Minggu, 20 Maret 2011

MASYARAKAT SENDIRILAH YANG MENJADI PEMIMPIN

Perbincangan dengan warga Padarincang yang melawan Aqua-Danone

PT. Aqua Golden Mississippi didirikan pada tahun 1973 oleh Tirto Utomo di mana pabrik pertamanya terletak di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat. Pabriknya sendiri bernama Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun. Awalnya Aqua bernama Puritas, namun berganti nama atas saran Eulindra Lim, konsultan Tirto Utomo. Produksi pertama Aqua diluncurkan dalam bentuk kemasan botol kaca ukuran 950 ml dengan harga jual Rp. 75, hampir dua kali lipat harga bensin yang ketika itu bernilai Rp. 46 untuk 1.000 ml.[1]

4 September 1998 PT. Aqua Golden Mississipi menjual sahamnya kepada Danone, sebuah korporasi multinasional yang bergerak dalam produk-produk makanan instan yang bermarkas di Prancis. Hal ini dilakukan agar Aqua mampu menghadapi ketatnya persaingan di bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Dua tahun kemudian, Aqua meluncurkan produk berlabel Danone-Aqua.

Dengan saham mayoritas sebesar 74% yang dikuasai Danone, Aqua semakin percaya diri untuk terus mengekspansi berbagai kawasan dengan sumber mata air alami yang baik. Tentu saja tujuan utamanya adalah profit untuk mengakumulasikan modalnya. Dengan restu dari H. Ahmad Taufik selaku Bupati Serang yang menerbitkan Surat Izin Bupati dengan nomor 593/Kep.50-Huk/2007, Aqua-Danone—lewat PT. Tirta Investama—mencoba untuk mengeksplotasi kawasan Cirahab. Kawasan yang masuk dalam Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, ini kaya akan sumber mata air alami yang menjadi incaran berbagai korporasi yang bergerak di industri air, khususnya Air Minum Dalam Kemasan. Sekarang saja telah ada beberapa perusahaan yang mengeksploitasi wilayah tersebut.

Bagi warga Padarincang, yang terdiri atas 14 desa, PT. Tirta Investama adalah penyakit penyumbang bencana kekeringan air yang melanda beberapa wilayah. Catatan warga di Sukabumi dan Klaten merupakan referensi empirik bagi warga Padarincang untuk terus menolak pembangunan pabrik Aqua-Danone tersebut.[2]

Sejak maraknya penolakan warga Padarincang dari tahun 2008, Aqua-Danone sempat tidak aktif selama kurang lebih 2 tahun. Baru pada tahun 2010 pembangunan pabrik Aqua-Danone mulai kembali gencar dilakukan.

Warga Padarincang pun mulai aktif kembali melakukan berbagai cara untuk menggagalkan pembangunan pabrik tersebut. Beberapa aktifitas yang pernah dilakukan warga adalah menggagas audiensi dengan pejabat pemerintahan terkait, membangun jaringan solidaritas dengan berbagai individu, forum serta organisasi, dan lain sebagainya.

5 Desember 2010 warga Padarincang unjuk kekuatan. Sekitar 4000an orang dari semua desa di Kecamatan Padarincang mendatangi lokasi pabrik dengan berjalan kaki. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menjalin harmoni dalam kebersamaan untuk menolak pembangunan pabrik Aqua-Danone. Keberadaan polisi yang selalu berpihak pada perusahaan membuat emosi warga membuncah. Alat produksi perusahaan pun menjadi sasaran. Alat bor, bangunan, dan mobil milik PT. Tirta Investama pun berubah menjadi rongsokan.

Bulan Februari 2011, melalui berbagai berita di media massa, Aqua membatalkan rencananya untuk mengeksploitasi sumber mata air di wilayah Cirahab, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten.[3] PT. Tirta Investastama memilih hengkang dari Padarincang dan mencari wilayah lain, yang desas-desusnya masih berada di Kabupaten Serang.

Terkait dengan perlawanan warga Padarincang yang inspiratif tersebut, Ovi—pemudi Padarincang yang ikut aktif melawan privatisasi air—bercerita:

Memang sejak awal aksi pada 5 Desember 2010 bertujuan untuk menutup pengeboran air oleh Aqua di Padarincang. Awalnya sih tidak bermaksud untuk merusak lokasi pilot project tersebut, namun karena warga sudah gerah dengan keberadaan Aqua di Padarincang, akhirnya kemarahan warga tak bisa dibendung lagi. Lokasi pengeboran sendiri sebenarnya sudah ditutup sejak 2008 lalu, namun warga mempertanyakan kenapa malah dibuka kembali.

Aksi yang dilakukan warga benar-benar spontan, karena tidak direncanakan sebelumnya. Hasilnya, bangunan-bangunan yang berada di lokasi pengeboran rata dengan tanah dan beberapa polisi yang mengamankan pilot project ikut terluka terkena lemparan batu warga.

Apa yang warga lakukan adalah tindak lanjut dari upaya warga yang meminta audiensi kepada pemerintah. Dari bebapa kali permohonan audiensi, semuanya ditolak. Atas kejadian ini pemerintah menyalahkan masyarakat karena mengapa sampai melakukan perusakan terhadap pilot project. Tetapi masyarakat juga punya alasan, mengapa penolakan kami terhadap Aqua dan permohonan audiensi tidak pernah digubris? Salah sendiri!

Apa yang terjadi setelah aksi 5 Desember tersebut?

Setelah aksi tersebut, pemerintah bukan bersikap bijak menanggapi tuntutan kami, tetapi malah melakukan aksi penculikan terhadap warga yang terlibat aksi 5 Desember. Kenapa kami menyebutnya “penculikan”, bukan “penangkapan”? karena menurut kami, cara yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Jadi, polisi-polisi itu datang dan berjaga mengelilingi rumah warga yang dijadikan target. Polisi langsung menangkap warga tanpa penjelasan apa pun. Para polisi tersebut hanya mengatakan, “ini surat penangkapannya”, tapi tidak memberikan kesempatan bagi target untuk membaca surat tersebut. Terlebih lagi penangkapan itu dilakukan pada dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, 5 hari setelah penutupan paksa lokasi pengeboran.

Sebelum penangkapan itu terjadi, kepolisian memang pernah menelpon tokoh masyarakat setempat (Haji Dhaif). Polisi mengatakan ingin bertemu warga untuk melakukan audiensi tentang aksi penutupan lokasi pengeboran. Polisi berjanji tidak akan melakukan penangkapan terhadap warga, dan kami pun memegang janji tersebut. Namun selang beberapa hari, terjadilah aksi penangkapan 5 warga pada Jumat (10/12/2010) dini hari. Warga yang ditangkap pun merasa seperti dituduh maling di rumah sendiri. “Ini rumah kami, kenapa kami diperlakukan seperti ini?”

Apa sih GRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone) itu?

GRAPPAD adalah gerakan yang dibentuk oleh masyarakat Padarincang sendiri. Kami tidak punya pemimpin, tidak punya struktur baku, dan murni masyarakat yang bergerak—yang mempunyai pemikiran sama bahwa Padarincang harus dilindungi.

Sebagian besar yang tergabung dalam GRAPPAD adalah petani karena pertanian adalah mata pencaharian utama warga Padarincang. Warga ini berpikir tidak ada alasan untuk tidak menolak keberadaan pabrik Aqua di Padarincang. Meskipun para petani ini tinggal di desa, bukan berarti mereka bisa dibodohi begitu saja oleh janji-janji manis perusahaan. Para petani juga belajar tentang dampak keberadaan pabrik tersebut. Selama ini para petani punya pengalaman bahwa ketika musim kemarau datang, debit air akan berkurang. Dengan pengalaman tersebut, kemudian warga berpikir, tanpa adanya pengeboran saja, debit air akan berkurang, apalagi jika pengeboran itu benar-benar dilakukan. Apa yang para petani lakukan adalah murni karena pikiran dan keresahan mereka sendiri terhadap pembangunan pabrik Aqua-Danone, tanpa ada yang mengompori.

Masyarakat Padarincang juga bukan orang-orang yang buta informasi. Dari pemberitaan di berbagai media massa masyarakat tahu banyak masalah yang ditimbulkan oleh korporasi, seperti lumpur Lapindo dan sebagainya. Juga kasus-kasus kekeringan yang terjadi di beberapa daerah di Indoneisa. Berbekal informasi itulah para petani berpikir dan sadar untuk menolak Aqua.

Jika pemerintah berpikir bahwa ada aktor intelektual di belakang kami, mereka salah. Malah LSM, gerakan mahasiswa dan kelompok lain yang juga menolak Aqua, datang belakangan setelah masyarakat bergerak. Barisan pertama yang menolak pembangunan pabrik Aqua adalah petani, warga setempat dan para ulama.

Banyak juga wartawan yang bertanya, “Siapa pemimpin GRAPPAD?” Tapi yang paling sering bertanya sih polisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang meneror, “Siapa yang mendanai kalian?” Semua pertanyaan itu kami jawab, “Tidak ada!” Masyarakat sendirilah yang menjadi pemimpin dalam GRAPPAD dan kami mengelola gerakan ini secara swadaya. Dana yang kami punya pun didapat dari warga yang berjuang. Tidak ada yang mendanai kami. Kalaupun ada orang-orang yang ingin mendanai gerakan ini, silakan saja selama tidak ada kepentingan di balik pemberian dana tersebut. Namun jika ada embel-embel-nya, silakan pergi dari sini. Kami tidak butuh itu, karena kami gerakan masyarakat yang murni.

Selama terlibat di GRAPPAD bagaimana pandangan Ovi tentang struktur gerakan yang seperti ini?

Saya pribadi menilai, struktur gerakan seperti ini sangat bagus. Dengan tidak adanya pemimpin maka tidak ada struktur yang hierarkis yang membuat gerakan ini tersentral. Jika ada pimpinan, seolah ada yang menggerakkan, ada yang menginstruksikan. Dengan pola yang non-hierarkis, gerakan ini akan sulit untuk dibungkam. Lain cerita jika ada pemimpinnya. Tinggal ambil ketua/pemimpinnya, urusan selesai. Gerakan mati.

Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam GRAPPAD?

Keputusan terbesar berada di tangan masyarakat. Jika ada usul untuk melakukan kegiatan, entah dari pemuda, kelompok lain yang bersolidaritas, bahkan alim ulama yang biasanya menjadi panutan warga, tetap akan didiskusikan terlebih dahulu dalam GRAPPAD. Setiap elemen masyarakat dilibatkan, keputusan tetap dipegang masyarakat. Tidak ada tirani kepemimpinan dalam GRAPPAD. Kami tidak pernah memaksakan warga untuk ikut bergabung dengan gerakan ini, mereka sendiri yang berinisiatif untuk terlibat.

Apakah ada pembedaan status sosial dalam GRAPPAD?

Dalam GRAPPAD tidak ada pembedaan status sosial. Siapa pun orangnya, baik pengusaha, ulama, petani, mahasiswa, tetap memiliki kedudukan dan hak berpendapat yang sama dalam GRAPPAD. Meski ulama seringkali menjadi orang-orang yang sering diminta pendapatnya, mereka juga tidak mempunyai hak yang lebih besar daripada yang lain. Ulama seringkali menjadi penasehat atau penengah jika timbul perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun kembali lagi, keputusan kolektif tetap dipegang oleh masyarakat, bukan segelintir tokoh masyarakat. Walaupun ulama-ulama tersebut mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan dan memengaruhi masyarakat, mereka tidak melakukan hal itu. Setiap tindakan dan keputusan dikembalikan kepada masyarakat.

Bagaimana GRAPPAD merawat dan mengelola struktur non-hierarkisnya?

Kepercayaan tiap-tiap individu adalah kunci utama keberhasilan gerakan ini. Selain itu tidak adanya paksaan dalam GRAPPAD juga membuat organisasi ini lebih sehat. GRAPPAD adalah gerakan yang terbentuk dari kesadaran tiap-tiap individunya, yang berpikir dan merasa punya tanggung jawab untuk melindungi Padarincang.

Ini menjadi pertanyaan paling mendasar, kenapa menolak Aqua-Danone?

Ada beberapa alasan. Pertama, dalam Undang-Undang Dasar disebutkan bahwa air, tanah dan kekayaan alam tidak boleh dijadikan bisnis komersial untuk kepentingan segelintir orang. Kedua, warga khawatir ketika sumber mata air tersebut dimiliki oleh segelintir orang, maka mayoritas warga akan sulit mengaksesnya. Terlebih petani yang mata pencahariannya bergantung sepenuhnya pada air. Saya sendiri pernah coba datang ke lokasi pengeboran. Tetapi di pintu masuk saya sudah ditanya macam-macam, “datang darimana?”, “Anda siapa?”, “ada kepentingan apa?”, “sudah dapat izin dari Lurah atau belum?” Ini belum apa-apa loh. Mereka baru menancapkan plang “Tanah Ini Milik Aqua”, apalagi jika sudah berdiri pabriknya? Sebelum ada lokasi pengeboran, warga bisa bebas keluar masuk wilayah itu untuk mengambil air dari mata air tersebut. Setelah Aqua datang, warga jadi susah mengaksesnya.

Selain itu, warga juga banyak mendapat informasi mengenai proses produksi Aqua nanti, seperti jumlah air yang disedot mencapai 63 liter/detik. Bayangkan, 63 liter/detik dikalikan 24 jam, dikalikan berapa tahun? Itulah alasan mengapa warga Padarincang menolak keberadaan Aqua.

Tidak hanya mata air, tanah yang akan dijadikan lokasi pengeboran air oleh Aqua itu pun sebenarnya adalah lahan pertanian produktif seluas 12 hektar. Petani akan kehilangan mata pencahariannya jika Aqua bikin pabrik di Padarincang.

Bagaimana relasi masyarakat sebelum kedatangan Aqua-Danone?

Sebelum Aqua datang relasi masyarakat sangat baik. Sejauh apa pun mereka tinggal di Kecamatan Padarincang masih mempunyai hubungan keluarga dan terjalin dengan baik. Namun begitu Aqua datang, warga mulai terganggu dengan adu domba yang dilakukan oleh korporasi. Jangankan antar tetangga, dalam sebuah keluarga pun seringkali terjadi perpecahan antara yang pro dan kontra keberadaan Aqua. Kebanyakan orang yang pro Aqua memang sudah menjadi orang bayaran untuk mendukung keberadaan lokasi pengeboran. Bahkan pegawai pemerintahan desa juga mengaku bahwa mereka dibayar Rp 1 juta/bulan hanya untuk menunggu dan menjaga lokasi pengeboran siang atau malam.

Menurut Ovi, apakah kehadiran industri, baik Aqua ataupun yang lainnya akan mengubah relasi yang sudah terbangun sejak lama itu?

Jelas iya. Sebab keberadaan Aqua-Danone saat ini saja sudah sangat mengganggu kehidupan warga Padarincang, bahkan sebelum pabriknya berdiri. Bagaimana nanti kalau pabrik dan proses produksinya sudah mulai jalan? Sekarang saja korporasi sudah mulai membuat perpecahan dan adu domba di antara warga. Belum lagi dampak terjadinya kesenjangan dalam masyarakat, bahkan dalam lingkup keluarga.

Sebelumnya, Aqua menjanjikan akan menyerap 2000 tenaga kerja dari warga setempat. Namun setelah kami melihat dalam dokumen AMDAL, hanya 175 orang dari warga setempat yang akan dipekerjakan. Jelas kita tahu, warga seperti apa yang bisa diterima bekerja di sana kan? Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk. Belum lagi jika pabrik itu sudah beroperasi, tentunya akan ada seleksi lebih ketat yang makin merugikan warga.

Bagaimana dengan Negara, di mana posisinya?

Tentu saja negara berpihak pada industri! Bahkan hingga saat ini si Taufik (Bupati Serang) masih keukeuh mempertahankan Aqua dengan tidak mencabut SK (surat keputusan) pembangunan pabrik Aqua di Padarincang. Pemerintah tidak pernah mendengarkan kami, meski kami berkali-kali menuntut penutupan lokasi pengeboran Aqua.

Bagaimana peran perempuan dalam GRAPPAD?

Perempuan punya peran yang sama penting dengan warga pria Padarincang. Dari kebutuhan akan air itu kita bisa lihat, perempuan sangat membutuhkan air dalam kesehariannya untuk mandi, minum, mencuci dan lain sebagainya. Jadi bagaimana mungkin perempuan bisa tinggal diam jika hak mereka akan air akan diambil.

Apa saja yang dilakukan perempuan dalam gerakan ini?

Penyebaran informasi akan keberadaan lokasi pengeboran Aqua menjadi lebih efektif melalui pengajian-pengajian yang sering dilakukan oleh perempuan. Tidak ada yang mengompori mereka untuk menolak keberadaan Aqua, karena informasi pun tidak diberikan secara provokatif. Tapi perempuan, yang kebanyakan ibu-ibu tersebut juga punya kesadaran yang sama akan untuk menolak Aqua dengan alasan dan kekhawatiran yang sama. Dari forum ke forum dan pengajian ke pengajian, para perempuan menjadi lebih aktif dan berani untuk mengutarakan penolakan terhadap Aqua.

Apakah perempuan terlibat aktif dalam aksi langsung penutupan lokasi pengeboran Aqua?

Awalnya tidak banyak, mungkin hanya 10 persen dari total laki-laki yang turun pada saat itu. Tetapi saat istighosah dan pasca “penculikan”, perempuan lebih banyak lagi yang terlibat. Saya sebagai pemudi dan mahasiswa bangga dengan gerakan ini. Bahkan sebelumnya tidak percaya, masa sih tidak ada pemimpin dalam GRAPPAD? Namun kenyataannya setelah saya mulai terlibat lebih banyak, fakta itulah yang ada di lapangan: tidak ada pemimpin, tidak ada struktur baku serta tidak ada segelintir orang yang menggerakkan masyarakat. Dan berhasil mengusir Aqua!
{11/03/11/ frd&jck}


Catatan:
[1] sumber diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aqua_(air_mineral) (diakses tanggal 16 Maret 2011).
[2] sumber diambil dari kronologi perjuangan warga Padarincang versus Aqua-Danone yang ditulis sendiri oleh warga. Info: http://timkatalis.blogspot.com/2011/03/kronolog-perlawanan-warga-padarincang.html
[3] sumber diambil dari http://bantenpress.com/banten/fokus-banten/serang/2256-aqua-hengkang-dari-serang.html (diakses tanggal 16 Maret 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar