Senin, 13 Oktober 2008

ANARKISME DAN PENJARAHAN PASCA BENCANA NEW ORLEANS (Bag. Dua)

Harapan kami hanya dapat lahir dari mereka yang tak memiliki harapan
—Grafiti di tembok kota Paris saat revolusi 1968

Kurang dari setengah mil, di New Orleans Convention Center, Sadique Jabbar menyantap sarapan pertamanya Jumat ini dengan sebungkus Cheetos yang seseorang berikan padanya sekitar pukul 11 AM. Kalian tahu bagaimana aku bisa mendapatkan makanan? Ujar Jabbar, Beberapa orang yang kabur dari penjara menjebol ke dalam beberapa gedung, mengumpulkan makanan untuk kami dan membawanya kemari.
—Koran San Fransisco Chronicle, 3 September 2005


Seperti yang pernah kami tulis dalam artikel awal kami, memang sesungguhnya selalu ada harapan yang muncul dari ketiadaan harapan. New Orleans, adalah sebuah daerah di Amerika Serikat yang dianggap paling dekaden karena angka kemiskinan yang sangat tinggi sebanding dengan angka kriminalitas dan dihuni oleh mayoritas penduduk kulit hitam. Ini juga menjadi salah satu lokasi yang dihantam badai Katrina dan dibiarkan luluh lantak tanpa bantuan sama sekali dari pemerintah. Salah satu kasus di mana pemerintah secara sistematik melakukan genosida terhadap kaum kulit hitam yang walaupun perbudakaan secara resmi telah dihapuskan, tetapi mereka tetap ditempatkan sebagai warga negara kelas dua.

Pupusnya Harapan Terakhir

Lebih banyak korban meninggal daripada tragedi WTC 11 September. Tapi bahkan tak ada liputan media besar-besaran dan perhatian publik yang layak. Juga tak ada pengibaran bendera setengah tiang tanda berkabung. Media massa resmi hanya melaporkan kasus penjarahan, perampokan dan pemerkosaan. Tak ada liputan khusus mengenai bagaimana para pengungsi kulit hitam yang ditampung di Superdome dibiarkan sendiri tanpa bantuan air bersih, makanan dan toilet yang memadai, sementara polisi bersenjata menjaga di luar Superdome untuk mencegah para pengungsi keluar dari lokasi penampungan.

Juga tak ada liputan mengenai bagaimana jembatan utama yang dapat digunakan untuk meninggalkan kota yang luluh lantak akibat bencana, dijaga ketat oleh polisi bersenjata api. Mereka ditugaskan untuk mencegah mereka yang selamat agar dapat keluar dari New Orleans. Ada sebuah password bagi para polisi yang menjaga jembatan, bila engkau miskin dan berkulit hitam, maka engkau dilarang menyeberangi sungai Mississippi dan tak diperbolehkan keluar dari New Orleans. (Get Off the Fucking Freeway: The Sinking State Loots Its Own Survivors, Larry Bradshaw dan Lorrie Beth Slonsky)

Tak ada liputan juga mengenai bagaimana Palang Merah dilarang secara resmi untuk memasuki lokasi bencana. Departemen Pertahanan Dalam Negeri negara telah meminta dan terus meminta agar Palang Merah Amerika tidak kembali lagi ke New Orleans. Kehadiran kami dianggap hanya akan mendorong orang untuk melakukan evakuasi dan mendorong bantuan lain untuk datang ke kota tersebut. (situs resmi Palang Merah Amerika)

Banyak orang muda kehilangan akal karena beberapa helikopter terus menerus terbang di atas kami dan tak mau berhenti sama sekali. Kami berdiri di tempat terbuka, melakukan sinyal SOS, kami melakukan segalanya. Hingga sampai pada satu titik, di mana anak-anak muda tersebut benar-benar frustasi sehingga mereka mulai menembakkan senapannya ke udara. Mereka tidak menembak helikopter seperti yang diberitakan oleh media. Mereka menembak dengan harapan pilot helikopter melihat mereka. Tetapi itu juga tidak membantu sama sekali. Tak ada satu pun helikopter yang membantu kami. (dari transkript interview video dengan Neville)

Hadirnya Bibit Harapan akan Dunia Baru

Di sebuah lokasi di French Quarter, dataran tinggi kota New Orleans yang tak terendam air, dua orang paramedis lokal membangun hotel sebagai rumah sakit dan pusat komunitas. Kami membentuk sebuah tempat yang diprioritaskan bagi yang sakit, manula dan bayi-bayi yang belum lama lahir. Kami saling bantu membantu agar kami semua bisa dapat tetap bertahan hidup di sini, karena bantuan yang dijanjikan oleh negara federal, pusat dan institusi lokal tak pernah termaterialkan sama sekali. Kami harus mulai belajar untuk bekerjasama tanpa membutuhkan campur tangan pemerintah. (Get Off the Fucking Freeway: The Sinking State Loots Its Own Survivors, Larry Bradshaw dan Lorrie Beth Slonsky)

Sadar dalam ketiadaan informasi dan asistensi dari luar, kelompok-kelompok baik yang kaya maupun miskin saling bergabung bersama di French Quarter, sebuah tempat di dataran tinggi New Orleans yang tidak terendam air, membentuk kelompok tribal mereka sendiri dan membagi-bagi pekerjaan yang harus dilakukan untuk dapat bersama bertahan hidup.

Beberapa turun ke sungai untuk mencuci di saat yang lainnya menjaga peralatan dan tempat tinggal mereka. Dalam sebuah bar, seorang bartender berusaha keras dan dengan hasil yang nyaris sempurna beralih peran menjadi seorang dokter.

Saat kekerasan antar mereka yang bertahan hidup dan alienasi justru semakin menjadi-jadi, di kota yang nyaris terlupakan ini, sesuatu justru lahir di tengah-tengah lingkungan penduduk yang sebelumnya adalah tempat paling dekaden di Amerika Serikat: kemanusiaan.

Membangun tempat tinggalnya di antara bangunan-bangunan yang telah ditinggalkan di daerah-daerah dataran tinggi dan diperlengkapi dengan sambungan listrik bawah tanah yang masih berfungsi, para penduduk yang ditinggalkan tanpa penyelamatan menganggap tempat-tempat tersebut sebagai tempat paling aman yang bisa didapatkan.

Bahkan tempat-tempat tersebut menjadi jauh lebih baik daripada mereka yang pergi menyelamatkan diri dan dibiarkan hidup berdesakan tanpa bantuan yang layak seperti air bersih dan listrik di tempat penampungan resmi pemerintah seperti Superdome dan Convention Center.

Para penduduk yang ditinggalkan dan diabaikan tanpa dikirimi bantuan, yang kemudian membangun sendiri komunitas dari mereka yang selamat tanpa mengharapkan lagi bantuan apa pun dari pemerintah ataupun badan bantuan resmi lainnya, adalah contoh terbaik di mana publik dapat bekerja sama tanpa instruksi atasan ataupun para spesialis dan intelektual.

Yang paling menarik adalah apa yang terjadi di sebuah bar bernama Johnny White, yang terkenal tak pernah tutup, bahkan setelah badai, tetap tak mau mengunci pintunya. Hanya saja, ada sebuah transformasi pasca bencana. Ia tak lagi menjadi sekedar bar. Di antara bir hangat, bartender menyediakan biskuit-biskuit dan air mineral bagi siapapun yang dapat membantu para pengusahanya untuk bekerja sama membangun komunitas di antara reruntuhan dan kekacauan.

Ia menjadi semacam pusat kegiatan komunitas, yang bagi beberapa lainnya ia adalah juga berfungsi sebagai rumah sakit. Semua orang saling bantu, menyediakan jasa mereka secara gratis dan sukarela. 12 orang menjalankan pusat komunitas Johnny White dengan baik dan teratur walaupun tak memiliki pemimpin. Kelompok tribal tersebut terdiri dari seorang dokter, kasir dan seorang pedagang. Mereka saling bertukar pikiran tentang pengembangan taktik bertahan hidup bersama orang-orang lainnya dalam kelompok mereka.

Saat pada akhirnya ada sebuah bus yang dikirimkan oleh lembaga bantuan internasional dan menawari kelompok tersebut untuk pergi, hanya empat orang anggota kelompok tribal tersebut yang memilih untuk pergi. Sisanya memilih untuk tetap tinggal dan terus membangun komunitasnya.

Seperti apa yang dikatakan oleh seorang anggota kelompok tersebut, Mark Rowland, “Hatiku akan sangat hancur apabila harus meninggalkan tempat yang kucintai ini. Tidak seharusnya semuanya berakhir seperti ini. Kita dapat membangun dunia baru disini, saat ini.”

Beberapa kelompok radikal di luar New Orleans merayakan penjarahan yang terjadi sebagai sebuah praksis anarkisme karena dalam pola penjarahanlah si miskin dapat merebut kembali hak hidupnya selain bahwa penjarahan berarti pula runtuhnya dunia jual-beli yang dimapankan kapitalisme. Tetapi penjarahan tanpa pembangunan komunitas, adalah sebuah hal yang setengah-setengah, ia bukanlah sebuah tindak revolusioner karena ia tak menawarkan sebuah tatanan dunia baru. Justru apa yang dilakukan oleh Larry Bradshaw dan Lorrie Beth Slonsky, dua paramedis yang membangun pusat komunitas di French Quarter, serta kelompok tribal Johnny White itulah anarkisme melebur ke dalam praksis dan meninggalkan label utopianya. Dan itulah sebuah bukti bahwa dunia baru adalah sesuatu yang mungkin. Ia telah lahir di tengah puing dan kehancuran.

Problem bagi mereka di sana sekarang adalah bagaimana mereka dapat memapankan relasi sosial baru yang mulai terbentuk di sana, sementara bagi kita di luar New Orleans adalah bagaimana kita mulai mengubah relasi sosial kita sehari-hari di manapun kita tinggal, demi dunia baru yang mulai menampakkan sinarnya di reruntuhan New Orleans. Terakhir, alangkah pantasnya apabila artikel ini ditutup dengan sebuah kutipan dari Durrutti, seorang anarkis yang hidup di era perang sipil Spanyol 1936, “Setidaknya, kami tidak pernah takut lagi pada kehancuran, semenjak kami membawa dunia baru di hati kami.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar