Segala sesuatu mempunyai harga, ukuran nilai dalam suatu kuantitas yang menentukan sifat umum equivalensi. Tak ada satu pun yang punya nilai dalam dirinya. Setiap nilai ditentukan melalui hubungannya dengan pasar—dan ini termasuk juga nilai hidup kita, dan diri kita. Hidup kita telah dipisah menjadi unit-unit waktu yang telah ditentukan dan kita diharuskan untuk menjualnya agar dapat membeli kemampuan untuk bertahan hidup. Kita membelinya dalam bentuk benda-benda yang di dalamnya juga tersimpan energi dan hidup orang lain—yang telah dicuri—untuk diubah menjadi menjadi komoditas yang dapat dijual. Inilah realita ekonomi hari ini.
Alienasi yang hebat ini memiliki basisnya pada tiga institusi masyarakat yang saling berhubungan: hak milik pribadi, perdagangan komoditas, dan kerja. Hubungan yang integral dari tiga sistem ini menciptakan sistem yang digunakan kelas penguasa untuk mendapatkan kekayaan yang sangat diperlukan, untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Di sini yang saya maksudkan adalah sistem ekonomi.
Tatanan sosial dominasi dan eksploitasi berasal dari alienasi sosial yang mendasar, asal-usulnya merupakan persoalan sedikit spekulasi yang cukup sulit, tapi sifat alaminya cukup jelas. Beragam latar belakang masyarakat dirampas kemampuannya untuk mengkreasikan hidup mereka sendiri, untuk menciptakan kondisi hidup yang mereka inginkan, agar segelintir orang yang berada di atas dapat mengakumulasikan kekuasaan dan kekayaan dan merubah keseluruhan eksistensi sosial menjadi pelayan kepentingan mereka. Agar semua ini dapat terjadi, kemampuan masyarakat untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan, aspirasi serta impian mereka, harus dirampas. Semua ini dapat terjadi dengan ditutupnya beberapa ruang dan menimbun benda-benda agar tidak dapat diakses oleh orang banyak. Namun penimbunan dan penutupan seperti ini hanya dapat berlaku ketika ada orang-orang yang menjaga hal-hal tersebut untuk diakses publik—suatu kekuatan yang menjamin agar orang-orang tak mengambil apa pun yang menjadi milik mereka tanpa izin. Dengan cara akumulasi seperti ini, cukup logis bagi kekuasaan menciptakan aparatus untuk melindunginya. Ketika sistem seperti ini telah tercipta dan berkembang, mayoritas berada dalam posisi untuk terus menggantungkan dirinya pada segelintir orang yang bertanggungjawab merampas kekayaan dan kekuasaan tersebut.
Untuk mengakses kekayaan tersebut masyarakat harus menjual porsi besar dari yang mereka hasilkan melalui bekerja. Maka, sebagian aktivitas yang mereka lakukan sekarang telah diambilalih oleh penguasa mereka sebagai jaminan mereka untuk bertahan hidup.
Ketika kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang mulai meningkat, mereka akan lebih jauh mengontrol hasil kerja dan sumberdaya sehingga, pada akhirnya, aktivitas orang-orang yang dieksploitasi ini menjadi sekadar kerja untuk menghasilkan komoditas agar dapat ditukarkan dengan gaji yang akan mereka gunakan untuk membeli kembali komoditas (yang mereka ciptakan). Memang, pengembangan penuh cara seperti ini berjalan cukup lambat dikarenakan terjadinya penolakan di setiap tempat. Masih terdapat sebagian tempat dalam dunia dan kehidupan yang belum dikuasai oleh negara dan ekonominya, tapi hampir semua eksistensi kita telah dipasangi harga, dan harganya semakin meningkat secara geometris selama sepuluh ribu tahun.
Jadi, negara dan ekonomi bangkit bersamaan sebagai aspek alienasi seperti yang dijelaskan di atas. Mereka menciptakan monster berkepala dua yang menciptakan pemiskinan hidup kita, yang mana hidup kita diubah menjadi sekadar perjuangan untuk bertahan hidup. Hal yang sama terjadi di negara-negara kaya seperti halnya di negara-negara miskin yang didominasi oleh kekuatan kapitalis yang lebih besar. Apa yang membuat hidup menjadi sekadar bertahan hidup bukanlah karena kita tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan dan keinginan kita, tapi karena kita menyerahkan energi kita pada proyek yang tidak kita pilih, pada proyek yang hanya menguntungkan orang lain yang selalu mengatur apa yang harus kita lakukan, demi mendapatkan kompensasi tak layak untuk membeli kebutuhan dan kenikmatan yang tak ada artinya—inilah yang dimaksudkan “sekadar” bertahan hidup. Tak peduli seberapa banyak yang mampu kamu beli. Hidup bukanlah sebuah akumulasi benda-benda, melainkan suatu hubungan yang kualitatif dengan dunia.
Penjualan hidup yang dipaksakan ini, perbudakan-upah ini, mereduksi hidup menjadi komoditi—sebuah eksistensi yang terpisah menjadi barang-barang yang telah diukur nilainya yang dijual dalam potongan-potongan benda. Sudah pasti bahwa, pekerja yang selama ini telah diperas untuk menjual hidupnya, akan merasa bahwa upah mereka selalu tidak cukup. Bagaimana bisa mencukupinya, ketika apa yang telah dihilangkan dan dirampas tidak sebanding dengan barang-barang atau upah per bulan (untuk membeli barang-barang tersebut), karena yang hilang adalah kualitas hidup yang takkan pernah cukup atau dapat ditutupi dengan barang-barang mati. Dalam sebuah dunia di mana hidup harus dijual agar dapat bertahan hidup, ketika segala sesuatu yang hidup—alam dan segala isinya—menjadi sekadar barang-barang yang dapat diperjualbelikan dan dieksploitasi, nilai dalam hidup menjadi angka-angka, ukuran-ukuran, dan ukuran tersebut dilabeli dengan nama-nama seperti Dollar, Rupiah, Peso, atau Yen—dalam bentuk uangnya. Tapi, tak peduli seberapa besar jumlah uang, seberapa banyak barang-barang yang dapat dibeli oleh uang, (benda mati) tak dapat memenuhi kekosongan eksistensi. Karena pada kenyataannya, penilaian seperti itu hanya dapat dilakukan dengan menenggelamkan setiap kualitas, energi, dan keajaiban hidup.
Perjuangan untuk melawan kuasa ekonomi—yang harus bersahutan dengan perjuangan melawan negara—harus dimulai dengan penolakan terhadap kuantifikasi eksistensi yang terjadi ketika kita membiarkan hidup kita dirampas dari kita. Perjuangan ini adalah perjuangan untuk menghancurkan institusi-institusi yang melindungi hak-milik pribadi, perdagangan komoditas dan kerja—bukan untuk menggantikannya dengan institusi lainnya yang berwajah lebih manis, tapi agar kita dapat merebut kembali hidup kita dan mengkreasikannya menurut cita-cita, impian, kebutuhan, dan aspirasi kita di dalam keistimewaannya yang tak dapat diukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar