Belakangan
terjadi kesalahpahaman mendasar perihal bagaimana kaum anarkis memahami
demokrasi. Secara tegas, kaum anarkis bukanlah prodemokrasi atau sekadar
penyokong demokrasi-langsung maupun jenis demokrasi radikal lainnya. Demokrasi
sebagai suatu konsep modern mengenai pemerintahan politik, yang mendasari
konsepnya melalui “aspirasi kekuasaan politik mayoritas”, bukanlah sesuatu yang
anarkis. Dengan diiringi riuhnya ajang Pesta Demokrasi, banyak kaum radikal
terbelit gaung kaum kiri nasional untuk bepartisipasi bersama elit-elit
politik, untuk “merayakan demokrasi”, bahkan beberapa kaum anarkis menganggap
diri mereka sebagai aktivis prodemokrasi. Dalam situasi demikian, penting bagi
kami untuk menyebarkan tulisan ini sebagai suatu kritik total atas
demokrasi—dalam bentuknya yang langsung maupun yang terwakilkan.
Definisi
Demokrasi
Demokrasi
merupakan sebuah teori pemerintahan di mana hukum, dalam pengertian luasnya,
merefleksikan keinginan mayoritas yang ditentukan melalui pemilihan langsung
maupun melalui perwakilan. Secara umum, demokrasi terlegitimasi melalui
pengadopsian suatu konstitusi, yang melegalisasikan aturan-aturan mendasar,
prinsip, tugas, dan kekuasaan dari pemerintah serta aturan dan hak individual
terhadap pemerintah. Aturan yang disebut terakhir diadakan untuk melindungi
individu dari kekangan mayoritas “demokratis”, sebuah konsep yang dikembangkan
oleh republikanisme selama digulingkannya monarkisme.
Alienasi
Cukup
penting untuk mengangkat masalah alienasi bila hendak mengkritik demokrasi.
Pertama-tama, mari pahami kritik umum anarkis terhadap alienasi. Kaum anarkis
membedakan kritiknya mengenai persoalan alienasi dengan cara menekankan pada
suatu hubungan yang tidak terpisahkan dari pikiran dan tindakan, antara gairah
dan pemenuhan bebas. Kalangan anarkis menolak setiap proses kemasyarakatan yang
memisahkan keterkaitan-keterkaitan tersebut, seperti konsep kepemilikan
pribadi, perdagangan, divisi kerja, dan demokrasi.
Gairah
dan hasrat hanya dapat terpenuhkan ketika keduanya menjadi kekuatan yang nyata
di dalam hidup. Dalam kondisi alienasi, bagaimanapun, kedua hal tersebut
terkekang oleh kondisi bahwa eksistensi hidup seseorang tidak berada di dalam
kontrol dirinya sendiri. Jika demikian, maka impian hanyalah diperuntukkan bagi
para pemimpi, lantaran hasrat seseorang tidak berada dalam situasi yang
memungkinkan orang tersebut untuk melakukan tindakan. Dalam kondisi ini, ketika
seseorang kehilangan koneksi antara gairah dan hasrat yang menggerakannya,
cukup tidak mungkin untuk melakukan tindakan mengambilalih kontrol hidupnya dan
orang tersebut pun terjebak dalam pasifitas. Sehingga keinginan untuk merubah
kondisi material yang menyebabkan alienasi tersebut terjebak dalam keputusasaan
dan ketidakberdayaan.
Dengan
demikian, masyarakat terbagi menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang
teralienasi, yang kapasitas untuk mengkreasikan hidup sesuai keinginan mereka
sendiri telah direnggut. Kedua, mereka yang memegang kontrol atas segala proses
alienasi, yaitu mereka yang mengambil keuntungan dari pemisahan tersebut dengan
mengakumulasi dan mengontrol energi-energi yang teralienasi untuk
mempertahankan tatanan dan peranan mereka sebagai penguasanya. Sebagian besar
individu maupun kelompok berasal dari masyarakat kategori pertama. Sementara
itu, para tuan tanah, majikan, dan politisi berada pada kategori kedua.
Jadi,
singkat kata, para anarkis menentang demokrasi. Karena eksistensi demokrasi
mempertahankan pemisahan yang hendak dihapuskan oleh kalangan anarkis.
Demokrasi hanya berguna untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan yang
teralienasi. Demokrasi membutuhkan kondisi di mana keinginan dan kekuatan
orang-orang menjadi terpisah. Hal tersebut tidak berbeda dengan pengandaian
bahwa seseorang mentransfer kedaulatan bebasnya pada aparatus negara terpilih
atau pun “mayoritas”. Hal ini terjadi lantaran dalam kondisi alienatif semacam
itu, kapasitas seseorang untuk menentukan kondisi hidupnya sendiri, dalam
relasi dan kerjasama yang bebas dengan orang-orang di sekitarnya, menjadi dikekang.
Ada
pembedaan penting di sini. Partai memiliki kepentingan politik dalam klaim
mereka untuk mewakilkan kepentingan orang banyak. Pada dasarnya orang banyak
tersebut adalah “yang lain” (the others). Ini merupakan klaim atas
kekuasaan yang teralienasi. Jika seseorang mengklaim kekuasaan untuk mewakilkan
orang banyak, maka orang yang diwakili tersebut telah terpisah dari
kebebasannya untuk bertindak. Dalam pengertian ini, kaum anarkis besikap
antipolitik. Anarkis tidak tertarik dengan klaim-klaim berbeda dari kekuasaan
yang teralienasi. Baik itu dalam bentuk kepemimpinan yang berbeda atau
perwakilan yang sekadar memutarbalikan dan merias kekuasaan yang teralienasi.
Ketika seseorang mengklaim memiliki kekuasaan atas diri orang banyak atau
menjadi pembebas orang banyak, segera kondisi alienatif tercipta. Hal seperti
ini ditolak para anarkis. Para anarkis berprinsip antipolitik karena tertarik
dengan swaorganisasi dari setiap individu. Keteguhan dari swaorganisasi ini
sama sekali bertentangan dengan demokrasi dalam berbagai macam bentuknya.
***
Dekontekstualisasi
Sebagai Suatu Bentuk Alienasi
Kritik
anarkis terhadap alienasi berkaitan dengan masalah dekontekstualisasi. Dalam
demokrasi keputusan menjadi sesuatu yang asing dari konteks yang mengangkatnya.
Demokrasi membutuhkan hukum, aturan, dan keputusan yang dibuat terpisah dari
keadaannya yang nyata. Hal tersebut mengandaikan pemaksaan individu ke dalam
perananperanan yang telah ditentukan sedemikian rupa, dan bukannya mempersilakan
mereka menentukan secara bebas dalam berbagai konteks yang sesuai bagi mereka.
Permasalahan
yang dialami berbagai masyarakat dan individu menjadi isu-isu yang kehilangan
konteksnya, karena isu-isu tersebut pun harus mengikuti aturan demokrasi. Sehingga,
pelbagai permasalahan menjadi urusan hitam-putih, benarsalah, dan bukan
dipahami melalui konteks kemunculan masalah tersebut.
Polarisasi
Demokrasi
juga menuntut pentingnya “opini-opini” tunggal. Pemilih hanya menjadi penonton
di dalam suatu proses demokrasi. Mereka telah disajikan berbagai opini untuk
dipilih. Semua proses demokrasi yang ada merupakan scenario dari pihak-pihak
yang memiliki (akses kepada) kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari slogan dan
reduksionisme yang muncul setiap kali seorang calon politisi atau orator
mereduksi ide menjadi sekadar enak didengar.
Tindak
memilih dalam demokrasi sangat menyerupai system ekonomi kapitalis. Keduanya,
demokrasi dan kapitalisme, senantiasa berjalan berdampingan. Ada produser yang
mendikte agenda, dan ada konsumen sebagai penontonnya— yang memilih opini dari
pasar ide yang telah ditentukan. Pilihan-pilihan ini pun menjadi suatu ajang
permainan kompetitif, dan pada akhirnya “pemenang” dan “yang kalah” ditetapkan.
Logika
polarisasi semacam inilah yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Masyarakat yang
terlibat sebagai penonton maupun para “pengorganisirnya” saling mendebatkan
argumen mereka perihal pemimpin atau partai yang paling prorakyat. Bahkan, jika
ditinjau melalui bagaimana seharusnya demokrasi terwakilkan berjalan,
polarisasi menciptakan logika menang/kalah. Pada akhirnya, keputusan-keputusan
lain—yang bisa saja berujung kompromi atas isu yang diperdebatkan—menjadi
sesuatu yang janggal. Atau singkatnya, dengan polarisasi pemikiran semacam ini,
cukup sulit bagi masyarakat untuk berpikir di luar dari kotak pemilihan dan
memahami isu yang sebenarnya mereka hadapi.
Mayoritas
Terlepas
dari berbagai masalah di atas, demokrasi juga memiliki kekurangan mendasar,
khususnya pada konsep “mayoritas”. Dengan senantiasa menerima “aspirasi
mayoritas”, demokrasi memperkenankan tirani mayoritas atas segala sesuatu. Ini
berarti, dalam konteks demokrasi, pemenang yang memutuskan semuanya. Kaum
minoritas, atau pihak kalah, tidak punya hak untuk membuat pengaruh atas setiap
keputusan. Jika dianalisa secara mendalam, kenyataannya menjadi berbeda.
Mayoritas yang ada bukanlah mayoritas sebenarnya dari suatu populasi, melainkan
hanya bagian dari kelompok terbesar dari banyaknya minoritas.
Dengan
menyediakan ilusi mengenai partisipasi semua orang, demokrasi memperkenankan
mayoritas untuk membenarkan tindakan mereka, tidak terkecuali tindakan tersebut
sangat menindas. Semenjak demokrasi membawa klaim bahwa semua orang dapat
berpartisipasi dalam proses politis, memberi suara pada minoritas bukanlah
sesuatu yang membahayakan. Ketika minoritas tersebut kalah suara, maka akan
membuat mayoritas yang menang lebih mempunyai legitimasi untuk bertindak
semaunya. Sama halnya ketika individu menjadi golput, setiap tindakan mereka
pun masih bisa diinterpretasi sebagai suatu persetujuan dari aspirasi
mayoritas. Karena, individu-individu telah diberi hak untuk memilih namun tidak
menggunakannya. Tak ada jalan keluar lain. Lingkaran setan!
Dengan
cara demikian logika mayoritas tidak dapat digunakan untuk menghancurkan status
quo. Dalam kata-kata Enrico Malatesta, anarkis Italia dari abad 19.
“Fakta
bahwa memiliki mayoritas pada satu sisi bukanlah tolak ukur bahwa seseorang itu
benar. Malahan, kemanusiaan selalu berkembang melalui inisiatif dan usaha individu-individu
serta minoritas, yang mana mayoritas, lumrahnya lamban, konservatif, dan patuh
pada kekuatan yang lebih tinggi dan untuk memapankan keistimewaankeistimewaan.”
Kritik
Imanen
Perlunya
kritik imanen untuk memahami betapa rentannya demokrasi terhadap demagogi,
lobi-lobi, dan korupsi. Demagogi merupakan strategi politik untuk meraih
kekuasaan dengan menggunakan retorika dan proganda agar dapat menangkap impuls
reaksioner dari suatu populasi. Hampir setiap bentuk demokrasi berakhir menggunakan
cara ini untuk mengambil kesempatan meraih persetujuan mayoritas.
Hal ini
pada akhirnya menciptakan persetujuan melalui rasa takut, harapan, amarah, dan
kebingungan publik. Lobi-lobi merupakan sesuatu yang sangat rentan di dalam demokrasi
representatif. Kelompok-kelompok ekonomi elit biasanya punya pengaruh besar di
dalam membujuk, mengancam, atau menyuap para “perwakilan politik” untuk
melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Oleh karena itu, orang dapat melihat
bagaimana menteri maupun anggota DPR adalah juga kaum pemodal. Dalam demokrasi
representatif, di mana partai yang terkuat dipahami sebagai partai yang
memiliki banyak modal, bukanlah aspirasi mayoritas yang diperhitungkan, tapi
aspirasi modal terbanyak. Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang mengherankan
bila lobi-lobi pengusaha yang segelintir itu lebih kuat daripada keluhan beberapa
ratusan juta orang dalam memengaruhi kebijakan.
Meski
telah mengetahui masalah-masalah barusan, para anarkis tidak tertarik dalam
mengajukan perbaikan atau reformasi dalam sistem demokrasi. Tidak ada jalan
perubahan dengan hanya menjadikan diri kita atau orang lain menjadi politisi prorakyat
maupun pengusaha yang lebih filantropis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
mengganti ataupun membenahi pemimpin dan sistem kepemimpinan, sama sekali tidak
hinggap dalam impian para anarkis. Bagi para anarkis, semua itu hanyalah tirani
politik manipulasi. Demokrasi hanya memberi seseorang satu pilihan melegakan,
yaitu untuk menjadi pihak yang telah menindas diri orang tersebut.
Tidak
perlu naif, korupsi takkan bisa disembuhkan dengan memenjarakan koruptor,
karena sistem politiknya sendiri adalah akar dari korupsi. Dalam kata-kata
diktator komunis, Stalin, “Mereka yang memilih tidak memutuskan apa-apa. Mereka
yang menghitung hasil pilihan memutuskan semuanya.”
Reproduksi
Demokrasi
Tanpa
disadari demokrasi telah menjadi semacam sistem politik yang dianggap paling
mulia, meski sedikit sekali penjelasan mengapa ia bisa menjadi demikian. Umat
manusia sekarang ini hidup dalam demokrasi atau di dalam negara-negara yang
dominasi secara ekonomi dan militer oleh negara-negara demokratis. Di
Indonesia, indoktrinasi mengenai demokrasi dimulai dari voting di sekolah,
upacara bendera, dan lagu-lagu kebangsaan. Itulah alasan mengapa sebagian besar
gerakan sosial untuk perubahan di Indonesia selalu menggunakan demokrasi
sebagai pembanding atas kesewenang-wenangan—contohnya, Liga Mahasiswa Nasional
untuk Demokrasi (LMND), atau Kelompok Diskusi Demokratik. Apalagi, di negara
seperti Indonesia, yang dielu-elukan adagium Bhinneka Tunggal Ikanya, terdapat
kebanggaan akan keragaman yang dapat bersatu di dalam demokrasi! Memang tidak
banyak orang mampu melihat dan menyadari kelakuan negara yang demokratis itu
ketika mengutus tentaranya untuk membantai masyarakat sipil di Aceh, Papua
Barat, dan di banyak tempat atas nama demokrasi. Bila seorang pemimpin tertangkap
basah melakukan kebijakan yang serupa, maka ia akan dicap sebagai pemimpin yang
tidak demokratis!
Ketika
demokrasi menutup pemikiran orang dan memaksa orang tersebut untuk membahasnya
dalam konteks demokrasi, semua tindakan untuk merubah lingkungannya secara
sosial dan politis harus dilakukan melalui cara-cara “demokratis”. Dengan
demikian, kelas berkuasa tak perlu susah-payah untuk mereproduksi demokrasi.
Ilusi sistem demokrasi adalah “kekuasaan mayoritas”. Hal itu membuat banyak
orang terilusi bahwa mereka memiliki kontrol atau dapat memiliki kontrol bila
saja mereka memperjuangkannya dengan benar. Kendati kekuasaan yang sebenarnya
tetap berada di tangan pemodal dan elit politik. Silakan tengok ilusi yang
ditawarkan pemilu baru-baru ini. Banyak calon legislatif yang berasal dari
“kelas bawah” mencoba berlomba-lomba menjadi bagian dari kelas elit dengan
mengatasnamakan komunitasnya.
Tidak
mengherankan jika para akademisi serta organisasi yang merasa paling “radikal”
pun berlomba-lomba membangun citra dan diskursus yang paling demokratis. Hampir
tidak ada, sekalipun sebatas wacana di atas kertas, yang mengkritik logika
mendasar dari demokrasi. Denganmenyatakannya sebagai yang a priori atau prinsip
tunggal dari kemerdekaan individu dan sosial, demokrasi senantiasa tampil
sebagai sumber yang toleran dan pro pada kebaikan publik tanpa cacat
sedikitpun.
Sementara
itu, ungkapan “kuasa mayoritas” mengimplikasikan bahwa masyarakat atau
rakyatlah yang memiliki kekuasaan, meski bukti yang ada selalu berkata
sebaliknya. Secara logis, ketika “masyarakat” bukanlah elemen yang akan
memengaruhi perubahan di dalam sistem, maka masyarakat tidak dapat mengubahnya.
Secara hipotesa, demokrasi eksis karena masyarakat percaya akan keadilan dan
kebebasan. Jika tidak demikian, maka itu bukanlah demokrasi. Oleh karena itu,
masyarakat juga mempercayai hukum dan kebijakan yang berdasarkan atas prinsip
demokrasi. Jika semua itu tidak berubah maka tidak ada orang yang akan
tertindas.
Cukup
jelas bahwa cara berpikir seperti ini tidak akan membawa kita pada suatu
masyarakat yang setara dan bebas. Apologi para penganjur demokrasi dari
berbagai jenis ketika sistem demokrasi tidak mampu mewujudkan cita-citanya,
selalu mengatakan bahwa “masyarakat terlalu apatis, tidak sadar, atau terlalu
bodoh.” Kalangan progresif ini akan berkata bahwa bila saja mereka dapat
memobilisasi dan mendidik publik, maka segala sesuatu pasti akan berbeda. Dan
pada akhirnya, kalangan progresif ini selalu berusaha berjuang untuk
mereformasi sistem agar lebih demokratis. Misalnya, seruan untuk mengganti
pemimpin, mengajak publik untuk melakukan negosiasi pada pemimpin dan
pengusaha, serta, konsekuensinya, memberikan celah pada penguasa untuk
memperbaiki citra mereka pada publik. Kelas penguasa selalu dapat bersantai
selama masyarakat menyalahkan dirinya sendiri dengan berkata bahwa kita tidak
cukup “partisipatif ” dan bukan menyerang pada kekuasaan yang membuat
masyarakat teralienasi.
Masyarakat
mereproduksi demokrasi dengan bepartisipasi pada pemilu serta pada kepatuhan
dalam kehidupan sehariharinya. Bila Anda paham bahwa demokrasi tidak akan
membiarkan diri Anda bertindak di luar parameter sempitnya dan Anda menerima
kritik akan aturan mayoritas, maka bagi para anarkis pemilu hanya berguna untuk
melestarikan dan melegitimasikan kekuataan negara. Dalam memilih, masyarakat
mungkin bisa mengubah atau meniadakan salah seorang pemimpin dan suatu
kebijakan, tapi sistemnya tetap tidak berubah. Untuk alasan itulah mengapa
pemerintah dan pemodal menyokong demokrasi, karena mereka dapat dengan mudah
merias wajah mereka di depan publik. Di Amerika Serikat, dengan digantinya
George Bush, Jr. oleh Barack Obama, wajah negara adidaya tersebut berubah
menjadi lebih demokratis, multirasial, dan lebih “baik”, meski tidak ada
perubahan yang signifikan sejak Bush turun dari panggung kepresidenan.
Ketika
masyarakat menerima pancingan pemerintah dengan berpartisipasi memilih,
masyarakat telah menyerahkan setiap potensi dirinya untuk mengambil kontrol
atas hidupnya sendiri. Pemilihan cenderung membuat orang-orang menjadi pasif,
menyandarkan semuanya pada “kebijaksanaan” mayoritas daripada melalui aksi yang
bersifat langsung. Divisi antara pimpinan dan pengikut tercipta ketika para
pemilih duduk sebagai penonton atas pemerintah mereka, dan bukannya sebagai
pelaku. Hampir setiap jenis sistem politik mengesampingkan aksi langsung, namun
demokrasi mereproduksi dirinya sendiri dengan cara yang lebih subtil. Demokrasi
pada kenyataannya merupakan sistem yang restriktif. Sementara itu di sisi lain,
demokrasi juga punya wajah di mana ia seolaholah menjagokan kebebasan. Retorika
demokrasi semacam ini membuat karakter tiraniknya lebih terselubung.
Demokrasi
Hanyalah Salah Satu Komponen Hidup Kita
Organisasi
politik formal hanya menangani beberapa aspek dari kenyataan material.
Demokrasi tidaklah sepenuhnya memengaruhi hak masyarakat untuk menentukan
nasibnya sendiri. Sebagai contoh, kebebasan masyarakat yang dirasakan di
jalanan di bawah pemerintahan demokratis tidaklah meluas ke tempat kerja.
Melakukan aksi langsung dan kampanye-kampanye akar rumput bisa saja memperbaiki
dan sedikit merubah kondisi kerja. Meski demikian, antara pekerja dan majikan,
keduanya tidak berada dalam level yang setara. Satunya majikan, yang lainnya
pekerja—pemilu tidak akan merubah divisi tersebut.
Demokrasi
hanyalah satu bagian dari pengalaman kita. Bila dikawinkan dengan sistem
ekonomi kapitalistik, maka kita akan menemui kesulitan lainnya. Di atas telah
dijelaskan bagaimana demokrasi telah memediasi tindakan-tindakan individual,
sama halnya bila para birokrat negara gagal dalam melaksanakan “iktikad baik”
mereka. Pada kenyataannya, kelas kapitalislah yang mengontrol setiap proses
demokrasi. Ironisnya, hal tersebut tetap disebut sebagai bagian dari proses
demokrasi. Inilah yang membuat rancangan-rancangan “progresif ” menjadi sulit.
Dikarenakan biasanya rancangan semacam itu justru merugikan kelas kapitalis, dan
akan memengaruhi sektor ekonomi. Hal semacam ini berulang kali terjadi di
setiap negara-negara demokratis. Dalam katakata Jacques Camatte, “Para
spesialis telah menjadi burung pemangsa, sementara para birokrat adalah
penjilat yang menyedihkan.”
Demokrasi
Langsung Bukanlah Anarki!
Sampai
di sini kami telah menunjukkan bahwa mayoritarianisme dalam berbagai bentuknya
mengindikasikan pembatasan terhadap kemerdekaan individual dan pencegahan akan
setiap tindakan langsung. Untuk itu, bila kalian mendengar bahwa kaum anarkis
menghasratkan demokrasi langsung, itu jelas merupakan sesuatu yang keliru.
Kaum
anarkis percaya akan relasi yang tidak termediasi antara individu-individu yang
bebas, absennya setiap kekuatan yang koersif maupun alienatif di dalam
masyarakat, serta hak universal untuk menentukan nasib sendiri. Cukup masuk
akal bila kaum anarkis menggunakan beberapa bentuk demokrasi langsung untuk
menyelesaikan beberapa masalah dalam konteks tertentu. Tapi demokrasi langsung
tetaplah sekadar sebuah “cara” yang digunakan. Ia bukanlah model baku atau
formal dari pengorganisiran anarkis. Demokrasi langsung juga telah
memperlihatkan bagaimana individu dapat tersubordinasi oleh hierarki kelompok.
Demokrasi, pada kenyataannya, menghalangi individu atau masyarakat untuk
melakukan tindakan langsung.
Kesimpulan
Demokrasi
yang digemakan sebagai suatu hal ideal dan final dalam kehidupan masyarakat,
seperti yang disebut oleh para pakar sebagai The End of Ideology atau The
End of History, merupakan penghalang kebebasan dan aktualisasi diri dari
masyarakat itu sendiri. Demokrasi mengalienasi masyarakat dari putusan-putusan
langsung mengenai hidupnya sendiri.
Sebagaimana
yang telah dibahas di atas mengenai bagaimana demokrasi justru menciptakan
keterasingan, mereduksi ideide ke dalam opini-opini, pengambilan keputusan yang
di luar konteks, kuasa mayoritasnya yang absurd, rentannya sistem tersebut
dengan demagogi dan korupsi, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa relasi
demokrasi dengan kebebasan sangatlah jauh. Ini bukanlah masalah bagaimana
demokrasi itu seharusnya diimplementasikan, melainkan demokrasi itu sendiri
niscaya akan selalu menjadi demikian: menghalangi kebebasan masyarakat dan
menciptakan kondisi alienasi dalam kehidupan masyarakat. []
demokrasi jika dijalankan dengan sesungguhnya sangat bermanfaat bagi masyarakat, komentar juga ya di blog saya myfamilylifestyle.blogspot.com
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus