Kamis, 31 Maret 2011
DISPOSISI: PEMIKIRAN TENTANG CINTA DAN KERUSUHAN
N. Commaneci
“Itulah yang biasanya merupakan esensi dari pembentukan kerumunan… untuk menemukan sebuah sinyal umum yang membuat setiap orang yakin bahwa, bila dia bertindak atasnya, dia tidak akan bertindak sendirian.”
—Thomas Schelling, The Strategy of Conflict (1960)
Kami memutuskan untuk mengajukan beberapa pertanyaan singkat tentang cinta dan kerusuhan bukan hanya sebagai jalan untuk memahami kekurangan sistem-sistem politik liberal, tetapi juga untuk mencari pemecahan dari kebuntuan sistem politik tersebut serta untuk menemukan kembali unsur-unsur afektif yang telah terlupakan (seperti kemarahan, hasrat, dan sebagainya) yang membuat sebuah perlawanan menjadi mungkin dan dapat dikomunikasikan. Politik liberal telah menghindari dan menghilangkan sesuatu yang esensial dari perang yang tengah berkecamuk.
Dalam cinta, sebagaimana halnya dalam kerusuhan, selalu ada sesuatu yang luput dari pemikiran politik klasik. Berdasarkan pembawaan mereka, ledakan ini tidak jauh-jauh dari ide-ide tentang keadilan, persaudaraan dan kesetaraan. Seperti virus, mereka selalu membuka sesuatu yang bisa dikomunikasikan dan bersifat terpadu. Kami tertarik untuk memperhebat kondisi-kondisi untuk komunikasi tersebut: memahami disposisinya.
Disposisi adalah persiapan, kecenderungan atau kesiapan untuk bertindak dengan cara tertentu dalam kondisi-kondisi tertentu. Dalam bahasa Latin, disposisi memiliki akar etimologis dari kata affection (affectionem), yang berarti kecenderungan, pengaruh, perasaan yang menetap/permanen, dan kata dasar (affect—dari afficere) yang berarti “melakukan sesuatu atau bertindak atas dasar suatu hal”.
Disposisi selalu memiliki dua sisi. Pada satu sisi adalah keberadaan disposisi (yang mungkin tidak terlihat ) dan di sisi lainnya adalah manifestasinya. Sebagai contoh, sebuah elektron memiliki muatan elektrik minimal yang seringkali dideskripsikan sebagai “tersembunyi”. Kita butuh melakukan sesuatu yang sangat spesial untuk melihatnya benar-benar ada. Seseorang mungkin berkata bahwa dengan eksperimen yang tepat, muatan tersebut akan nampak dengan sendirinya.
Seperti halnya cinta, kerusuhan terkadang akan menjadi suatu hal yang mengejutkan kita ketika kita berada dalam kondisi yang tidak siap. Dan adalah sesuatu yang sia-sia untuk mengatakan bahwa kita dapat mempersiapkan sebuah kerusuhan, meskipun setidaknya kita dapat bersiap-siap untuk kerusuhan: dengan melakukan apa yang diperlukan untuk membantu menyalakan api, untuk melepaskan muatan.
Kadang-kadang kita terdesak untuk masuk ke dalam sebuah permainan, di antara pilihan untuk melakukan kerusuhan atau mencintai. Ketika situasi telah memuncak selalu muncullah sebuah pertanyan mengenai disposisi etis—kita dipaksa untuk bertindak berdasarkan disposisi kita, atau kembali, atau melarikan diri. Karena jika kamu tidak bermain, kamu tak akan mendapatkan kemenangan.
Sebuah disposisi terhadap cinta, sebagaimana terhadap kerusuhan, memungkinkan kita untuk merebut situasi. Seperti misalnya, kita berpikir ada sebuah ikatan langsung antara hubungan-hubungan yang menentukan bagaimana kita hidup dan mengorganisir diri, serta disposisi kita terhadap kerusuhan; cara-cara kita mengorganisir diri dan hubungan kita dengan ide-ide komunisme. Hal ini tidak hanya lahir dari kemarahan kita terhadap arogansi kekuasaan, tetapi juga melalui cara-cara kita hidup bersama. Inilah model yang menumbuhkan disposisi kita, serta kesiapan kita untuk melakukan serangan.
Seperti dasar semua hasrat manusia, cinta dan kerusuhan yang terjadi selalu merupakan permasalahan dalam hubungan di antara setiap individu. Sebuah kerusuhan selalu membutuhkan kerumunan, seperti halnya seorang kekasih selalu membutuhkan orang yang dikasihinya. Dan lebih jauh lagi, kerusuhan hanya akan terwujud apabila ada kepercayaan yang cukup bahwa orang-orang lain juga akan melakukan kerusuhan. Haruslah ada sekumpulan orang-orang yang memiliki disposisi terhadap kerusuhan, dan mereka juga haruslah percaya bahwa orang-orang lain yang berada di dalam kerumunan itu juga sama-sama memiliki hasrat untuk melakukan kerusuhan. Seperti halnya cinta, ini adalah sebuah keyakinan yang dapat menular. Ciuman pertama yang gugup, atau jendela pertama yang hancur, “bukanlah merupakan sinyal yang memberitahukan kepada seseorang tentang apa yang harus dilakukan. Mereka adalah sinyal yang memberitahukan seseorang apa yang orang-orang lain mungkin lakukan.”
Mengapa Unsur Afektif Berkurang?
Tak satu pun dari apa yang kita pertahankan dalam keseragaman berada di luar perang yang tengah berkecamuk, bukti yang terbanyak adalah melalui pembuatan kebijakan dan pengaturan terhadap tubuh, etos/semangat dan emosi yang kita miliki. Kehidupan politik, telah direduksi menjadi permasalahan pengaturan sehingga berubah menjadi sesuatu yang menentang kekuatan yang tersisa; yang membuat kita mengesampingkan cinta, mencampuradukkan politik dengan persahabatan dan seni, menjadi terpisah dari ruang untuk menyebarkan gairah. Politik telah mengalami pengaburan makna.
Depolitisasi terhadap kehidupan kita ini telah menegasikan pembangunan etika kolektif untuk mendukung pengaturan mekanikal sistem politik. Affinitas dipandang hanya sebagai masalah pribadi dalam kehidupan kita, sementara kehidupan pribadi kita telah secara total didepolitisir. Ini adalah bagian yang esensial dari ideologi liberal. Apa yang nampak secara jelas dan benar-benar diinginkan dalam kehidupan pribadi kita, apa yang dibutuhkan dan apa yang kemudian dianggap sebagai sebuah kebenaran yang bersifat intim, dijauhkan dari segala kemungkinan untuk membentuk organisasi politik. Kehidupan pribadi dikondisikan agar berada dalam ruang-ruang produksi, dan pengambilan keputusan dialihkan dari keberadaan masalah-masalah politik. Semua pertanyaan lain hanya akan menjadi sebuah selingan dalam interaksi kita dengan teman sekamar kita selama makan malam santai setelah rapat “pengorganisiran” pekerja.
Bentuk-bentuk affinitas telah terabaikan menjadi sebuah gaya hidup: tak lebih dan tak kurang.
Mereka yang memutuskan untuk menjalani kehidupan “alternatif” seringkali mudah terisolir dari pengalaman-pengalaman “alternatif” yang mereka alami, cenderung hidup berdampingan dengan sistem kapitalisme. Upaya untuk hidup secara kolektif dan kecenderungan terhadap utopia hedonistik serta berbagai bentuk gaya hidup yang penuh petualangan menukarkan strategi-strategi ofensif menjadi getaran-getaran yang menyenangkan. Walaupun bila mereka berhasil dalam mengaktualisasikan kehidupan individualnya, mereka mengabaikan usaha-usaha yang kongkrit untuk mengkomunikasikan hal tersebut.
Selalu akan ada sebuah momen, dalam sebuah perjalanan individual ataupun dalam selubung sebuah komunitas ketika pertanyaan-pertanyaan menantang muncul dari dunia luar. Berhadapan dengan keniscayaan pertemuan politik dengan orang-orang lain di dunia, posisi yang tepat haruslah diambil. Jarak dari permasalahan-permasalahan dunia tak pernah menjadi sebuah keputusan yang netral. Keselamatan pribadi cenderung identik dengan disasosiasi dan pengkhianatan. Kita tak bisa menjustifikasi kecurigaan terhadap semua pihak yang mengikuti aspirasi tersebut. Tetapi kita harus tidak mempercayai aspirasi ini sebagai sebuah eksistensi fundamental yang telah ditakdirkan. Kisah ini telah mendapat dukungan. Ini merupakan kisah kaum liberal mulai dari Locke ke Thoreau hingga Smith. Mereka adalah para individu yang berjuang dalam proses individualisasi. Komunisme tak pernah menjadi tujuan akhir mereka. Dunia mereka hanyalah sebuah pulau kecil yang menyediakan segala macam kenyamanan. Mereka mengabaikan perang kelas demi melayani keserakahan mereka sendiri.
Mengubah model akses dan akumulasi dari individual tak akan bisa mengubah model yang lebih luas dari produksi dan eksploitasi. Koneksi politik kita dengan affinitas, kesia-siaan strategi dan hanya dipertahankan oleh penghidupan, telah dikosongkan oleh konten politik.
Penderitaan yang diakibatkan oleh liberalisme atas hidup kita tidak akan terurai di toilet kering komune di dalam hutan.
Kembali Pada Disposisi
Menghubungkan kembali disposisi terhadap cinta dengan disposisi terhadap kerusuhan berarti menghubungkan kembali affinitas dan mempengaruhinya dengan kehidupan politik. Kita tak bisa memisahkan apa yang kita inginkan dari apa yang kemudian kita lawan. Pada satu sisi terdapat apa yang hendak kita bangun (berbagi pemanfaatan dunia, komunisasi) dan pada sisi yang lain terdapat sesuatu yang kita ingin musnahkan (para bos, penjara, perbatasan, polisi, patriarki dan negara). Konstruksi dan destruksi merupakan dua gerakan yang memiliki impuls yang sama. Hal ini merupakan pengembangan disposisi yang berdasarkan pada kekuatan emosi yang telah melampaui pemikiran.
Pembangunan posisi etika kolektif kita mengharuskan kita untuk pertama-tama memahami basis dari hubungan kita: “apa yang kuat dan apa yang tidak kita ingin serahkan dalam kondisi apa pun”. Pusat fokus: sebuah simpul. Posisi etika dan politis kita tidak bisa digabungkan sebagai sebuah kekuatan material apabila kita mengindari membangun disposisi kolektif.
Minggu, 20 Maret 2011
MASYARAKAT SENDIRILAH YANG MENJADI PEMIMPIN
Perbincangan dengan warga Padarincang yang melawan Aqua-Danone
PT. Aqua Golden Mississippi didirikan pada tahun 1973 oleh Tirto Utomo di mana pabrik pertamanya terletak di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat. Pabriknya sendiri bernama Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun. Awalnya Aqua bernama Puritas, namun berganti nama atas saran Eulindra Lim, konsultan Tirto Utomo. Produksi pertama Aqua diluncurkan dalam bentuk kemasan botol kaca ukuran 950 ml dengan harga jual Rp. 75, hampir dua kali lipat harga bensin yang ketika itu bernilai Rp. 46 untuk 1.000 ml.[1]
4 September 1998 PT. Aqua Golden Mississipi menjual sahamnya kepada Danone, sebuah korporasi multinasional yang bergerak dalam produk-produk makanan instan yang bermarkas di Prancis. Hal ini dilakukan agar Aqua mampu menghadapi ketatnya persaingan di bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Dua tahun kemudian, Aqua meluncurkan produk berlabel Danone-Aqua.
Dengan saham mayoritas sebesar 74% yang dikuasai Danone, Aqua semakin percaya diri untuk terus mengekspansi berbagai kawasan dengan sumber mata air alami yang baik. Tentu saja tujuan utamanya adalah profit untuk mengakumulasikan modalnya. Dengan restu dari H. Ahmad Taufik selaku Bupati Serang yang menerbitkan Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007, Aqua-Danone—lewat PT. Tirta Investama—mencoba untuk mengeksplotasi kawasan Cirahab. Kawasan yang masuk dalam Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, ini kaya akan sumber mata air alami yang menjadi incaran berbagai korporasi yang bergerak di industri air, khususnya Air Minum Dalam Kemasan. Sekarang saja telah ada beberapa perusahaan yang mengeksploitasi wilayah tersebut.
Bagi warga Padarincang, yang terdiri atas 14 desa, PT. Tirta Investama adalah penyakit penyumbang bencana kekeringan air yang melanda beberapa wilayah. Catatan warga di Sukabumi dan Klaten merupakan referensi empirik bagi warga Padarincang untuk terus menolak pembangunan pabrik Aqua-Danone tersebut.[2]
Sejak maraknya penolakan warga Padarincang dari tahun 2008, Aqua-Danone sempat tidak aktif selama kurang lebih 2 tahun. Baru pada tahun 2010 pembangunan pabrik Aqua-Danone mulai kembali gencar dilakukan.
Warga Padarincang pun mulai aktif kembali melakukan berbagai cara untuk menggagalkan pembangunan pabrik tersebut. Beberapa aktifitas yang pernah dilakukan warga adalah menggagas audiensi dengan pejabat pemerintahan terkait, membangun jaringan solidaritas dengan berbagai individu, forum serta organisasi, dan lain sebagainya.
5 Desember 2010 warga Padarincang unjuk kekuatan. Sekitar 4000an orang dari semua desa di Kecamatan Padarincang mendatangi lokasi pabrik dengan berjalan kaki. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menjalin harmoni dalam kebersamaan untuk menolak pembangunan pabrik Aqua-Danone. Keberadaan polisi yang selalu berpihak pada perusahaan membuat emosi warga membuncah. Alat produksi perusahaan pun menjadi sasaran. Alat bor, bangunan, dan mobil milik PT. Tirta Investama pun berubah menjadi rongsokan.
Bulan Februari 2011, melalui berbagai berita di media massa, Aqua membatalkan rencananya untuk mengeksploitasi sumber mata air di wilayah Cirahab, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten.[3] PT. Tirta Investastama memilih hengkang dari Padarincang dan mencari wilayah lain, yang desas-desusnya masih berada di Kabupaten Serang.
Terkait dengan perlawanan warga Padarincang yang inspiratif tersebut, Ovi—pemudi Padarincang yang ikut aktif melawan privatisasi air—bercerita:
Memang sejak awal aksi pada 5 Desember 2010 bertujuan untuk menutup pengeboran air oleh Aqua di Padarincang. Awalnya sih tidak bermaksud untuk merusak lokasi pilot project tersebut, namun karena warga sudah gerah dengan keberadaan Aqua di Padarincang, akhirnya kemarahan warga tak bisa dibendung lagi. Lokasi pengeboran sendiri sebenarnya sudah ditutup sejak 2008 lalu, namun warga mempertanyakan kenapa malah dibuka kembali.
Aksi yang dilakukan warga benar-benar spontan, karena tidak direncanakan sebelumnya. Hasilnya, bangunan-bangunan yang berada di lokasi pengeboran rata dengan tanah dan beberapa polisi yang mengamankan pilot project ikut terluka terkena lemparan batu warga.
Apa yang warga lakukan adalah tindak lanjut dari upaya warga yang meminta audiensi kepada pemerintah. Dari bebapa kali permohonan audiensi, semuanya ditolak. Atas kejadian ini pemerintah menyalahkan masyarakat karena mengapa sampai melakukan perusakan terhadap pilot project. Tetapi masyarakat juga punya alasan, mengapa penolakan kami terhadap Aqua dan permohonan audiensi tidak pernah digubris? Salah sendiri!
Apa yang terjadi setelah aksi 5 Desember tersebut?
Setelah aksi tersebut, pemerintah bukan bersikap bijak menanggapi tuntutan kami, tetapi malah melakukan aksi penculikan terhadap warga yang terlibat aksi 5 Desember. Kenapa kami menyebutnya “penculikan”, bukan “penangkapan”? karena menurut kami, cara yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Jadi, polisi-polisi itu datang dan berjaga mengelilingi rumah warga yang dijadikan target. Polisi langsung menangkap warga tanpa penjelasan apa pun. Para polisi tersebut hanya mengatakan, “ini surat penangkapannya”, tapi tidak memberikan kesempatan bagi target untuk membaca surat tersebut. Terlebih lagi penangkapan itu dilakukan pada dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, 5 hari setelah penutupan paksa lokasi pengeboran.
Sebelum penangkapan itu terjadi, kepolisian memang pernah menelpon tokoh masyarakat setempat (Haji Dhaif). Polisi mengatakan ingin bertemu warga untuk melakukan audiensi tentang aksi penutupan lokasi pengeboran. Polisi berjanji tidak akan melakukan penangkapan terhadap warga, dan kami pun memegang janji tersebut. Namun selang beberapa hari, terjadilah aksi penangkapan 5 warga pada Jumat (10/12/2010) dini hari. Warga yang ditangkap pun merasa seperti dituduh maling di rumah sendiri. “Ini rumah kami, kenapa kami diperlakukan seperti ini?”
Apa sih GRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone) itu?
GRAPPAD adalah gerakan yang dibentuk oleh masyarakat Padarincang sendiri. Kami tidak punya pemimpin, tidak punya struktur baku, dan murni masyarakat yang bergerak—yang mempunyai pemikiran sama bahwa Padarincang harus dilindungi.
Sebagian besar yang tergabung dalam GRAPPAD adalah petani karena pertanian adalah mata pencaharian utama warga Padarincang. Warga ini berpikir tidak ada alasan untuk tidak menolak keberadaan pabrik Aqua di Padarincang. Meskipun para petani ini tinggal di desa, bukan berarti mereka bisa dibodohi begitu saja oleh janji-janji manis perusahaan. Para petani juga belajar tentang dampak keberadaan pabrik tersebut. Selama ini para petani punya pengalaman bahwa ketika musim kemarau datang, debit air akan berkurang. Dengan pengalaman tersebut, kemudian warga berpikir, tanpa adanya pengeboran saja, debit air akan berkurang, apalagi jika pengeboran itu benar-benar dilakukan. Apa yang para petani lakukan adalah murni karena pikiran dan keresahan mereka sendiri terhadap pembangunan pabrik Aqua-Danone, tanpa ada yang mengompori.
Masyarakat Padarincang juga bukan orang-orang yang buta informasi. Dari pemberitaan di berbagai media massa masyarakat tahu banyak masalah yang ditimbulkan oleh korporasi, seperti lumpur Lapindo dan sebagainya. Juga kasus-kasus kekeringan yang terjadi di beberapa daerah di Indoneisa. Berbekal informasi itulah para petani berpikir dan sadar untuk menolak Aqua.
Jika pemerintah berpikir bahwa ada aktor intelektual di belakang kami, mereka salah. Malah LSM, gerakan mahasiswa dan kelompok lain yang juga menolak Aqua, datang belakangan setelah masyarakat bergerak. Barisan pertama yang menolak pembangunan pabrik Aqua adalah petani, warga setempat dan para ulama.
Banyak juga wartawan yang bertanya, “Siapa pemimpin GRAPPAD?” Tapi yang paling sering bertanya sih polisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang meneror, “Siapa yang mendanai kalian?” Semua pertanyaan itu kami jawab, “Tidak ada!” Masyarakat sendirilah yang menjadi pemimpin dalam GRAPPAD dan kami mengelola gerakan ini secara swadaya. Dana yang kami punya pun didapat dari warga yang berjuang. Tidak ada yang mendanai kami. Kalaupun ada orang-orang yang ingin mendanai gerakan ini, silakan saja selama tidak ada kepentingan di balik pemberian dana tersebut. Namun jika ada embel-embel-nya, silakan pergi dari sini. Kami tidak butuh itu, karena kami gerakan masyarakat yang murni.
Selama terlibat di GRAPPAD bagaimana pandangan Ovi tentang struktur gerakan yang seperti ini?
Saya pribadi menilai, struktur gerakan seperti ini sangat bagus. Dengan tidak adanya pemimpin maka tidak ada struktur yang hierarkis yang membuat gerakan ini tersentral. Jika ada pimpinan, seolah ada yang menggerakkan, ada yang menginstruksikan. Dengan pola yang non-hierarkis, gerakan ini akan sulit untuk dibungkam. Lain cerita jika ada pemimpinnya. Tinggal ambil ketua/pemimpinnya, urusan selesai. Gerakan mati.
Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam GRAPPAD?
Keputusan terbesar berada di tangan masyarakat. Jika ada usul untuk melakukan kegiatan, entah dari pemuda, kelompok lain yang bersolidaritas, bahkan alim ulama yang biasanya menjadi panutan warga, tetap akan didiskusikan terlebih dahulu dalam GRAPPAD. Setiap elemen masyarakat dilibatkan, keputusan tetap dipegang masyarakat. Tidak ada tirani kepemimpinan dalam GRAPPAD. Kami tidak pernah memaksakan warga untuk ikut bergabung dengan gerakan ini, mereka sendiri yang berinisiatif untuk terlibat.
Apakah ada pembedaan status sosial dalam GRAPPAD?
Dalam GRAPPAD tidak ada pembedaan status sosial. Siapa pun orangnya, baik pengusaha, ulama, petani, mahasiswa, tetap memiliki kedudukan dan hak berpendapat yang sama dalam GRAPPAD. Meski ulama seringkali menjadi orang-orang yang sering diminta pendapatnya, mereka juga tidak mempunyai hak yang lebih besar daripada yang lain. Ulama seringkali menjadi penasehat atau penengah jika timbul perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun kembali lagi, keputusan kolektif tetap dipegang oleh masyarakat, bukan segelintir tokoh masyarakat. Walaupun ulama-ulama tersebut mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan dan memengaruhi masyarakat, mereka tidak melakukan hal itu. Setiap tindakan dan keputusan dikembalikan kepada masyarakat.
Bagaimana GRAPPAD merawat dan mengelola struktur non-hierarkisnya?
Kepercayaan tiap-tiap individu adalah kunci utama keberhasilan gerakan ini. Selain itu tidak adanya paksaan dalam GRAPPAD juga membuat organisasi ini lebih sehat. GRAPPAD adalah gerakan yang terbentuk dari kesadaran tiap-tiap individunya, yang berpikir dan merasa punya tanggung jawab untuk melindungi Padarincang.
Ini menjadi pertanyaan paling mendasar, kenapa menolak Aqua-Danone?
Ada beberapa alasan. Pertama, dalam Undang-Undang Dasar disebutkan bahwa air, tanah dan kekayaan alam tidak boleh dijadikan bisnis komersial untuk kepentingan segelintir orang. Kedua, warga khawatir ketika sumber mata air tersebut dimiliki oleh segelintir orang, maka mayoritas warga akan sulit mengaksesnya. Terlebih petani yang mata pencahariannya bergantung sepenuhnya pada air. Saya sendiri pernah coba datang ke lokasi pengeboran. Tetapi di pintu masuk saya sudah ditanya macam-macam, “datang darimana?”, “Anda siapa?”, “ada kepentingan apa?”, “sudah dapat izin dari Lurah atau belum?” Ini belum apa-apa loh. Mereka baru menancapkan plang “Tanah Ini Milik Aqua”, apalagi jika sudah berdiri pabriknya? Sebelum ada lokasi pengeboran, warga bisa bebas keluar masuk wilayah itu untuk mengambil air dari mata air tersebut. Setelah Aqua datang, warga jadi susah mengaksesnya.
Selain itu, warga juga banyak mendapat informasi mengenai proses produksi Aqua nanti, seperti jumlah air yang disedot mencapai 63 liter/detik. Bayangkan, 63 liter/detik dikalikan 24 jam, dikalikan berapa tahun? Itulah alasan mengapa warga Padarincang menolak keberadaan Aqua.
Tidak hanya mata air, tanah yang akan dijadikan lokasi pengeboran air oleh Aqua itu pun sebenarnya adalah lahan pertanian produktif seluas 12 hektar. Petani akan kehilangan mata pencahariannya jika Aqua bikin pabrik di Padarincang.
Bagaimana relasi masyarakat sebelum kedatangan Aqua-Danone?
Sebelum Aqua datang relasi masyarakat sangat baik. Sejauh apa pun mereka tinggal di Kecamatan Padarincang masih mempunyai hubungan keluarga dan terjalin dengan baik. Namun begitu Aqua datang, warga mulai terganggu dengan adu domba yang dilakukan oleh korporasi. Jangankan antar tetangga, dalam sebuah keluarga pun seringkali terjadi perpecahan antara yang pro dan kontra keberadaan Aqua. Kebanyakan orang yang pro Aqua memang sudah menjadi orang bayaran untuk mendukung keberadaan lokasi pengeboran. Bahkan pegawai pemerintahan desa juga mengaku bahwa mereka dibayar Rp 1 juta/bulan hanya untuk menunggu dan menjaga lokasi pengeboran siang atau malam.
Menurut Ovi, apakah kehadiran industri, baik Aqua ataupun yang lainnya akan mengubah relasi yang sudah terbangun sejak lama itu?
Jelas iya. Sebab keberadaan Aqua-Danone saat ini saja sudah sangat mengganggu kehidupan warga Padarincang, bahkan sebelum pabriknya berdiri. Bagaimana nanti kalau pabrik dan proses produksinya sudah mulai jalan? Sekarang saja korporasi sudah mulai membuat perpecahan dan adu domba di antara warga. Belum lagi dampak terjadinya kesenjangan dalam masyarakat, bahkan dalam lingkup keluarga.
Sebelumnya, Aqua menjanjikan akan menyerap 2000 tenaga kerja dari warga setempat. Namun setelah kami melihat dalam dokumen AMDAL, hanya 175 orang dari warga setempat yang akan dipekerjakan. Jelas kita tahu, warga seperti apa yang bisa diterima bekerja di sana kan? Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk. Belum lagi jika pabrik itu sudah beroperasi, tentunya akan ada seleksi lebih ketat yang makin merugikan warga.
Bagaimana dengan Negara, di mana posisinya?
Tentu saja negara berpihak pada industri! Bahkan hingga saat ini si Taufik (Bupati Serang) masih keukeuh mempertahankan Aqua dengan tidak mencabut SK (surat keputusan) pembangunan pabrik Aqua di Padarincang. Pemerintah tidak pernah mendengarkan kami, meski kami berkali-kali menuntut penutupan lokasi pengeboran Aqua.
Bagaimana peran perempuan dalam GRAPPAD?
Perempuan punya peran yang sama penting dengan warga pria Padarincang. Dari kebutuhan akan air itu kita bisa lihat, perempuan sangat membutuhkan air dalam kesehariannya untuk mandi, minum, mencuci dan lain sebagainya. Jadi bagaimana mungkin perempuan bisa tinggal diam jika hak mereka akan air akan diambil.
Apa saja yang dilakukan perempuan dalam gerakan ini?
Penyebaran informasi akan keberadaan lokasi pengeboran Aqua menjadi lebih efektif melalui pengajian-pengajian yang sering dilakukan oleh perempuan. Tidak ada yang mengompori mereka untuk menolak keberadaan Aqua, karena informasi pun tidak diberikan secara provokatif. Tapi perempuan, yang kebanyakan ibu-ibu tersebut juga punya kesadaran yang sama akan untuk menolak Aqua dengan alasan dan kekhawatiran yang sama. Dari forum ke forum dan pengajian ke pengajian, para perempuan menjadi lebih aktif dan berani untuk mengutarakan penolakan terhadap Aqua.
Apakah perempuan terlibat aktif dalam aksi langsung penutupan lokasi pengeboran Aqua?
Awalnya tidak banyak, mungkin hanya 10 persen dari total laki-laki yang turun pada saat itu. Tetapi saat istighosah dan pasca “penculikan”, perempuan lebih banyak lagi yang terlibat. Saya sebagai pemudi dan mahasiswa bangga dengan gerakan ini. Bahkan sebelumnya tidak percaya, masa sih tidak ada pemimpin dalam GRAPPAD? Namun kenyataannya setelah saya mulai terlibat lebih banyak, fakta itulah yang ada di lapangan: tidak ada pemimpin, tidak ada struktur baku serta tidak ada segelintir orang yang menggerakkan masyarakat. Dan berhasil mengusir Aqua!
{11/03/11/ frd&jck}
Catatan:
[1] sumber diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aqua_(air_mineral) (diakses tanggal 16 Maret 2011).
[2] sumber diambil dari kronologi perjuangan warga Padarincang versus Aqua-Danone yang ditulis sendiri oleh warga. Info: http://timkatalis.blogspot.com/2011/03/kronolog-perlawanan-warga-padarincang.html
[3] sumber diambil dari http://bantenpress.com/banten/fokus-banten/serang/2256-aqua-hengkang-dari-serang.html (diakses tanggal 16 Maret 2011).
PT. Aqua Golden Mississippi didirikan pada tahun 1973 oleh Tirto Utomo di mana pabrik pertamanya terletak di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat. Pabriknya sendiri bernama Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun. Awalnya Aqua bernama Puritas, namun berganti nama atas saran Eulindra Lim, konsultan Tirto Utomo. Produksi pertama Aqua diluncurkan dalam bentuk kemasan botol kaca ukuran 950 ml dengan harga jual Rp. 75, hampir dua kali lipat harga bensin yang ketika itu bernilai Rp. 46 untuk 1.000 ml.[1]
4 September 1998 PT. Aqua Golden Mississipi menjual sahamnya kepada Danone, sebuah korporasi multinasional yang bergerak dalam produk-produk makanan instan yang bermarkas di Prancis. Hal ini dilakukan agar Aqua mampu menghadapi ketatnya persaingan di bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Dua tahun kemudian, Aqua meluncurkan produk berlabel Danone-Aqua.
Dengan saham mayoritas sebesar 74% yang dikuasai Danone, Aqua semakin percaya diri untuk terus mengekspansi berbagai kawasan dengan sumber mata air alami yang baik. Tentu saja tujuan utamanya adalah profit untuk mengakumulasikan modalnya. Dengan restu dari H. Ahmad Taufik selaku Bupati Serang yang menerbitkan Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007, Aqua-Danone—lewat PT. Tirta Investama—mencoba untuk mengeksplotasi kawasan Cirahab. Kawasan yang masuk dalam Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, ini kaya akan sumber mata air alami yang menjadi incaran berbagai korporasi yang bergerak di industri air, khususnya Air Minum Dalam Kemasan. Sekarang saja telah ada beberapa perusahaan yang mengeksploitasi wilayah tersebut.
Bagi warga Padarincang, yang terdiri atas 14 desa, PT. Tirta Investama adalah penyakit penyumbang bencana kekeringan air yang melanda beberapa wilayah. Catatan warga di Sukabumi dan Klaten merupakan referensi empirik bagi warga Padarincang untuk terus menolak pembangunan pabrik Aqua-Danone tersebut.[2]
Sejak maraknya penolakan warga Padarincang dari tahun 2008, Aqua-Danone sempat tidak aktif selama kurang lebih 2 tahun. Baru pada tahun 2010 pembangunan pabrik Aqua-Danone mulai kembali gencar dilakukan.
Warga Padarincang pun mulai aktif kembali melakukan berbagai cara untuk menggagalkan pembangunan pabrik tersebut. Beberapa aktifitas yang pernah dilakukan warga adalah menggagas audiensi dengan pejabat pemerintahan terkait, membangun jaringan solidaritas dengan berbagai individu, forum serta organisasi, dan lain sebagainya.
5 Desember 2010 warga Padarincang unjuk kekuatan. Sekitar 4000an orang dari semua desa di Kecamatan Padarincang mendatangi lokasi pabrik dengan berjalan kaki. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menjalin harmoni dalam kebersamaan untuk menolak pembangunan pabrik Aqua-Danone. Keberadaan polisi yang selalu berpihak pada perusahaan membuat emosi warga membuncah. Alat produksi perusahaan pun menjadi sasaran. Alat bor, bangunan, dan mobil milik PT. Tirta Investama pun berubah menjadi rongsokan.
Bulan Februari 2011, melalui berbagai berita di media massa, Aqua membatalkan rencananya untuk mengeksploitasi sumber mata air di wilayah Cirahab, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten.[3] PT. Tirta Investastama memilih hengkang dari Padarincang dan mencari wilayah lain, yang desas-desusnya masih berada di Kabupaten Serang.
Terkait dengan perlawanan warga Padarincang yang inspiratif tersebut, Ovi—pemudi Padarincang yang ikut aktif melawan privatisasi air—bercerita:
Memang sejak awal aksi pada 5 Desember 2010 bertujuan untuk menutup pengeboran air oleh Aqua di Padarincang. Awalnya sih tidak bermaksud untuk merusak lokasi pilot project tersebut, namun karena warga sudah gerah dengan keberadaan Aqua di Padarincang, akhirnya kemarahan warga tak bisa dibendung lagi. Lokasi pengeboran sendiri sebenarnya sudah ditutup sejak 2008 lalu, namun warga mempertanyakan kenapa malah dibuka kembali.
Aksi yang dilakukan warga benar-benar spontan, karena tidak direncanakan sebelumnya. Hasilnya, bangunan-bangunan yang berada di lokasi pengeboran rata dengan tanah dan beberapa polisi yang mengamankan pilot project ikut terluka terkena lemparan batu warga.
Apa yang warga lakukan adalah tindak lanjut dari upaya warga yang meminta audiensi kepada pemerintah. Dari bebapa kali permohonan audiensi, semuanya ditolak. Atas kejadian ini pemerintah menyalahkan masyarakat karena mengapa sampai melakukan perusakan terhadap pilot project. Tetapi masyarakat juga punya alasan, mengapa penolakan kami terhadap Aqua dan permohonan audiensi tidak pernah digubris? Salah sendiri!
Apa yang terjadi setelah aksi 5 Desember tersebut?
Setelah aksi tersebut, pemerintah bukan bersikap bijak menanggapi tuntutan kami, tetapi malah melakukan aksi penculikan terhadap warga yang terlibat aksi 5 Desember. Kenapa kami menyebutnya “penculikan”, bukan “penangkapan”? karena menurut kami, cara yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Jadi, polisi-polisi itu datang dan berjaga mengelilingi rumah warga yang dijadikan target. Polisi langsung menangkap warga tanpa penjelasan apa pun. Para polisi tersebut hanya mengatakan, “ini surat penangkapannya”, tapi tidak memberikan kesempatan bagi target untuk membaca surat tersebut. Terlebih lagi penangkapan itu dilakukan pada dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, 5 hari setelah penutupan paksa lokasi pengeboran.
Sebelum penangkapan itu terjadi, kepolisian memang pernah menelpon tokoh masyarakat setempat (Haji Dhaif). Polisi mengatakan ingin bertemu warga untuk melakukan audiensi tentang aksi penutupan lokasi pengeboran. Polisi berjanji tidak akan melakukan penangkapan terhadap warga, dan kami pun memegang janji tersebut. Namun selang beberapa hari, terjadilah aksi penangkapan 5 warga pada Jumat (10/12/2010) dini hari. Warga yang ditangkap pun merasa seperti dituduh maling di rumah sendiri. “Ini rumah kami, kenapa kami diperlakukan seperti ini?”
Apa sih GRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone) itu?
GRAPPAD adalah gerakan yang dibentuk oleh masyarakat Padarincang sendiri. Kami tidak punya pemimpin, tidak punya struktur baku, dan murni masyarakat yang bergerak—yang mempunyai pemikiran sama bahwa Padarincang harus dilindungi.
Sebagian besar yang tergabung dalam GRAPPAD adalah petani karena pertanian adalah mata pencaharian utama warga Padarincang. Warga ini berpikir tidak ada alasan untuk tidak menolak keberadaan pabrik Aqua di Padarincang. Meskipun para petani ini tinggal di desa, bukan berarti mereka bisa dibodohi begitu saja oleh janji-janji manis perusahaan. Para petani juga belajar tentang dampak keberadaan pabrik tersebut. Selama ini para petani punya pengalaman bahwa ketika musim kemarau datang, debit air akan berkurang. Dengan pengalaman tersebut, kemudian warga berpikir, tanpa adanya pengeboran saja, debit air akan berkurang, apalagi jika pengeboran itu benar-benar dilakukan. Apa yang para petani lakukan adalah murni karena pikiran dan keresahan mereka sendiri terhadap pembangunan pabrik Aqua-Danone, tanpa ada yang mengompori.
Masyarakat Padarincang juga bukan orang-orang yang buta informasi. Dari pemberitaan di berbagai media massa masyarakat tahu banyak masalah yang ditimbulkan oleh korporasi, seperti lumpur Lapindo dan sebagainya. Juga kasus-kasus kekeringan yang terjadi di beberapa daerah di Indoneisa. Berbekal informasi itulah para petani berpikir dan sadar untuk menolak Aqua.
Jika pemerintah berpikir bahwa ada aktor intelektual di belakang kami, mereka salah. Malah LSM, gerakan mahasiswa dan kelompok lain yang juga menolak Aqua, datang belakangan setelah masyarakat bergerak. Barisan pertama yang menolak pembangunan pabrik Aqua adalah petani, warga setempat dan para ulama.
Banyak juga wartawan yang bertanya, “Siapa pemimpin GRAPPAD?” Tapi yang paling sering bertanya sih polisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang meneror, “Siapa yang mendanai kalian?” Semua pertanyaan itu kami jawab, “Tidak ada!” Masyarakat sendirilah yang menjadi pemimpin dalam GRAPPAD dan kami mengelola gerakan ini secara swadaya. Dana yang kami punya pun didapat dari warga yang berjuang. Tidak ada yang mendanai kami. Kalaupun ada orang-orang yang ingin mendanai gerakan ini, silakan saja selama tidak ada kepentingan di balik pemberian dana tersebut. Namun jika ada embel-embel-nya, silakan pergi dari sini. Kami tidak butuh itu, karena kami gerakan masyarakat yang murni.
Selama terlibat di GRAPPAD bagaimana pandangan Ovi tentang struktur gerakan yang seperti ini?
Saya pribadi menilai, struktur gerakan seperti ini sangat bagus. Dengan tidak adanya pemimpin maka tidak ada struktur yang hierarkis yang membuat gerakan ini tersentral. Jika ada pimpinan, seolah ada yang menggerakkan, ada yang menginstruksikan. Dengan pola yang non-hierarkis, gerakan ini akan sulit untuk dibungkam. Lain cerita jika ada pemimpinnya. Tinggal ambil ketua/pemimpinnya, urusan selesai. Gerakan mati.
Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam GRAPPAD?
Keputusan terbesar berada di tangan masyarakat. Jika ada usul untuk melakukan kegiatan, entah dari pemuda, kelompok lain yang bersolidaritas, bahkan alim ulama yang biasanya menjadi panutan warga, tetap akan didiskusikan terlebih dahulu dalam GRAPPAD. Setiap elemen masyarakat dilibatkan, keputusan tetap dipegang masyarakat. Tidak ada tirani kepemimpinan dalam GRAPPAD. Kami tidak pernah memaksakan warga untuk ikut bergabung dengan gerakan ini, mereka sendiri yang berinisiatif untuk terlibat.
Apakah ada pembedaan status sosial dalam GRAPPAD?
Dalam GRAPPAD tidak ada pembedaan status sosial. Siapa pun orangnya, baik pengusaha, ulama, petani, mahasiswa, tetap memiliki kedudukan dan hak berpendapat yang sama dalam GRAPPAD. Meski ulama seringkali menjadi orang-orang yang sering diminta pendapatnya, mereka juga tidak mempunyai hak yang lebih besar daripada yang lain. Ulama seringkali menjadi penasehat atau penengah jika timbul perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun kembali lagi, keputusan kolektif tetap dipegang oleh masyarakat, bukan segelintir tokoh masyarakat. Walaupun ulama-ulama tersebut mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan dan memengaruhi masyarakat, mereka tidak melakukan hal itu. Setiap tindakan dan keputusan dikembalikan kepada masyarakat.
Bagaimana GRAPPAD merawat dan mengelola struktur non-hierarkisnya?
Kepercayaan tiap-tiap individu adalah kunci utama keberhasilan gerakan ini. Selain itu tidak adanya paksaan dalam GRAPPAD juga membuat organisasi ini lebih sehat. GRAPPAD adalah gerakan yang terbentuk dari kesadaran tiap-tiap individunya, yang berpikir dan merasa punya tanggung jawab untuk melindungi Padarincang.
Ini menjadi pertanyaan paling mendasar, kenapa menolak Aqua-Danone?
Ada beberapa alasan. Pertama, dalam Undang-Undang Dasar disebutkan bahwa air, tanah dan kekayaan alam tidak boleh dijadikan bisnis komersial untuk kepentingan segelintir orang. Kedua, warga khawatir ketika sumber mata air tersebut dimiliki oleh segelintir orang, maka mayoritas warga akan sulit mengaksesnya. Terlebih petani yang mata pencahariannya bergantung sepenuhnya pada air. Saya sendiri pernah coba datang ke lokasi pengeboran. Tetapi di pintu masuk saya sudah ditanya macam-macam, “datang darimana?”, “Anda siapa?”, “ada kepentingan apa?”, “sudah dapat izin dari Lurah atau belum?” Ini belum apa-apa loh. Mereka baru menancapkan plang “Tanah Ini Milik Aqua”, apalagi jika sudah berdiri pabriknya? Sebelum ada lokasi pengeboran, warga bisa bebas keluar masuk wilayah itu untuk mengambil air dari mata air tersebut. Setelah Aqua datang, warga jadi susah mengaksesnya.
Selain itu, warga juga banyak mendapat informasi mengenai proses produksi Aqua nanti, seperti jumlah air yang disedot mencapai 63 liter/detik. Bayangkan, 63 liter/detik dikalikan 24 jam, dikalikan berapa tahun? Itulah alasan mengapa warga Padarincang menolak keberadaan Aqua.
Tidak hanya mata air, tanah yang akan dijadikan lokasi pengeboran air oleh Aqua itu pun sebenarnya adalah lahan pertanian produktif seluas 12 hektar. Petani akan kehilangan mata pencahariannya jika Aqua bikin pabrik di Padarincang.
Bagaimana relasi masyarakat sebelum kedatangan Aqua-Danone?
Sebelum Aqua datang relasi masyarakat sangat baik. Sejauh apa pun mereka tinggal di Kecamatan Padarincang masih mempunyai hubungan keluarga dan terjalin dengan baik. Namun begitu Aqua datang, warga mulai terganggu dengan adu domba yang dilakukan oleh korporasi. Jangankan antar tetangga, dalam sebuah keluarga pun seringkali terjadi perpecahan antara yang pro dan kontra keberadaan Aqua. Kebanyakan orang yang pro Aqua memang sudah menjadi orang bayaran untuk mendukung keberadaan lokasi pengeboran. Bahkan pegawai pemerintahan desa juga mengaku bahwa mereka dibayar Rp 1 juta/bulan hanya untuk menunggu dan menjaga lokasi pengeboran siang atau malam.
Menurut Ovi, apakah kehadiran industri, baik Aqua ataupun yang lainnya akan mengubah relasi yang sudah terbangun sejak lama itu?
Jelas iya. Sebab keberadaan Aqua-Danone saat ini saja sudah sangat mengganggu kehidupan warga Padarincang, bahkan sebelum pabriknya berdiri. Bagaimana nanti kalau pabrik dan proses produksinya sudah mulai jalan? Sekarang saja korporasi sudah mulai membuat perpecahan dan adu domba di antara warga. Belum lagi dampak terjadinya kesenjangan dalam masyarakat, bahkan dalam lingkup keluarga.
Sebelumnya, Aqua menjanjikan akan menyerap 2000 tenaga kerja dari warga setempat. Namun setelah kami melihat dalam dokumen AMDAL, hanya 175 orang dari warga setempat yang akan dipekerjakan. Jelas kita tahu, warga seperti apa yang bisa diterima bekerja di sana kan? Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk. Belum lagi jika pabrik itu sudah beroperasi, tentunya akan ada seleksi lebih ketat yang makin merugikan warga.
Bagaimana dengan Negara, di mana posisinya?
Tentu saja negara berpihak pada industri! Bahkan hingga saat ini si Taufik (Bupati Serang) masih keukeuh mempertahankan Aqua dengan tidak mencabut SK (surat keputusan) pembangunan pabrik Aqua di Padarincang. Pemerintah tidak pernah mendengarkan kami, meski kami berkali-kali menuntut penutupan lokasi pengeboran Aqua.
Bagaimana peran perempuan dalam GRAPPAD?
Perempuan punya peran yang sama penting dengan warga pria Padarincang. Dari kebutuhan akan air itu kita bisa lihat, perempuan sangat membutuhkan air dalam kesehariannya untuk mandi, minum, mencuci dan lain sebagainya. Jadi bagaimana mungkin perempuan bisa tinggal diam jika hak mereka akan air akan diambil.
Apa saja yang dilakukan perempuan dalam gerakan ini?
Penyebaran informasi akan keberadaan lokasi pengeboran Aqua menjadi lebih efektif melalui pengajian-pengajian yang sering dilakukan oleh perempuan. Tidak ada yang mengompori mereka untuk menolak keberadaan Aqua, karena informasi pun tidak diberikan secara provokatif. Tapi perempuan, yang kebanyakan ibu-ibu tersebut juga punya kesadaran yang sama akan untuk menolak Aqua dengan alasan dan kekhawatiran yang sama. Dari forum ke forum dan pengajian ke pengajian, para perempuan menjadi lebih aktif dan berani untuk mengutarakan penolakan terhadap Aqua.
Apakah perempuan terlibat aktif dalam aksi langsung penutupan lokasi pengeboran Aqua?
Awalnya tidak banyak, mungkin hanya 10 persen dari total laki-laki yang turun pada saat itu. Tetapi saat istighosah dan pasca “penculikan”, perempuan lebih banyak lagi yang terlibat. Saya sebagai pemudi dan mahasiswa bangga dengan gerakan ini. Bahkan sebelumnya tidak percaya, masa sih tidak ada pemimpin dalam GRAPPAD? Namun kenyataannya setelah saya mulai terlibat lebih banyak, fakta itulah yang ada di lapangan: tidak ada pemimpin, tidak ada struktur baku serta tidak ada segelintir orang yang menggerakkan masyarakat. Dan berhasil mengusir Aqua!
{11/03/11/ frd&jck}
Catatan:
[1] sumber diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aqua_(air_mineral) (diakses tanggal 16 Maret 2011).
[2] sumber diambil dari kronologi perjuangan warga Padarincang versus Aqua-Danone yang ditulis sendiri oleh warga. Info: http://timkatalis.blogspot.com/2011/03/kronolog-perlawanan-warga-padarincang.html
[3] sumber diambil dari http://bantenpress.com/banten/fokus-banten/serang/2256-aqua-hengkang-dari-serang.html (diakses tanggal 16 Maret 2011).
Selasa, 15 Maret 2011
KRONOLOGI PERLAWANAN WARGA PADARINCANG VS. AQUA-DANONE
PETA MASALAH DAN LATAR BELAKANG PENOLAKAN
Masyarakat Padarincang yang menyadari masa depan ketersediaan air menyatakan kesefahaman bersama bahwa komersialisasi air akan memunculkan resiko dampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar; setidaknya akan menghilangkan hak dasar warga atas air serta pengurangan kapasitas dan kualitas air di wilayah Padarincang.
Pada pertengahan Juni 2010 warga Padarincang menggelar forum terbuka yang melahirkan kesepakatan mengenai bahaya krisis yang paling penting di Padarincang, Forum ini digelar sebagai bentuk respon dari akan dilanjutkannya rencana pembangunan pabrik Danone yang pada tahun 2008 sempat dihentikan oleh karena ada penolakan dari warga.
Forum yang dihadiri beberapa aktivis, tokoh pemuda, ulama dan perwakilan tokoh masyarakat dari berbagai sektor tersebut telah mengadakan perundingan mengenai sikap apa yang perlu ditempuh terhadap kehadiran industri air minum dalam kemasan di Padarincang, dan diskusi tentang dampak komersialisasi dan privatisasi air telah menyuntikan kembali gagasan penolakan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten Serang yang telah mengizinkan PT. Tirta Investama untuk beroperasi di Padarincang.
Sejak tahun 2008 warga dengan tegas menolak kehadiran korporasi sektor air, PT. Tirta Investama telah dipandang sebagai salah satu perusahaan yang menyumbang terjadinya bencana kekeringan air, catatan di Sukabumi dan Klaten merupakan referensi empirik bagi warga Padrincang untuk terus menggalang solidaritas dan dukungan dalam upaya mencabut Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007 tertanggal 8 Februari 2007.
Secara kronologis Surat izin ini memiliki kecacatan dari sisi proses, pertama, tidak adanya proses sosialiasi untuk mendapatkan legitimasi public terkait dukungan warga atas rencana pembangunan tersebut, kedua, tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku bahwa seharusnya surat izin itu terbit setelah ANDAL selesai di buat. Pemaksaan kehendak ini pada akhirnya memunculkan gerakan penolakan jilid pertama dengan memunculkan nama Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan. Aliansi yang terdiri dari organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, LSM, serta himpunan para alim ulama, tokoh masyarakat dan aktivis yang didukung oleh berbagai lembaga seperti Kontras, LBH Jakarta, Walhi serta mendapatkan perhatian dari Komnas HAM ini telah dapat menghentikan sementara rencana pembangunan yang sudah mulai beroprasi di kawasan Cirahab Padarincang. Bupati Serang, H. Ahmad Taufik Nuriman bersedia menghentikan dan berjanji akan mencabut surat izin yang telah diberikan kepada PT. Tirta Investama tersebut disusul dengan pernyataan pihak perusahaan bahwa mereka akan bersedia menghentikan pembangunan dan mencari tempat lain jika warga Padarincang tetap melakukan penolakan.
Penolakan tentu saja bukan tanpa alasan, tetapi tetap memunculkan polemik bahwa jika Danone tidak bisa diterima di kabupaten Serang, hal itu memungkinkan akan adanya penolakan terhadap korporasi lain yang ingin mengembangkan bisnisnya di Kabupaten Serang, masalah ini memunculkan asumsi bahwa iklim investasi di kabupaten Serang tidak kondusif.
Penolakan terhadap komersialisasi air di kawasan Cirahab Padarincang tentu saja telah memunculkan gejolak dalam dunia investasi, Danone selaku korporasi multi nasional yang memiliki jangkauan pasar yang luas di seluruh dunia telah menjadi catatan, memungkinkan bagi para investor lain berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di kabupaten Serang, asumsi semacam ini tentu saja akan direproduksi oleh para pengusaha untuk membentuk kehati-hatian dalam membuka bisnis baru dalam berbagai sector, dan pemerintah seakan ingin cuci tangan dari segala polemik yang berbau ketidak sehatan iklim investasi di daerah.
Warga yang melakukan penolakan disudutkan pada situasi yang tidak mengenakan, mereka dipandang sebagai masyarakat tertutup dan irasional, tidak memiliki visi pembangunan dan cenderung anti kompromi, terbelakang, dan sulit diajak maju. Sementara kegagalan pemerintah dalam kontek kebijakan seperti sepi dari kritik, selalu benar dan harus mendapatkan dukungan berbagai pihak, sementara terdapat fakta yang tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa:
1. Pemerintah daerah tidak mampu mengelola sumber daya alam dengan baik.
2. Terjadi inefesiensi dalam agenda pembangunan dan cenderung menempuh langkah praktis.
3. Tidak memiliki political will terhadap isu perubahan iklim dan bahaya bencana kekeringan air di bumi dalam decade terakhir.
4. Tidak pernah ada keterlibatan warga dalam proses mengambil atau mempengaruhi proses menentukan kebijakan.
5. Terdapat birokrasi yang tidak sehat yang memungkinkan terjadinya banyak penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan.
6. Tidak sesuai prosedur yang berlaku, sehingga menciptakan iklim investasi tidak kondusif.
7. Terdapat kekuatan diluar birokrasi pemerintah yang turut mengendalikan lancar atau tidaknya investasi di Banten.
Penolakan warga terhadap kehadiran PT. Tirta Investama yang akan mengeksploitasi air di kawasan Cirahab Padarincang karena minimnya keterlibatan warga dalam proses mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah tidak bisa disalahkan, Pemerintah seharusnya sejak awal melakukan sosialisasi dengan baik dan transparan .
Bahkan ada sebagian warga yang merasa telah dibodohi pada tahap pembebasan lahan, mereka mendapatkan informasi jika lahan itu diperuntukan bagi dunia pendidikan hingga memunculkan antusiasme untuk membatu rencana tersebut, dalam perjalannya masyarakat dikagetkan oleh hadirnya alat berat di kawasan tersebut, pengeboran yang dilakukan pada akhirnya memunculkan reaksi dari warga.
Upaya penolakan warga berbuah hasil saat Bupati Serang menghentikan sementara proses pembangunan pabrik dan berjanji akan mencabut surat izin pembangunan, tetapi dipandang lemah karena tidak dilakukan pengawalan secara ketat atas rencana pencabutan tersebut.
Gerakan Penolakan Jilid 2
Pertengahan tahun 2010 warga Padarincang kembali bergejolak setelah mendapatkan kabar bahwa Bupati akan meneruskan rencana pembangunan pabrik Danone di Cirahab. Reaksi kembali muncul dan mempertanyakan komitmen bupati atas pernyataan awal yang siap mencabut surat izin pembangunan yang telah diberikan kepada PT. Tirta Investama.
Spanduk, baliho dan media lain digunakan untuk menunjukan sikap penolakan sebagai mana sebelumnya pernah dilakukan, musyawarah akbar digelar untuk membangun kembali persepsi bersama tentang konsistensi penolakan tetapi tidak dengan menggunakan strutur keorganisasian yang jelas, warga cenderung melebur dan terkesan tidak memunculkan coordinator sebagaimana gerakan jilid pertama.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pencomotan nama-nama tertentu untuk melemahkan gerakan. Gerakan jilid kedua justeru tidak tertata sebagai mana gerakan jilid pertama yang memiliki komando dan struktur yang jelas, hingga ada yang memandang jika gerakan jilid kedua ini terkesan sporadis dan tidak memiliki akar dukungan yang jelas.
Apapun asumsi yang muncul, faktanya gerakan penolakan masih ada dan cukup menjadi perhatian pemerintah untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan dalam kontek pembangunan pabrik Danone.
Pro dan Kontra
Secara garis besar, saat ini terdapat dua kubu yang bertentangan dalam merespon rencana pembanunan Pabrik Aqua di Padarincang dengan sejumlah alasan-alasan yang menyertainya.
Pertama, masyarakat yang mendukung rencana pembangunan memiliki alasan bahwa segala kebijakan pemerintah dalam bentuk apapun perlu didukung dengan segala konsekwensi yang menyertainya, industrialisasi memang memiliki dampak negatif dan positif tetapi saat ini ada yang dibutuhkan masyarakat dari dunia industry meski ada pula yang harus dikorbankan, para pendukung ini memiliki alasan:
1. Dapat membuka lapangan pekerjaan.
2. Memberi peluang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3. Memberi konstribusi terhadap pengembangan pembangunan khususnya di kecamatan Padarincang.
Kelompok ini memiliki pandangan praktis dan cenderung bermuara pada bagaimana mendapatkan keuntungan finansial, terkait persoalan kekeringan dan hilangnya hak warga atas air tidak begitu dipersoalkan. Secara politik kelompok ini mendapatkan dukungan dari pihak legislatif khususnya dari salah satu anggota dewan dari Komisi IV bahkan anggota dewan ini terlibat dalam melakukan penggalangan dukungan, mengkleim mendapatkan restu dari alim ulama yang terhimpun dalam kelompok pengajian Tambihul Umah, sebagai catatan, penggerak pengajian ini memiliki relasi yang dekat dengan kekuasaan, sebelumnya terlibat dalam gerakan penolakan dan salah satu pengusaha (Hariri) yang memiliki kepentingan langsung terhadap rencana pembangunan pabrik Danone memiliki hubungan saudara dengan anggota dewan dari komisi 4 (Damimi) ini.
Para kepala Desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok ini, sebelumnya mereka pun termasuk dari kolompok yang melakukan penolakan, seiring perjalanan waktu dan bahkan ada dugaan bahwa penolakan yang berubah menjadi dukungan ini lebih sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar dihadapan PT. Tirta Investama.
Keterbukaan investasi menjadi alasan lain yang menguatan upaya dukungan terhadap rencana eksploitasi air ini, jika Danone gagal beroperasi di Padarincang asumsinya adalah tidak akan ada investor lain yang berkeinginan untuk menanamkan investasinya karena terdapat iklim investasi yang tidak kondusif di kabupaten serang kuhusunya di kecamatan Padarincang dan sekitarnya.
Kedua, masyarakat yang menolak memiliki alasan jangka panjang dengan beberapa pertimbangan bahwa tidak setiap kebijakan pemerintah harus selalu didukung mengingat kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan dan penyalah gunaan wewenang serta tidak berpihak terhadap kepentingan warga, kelompok ini cenderung beranggapan bahwa kebijakan pemerintah perlu dikawal dan dikotrol untuk menghindari dampak buruk akbibat dari kegagalan kebijakan, beberapa alasan dan tujuan penolakan ini antara lain:
1. Mempertahankan hak dasar warga atas air.
2. Melindungi sumber air dari ancaman kekeringan.
3. Menjaga ketentraman dan kenyamanan Padarincang sebagai daerah pertanian.
4. Menghindari terjadinya kerusakan yang lain sebagai efek domino dari aktifitas idustri.
5. Menjaga ketersediaan air Rawa Danau sebagai cagar alam yang harus dipertahankan.
Pandangan yang dikemukakan lebih berdasar pada bagai mana menjaga kelestarian alam sekitar, bahwa ada unsur hak dasar warga yang tidak boleh diabaikan Negara atas air, komersialisasi air dipandang hanya akan menghilangkan hak dasar ini, selebihnya ada alasan yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiyah bahwa keyakinan agama tetang perlindungan atas air begitu kuat, hal ini dianut oleh para orang tua dan alim ulama yang mengkategorikan perlawanan ini sebagai bentuk jihad mempertahankan ketersediaan air di tanah Padarincang.
Informasi dasar investasi PT. Tirta Investama
- Luas lahan: 12 hektar. Keterangan: Status sudah dibebaskan, rencana kedepan PT. Tirta Investama akan melakukan pembebasan lahan lain di sekitar area dengan proyeksi pabrik terbesar se-Asia.
- RT/RW lahan: Tegalan sawah dan pepohonan tahunan. Keterangan: Padahal 12 hektar lahan adalah lahan sawah produktif.
- Rencana Investasi: Rp. 298.241.000.000,00.
- Izin pengeboran: 150m. Keterangan: Sulit untuk mengontrol tingkat kedalaman pipa penyedot, bias saja piha perusahaan menambah tingkat kedalaman saat ketersediaan air bawah tanah mulai menurun.
- Rencana penggunaan tenaga kerja: 174 orang. Keterangan: Terdapat penyimpangan informasi di level publik, warga mendapatkan informasi bahwa tenaga yang akan tertampung di pabrik Danone berkisar pada 2.000 tenaga kerja.
- Volume penyedotan air rencana tahap awal: 63 liter perdetik. Keterangan: Sulit untuk melakukan control terhadap aktifitas produksi, bias saja piha perusahaan menambah volume daya sedot untuk meningkatkan kuantitas produksi.
Rencana Produksi per-tahun
- Air minum dalam kemasan, 15540 liter dengan kapasitas 550.000.000
- Minuman ringan, 15541 liter dengan kapasitas 72.000.000
CIRAHAB DAN PROFIL WARGA PADARINCANG
Cirahab diapit dari dua area penting; Rawa Danau dan Gunung Karang yang memiliki potensi aktif.
Rawa Danau
Rawa Danau terletak di sebelah utara Cirahab, di apit diantara Kecamatan Padarincang, Gunungsari, dan Mancak di kabupaten Serang, Rawadano kaya akan ekosistem seperti binatang reptil, ular, buaya dan 250 jenis burung yang bermukim diluas areal 2.500 ha yang merupakan rawa dan danau. Rawadano memiliki potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, selain memiliki keindahan panorama yang eksotic, akses transportasi yang baik dapat ditempuh dari segala arah, ditopang oleh pariwisita Pantai Anyer dan Ibu kota, dan potensi lain yang dimiliki ialah kandungan karbon, Rawadano merupakan area konservasi alam yang telah mendapatkan perhatian dunia untuk dipertahankan eksistensinya, memiliki fungsi penting bagi keseimbangan alam dan berstatus sebagai empedu bumi yang harus dijaga kelestariannya.
Rawa Danau mendapatkan pasokan air dari beberapa sungai di Padarincang, seperti sungai Kalumpang, Sungai Cibojong, sungai Cilehem dan termasuk dari Cirahab. Cirahab termasuk pemasok air terbesar bagi ketersediaan air di Rawa Danau. Tetapi dalam beberapa catatan survey menunjukan saat ini telah terjadi penurunan volume air di luar aktivitas produksi industri. Sungai Cibojong telah mengalami pendangkalan yang cukup signifikan karena aktifitas penebangan liar di daerah hulu, hal serupa terjadi pada sungai Cilehem, menyusul Cikalumpang yang mulai tampak indikasi penurunan pertahunnya.
Limpahan air dari Rawa Danau ini dimanfaatkan oleh PT. Krakatau Tirta Investama untuk kebutuhan industri termasuk bagi kebutuhan harian masyarakat di kota Cilegon. Rawa Danau tidak sekedar cagar alam rawa, namun memiliki hidden potensi sebagai industri karbon. Rawa Danau merupakan rawa dan danau yang gambut memiliki kandungan unsur karbon (C). Menurut berbagai studi, kandungan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 Gt atau 35% dari total karbon dunia. Sedangkan gambut di Indonesia memiliki cadangan karbon sebesar 46 GT (catatan 19 GT sama dengan 10 ton) atau 8 14% dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia.
Adanya perusahaan pabrik aqua di Padarincang akan mengganggu ekosistem Rawa Danau, menyusutnya air, kerusakan hutan, terancamnya kehidupan mahluk didalamnya dan kelestarian rawadanao itu sendiri.
Gunung Karang
Gunung Karang terletak di Sebelah Selatan kecamatan Ciomas dan Padarincang yang relatif dekat dengan Cirahab. Terdapat beberapa sumber air panas di Padarincang yang berasal dari Gunung Karang ini. Aliran Sumber air panas ini secara geografis relatif dekat dengan Cirahab sebagai lahan yang akan dijadikan area eksploitasi air oleh PT. Tirta Investama.
Banyak warga menghawatirkan jika eksploitasi air bawah tanah ini dilakukan di Cirahab dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang akan terjadi penurunan kuantitas air dingin yang memungkinkan akan ada dominasi air panas di wilayah Padarincang.
Cirahab terletah di desa Curug Goong Kecamatan Padarincang, 10 kilo meter dari arah Palima menuju Anyer, dan terdapat beberapa kecamatan yang memungkinkan terkena dampak eksploitasi air di area ini, antara lain;
1. Kecamatan Ciomas dan Pabuaran terletak di sebelah timur,
2. Kecamatan Cinangka, dan Anyer di Sebelah barat,
3. Kecamatan Mancak dan Gunung Sari di sebelah selatan di mana sebagian besar luas Rawa Danau terletak di kecamatan ini.
Penggunaan Atas Air
Secara turun temurun mata air Cirahab digunakan oleh warga sekitar untuk kebutuhan sehari-hari, ratusan hektar sawah mendapatkan pasokan air bagi kebutuhan tanaman padi dan tanaman lainnya, petani mendapatkan berkah dari limpahan air yang keluar dari Cirahab ini.
Warga sekitar dapat menanfaatkan keindahan alam Cirahab untuk berekreasi, satu-satunya area wisata air di Padarincang yang dapat dimaksimalkan jika tidak karena akan adanya pembangunan pabrik Danone, satu kebanggaan warga Padarincang akan hilang oleh satu kekeliruan kebijakan pemerintah yang mengizinkan PT. Tirta Investama melakukan eksploitasi air di sana.
Beberapa kampung yang berdekatan di area Cirahab yang akan menerima dampak langsung antara lain:
1. kampong Sukaraja
2. Kampung Sukamanah
3. Kampung Eksodan
4. Kampung Cibetus
5. Kampung Cilehem
Jumlah Kepala Keluarga (KK) per Desa di Kecamatan Padarincang
1. Curug Goong, 742 KK
2. Cisaat, 553 KK
3. Citasuk, 1596 KK
4. Batu Kuwung, 1526 KK
5. Padarincang, 1648 KK
6. Kalumpang, 1112 KK
7. Bugel, 1173 KK
8. Cibojong, 1048 KK
9. Keramat Laban, 987 KK
10. Kadu Beureum, 1372 KK
11. Barugbug, 473 KK
12. Ciomas, 1356 KK
13. Cipayung, 947 KK
14. Kadu Kempung, jumlah KK tidak diketahui
Sebagian besar dari seluruh warga di Padarincang ini memanfaatkan air sumur dengan kedalaman rata-tara 8-14 meter , sebagian yang lain menggunakan aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan mencuci dan mandi.
Sementara beberapa desa yang posisinya berada di atas kawasan Cirahab sering kesulitan mendapatkan air disaat musim kemarau.
Jumlah Penduduk per Kecamatan
1. Padarincang, 31.634 laki-laki dan 29.793 perempuan
2. Ciomas, 19.175 laki-laki dan 17.967 perempuan
3. Pabuaran, 19.669 laki-laki dan 18.279 perempuan
4. Cinangka, 27.768 laki-laki dan 25.536 perempuan
5. Gunungsari, 10.063 laki-laki dan 9.281 perempuan
6. Anyer, 26.435 laki-laki dan 25.233 perempuan
7. Mancak, 22.488 laki-laki dan 20.687 perempuan
KERUGIAN-KERUGIAN YANG AKAN DITIMBULKAN
1. Kerugian Sektor Ekonomi
Kecamatan padarincang adalah salah satu kecamatan yang mempunyai lahan sawah yang cukup luas, yaitu sekitar 6000 Ha, itupun data yang tercatat, dan itu adalah sawah produktif irigasi alam, belum sawah tadah hujan, tanah padi gogo dan perkebunan rakyat. Sawah-sawah dikecamatan padarincang hampir secara keseluruhan adalah mempunyai masa panen sebanyak 3 (tiga) kali dalam satu tahun, atau 4 (Empat) bulan sekali.
Secara matematis kerugian ekonomi bagi masyarakat petani kecamatan Padarincang dari kebijakan pembangunan industri air minum yang akan dilakukan oleh PT.Tirta Investama dengan merk Danone sebagai pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) terbesar di Asia dapat diukur dari seberapa besar hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari dunia pertanian di wilayah Padarincang.
Iktisar keuntungan Pertanian Kecamatan Padarincang
- Luas Sawah : 6000 Ha
- Potensi Panen/Ha : 4000 Kg / 4 ton
- Waktu Panen : 4 Bulan
- Asumsi harga gabah standar : Rp. 2000 / Kg
Maka :
6000 Ha x 4000 Kg = 24.000.000 Kg / 24.000 ton
Jadi :
24.000 x Rp. 2000 = Rp. 48 Miliar
Atau pendapatan masyarakat Kecamatan Padarincang / bulannya adalah Rp. 12 Miliar. Itupun belum termasuk Kecamatan-Kecamatan lain yang terkena imbas kekeringan akibat eksploitasi yang akan dilakukan PT. Tirta Investama yaitu Kecamatan Ciomas, Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Gunung Sari, Kecamatan Mancak, Kecamatan Cinangka, Kecamatan Anyer.
Ikhtisar Keuntungan Hasil Pertanian per Kecamatan
1. Pabuaran, luas sawah 2.500 Ha, potensi hasil 10.000 ton dengan nilai 20 M
2. Ciomas, luas sawah 1.500 Ha, potensi hasil 6.000 ton dengan nilai 12 M
3. Padarincang, luas sawah 6.000 Ha, potensi hasil 24.000 ton dengan nilai 48 M
4. Cinangka, luas sawah 2.500 Ha, potensi hasil 10.000 ton dengan nilai 20 M
5. Gunungsari, luas sawah 615 Ha, potensi hasil 2.460 ton dengan nilai 4.92 M
6. Anyer, luas sawah 2.000 Ha, potensi hasil 8.000 ton dengan nilai 16 M
7. Mancak, luas sawah 2.000 H, potensi hasil 8.000 ton dengan nilai 16 M
Jika mengukur dari retribusi yang didapat dari pabrik Danone jelas tidak sebanding ditambah dengan resiko dampak yang ditimbulkan dari proses eksploitasi air dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang.
2. Kerugian dari sisi Sosial/ Hilangnya Hak Dasar Warga Atas Air
Kerugian yang akan dialami oleh masyarakat Kecamatan Padarincang dari sisi sosial adalah akan terjadi konflik horizontal diantara masyarakat, yaitu antara masyarakat yang dapat berfikir jernih dan sehat yang berusaha memepertahankan sumber air untuk kehidupannya saat ini dan anak cucunya kelak, dengan golongan orang-orang yang mendukung berdirinya industri tersebut atas dasar kepentingan pribadi demi keuntungan sesaat semata.
Selain itu, komersialisasi atau privatisasi air akan dapat menghilangkan hak dasar warga atas air yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
3. Kerugian Sisi Budaya
Kearifan lokal yang sudah tertanam di tengah-tengah masyarakat seperti pola hidup bergotong royong, kesahajaan, kebijaksanaan dalam lingkungan masyarakat relijius akan terkikis oleh pola hidup masyarakat yang indifidualistik yang cenderung materialistik.
4. Kerugian sisi Religi
Padarincang merupakan daerah di mana terdapat banyak pesantren mememiliki akar keagamaan yang cukup kuat. Proses akulturasi budaya dalam dunia industri akan berdampak pada semakin terkikisnya nilai-nilai keagamaan suatu masyarakat yang pada akhirnya akan terkikisnya moral masyarakat digantikan dengan pola hidup yang materialistis dan hidup dalam bayang-bayang kriminalitas.
5. Infrastruktur
Hampir kebanyakan dari daerah industri adalah berdampak pada rusaknya fasilitas publik seperti jalan yang rusak akibat dari volume produksi yang cukup besar dengan daya angkut kendaraan di setiapharinya dapat menibulkan kemacetan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
6. Kerugian Lingkungan/ Kekeringan Air
Akibat dari proses eksploitasi air dengan volume yang cukup besar ditambah dengan waktu yang cukup lama akan menyebabkan ketersediaan air/ kuantitas dan kualitas air akan semakin menurun. Bahwa danone akan menggunakan sumur artesis sebagai bahan produksi jelas akan mempengaruhi air permukaan yang akan terserap ke dalam tanah, dengan demikian akan menyebabkan kekeringan yang akan merugikan masyarakat dan menciptakan ketidak seimbangan alam.
Negara, dalam hal ini Pemerintahan Daerah Kabupaten Serang seharusnya memiliki itikad baik untuk menjaga ketersediaan air di Padarincang dengan tidak menjadikan Cirahab Sebagai daerah industri air minum dalam kemasan, selain cirahab merupakan bagian dari area konservasi air yang sangat berdekatan dengan cagar alam Rawa Danau yang harus dijaga kelestariannya. Pemerintah seharusnya memiliki komitmen untuk melindungi air dari kekeringan yang sudah menjadi isu global, bukan mengikuti kehendak pasar yang hanya merugikan masyarakat dan lingkungan.
TENTANG GRAPPAD
Gerakan ini memiliki nama Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone disingkat menjadi GRAPPAD terdiri dari koalisi rakyat, gerakan mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda yang berhimpun dalam satu persepsi bahwa segala bentuk eksploitasi hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Koalisi ini memfokuskan diri pada isu kekeringan air dan kerusakan lingkungan lainnya akibat dari proses eksploitasi sebagai aktifitas industri seperti yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama dengan merk Aqua Danone.
Bahwa dalam perjalanannya, GRAPPAD telah melakukan konsolidasi dengan lembaga-lembaga nasional seperti Kontras, LBH Jakarta, Walhi, Koalisi Raktat Untuk Hak Atas Air (KRUHA) serta badan-badan lain yang memiliki jaringan nasional di Indonesia, dan memandang perlu untuk menggalang solidaritas korban berskala nasional akibat dari proses eksploitasi air yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama di beberapa daerah di Indonesia.
APA, KENAPA DAN SIAPA YANG KAMI LAWAN?
1. Orang, Badan, Lembaga, Perusahaan yang menyatakan dan memeperaktekan bahwa air adalah komoditas komersial, yang dengan seenaknya diperdagangkan demi keuntungan semata.
2. Mereka yang dengan seenaknya memasang meteran di jaringan irigasi persawahan, rumah-rumah penduduk, kolam-kolam ikan, sekolah dan rumah sakit serta sarana publik lainnya.
3. Serta semua kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan dari lembaga-lembaga yang akan mendorong terjadi kesengsaraan masyarakat akibat dari bencana yang ditimbulkannya.
TUJUAN GERAKAN
1. Mendesak pemerintah kabupaten Serang untuk mencabut surat izin dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007 tentang izin lokasi pembangunan Pabrik Danone oleh PT. Tirta Investama di kawasan Cirahab kecamatan Padarincang Kabupaten Serang.
2. Mempertahankan kawasan padarincang khususnya Cirahab dan sekitarnya sebagai area pertanian dan sebagai wilayah konservasi air.
3. Melindungi kawasan cagar alam Rawa Danau dari bahaya kekeringan.
4. Mencegah terjadinya proses komersialisasi dan atau privatisasi air yang hanya akan menghilangkan hak dasar warga atas air.
Masyarakat Padarincang yang menyadari masa depan ketersediaan air menyatakan kesefahaman bersama bahwa komersialisasi air akan memunculkan resiko dampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar; setidaknya akan menghilangkan hak dasar warga atas air serta pengurangan kapasitas dan kualitas air di wilayah Padarincang.
Pada pertengahan Juni 2010 warga Padarincang menggelar forum terbuka yang melahirkan kesepakatan mengenai bahaya krisis yang paling penting di Padarincang, Forum ini digelar sebagai bentuk respon dari akan dilanjutkannya rencana pembangunan pabrik Danone yang pada tahun 2008 sempat dihentikan oleh karena ada penolakan dari warga.
Forum yang dihadiri beberapa aktivis, tokoh pemuda, ulama dan perwakilan tokoh masyarakat dari berbagai sektor tersebut telah mengadakan perundingan mengenai sikap apa yang perlu ditempuh terhadap kehadiran industri air minum dalam kemasan di Padarincang, dan diskusi tentang dampak komersialisasi dan privatisasi air telah menyuntikan kembali gagasan penolakan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten Serang yang telah mengizinkan PT. Tirta Investama untuk beroperasi di Padarincang.
Sejak tahun 2008 warga dengan tegas menolak kehadiran korporasi sektor air, PT. Tirta Investama telah dipandang sebagai salah satu perusahaan yang menyumbang terjadinya bencana kekeringan air, catatan di Sukabumi dan Klaten merupakan referensi empirik bagi warga Padrincang untuk terus menggalang solidaritas dan dukungan dalam upaya mencabut Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007 tertanggal 8 Februari 2007.
Secara kronologis Surat izin ini memiliki kecacatan dari sisi proses, pertama, tidak adanya proses sosialiasi untuk mendapatkan legitimasi public terkait dukungan warga atas rencana pembangunan tersebut, kedua, tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku bahwa seharusnya surat izin itu terbit setelah ANDAL selesai di buat. Pemaksaan kehendak ini pada akhirnya memunculkan gerakan penolakan jilid pertama dengan memunculkan nama Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan. Aliansi yang terdiri dari organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, LSM, serta himpunan para alim ulama, tokoh masyarakat dan aktivis yang didukung oleh berbagai lembaga seperti Kontras, LBH Jakarta, Walhi serta mendapatkan perhatian dari Komnas HAM ini telah dapat menghentikan sementara rencana pembangunan yang sudah mulai beroprasi di kawasan Cirahab Padarincang. Bupati Serang, H. Ahmad Taufik Nuriman bersedia menghentikan dan berjanji akan mencabut surat izin yang telah diberikan kepada PT. Tirta Investama tersebut disusul dengan pernyataan pihak perusahaan bahwa mereka akan bersedia menghentikan pembangunan dan mencari tempat lain jika warga Padarincang tetap melakukan penolakan.
Penolakan tentu saja bukan tanpa alasan, tetapi tetap memunculkan polemik bahwa jika Danone tidak bisa diterima di kabupaten Serang, hal itu memungkinkan akan adanya penolakan terhadap korporasi lain yang ingin mengembangkan bisnisnya di Kabupaten Serang, masalah ini memunculkan asumsi bahwa iklim investasi di kabupaten Serang tidak kondusif.
Penolakan terhadap komersialisasi air di kawasan Cirahab Padarincang tentu saja telah memunculkan gejolak dalam dunia investasi, Danone selaku korporasi multi nasional yang memiliki jangkauan pasar yang luas di seluruh dunia telah menjadi catatan, memungkinkan bagi para investor lain berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di kabupaten Serang, asumsi semacam ini tentu saja akan direproduksi oleh para pengusaha untuk membentuk kehati-hatian dalam membuka bisnis baru dalam berbagai sector, dan pemerintah seakan ingin cuci tangan dari segala polemik yang berbau ketidak sehatan iklim investasi di daerah.
Warga yang melakukan penolakan disudutkan pada situasi yang tidak mengenakan, mereka dipandang sebagai masyarakat tertutup dan irasional, tidak memiliki visi pembangunan dan cenderung anti kompromi, terbelakang, dan sulit diajak maju. Sementara kegagalan pemerintah dalam kontek kebijakan seperti sepi dari kritik, selalu benar dan harus mendapatkan dukungan berbagai pihak, sementara terdapat fakta yang tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa:
1. Pemerintah daerah tidak mampu mengelola sumber daya alam dengan baik.
2. Terjadi inefesiensi dalam agenda pembangunan dan cenderung menempuh langkah praktis.
3. Tidak memiliki political will terhadap isu perubahan iklim dan bahaya bencana kekeringan air di bumi dalam decade terakhir.
4. Tidak pernah ada keterlibatan warga dalam proses mengambil atau mempengaruhi proses menentukan kebijakan.
5. Terdapat birokrasi yang tidak sehat yang memungkinkan terjadinya banyak penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan.
6. Tidak sesuai prosedur yang berlaku, sehingga menciptakan iklim investasi tidak kondusif.
7. Terdapat kekuatan diluar birokrasi pemerintah yang turut mengendalikan lancar atau tidaknya investasi di Banten.
Penolakan warga terhadap kehadiran PT. Tirta Investama yang akan mengeksploitasi air di kawasan Cirahab Padarincang karena minimnya keterlibatan warga dalam proses mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah tidak bisa disalahkan, Pemerintah seharusnya sejak awal melakukan sosialisasi dengan baik dan transparan .
Bahkan ada sebagian warga yang merasa telah dibodohi pada tahap pembebasan lahan, mereka mendapatkan informasi jika lahan itu diperuntukan bagi dunia pendidikan hingga memunculkan antusiasme untuk membatu rencana tersebut, dalam perjalannya masyarakat dikagetkan oleh hadirnya alat berat di kawasan tersebut, pengeboran yang dilakukan pada akhirnya memunculkan reaksi dari warga.
Upaya penolakan warga berbuah hasil saat Bupati Serang menghentikan sementara proses pembangunan pabrik dan berjanji akan mencabut surat izin pembangunan, tetapi dipandang lemah karena tidak dilakukan pengawalan secara ketat atas rencana pencabutan tersebut.
Gerakan Penolakan Jilid 2
Pertengahan tahun 2010 warga Padarincang kembali bergejolak setelah mendapatkan kabar bahwa Bupati akan meneruskan rencana pembangunan pabrik Danone di Cirahab. Reaksi kembali muncul dan mempertanyakan komitmen bupati atas pernyataan awal yang siap mencabut surat izin pembangunan yang telah diberikan kepada PT. Tirta Investama.
Spanduk, baliho dan media lain digunakan untuk menunjukan sikap penolakan sebagai mana sebelumnya pernah dilakukan, musyawarah akbar digelar untuk membangun kembali persepsi bersama tentang konsistensi penolakan tetapi tidak dengan menggunakan strutur keorganisasian yang jelas, warga cenderung melebur dan terkesan tidak memunculkan coordinator sebagaimana gerakan jilid pertama.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pencomotan nama-nama tertentu untuk melemahkan gerakan. Gerakan jilid kedua justeru tidak tertata sebagai mana gerakan jilid pertama yang memiliki komando dan struktur yang jelas, hingga ada yang memandang jika gerakan jilid kedua ini terkesan sporadis dan tidak memiliki akar dukungan yang jelas.
Apapun asumsi yang muncul, faktanya gerakan penolakan masih ada dan cukup menjadi perhatian pemerintah untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan dalam kontek pembangunan pabrik Danone.
Pro dan Kontra
Secara garis besar, saat ini terdapat dua kubu yang bertentangan dalam merespon rencana pembanunan Pabrik Aqua di Padarincang dengan sejumlah alasan-alasan yang menyertainya.
Pertama, masyarakat yang mendukung rencana pembangunan memiliki alasan bahwa segala kebijakan pemerintah dalam bentuk apapun perlu didukung dengan segala konsekwensi yang menyertainya, industrialisasi memang memiliki dampak negatif dan positif tetapi saat ini ada yang dibutuhkan masyarakat dari dunia industry meski ada pula yang harus dikorbankan, para pendukung ini memiliki alasan:
1. Dapat membuka lapangan pekerjaan.
2. Memberi peluang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3. Memberi konstribusi terhadap pengembangan pembangunan khususnya di kecamatan Padarincang.
Kelompok ini memiliki pandangan praktis dan cenderung bermuara pada bagaimana mendapatkan keuntungan finansial, terkait persoalan kekeringan dan hilangnya hak warga atas air tidak begitu dipersoalkan. Secara politik kelompok ini mendapatkan dukungan dari pihak legislatif khususnya dari salah satu anggota dewan dari Komisi IV bahkan anggota dewan ini terlibat dalam melakukan penggalangan dukungan, mengkleim mendapatkan restu dari alim ulama yang terhimpun dalam kelompok pengajian Tambihul Umah, sebagai catatan, penggerak pengajian ini memiliki relasi yang dekat dengan kekuasaan, sebelumnya terlibat dalam gerakan penolakan dan salah satu pengusaha (Hariri) yang memiliki kepentingan langsung terhadap rencana pembangunan pabrik Danone memiliki hubungan saudara dengan anggota dewan dari komisi 4 (Damimi) ini.
Para kepala Desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok ini, sebelumnya mereka pun termasuk dari kolompok yang melakukan penolakan, seiring perjalanan waktu dan bahkan ada dugaan bahwa penolakan yang berubah menjadi dukungan ini lebih sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar dihadapan PT. Tirta Investama.
Keterbukaan investasi menjadi alasan lain yang menguatan upaya dukungan terhadap rencana eksploitasi air ini, jika Danone gagal beroperasi di Padarincang asumsinya adalah tidak akan ada investor lain yang berkeinginan untuk menanamkan investasinya karena terdapat iklim investasi yang tidak kondusif di kabupaten serang kuhusunya di kecamatan Padarincang dan sekitarnya.
Kedua, masyarakat yang menolak memiliki alasan jangka panjang dengan beberapa pertimbangan bahwa tidak setiap kebijakan pemerintah harus selalu didukung mengingat kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan dan penyalah gunaan wewenang serta tidak berpihak terhadap kepentingan warga, kelompok ini cenderung beranggapan bahwa kebijakan pemerintah perlu dikawal dan dikotrol untuk menghindari dampak buruk akbibat dari kegagalan kebijakan, beberapa alasan dan tujuan penolakan ini antara lain:
1. Mempertahankan hak dasar warga atas air.
2. Melindungi sumber air dari ancaman kekeringan.
3. Menjaga ketentraman dan kenyamanan Padarincang sebagai daerah pertanian.
4. Menghindari terjadinya kerusakan yang lain sebagai efek domino dari aktifitas idustri.
5. Menjaga ketersediaan air Rawa Danau sebagai cagar alam yang harus dipertahankan.
Pandangan yang dikemukakan lebih berdasar pada bagai mana menjaga kelestarian alam sekitar, bahwa ada unsur hak dasar warga yang tidak boleh diabaikan Negara atas air, komersialisasi air dipandang hanya akan menghilangkan hak dasar ini, selebihnya ada alasan yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiyah bahwa keyakinan agama tetang perlindungan atas air begitu kuat, hal ini dianut oleh para orang tua dan alim ulama yang mengkategorikan perlawanan ini sebagai bentuk jihad mempertahankan ketersediaan air di tanah Padarincang.
Informasi dasar investasi PT. Tirta Investama
- Luas lahan: 12 hektar. Keterangan: Status sudah dibebaskan, rencana kedepan PT. Tirta Investama akan melakukan pembebasan lahan lain di sekitar area dengan proyeksi pabrik terbesar se-Asia.
- RT/RW lahan: Tegalan sawah dan pepohonan tahunan. Keterangan: Padahal 12 hektar lahan adalah lahan sawah produktif.
- Rencana Investasi: Rp. 298.241.000.000,00.
- Izin pengeboran: 150m. Keterangan: Sulit untuk mengontrol tingkat kedalaman pipa penyedot, bias saja piha perusahaan menambah tingkat kedalaman saat ketersediaan air bawah tanah mulai menurun.
- Rencana penggunaan tenaga kerja: 174 orang. Keterangan: Terdapat penyimpangan informasi di level publik, warga mendapatkan informasi bahwa tenaga yang akan tertampung di pabrik Danone berkisar pada 2.000 tenaga kerja.
- Volume penyedotan air rencana tahap awal: 63 liter perdetik. Keterangan: Sulit untuk melakukan control terhadap aktifitas produksi, bias saja piha perusahaan menambah volume daya sedot untuk meningkatkan kuantitas produksi.
Rencana Produksi per-tahun
- Air minum dalam kemasan, 15540 liter dengan kapasitas 550.000.000
- Minuman ringan, 15541 liter dengan kapasitas 72.000.000
CIRAHAB DAN PROFIL WARGA PADARINCANG
Cirahab diapit dari dua area penting; Rawa Danau dan Gunung Karang yang memiliki potensi aktif.
Rawa Danau
Rawa Danau terletak di sebelah utara Cirahab, di apit diantara Kecamatan Padarincang, Gunungsari, dan Mancak di kabupaten Serang, Rawadano kaya akan ekosistem seperti binatang reptil, ular, buaya dan 250 jenis burung yang bermukim diluas areal 2.500 ha yang merupakan rawa dan danau. Rawadano memiliki potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, selain memiliki keindahan panorama yang eksotic, akses transportasi yang baik dapat ditempuh dari segala arah, ditopang oleh pariwisita Pantai Anyer dan Ibu kota, dan potensi lain yang dimiliki ialah kandungan karbon, Rawadano merupakan area konservasi alam yang telah mendapatkan perhatian dunia untuk dipertahankan eksistensinya, memiliki fungsi penting bagi keseimbangan alam dan berstatus sebagai empedu bumi yang harus dijaga kelestariannya.
Rawa Danau mendapatkan pasokan air dari beberapa sungai di Padarincang, seperti sungai Kalumpang, Sungai Cibojong, sungai Cilehem dan termasuk dari Cirahab. Cirahab termasuk pemasok air terbesar bagi ketersediaan air di Rawa Danau. Tetapi dalam beberapa catatan survey menunjukan saat ini telah terjadi penurunan volume air di luar aktivitas produksi industri. Sungai Cibojong telah mengalami pendangkalan yang cukup signifikan karena aktifitas penebangan liar di daerah hulu, hal serupa terjadi pada sungai Cilehem, menyusul Cikalumpang yang mulai tampak indikasi penurunan pertahunnya.
Limpahan air dari Rawa Danau ini dimanfaatkan oleh PT. Krakatau Tirta Investama untuk kebutuhan industri termasuk bagi kebutuhan harian masyarakat di kota Cilegon. Rawa Danau tidak sekedar cagar alam rawa, namun memiliki hidden potensi sebagai industri karbon. Rawa Danau merupakan rawa dan danau yang gambut memiliki kandungan unsur karbon (C). Menurut berbagai studi, kandungan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 Gt atau 35% dari total karbon dunia. Sedangkan gambut di Indonesia memiliki cadangan karbon sebesar 46 GT (catatan 19 GT sama dengan 10 ton) atau 8 14% dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia.
Adanya perusahaan pabrik aqua di Padarincang akan mengganggu ekosistem Rawa Danau, menyusutnya air, kerusakan hutan, terancamnya kehidupan mahluk didalamnya dan kelestarian rawadanao itu sendiri.
Gunung Karang
Gunung Karang terletak di Sebelah Selatan kecamatan Ciomas dan Padarincang yang relatif dekat dengan Cirahab. Terdapat beberapa sumber air panas di Padarincang yang berasal dari Gunung Karang ini. Aliran Sumber air panas ini secara geografis relatif dekat dengan Cirahab sebagai lahan yang akan dijadikan area eksploitasi air oleh PT. Tirta Investama.
Banyak warga menghawatirkan jika eksploitasi air bawah tanah ini dilakukan di Cirahab dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang akan terjadi penurunan kuantitas air dingin yang memungkinkan akan ada dominasi air panas di wilayah Padarincang.
Cirahab terletah di desa Curug Goong Kecamatan Padarincang, 10 kilo meter dari arah Palima menuju Anyer, dan terdapat beberapa kecamatan yang memungkinkan terkena dampak eksploitasi air di area ini, antara lain;
1. Kecamatan Ciomas dan Pabuaran terletak di sebelah timur,
2. Kecamatan Cinangka, dan Anyer di Sebelah barat,
3. Kecamatan Mancak dan Gunung Sari di sebelah selatan di mana sebagian besar luas Rawa Danau terletak di kecamatan ini.
Penggunaan Atas Air
Secara turun temurun mata air Cirahab digunakan oleh warga sekitar untuk kebutuhan sehari-hari, ratusan hektar sawah mendapatkan pasokan air bagi kebutuhan tanaman padi dan tanaman lainnya, petani mendapatkan berkah dari limpahan air yang keluar dari Cirahab ini.
Warga sekitar dapat menanfaatkan keindahan alam Cirahab untuk berekreasi, satu-satunya area wisata air di Padarincang yang dapat dimaksimalkan jika tidak karena akan adanya pembangunan pabrik Danone, satu kebanggaan warga Padarincang akan hilang oleh satu kekeliruan kebijakan pemerintah yang mengizinkan PT. Tirta Investama melakukan eksploitasi air di sana.
Beberapa kampung yang berdekatan di area Cirahab yang akan menerima dampak langsung antara lain:
1. kampong Sukaraja
2. Kampung Sukamanah
3. Kampung Eksodan
4. Kampung Cibetus
5. Kampung Cilehem
Jumlah Kepala Keluarga (KK) per Desa di Kecamatan Padarincang
1. Curug Goong, 742 KK
2. Cisaat, 553 KK
3. Citasuk, 1596 KK
4. Batu Kuwung, 1526 KK
5. Padarincang, 1648 KK
6. Kalumpang, 1112 KK
7. Bugel, 1173 KK
8. Cibojong, 1048 KK
9. Keramat Laban, 987 KK
10. Kadu Beureum, 1372 KK
11. Barugbug, 473 KK
12. Ciomas, 1356 KK
13. Cipayung, 947 KK
14. Kadu Kempung, jumlah KK tidak diketahui
Sebagian besar dari seluruh warga di Padarincang ini memanfaatkan air sumur dengan kedalaman rata-tara 8-14 meter , sebagian yang lain menggunakan aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan mencuci dan mandi.
Sementara beberapa desa yang posisinya berada di atas kawasan Cirahab sering kesulitan mendapatkan air disaat musim kemarau.
Jumlah Penduduk per Kecamatan
1. Padarincang, 31.634 laki-laki dan 29.793 perempuan
2. Ciomas, 19.175 laki-laki dan 17.967 perempuan
3. Pabuaran, 19.669 laki-laki dan 18.279 perempuan
4. Cinangka, 27.768 laki-laki dan 25.536 perempuan
5. Gunungsari, 10.063 laki-laki dan 9.281 perempuan
6. Anyer, 26.435 laki-laki dan 25.233 perempuan
7. Mancak, 22.488 laki-laki dan 20.687 perempuan
KERUGIAN-KERUGIAN YANG AKAN DITIMBULKAN
1. Kerugian Sektor Ekonomi
Kecamatan padarincang adalah salah satu kecamatan yang mempunyai lahan sawah yang cukup luas, yaitu sekitar 6000 Ha, itupun data yang tercatat, dan itu adalah sawah produktif irigasi alam, belum sawah tadah hujan, tanah padi gogo dan perkebunan rakyat. Sawah-sawah dikecamatan padarincang hampir secara keseluruhan adalah mempunyai masa panen sebanyak 3 (tiga) kali dalam satu tahun, atau 4 (Empat) bulan sekali.
Secara matematis kerugian ekonomi bagi masyarakat petani kecamatan Padarincang dari kebijakan pembangunan industri air minum yang akan dilakukan oleh PT.Tirta Investama dengan merk Danone sebagai pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) terbesar di Asia dapat diukur dari seberapa besar hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari dunia pertanian di wilayah Padarincang.
Iktisar keuntungan Pertanian Kecamatan Padarincang
- Luas Sawah : 6000 Ha
- Potensi Panen/Ha : 4000 Kg / 4 ton
- Waktu Panen : 4 Bulan
- Asumsi harga gabah standar : Rp. 2000 / Kg
Maka :
6000 Ha x 4000 Kg = 24.000.000 Kg / 24.000 ton
Jadi :
24.000 x Rp. 2000 = Rp. 48 Miliar
Atau pendapatan masyarakat Kecamatan Padarincang / bulannya adalah Rp. 12 Miliar. Itupun belum termasuk Kecamatan-Kecamatan lain yang terkena imbas kekeringan akibat eksploitasi yang akan dilakukan PT. Tirta Investama yaitu Kecamatan Ciomas, Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Gunung Sari, Kecamatan Mancak, Kecamatan Cinangka, Kecamatan Anyer.
Ikhtisar Keuntungan Hasil Pertanian per Kecamatan
1. Pabuaran, luas sawah 2.500 Ha, potensi hasil 10.000 ton dengan nilai 20 M
2. Ciomas, luas sawah 1.500 Ha, potensi hasil 6.000 ton dengan nilai 12 M
3. Padarincang, luas sawah 6.000 Ha, potensi hasil 24.000 ton dengan nilai 48 M
4. Cinangka, luas sawah 2.500 Ha, potensi hasil 10.000 ton dengan nilai 20 M
5. Gunungsari, luas sawah 615 Ha, potensi hasil 2.460 ton dengan nilai 4.92 M
6. Anyer, luas sawah 2.000 Ha, potensi hasil 8.000 ton dengan nilai 16 M
7. Mancak, luas sawah 2.000 H, potensi hasil 8.000 ton dengan nilai 16 M
Jika mengukur dari retribusi yang didapat dari pabrik Danone jelas tidak sebanding ditambah dengan resiko dampak yang ditimbulkan dari proses eksploitasi air dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang.
2. Kerugian dari sisi Sosial/ Hilangnya Hak Dasar Warga Atas Air
Kerugian yang akan dialami oleh masyarakat Kecamatan Padarincang dari sisi sosial adalah akan terjadi konflik horizontal diantara masyarakat, yaitu antara masyarakat yang dapat berfikir jernih dan sehat yang berusaha memepertahankan sumber air untuk kehidupannya saat ini dan anak cucunya kelak, dengan golongan orang-orang yang mendukung berdirinya industri tersebut atas dasar kepentingan pribadi demi keuntungan sesaat semata.
Selain itu, komersialisasi atau privatisasi air akan dapat menghilangkan hak dasar warga atas air yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
3. Kerugian Sisi Budaya
Kearifan lokal yang sudah tertanam di tengah-tengah masyarakat seperti pola hidup bergotong royong, kesahajaan, kebijaksanaan dalam lingkungan masyarakat relijius akan terkikis oleh pola hidup masyarakat yang indifidualistik yang cenderung materialistik.
4. Kerugian sisi Religi
Padarincang merupakan daerah di mana terdapat banyak pesantren mememiliki akar keagamaan yang cukup kuat. Proses akulturasi budaya dalam dunia industri akan berdampak pada semakin terkikisnya nilai-nilai keagamaan suatu masyarakat yang pada akhirnya akan terkikisnya moral masyarakat digantikan dengan pola hidup yang materialistis dan hidup dalam bayang-bayang kriminalitas.
5. Infrastruktur
Hampir kebanyakan dari daerah industri adalah berdampak pada rusaknya fasilitas publik seperti jalan yang rusak akibat dari volume produksi yang cukup besar dengan daya angkut kendaraan di setiapharinya dapat menibulkan kemacetan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
6. Kerugian Lingkungan/ Kekeringan Air
Akibat dari proses eksploitasi air dengan volume yang cukup besar ditambah dengan waktu yang cukup lama akan menyebabkan ketersediaan air/ kuantitas dan kualitas air akan semakin menurun. Bahwa danone akan menggunakan sumur artesis sebagai bahan produksi jelas akan mempengaruhi air permukaan yang akan terserap ke dalam tanah, dengan demikian akan menyebabkan kekeringan yang akan merugikan masyarakat dan menciptakan ketidak seimbangan alam.
Negara, dalam hal ini Pemerintahan Daerah Kabupaten Serang seharusnya memiliki itikad baik untuk menjaga ketersediaan air di Padarincang dengan tidak menjadikan Cirahab Sebagai daerah industri air minum dalam kemasan, selain cirahab merupakan bagian dari area konservasi air yang sangat berdekatan dengan cagar alam Rawa Danau yang harus dijaga kelestariannya. Pemerintah seharusnya memiliki komitmen untuk melindungi air dari kekeringan yang sudah menjadi isu global, bukan mengikuti kehendak pasar yang hanya merugikan masyarakat dan lingkungan.
TENTANG GRAPPAD
Gerakan ini memiliki nama Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone disingkat menjadi GRAPPAD terdiri dari koalisi rakyat, gerakan mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda yang berhimpun dalam satu persepsi bahwa segala bentuk eksploitasi hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Koalisi ini memfokuskan diri pada isu kekeringan air dan kerusakan lingkungan lainnya akibat dari proses eksploitasi sebagai aktifitas industri seperti yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama dengan merk Aqua Danone.
Bahwa dalam perjalanannya, GRAPPAD telah melakukan konsolidasi dengan lembaga-lembaga nasional seperti Kontras, LBH Jakarta, Walhi, Koalisi Raktat Untuk Hak Atas Air (KRUHA) serta badan-badan lain yang memiliki jaringan nasional di Indonesia, dan memandang perlu untuk menggalang solidaritas korban berskala nasional akibat dari proses eksploitasi air yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama di beberapa daerah di Indonesia.
APA, KENAPA DAN SIAPA YANG KAMI LAWAN?
1. Orang, Badan, Lembaga, Perusahaan yang menyatakan dan memeperaktekan bahwa air adalah komoditas komersial, yang dengan seenaknya diperdagangkan demi keuntungan semata.
2. Mereka yang dengan seenaknya memasang meteran di jaringan irigasi persawahan, rumah-rumah penduduk, kolam-kolam ikan, sekolah dan rumah sakit serta sarana publik lainnya.
3. Serta semua kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan dari lembaga-lembaga yang akan mendorong terjadi kesengsaraan masyarakat akibat dari bencana yang ditimbulkannya.
TUJUAN GERAKAN
1. Mendesak pemerintah kabupaten Serang untuk mencabut surat izin dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007 tentang izin lokasi pembangunan Pabrik Danone oleh PT. Tirta Investama di kawasan Cirahab kecamatan Padarincang Kabupaten Serang.
2. Mempertahankan kawasan padarincang khususnya Cirahab dan sekitarnya sebagai area pertanian dan sebagai wilayah konservasi air.
3. Melindungi kawasan cagar alam Rawa Danau dari bahaya kekeringan.
4. Mencegah terjadinya proses komersialisasi dan atau privatisasi air yang hanya akan menghilangkan hak dasar warga atas air.