tak sekedar mengartikan bahwa Kapital yang memproduksi dan uang yang mengerjakan; mahkluk-mahkluk misterius lainnya juga memiliki pandangan yang sama. Persediaan, sejumlah barang untuk dijual, dan Permintaan, sejumlah barang untuk dibeli, bersama-sama menentukan Harga, sejumlah uang; saat Persediaan dan Permintaan dikawinkan dalam suatu poin tertentu pada sebuah diagram, mereka melahirkan Harga yang Setara, yang mempengaruhi sebuah kebahagiaan universal. Aktifitas kehidupan harian dimainkan oleh benda-benda, dan orang-orang tereduksi menjadi benda-benda (“faktor produksi”) dalam jam-jam “produktif” mereka, dan menjadi pengamat benda dalam “waktu luang” mereka. Pandangan para Ilmuwan Ekonom menjelaskan hal tersebut sebagai kemampuan seseorang dalam menghargai hasil aktifitas harian masyarakat melalui benda-benda, dan ketidakmampuan seseorang dalam melihat aktifitas hidup masyarakat melalui keunikan benda-benda. Bagi para Ekonom, benda-benda yang hadir melalui aktifitas masyarakat yang diatur dalam kapitalisme adalah ibu dan anak, sebab dan akibat yang hadir atas aktifitas mereka sendiri.


Besaran nilai, katakanlah harga sebuah komoditi, sejumlah uang yang merupakan hasil pertukarannya, tidaklah ditentukan oleh benda-benda, melainkan oleh aktifitas harian masyarakat. Persediaan dan permintaan, kompetisi yang sempurna dan yang tidak sempurna, tak lebih dari sekedar bentuk-bentuk sosial dari berbagai produk dan aktifitas dalam masyarakat kapitalis; mereka sendiri tidaklah hidup.

Fakta mengatakan bahwa aktifitas yang telah teralienasi, katakanlah waktu kerja yang dijual demi sejumlah uang tertentu, memiliki nilai, memiliki beberapa konsekuensi yang mempengaruhi besaran nilai hasil kerja tersebut. Nilai komoditi yang dijual setidaknya harus setara dengan nilai waktu kerja. Hal ini sudah jelas baik dari sudut pandang firma kapitalis individu ataupun dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan. Apabila nilai komoditi yang dijual oleh seorang individu kapitalis lebih rendah dari nilai kerja yang ia sewa, lantas pengeluaran untuk pengerjaanya sendiri lebih besar dari pendapatannya, dengan segera ia akan menemui kebangkrutan. Secara sosial, apabila nilai hasil kerja lebih rendah dari nilai konsumsinya, maka kekuatan kerja tak akan dapat mereproduksi dirinya sendiri, belum apabila bicara soal kelas para kapitalis. Tetapi bagaimanapun juga, apabila nilai komoditi setidaknya setara dengan nilai waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya, maka para produsen komoditi akan dapat mereproduksi diri mereka sendiri, dan bentuk masyarakat mereka tidak lagi sebuah masyarakat kapitalis; aktifitas mereka mungkin masih berupa produksi komoditi, tetapi bukan bentuk produksi komoditi kapitalis.


Bagi kerja untuk dapat menciptakan Kapital, nilai hasil kerja harus lebih tinggi dari nilai kerja itu sendiri. Dalam kata lain, tenaga kerja harus memproduksi sebuah produk yang berlebih, sejumlah barang yang tidak dikonsumsi, dan produk lebih ini harus ditransformasikan menjadi nilai lebih, sebuah bentuk nilai yang tidak diperuntukkan bagi para pekerja sebagai upah, melainkan diperuntukkan bagi kapitalis sebagai profit. Lebih jauhnya lagi, nilai kerja harus selalu dijaga agar tetap lebih besar, semenjak pekerja yang hidup bukanlah satu-satunya jenis kerja yang mematerialkan dirinya dalam hasil kerja.

Dalam proses produksi, para pekerja memang menghabiskan energi mereka sendiri, tetapi mereka juga menyimpan kerja pekerja lainnya dalam bentuk perangkat kerja, dan mereka membentuk material-material dengan menggunakan hasil kerja para pekerja sebelum mereka.


Hal tersebut di atas membawa pada suatu hasil yang aneh yang mana nilai hasil kerja dan nilai upah yang diterima sang pekerja berbeda besarnya, katakanlah sejumlah uang yang diterima si kapitalis dari hasil penjualan berbagai komoditi yang diproduksi oleh tenaga kerja yang ia sewa berbeda dengan jumlah uang yang ia bayarkan pada para pekerjanya. Perbedaan ini tidak dijelaskan melalui fakta bahwa material-material dan alat-alat yang digunakan juga harus dibayar. Apabila nilai komoditi yang dijual setara dengan nilai pekerja hidup dan berbagai perangkatnya, maka tak akan ada tempat bagi sang kapitalis. Fakta bahwa beda dua besaran tersebut cukup besar untuk memberi eksistensi bagi kelas kapitalis—tidak hanya bagi para individunya, tetapi juga bagi seluruh aktifitas khusus yang dilakukan oleh para individu tersebut, katakanlah untuk dapat menyewa tenaga kerja. Beda antara nilai total produk dan nilai kerja yang dibutuhkan dalam produksinya inilah yang disebut sebagai nilai lebih, bibit dari Kapital.


Untuk menemukan dari mana asalnya nilai lebih, sangat penting untuk menyelidiki mengapa nilai kerja lebih rendah dari nilai komoditi yang dihasilkannya. Aktifitas teralienasi yang dilakukan pekerja mentransformasikan material-material dibantu dengan adanya berbagai perangkat, kemudian menghasilkan sejumlah komoditi tertentu. Bagaimanapun juga, saat komoditi-komoditi tersebut terjual dan material-material serta berbagai perangkatnya juga terbayar, sisa nilai atas seluruh penjualan hasil kerjanya tidak diberikan pada para pekerja sebagai upah mereka, mereka diberi bagian lebih kecil. Dengan kata lain, selama setiap hari kerja, para pekerja melakukan sejumlah aktifitas kerja yang tidak dibayar, kerja paksa, yang mana untuk hal ini mereka sama sekali tidak menerima nilai yang setara.


Dilakukannya kerja yang tak dibayar ini, kerja paksa ini, adalah sebuah “kondisi untuk bertahan hidup” yang lain dalam masyarakat kapitalis. Bagaimanapun juga, layaknya alienasi, kondisi semacam ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan terjadi melalui praktek-praktek masyarakat yang dilakukan secara kolektif, melalui aktifitas harian mereka. Sebelum serikat-serikat pekerja lahir, seorang individu pekerja menerima apapun kerja paksa yang ada, semenjak penolakan terhadap kerja tersebut berarti bahwa akan ada pekerja lain yang akan menerima bentuk pertukaran tersebut, yang mana artinya individu tersebut tak akan menerima upah sama sekali. Maka para pekerja berkompetisi satu sama lain demi upah yang ditawarkan oleh para kapitalis; apabila seorang pekerja berhenti bekerja karena upah yang diterimanya sangat rendah, maka seorang pekerja yang menganggur akan segera bersedia menggantikan posisinya, karena bagi sang penganggur upah serendah apapun tetap lebih baik daripada tak memiliki upah sama sekali. Kompetisi antar pekerja inilah yang oleh para kapitalis disebut “kerja bebas”, yang melakukan pengorbanan besar dalam memberikan kebebasan bagi para pekerja, karena kebebasan seperti inilah yang akan memapankan nilai lebih bagi para kapitalis tersebut dan membuatnya mampu untuk terus mengakumulasikan Kapital. Bukan tujuan pekerja manapun untuk memproduksi lebih banyak barang daripada yang dibayarkan kepadanya. Tujuannya adalah mendapatkan upah sebesar mungkin. Tetapi bagaimanapun juga, sebenarnya eksistensi para pekerjalah yang sama sekali tidak diupah, dan yang mana konsepsi bahwa upah besar secara konsekuen tetap lebih rendah dari yang dikerjakan, membuat para kapitalis mampu untuk menyewa tenaga kerja dengan harga yang tetap lebih rendah. Pada faktanya, eksistensi para pekerja penganggurlah yang membuat para kapitalis untuk memberikan upah yang sangat rendah pada para pekerja yang bersedia bekerja. Dengan demikian hasil aktifitas harian kolektif para pekerja, setiap pengejaran individu atas upah tertinggi yang mungkin dicapai, yang artinya justru semakin merendahkan upah secara keseluruhan; dampak dari kompetisi antar sesama pekerjalah yang membuat upah menjadi semakin rendah, dan kapitalis mendapatkan lebih yang semakin besar.


Praktek harian keduanya merusak tujuan masing-masing pihak. Tetapi para pekerja tidak mengetahui bahwa situasi mereka adalah sebuah produk atas perilaku harian mereka sendiri; aktifitas mereka sendiri tidak transparan bagi mereka. Bagi para pekerja ini, upah rendah tampak sebagai bagian alamiah dari kehidupan, layaknya penyakit dan kematian, dan jatuhnya upah juga dianggap bencana yang alamiah, seperti banjir dan musim dingin yang keras. Kritik-kritik kaum sosialis dan analisa-analisa Marx, sebagaimana juga naiknya perkembangan pembangunan industrial yang memberi cukup waktu untuk berkaca, membuka beberapa tabir dan membuat para pekerja dapat melihat aktifitas mereka sendiri secara cukup mendalam. Bagaimanapun juga, di Eropa Barat dan Amerika Serikat, para pekerja tidak menghapuskan bentuk kapitalis dari aktifitas harian mereka; mereka membentuk serikat pekerja. Dan dalam kondisi-kondisi material yang berbeda di Uni Soviet dan Eropa Timur, para pekerja (dan petani) menggantikan kelas kapitalis dengan sebuah birokrasi negara yang juga menciptakan alienasi kerja serta mengakumulasikan Kapital atas nama Marx.


Dengan terbentuknya serikat pekerja, kehidupan harian tetap mirip dengan sebelum serikat pekerja lahir. Bahkan pada faktanya hampir sama. Kehidupan harian terus berisi kerja, aktifitas yang teralienasi, dan kerja yang tak dibayar, kerja paksa. Pekerja yang bergabung dengan serikat pekerja tidak lagi menganggap aktifitasnya sebagai aktifitas yang teralienasi; para pelaku serikat melakukan itu semua demi dirinya sendiri. Terminologi yang menerangkan tentang bagaimana aktifitas pekerja telah teralienasi, tidak lagi dipandu oleh kebutuhan seorang individu pekerja untuk menerima apa yang ada; mereka kini dipandu oleh kebutuhan para birokrat serikat pekerja untuk memapankan posisinya sebagai seorang germo yang berdiri di antara penjual tenaga kerja dan pembelinya.


Dengan atau tanpa serikat pekerja, nilai lebih bukanlah sebuah produk alamiah ataupun juga produk Kapital; ia diciptakan oleh aktifitas harian masyarakat. Dalam melaksanaan aktifitas hariannya, masyarakat tidak hanya diatur untuk mengalienasikan aktifitas mereka sendiri, tetapi mereka juga diatur untuk mereproduksi kondisi-kondisi yang memaksa mereka untuk mengalienasikan aktifitas mereka sendiri, untuk mereproduksi Kapital dan yang dengan demikian juga berarti mereproduksi kuasa Kapital dalam mendapatkan tenaga kerja. Hal ini bukan karena mereka tidak mengetahui tentang “alternatif yang ada”. Seseorang yang mengalami ketidakmampuan kronis dalam mencerna akibat terlalu banyak mengkonsumsi lemak tidak lantas berhenti mengkonsumsi lemak, akibat ia tidak mengetahui alternatif yang ada. Ia juga tak mampu untuk tidak mengkonsumsi lemak, atau juga karena memang ia tidak mengerti bahwa konsumsi lemak hariannyalah yang telah membuatnya tak mampu mencerna. Dan apabila dokter, pendo’a, guru dan politisinya memberitahukan padanya mengenai hal tersebut, pertama, bahwa lemak adalah sesuatu yang membuatnya terus hidup, dan kedua, mereka telah melakukan baginya apapun yang akan ia lakukan apabila sehat, maka segalanya akan menjadi tidak transparan baginya dan iapun tak akan melakukan upaya besar apapun untuk membuatnya transparan.


Produksi nilai lebih adalah sebuah kondisi untuk bertahan hidup, bukan bagi keseluruhan populasi melainkan bagi sistem kapitalis. Nilai lebih adalah bagian dari nilai berbagai komoditi yang dihasilkan oleh pekerja namun tidak dikembalikan pada mereka yang mengerjakannya. Nilai lebih terekspresikan melalui berbagai komoditi ataupun juga melalui uang (sebagaimana Kapital terekspresikan baik sebagai sejumlah benda ataupun uang), tetapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa nilai lebih tersebut adalah sebuah ekspresi bagi materialisasi kerja yang tersimpan dalam sebuah jumlah produk tertentu.

Semenjak berbagai produk dapat dipertukarkan dengan sejumlah uang yang “setara”, maka uang “artinya” atau merepresentasikan nilai yang sama dengan berbagai produk tersebut. Pada gilirannya uang dapat dipertukarkan dengan sejumlah produk yang memiliki nilai yang “setara”. Seluruh soalan tukar menukar ini, yang terwujud secara simultan selama kehidupan harian kapitalis, merupakan proses sirkulasi kapitalis. Melalui proses inilah metamorfosa nilai lebih menjadi Kapital terjadi.


Sejumlah nilai yang tidak dikembalikan kepada pekerja, atau yang dinamakan nilai lebih, membuat kapitalis dapat eksis, dan hal tersebut juga mampu membuatnya melakukan banyak hal lebih daripada sekedar eksis. Kapitalis membuat investasi dengan sebagian dari nilai lebih ini; ia menyewa pekerja-pekerja baru dan membeli alat produksi yang juga baru; ia memperluas dominasinya. Ini berarti bahwa sang kapitalis mengakumulasikan pekerjaan baru, baik dalam bentuk pekerja hidup yang ia sewa dan kerja-kerja sebelumnya (baik yang dibayar maupun yang tak dibayar) yang tersimpan dalam berbagai material, maupun juga dalam bentuk perangkat yang ia beli.


Secara keseluruhannya, kelas kapitalis mengakumulasikan kelebihan pekerja dari masyarakat, tetapi proses ini terjadi dalam skala sosial yang luas dan tidak akan tampak apabila seseorang memperhatikan berbagai aktifitas individual sang kapitalis. Harus diingat bahwa produk yang dibeli oleh sang kapitalis untuk perangkat-perangkatnya memiliki karakteristik-karakteristik yang sama dengan produk yang ia jual. Kapitalis pertama menjual perangkatnya pada kapitalis kedua untuk sejumlah nilai tertentu, dan hanya sebagian kecil saja dari nilai ini yang dikembalikan kepada para pekerja sebagai upah; nilai yang tersisa itulah nilai lebih, yang mana digunakan oleh sang kapitalis pertama untuk membeli berbagai perangkat dan tenaga kerja baru. Kapitalis kedua membeli berbagai perangkat dengan sejumlah nilai yang diajukan, yang artinya bahwa ia membayar jumlah keseluruhan kerja yang dihasilkan oleh sang kapitalis pertama, jumlah kerja yang telah melalui penghitungan ulang karena sejumlah kerja tersebut dilakukan tanpa dibayar. Hal ini berarti bahwa berbagai perangkat yang diakumulasikan oleh sang kapitalis kedua berisi kerja yang tidak dibayar yang dilakukan oleh pekerja sang kapitalis pertama.
Pada gilirannya, kapitalis kedua menjual produk-produknya dengan sejumlah nilai tertentu, dan mengembalikan hanya sebagian nilai tersebut kepada para pekerjanya; ia menggunakan sisa nilai tadi untuk perangkat dan pekerja baru.


Apabila keseluruhan proses tersebut dimampatkan dalam satu periode waktu dan apabila seluruh kapitalis digabungkan menjadi satu, maka akan terlihat bahwa nilai yang kapitalis gunakan untuk membeli perangkat dan pekerja baru jumlahnya sama dengan nilai produk yang tidak ia kembalikan pada produsennya. Akumulasi nilai lebih inilah yang dinamakan Kapital.


Dalam pengertian masyarakat kapitalis secara keseluruhan, keseluruhan jumlah Kapital sama dengan aktifitas kerja yang tak dibayar yang dilakukan oleh berbagai generasi manusia yang hidupnya berisi pengalienasian aktifitas hidup mereka setiap harinya. Dengan kata lain, dalam artian yang mana manusia menjual hidup hariannya, Kapital adalah hasil dari penjualan aktifitas manusia yang terus direproduksi, diperluas setiap hari sehingga manusia menjualnya di hari kerja yang lain, setiap momen yang ia putuskan untuk terus menghidupi bentuk kapitalis dari kehidupan hariannya.



Penyimpanan dan Akumulasi Aktifitas Manusia

Transformasi surplus kerja menjadi kapital adalah suatu bentuk spesifik histories sebuah proses yang lebih luas, proses industrialisasi, transformasi permanent lingkungan material manusia.

Beberapa karakteristik tertentu yang esensial sebagai konsekuensi aktifitas manusia di bawah kapitalisme dapat ditangkap melalui sebuah ilustrasi yang disederhanakan. Dalam suatu masyarakat imajiner, orang-orang menghabiskan sebagian besar waktu aktif mereka untuk memproduksi makanan dan berbagai kebutuhan lainnya; hanya sebagian dari waktu mereka yang menjadi “waktu lebih” dalam pengertian waktu yang tidak digunakan untuk memproduksi berbagai kebutuhan. Aktifitas lebih ini dapat digunakan untuk menyediakan makanan bagi para pendeta dan prajurit yang tidak memproduksi makanan bagi diri mereka sendiri; aktifitas tersebut juga dapat digunakan untuk memproduksi benda-benda yang dibakar dalam saat-saat yang dianggap sakral; aktifitas tersebut dapat juga digunakan dalam melakukan berbagai perayaan atau olah raga. Dalam berbagai kasus tersebut, kondisi-kondisi material masyarakat tersebut tidak berubah-ubah dari generasi yang satu ke generasi yang lain sebagai hasil aktifitas harian mereka. Bagaimanapun juga, satu generasi dari masyarakat imajiner ini dapat menyimpan waktu lebih mereka dan bukan menggunakannya. Misalnya, mereka dapat menghabiskan waktu lebih mereka untuk melikui musim semi. Generasi berikutnya dapat tidak perlu melikui musim semi dan menggunakan energi yang telah tersimpan dalam musim semi tersebut untuk melakukan hal-hal lain yang juga penting, atau sekedar menggunakan energi musim semi mereka untuk melikui musim semi selanjutnya. Dalam kasus lain, kerja lebih yang tersimpan dari generasi sebelumnya akan menyediakan sejumlah waktu kerja berlebih bagi generasi baru. Generasi baru ini dapat saja menggunakannya dalam musim semi ataupun dalam wadah-wadah lainnya. Dalam suatu periode yang relatif pendek, kerja yang tersimpan dalam musim semi akan meningkatkan waktu kerja yang tersedia bagi setiap generasi-generasi lain yang hidup selanjutnya; dengan mengeluarkan energi yang relatif kecil, orang-orang dalam masyarakat imajiner ini dapat memanfaatkan musim seminya untuk melakukan banyak kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling penting, dan juga untuk melikui musim semi bagi generasi selanjutnya. Sebagian besar waktu hidup mereka yang tadinya digunakan untuk menghasilkan berbagai kebutuhan kini dapat digunakan untuk berbagai aktifitas yang tidak lagi didikte oleh kebutuhan melainkan yang diproyeksikan oleh imajinasi.


Dalam pembacaan sekilas tampaknya tidak menyenangkan bagi orang-orang untuk memanfaatkan waktu-waktu hidup mereka dalam tugas aneh melikui musim semi. Tapi sama tidak menyenangkannya apabila mereka tidak melikui musim semi dan menyimpan energi mereka bagi generasi berikutnya, karena tidak melikui musim semi mungkin juga akan memberi mereka waktu, misalnya, untuk membuat tontonan yang merayakan hari-hari mereka.


Bagaimanapun juga, apabila masyarakat tidak mengatur hidup mereka sendiri, apabila aktifitas kerja mereka bukanlah milik mereka sendiri, apabila aktifitas praksis mereka berisi kerja paksa, maka aktifitas manusia tidak akan dimanfaatkan untuk melikui musim semi, tugas penyimpanan waktu kerja lebih mereka dalam wadah-wadah material. Peran bersejarah Kapitalisme, sebuah peran yang dilakukan oleh orang-orang yang menerima legitimasi orang lain untuk mengatur hidup mereka, sama artinya dengan menyimpan aktifitas manusia dalam wadah-wadah material, dalam bentuk kerja paksa.


Begitu orang-orang tunduk pada “kekuatan” uang untuk membeli kerja yang tersimpan dan aktifitas hidup, begitu mereka menerima “hak” fiktif pemegang-uang untuk mengontrol dan mengatur aktifitas yang tersimpan dan aktifitas hidup masyarakat, mereka telah mentransformasikan uang uang menjadi Kapital dan pemilik uang menjadi kapitalis.


Alienasi ganda ini, pengalienasian aktifitas hidup dalam bentuk kerja-upahan dan pengalienasian aktifitas berbagai generasi terdahulu dalam bentuk kerja yang tersimpan (alat produksi) bukanlah sebuah aksi yang terjadi pada satu waktu dalam sejarah. Hubungan antara pekerja dan kapitalis bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja dalam masyarakat jaman dulu yang lantas tidak dapat tergantikan lagi. Manusia tak pernah menandatangani kontrak atau membuat suatu persetujuan secara verbal, saat menyerahkan kuasa atas aktifitas hidup mereka, yang mana mereka juga telah menyerahkan kuasa atas aktifitas hidup seluruh generasi mendatang di seluruh penjuru dunia.


Kapital mengenakan topeng kuasa alamiah; yang tampak sesolid bumi sendiri; gerakan-gerakannya tampak tak dapat dibalik sebagaimana gelombang pasang; krisis-krisisnya tampak tak terhindarkan sebagaimana gempa bumi dan banjir. Bahkan saat diakui bahwa kekuatan Kapital sesungguhnya adalah ciptaan manusia, pernyataan ini dapat saja menjadi sekedar kesempatan untuk membuat topeng yang lebih menekan, topeng kuasa ciptaan manusia, sesosok monster Frankenstein, yang kekuatannya menginspirasikan pesona yang lebih mengagumkan daripada segala kekuatan alam.


Bagaimanapun juga Kapital bukanlah sebuah kuasa alamiah ataupun monster ciptaan manusia yang diciptakan pada satu masa di jaman dahulu yang mendominasi seluruh hidup manusia setelahnya.

Bagaimanapun juga kuasa Kapital tidak terletak dalam uang, karena uang hanyalah sebuah konvensi sosial yang tidak mempunyai “kuasa” dibanding manusia yang memilih untuk menggunakannya; saat manusia menolak menjual kerja mereka, uang tak dapat berperan sedikitpun bahkan hingga peran-peran sederhananya, karena uang tidak “bekerja”.

Kuasa Kapital juga tidak terletak dalam wadah-wadah material di mana kerja berbagai generasi sebelumnya tersimpan karena energi potensial yang tersimpan dalam wadah-wadah material tersebut dapat dibebaskan oleh aktifitas nyata manusia, baik wadah tersebut adalah Kapital atau bukan, atau katakanlah “milik” yang lain. Tanpa aktifitas hidup, sekumpulan barang yang membentuk Kapital masyarakat tak lebih dari sekedar setumpuk artefak yang tak memiliki hidup mereka sendiri, dan “para pemilik” Kapital hanya menjadi sekumpulan orang tidak biasa yang tidak kreatif (karena dilatih demikian), yang mengelilingi diri mereka sendiri dengan kertas-kertas tak berguna yang dengan sia-sia berusaha membangkitkan kejayaan lama. Satu-satunya “kuasa” Kapital terletak dalam aktifitas kehidupan harian manusia; “kuasa” ini berarti membubarkan penjualan aktifitas harian mereka yang dipertukarkan dengan uang dan melepaskan aktifitas mereka dan berbagai generasi sebelumnya dari kontrol kebendaan.


Begitu seseorang menjual kerjanya kepada seorang kapitalis dan menerima hanya sebagian dari produk-produk yang dihasilkannya sebagai pembayaran atas kerjanya, ia menciptakan kondisi-kondisi bagi pembelian dan pengeksploitasian atas orang lainnya. Tak seorangpun akan dengan rela memberikan tangan atau anaknya untuk dipertukarkan dengan uang; tapi saat seseorang secara sengaja dan sadar menjual kehidupan kerjanya demi memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, ia tak hanya mereproduksi kondisi-kondisi yang terus membuat penjualan hidupnya sebagai sebuah kebutuhan menjadi langgeng; ia juga menciptakan kondisi-kondisi di mana penjualan hidup menjadi sebuah kebutuhan bagi orang lainnya. Generasi-generasi selanjutnya mungkin akan menolak menjual kehidupan kerja mereka dengan suatu alasan yang sama saat ia menolak menjual tangannya; tetapi bagaimanapun juga setiap kegagalan untuk menolak kerja paksa dan teralienasi akan memperbesar persediaan kerja yang tersimpan yang mana Kapital dapat membeli kehidupan-kehidupan kerja.


Dalam upaya mentransformasikan kerja lebih menjadi Kapital, sang kapitalis harus menemukan jalan untuk menyimpannya dalam wadah-wadah material, dalam alat-alat produksi yang baru, dan ia harus menyewa para pekerja baru untuk menjalankan alat-alat produksi baru tersebut. Dengan kata lain, ia harus memperbesar perusahaannya, atau membuat sebuah perusahaan baru dengan cabang produksi yang berbeda. Hal ini membutuhkan keberadaan material-material yang dapat bentuk menjadi komoditi-komoditi baru yang dapat dijual serta keberadaan orang-orang yang terlalu miskin yang membuat mereka rela menjual tenaga kerja mereka. Syarat-syarat itu sendiri diciptakan oleh aktifitas kapitalis, dan para kapitalis tak mengenal batas ataupun rintangan dalam pelaksanaan aktifitas mereka; demokrasi Kapital menuntut kebebasan yang absolut.


Imperialisme tidaklah sekedar tahap tertinggi kapitalisme; tetapi juga merupakan tahap awal.

Apapun yang dapat ditransformasikan menjadi sebuah barang yang laku di pasaran menjadi padi bagi penggilingan Kapital, entah itu berada di tanah sang kapitalis atau di tanah tetangganya, entah itu berada di atas ataupun di bawah tanah, terapung di lautan atau merangkak di lantai; entah itu berada di kontinen lain ataupun planet lain. Seluruh eksplorasi manusia terhadap alam, dari Kimia ke Fisika, dimobilisasi untuk mencari material-material baru untuk menyimpan kerja, untuk mencari barang baru yang mana seseorang dapat dilatih untuk membelinya.

Pembeli produk lama dan baru diciptakan dengan cara apapun yang tersedia, dan cara baru pun ditemukan secara terus menerus. “Pasar terbuka” dan “pintu terbuka” dikembangkan dengan pemaksaan dan penipuan. Apabila orang-orang kekurangan cara agar dapat membeli produk-produk kapitalis, mereka disewa oleh para kapitalis dan dibayar untuk memproduksi produk-produk yang ingin mereka beli; apabila para pengrajin lokal telah memproduksi apa yang seharusnya hendak dijual oleh sang kapitalis, maka para pengrajin ini akan dibuat merugi atau dibeli; apabila hukum dan tradisi melarang penggunaan produk-produk tersebut, maka hukum dan tradisi tersebut akan dihapuskan; apabila orang-orang kurang merasa perlu untuk menggunakan produk-produk sang kapitalis, maka mereka dilatih untuk membeli barang-barang ini; apabila orang-orang secara fisik dan biologis kehabisan keinginan, maka para kapitalis “memuaskan” semua “kebutuhan spiritual” mereka dengan cara menyewa psikolog untuk menciptakan keinginan tersebut; apabila orang-orang sudah terlalu terpuaskan dengan produk-produk para kapitalis yang membuat mereka tak memerlukan barang-barang lainnya lagi, mereka dilatih untuk membeli barang dan spectacle yang tak berguna selain sekedar untuk dilihat dan dikagumi.


Orang-orang miskin sudah ada baik dalam masyarakat masa pra-agraris maupuan masa agraris di setiap daerah; apabila mereka tidak terlalu miskin sehingga rela menjual tenaga kerja mereka saat para kapitalis datang, mereka akan termiskinkan oleh aktifitas para kapitalis itu sendiri. Tanah-tanah buruan berangsur-angsur menjadi “milik pribadi” dari “para pemilik” yang menggunakan kekerasan negara untuk membatasi para pemburu di “reservasi” yang tidak tersedia makanan yang cukup bagi mereka untuk bertahan hidup. Peralatan yang dibutuhkan para petani berangsur-angsur hanya bisa didapat pada pedagang yang sama yang dengan dermawan memberi mereka pinjaman agar dapat membeli peralatan, hingga “hutang” para petani terlalu besar sehingga memaksa mereka untuk menjual tanah yang sebelumnya tak pernah mereka atau para pendahulu mereka beli. Para pembeli produk pengrajin berangsur-angsur tereduksi menjadi pedagang yang memasarkan produk-produk tersebut, hingga satu titik di mana pedagang tersebut memutuskan untuk mengumpulkan “para pengrajinnya” di bawah satu atap, dan menyediakan mereka perangkat-perangkat kerja yang mampu membuat mereka mengkonsentrasikan aktifitasnya dalam pemroduksian barang-barang yang paling mampu mendatangkan keuntungan. Para pemburu yang independen maupun yang tidak, para petani dan pengrajin, manusia bebas ataupun budak, tertransformasikan menjadi pekerja sewaan. Mereka yang dulunya mengatur hidup mereka sendiri di hadapan kondisi-kondisi material yang keras, tak lagi mengatur hidup mereka sendiri bertepatan dengan momen saat mereka memutuskan untuk turut ambil bagian dalam memodifikasi kondisi-kondisi material mereka tersebut; mereka yang dulunya pencipta keberadaan diri mereka sendiri yang tak lengkap menjadi korban tak sadar atas aktifitas mereka sendiri saat menghancurkan ketidaklengkapan keberadaan mereka tersebut. Orang-orang yang dulunya kaya tetapi sedikit memiliki, kini banyak memiliki tetapi miskin.


Produksi komoditi-komoditi baru, “pembukaan” pasar baru, penciptaan pekerja baru, bukanlah tiga aktifitas yang terpisah; mereka adalah tiga aspek dari aktifitas yang sama. Sebuah tenaga kerja baru diciptakan dengan pasti untuk menghasilkan komoditi yang juga baru; upah yang diterima oleh pekerja dengan sendirinya juga menciptakan pasar baru; kerja mereka yang tak dibayar adalah sumber ekspansi baru. Tak ada rintangan-rintangan dari budaya atau juga alam yang dapat menghentikan penyebaran Kapital, transformasi aktifitas harian orang-orang menjadi kerja yang teralienasi, transformasi kerja lebih mereka menjadi “kepemilikan pribadi” para kapitalis. Bagaimanpun juga, Kapital bukanlah sebuah kekuatan alamiah; ia adalah sebentuk aktifitas yang dilakukan setiap hari oleh orang-orang; ia adalah bentuk kehidupan harian; keberadaan dan ekspansinya yang dilanjutkannya mengisyaratkan hanya satu kondisi saja yang essensial: penyusunan orang-orang agar terus mengalienasikan kehidupan kerja mereka dan dengan demikian juga mereproduksi bentuk kapitalis di kehidupan harian.




BIOGRAFI SINGKAT FREDY PERLMAN
Brno, Chekoslovakia 20 Agustus 1934 — Detroit, Michigan, Amerika Serikat 26 Juli 1985


Lahir di Brno, Chekoslovakia pada 20 Agustus 1934. Ia berimigrasi bersama kedua orang tuanya ke Cochabamba, Bolivia pada 1938 bersamaan dengan pendudukan Nazi di negeri asalnya. Keluarga Perlman baru datang ke Amerika Serikat pada tahun 1945 dan hidup berpindah-pindah di Mobile, Alabama, Brooklyn, Queens sebelum pada akhirnya menetap di Lakeside Park, Kentucky, sebuah daerah pinggiran Cincinnati, Ohio, di mana Fredy menyelesaikan masa sekolah menengah atasnya.
Tahun 1952 ia melanjutkan pendidikannya di Morehead State Collage, Kentucky, yang kemudian dilanjutkan di UCLA pada tahun 1953 hingga 1955. Di kampus awalnya, Fredy menjadi salah seorang staf koran kampus bernama The Daily Bruin, saat seorang administratif universitas yang reaksioner mengeluarkan semua editor publikasi tersebut dari universitas. Kelima editornya, termasuk Fredy, walaupun dikeluarkan, tetap berupaya mempublikasikan koran tersebut secara mandiri dan juga tetap mendistribusikannya di dalam kampus.

Tahun 1952 Fredy mendaftar dan diterima di Universitas Columbia di mana ia bertemu partner sepanjang hidupnya, Lorraine Nybakken. Awalnya Fredy menjadi seorang mahasiswa sastra Inggris tetapi kemudian segera berkonsentrasi di bidang filsafat, ilmu politik dan sastra Eropa. Dosennya yang paling mempengaruhinya saat itu adalah C. Wright Mills.


Akhir tahun 1959 bersama Lorraine ia dengan mengendarai skuter melakukan perjalanan lintas daerah di sepanjang jalur bebas hambatan Amerika.


Sepanjang tahun 1959 hingga 1963, mereka berdua tinggal di Lower East Side, Manhattan, di mana Fredy bekerja sebagai seorang analis statistik sumber daya dunia bersama John Ricklefs. Bersama kawan barunya, Fredy dan Lorraine segera terlibat aktif dalam berbagai aktifitas pasifis anti bom di bawah organisasi the Living Theater dan beberapa organisasi lainnya. Musim gugur 1961 Fredy ditangkap saat melakukan aksi duduk di Times Square. Di masa tersebut ia menjadi penulis bagi materi-materi agitasi-propaganda grup the Living Theater serta mulai menulis karya-karya awalnya yaitu “The New Freedom” (Kebebasan Baru), “Corporate Capitalism” (Kapitalisme Korporat) dan sebuah drama berjudul “Plunder” (Jarahan), yang mana kesemuanya ia publikasikan sendiri.


Bulan Januari 1963, ia bersama Lorraine berlayar ke Eropa dengan menumpang pada sebuah kapal Swedia; sebuah perjalanan yang mereka anggap sebagai sebuah perpisahan sementara dengan benua Amerika. Bulan September di tahun yang sama, mereka tiba di Belgrade, Yugoslavia setelah sebelumnya hidup beberapa bulan di Kopenhagen dan Paris. Bulan Juni 1964 ia mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di Chekoslovakia, tetapi negeri tanah kelahirannya tersebut pada awalnya mencurigai dirinya.


Tetapi terlepas dari segala kesulitan tersebut, tahun 1963 hingga 1966 ia berhasil menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi di mana ia berhasil mendapatkan gelar sarjana. Tesisnya berjudul “The Structure of Backwardness” (Struktur Keterbelakangan). Ia juga menerima Ph.D di Fakultas Hukum; di mana disertasinya yang berjudul “Conditions for the Development of a Backward Religion” (Berbagai Kondisi bagi Pengembangan sebuah Agama yang Terbelakang) menimbulkan kemarahan di antara beberapa jajaran fakultas tersebut. Selama masa ia tinggal di Yugoslavia, ia menjadi seorang anggota perencana pendidikan bagi Kosovo dan Metohija.


Selama tahun 1966 hingga 1969 ia dan Lorraine kembali ke Amerika Serikat dan tinggal di Kalamazoo, Michigan di mana Fredy menjadi seorang profesor di Departemen Ekonomi Universitas Michigan Barat. Kebanyakan dari ajaran-ajarannya adalah berupa pengenalan diskursus ilmu sosial, dan kembali ia membuat marah beberapa jajaran fakultas saat ia menginisiasikan kelas-kelas yang diorganisir secara otonom oleh para mahasiswanya serta membiarkan para mahasiswanya tersebut meluluskan diri mereka sendiri. Selama tahun pertamanya di Kalamazoo, ia dan Milos Samardzija, seorang profesor dari Belgrade, menterjemahkan essay karya I.I Rubin berjudul “Marx’s Theory of Value” Fredy juga menulis introduksi di buku tersebut berjudul “An Essay on Commodity Fetishism” (Sebuah Essay tentang Fetishisme Komoditi).


Bulan Mei 1968 setelah mengajar selama dua minggu di Turin, Italia, Fredy pergi ke Paris dengan menggunakan kereta terakhir sebelum seluruh transportasi mati karena pemogokan umum yang terjadi di sana. Ia secara aktif berpartisipasi dalam May Day di Paris bersama para pekerja di Censier Center dan komite pabrik Citroen. Bulan Agustus ia kembali ke Kalamazoo dan berkolaborasi dengan Roger Gregoire untuk menulis pamflet berjudul “Worker-Student Action Commitees, May 1968” (Komite-Komite Aksi Mahasiswa-Pekerja, Mei 1968).


Dalam tahun terakhirnya di Kalamazoo Fredy meninggalkan universitas dan bersama beberapa orang lain, kebanyakan adalah mahasiswanya, mendirikan Black and Red yang berhasil mempublikasikan enam edisi. Semua urusan pengetikan dan layout dikerjakan di rumah Fredy dan Lorraine, sementara pencetakkannya dikerjakan di Radical Education Project di Ann Arbor. Bulan Januari 1969 ia menyelesaikan pamfletnya yang berjudul “The Reproduction of Daily Life” (Reproduksi Kehidupan Harian). Saat melakukan perjalanan ke Eropa kembali pada musim panas tahun 1969, ia menghabiskan beberapa minggu di Yugoslavia di mana ia menulis “Revolt in Socialist Yugoslavia” (Kebangkitan di Yugoslavia yang Sosialis) yang segera dicekal oleh pemerintah karena dianggap sebagai sebuah plot CIA.


Bulan Agustus 1969 bersama Lorraine ia pindah ke Detroit dan menulis “The Incoherence of the Intellectual” (Inkoherensi Intelektual) serta bersama beberapa kawannya menterjemahkan “Society of the Spectacle” (Masyarakat Spectacle) karya Guy Debord.


Tahun 1970 Fredy adalah salah satu dari sekelompok besar yang membangun Detroit Printing Co-op dengan peralatan yang mereka pindahkan, bangun dan pelajari untuk mereka operasikan dari Chicago. Dalam sepuluh tahun berikutnya, semua publikasi Black and Red dicetak di sana bersama berbagai proyek dari mulai leaflet, koran hingga buku.


Antara tahun 1971 hingga 1976 seringkali bersama beberapa kawannya, Fredy mengerjakan beberapa buku, beberapa karya mereka sendiri, beberapa adalah karya terjemahan termasuk “Manual for Revolutionary Leaders” (Panduan bagi para Pemimpin Revolusioner), “Letters of Insurgents” (Surat-surat para Insurgen), “History of Makhnovist Movement” (Sejarah Gerakan Makhnovist) karya Arshinov, “The Unknown Revolution” (Revolusi yang tak Dikenal) karya Voline, serta “The Wander of Humanity” (Penjelajahan Kemanusiaan) karya Camatte. Di tahun-tahun yang sama, Fredy mulai bermain cello dan seringkali tampil di sesi-sesi musikal dua kali setiap minggunya. Tahun 1971 bersama Lorraine melakukan perjalanan dengan menggunakan mobil ke Alaska.


Tahun 1976 Fredy menjalani operasi bedah jantung untuk memperbaiki jantungnya yang rusak. Setelahnya ia membantu menulis serta mementaskan “Who’s Zerelli?” (Siapakah Zerelli?), sebuah drama yang mengkritisi berbagai aspek otoritarian dari perkembangan di bidang medis.


Selama tahun 1977 hingga 1980 ia mempelajari (serta memetakan) sejarah dunia. Selama tahun-tahun tersebut ia melakukan perjalanan ke Turki, Mesir, Eropa dan berbagai daerah di Amerika Serikat untuk mengunjungi situs-situs bersejarah bersama Lorraine. Tahun 1980 ia mulai menulis sejarah komprehensif the Strait (Selat) yang berkisah soal Detroit dan sekitarnya. Ia tidak menyelesaikan karya tersebut sebagaimana bab pertama dan terakhirnya tetap belum ditulis hingga ia meninggal dunia. Bulan Juli 1985, ia memperkirakan bahwa ia akan dapat menyelesaikan serta mengedit naskah tersebut dalam waktu delapan atau sepuluh bulan.


Baik Fredy maupun Lorraine, membantu kerja-kerja kelompok media the Fifth Estate dalam melakukan pengetikan dan proofreading, juga dalam penulisan beberapa artikel kontribusi. Kontribusi terakhir Fredy adalah “Anti-Semitism and the Beirut Pogrom” (Anti-Semitisme dan Pogrom Beirut) dan “The Continuing Appeal of Nationalism” (Daya Tarik Berkelanjutan dari Nasionalisme). Selama tahun 1982 hingga 1983 Fredy menunda karyanya, The Strait, untuk menulis “Against His-Story, Against Leviathan” (Melawan Sejarah—dari konsep lelaki—, Melawan Leviathan).


Tahun 1983 Fredy bergabung dalam seksi cello di bawah Dearborn Orchestra dan di bulan Juni 1985 ia tampil kuartet memainkan karya-karya Mozart dan Schumman dalam sebuah program bagi kelompok Physician for Social Responsibility.


Tanggal 26 Juli 1985 Fredy kembali menjalani operasi jantung di rumah sakit Henry Ford untuk mengganti dua katup jantungnya. Tetapi kerusakan jantungnya tak dapat lagi diperbaiki dan kembali berfungsi di akhir operasi. Ia meninggal dunia dalam operasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar