Seperti biasa, jam weker mengganggu tidurmu yang nyenyak, untuk yang kesekian kalinya. Kau mengangkat tubuhmu dari hangatnya kasur menuju kamar mandi, membersihkan tubuh, menyukur bulu di wajahmu, lalu bergegas ke dapur untuk membuat sarapan dan menyeduh secangkir kopi, kalau kau memang punya waktu. Lalu kau buru-buru keluar dari pintu rumahmu, terjun ke macetnya jalan di pagi hari, sampai akhirnya kau tiba...di kantor, di mana kau akan menghabiskan waktu seharian melakukan tugas-tugas yang tak pernah kau pilih apalagi menyukainya, dan tiba-tiba kau berada di tengah-tengah kerjasama yang terpaksa dengan rekan-rekanmu kantormu. Semua itu, rutinitas keseharian yang kau jalani, ditujukan agar kau terus-menerus mereproduksi hubungan sosial seperti itu, agar meyakinkanmu untuk terus bertahan hidup dengan cara seperti itu.
Tapi itu belum seberapa. Sebagai kompensasi, kau menerima upah, sejumlah uang (setelah membayar tagihan dan uang sewa) yang kau bawa ke pusat perbelanjaan untuk membeli makanan, pakaian, dan berbagai macam produk yang membuatmu terhibur. Meskipun waktu yang kau jalani barusan dikategorikan “waktu luang” sebagai kebalikannya “waktu kerja”, waktu tersebut masih merupakan aktivitas wajib, pola aktivitas yang harus direproduksi untuk membuat tatanan sosial ini terus berjalan. Dan untuk banyak orang, momen-momen yang bebas dari setiap kewajiban untuk bertahan hidup semakin menipis.
Menurut ideologi kelas penguasanya masyarakat ini, eksistensi seperti itu merupakan konsekuensi sebuah kontrak sosial yang setara. Pekerja, katanya, menjalin kontrak dengan majikannya melalui kesepakatan upah yang mutual. Tapi, dapatkah kontrak dianggap setara dan bebas ketika ada satu pihak yang mempunyai semua kekuasaan dan pihak lainnya tidak?
Apabila kita mencermati kontrak ini lebih seksama, semakin jelas bahwa hal tersebut tidak bersifat setara dan bebas, melainkan sebuah bentuk pemerasan dan kekerasan yang paling ekstrim.
Semua itu diekspresikan secara mencolok di dalam masyarakat kapitalis, yang mana masyarakat yang telah hidup selama beberapa abad (atau, dalam beberapa kasus, milenia) menurut kapasitas mereka untuk menentukan kondisi hidup mereka sendiri, direnggut oleh buldoser, gergaji mesin, dan pertambangan yang dimiliki oleh kelas penguasa. Ini adalah proses yang telah berlangsung selama beberapa abad, sebuah proses yang melibatkan perampokan dan penjarahan sejumlah besar tanah-tanah rakyat oleh kelas penguasa. Oleh karena itu, setelah kapasitas untuk menentukan kondisinya sendiri telah dirampas, kontrak bebas antara kelas penguasa dan masyarakat tidak mungkin terjadi. Semua itu lebih layak disebut sebagai pemerasan.
Kemudian, pemerasan ini pun mempunyai syarat-syaratnya. Masyarakat, yang dieksploitasi, diharuskan untuk menjual waktu hidup mereka kepada kelas penguasa agar mereka dapat bertahan hidup. Dan inilah tragedi sebenarnya dari apa yang disebut sebagai kerja. Pranata sosial dunia kerja berada pada dua hal yang bertentangan: untuk hidup dan bertahan hidup. Pertanyaan mengenai bagaimana seseorang akan menjalani hidupnya, untuk berjuang melalui rintangan hidup, tampak alami seolah-olah impian yang kita miliki atau kehidupan yang kita jalani hanya bisa dilakukan ketika kita memiliki uang. Impian dan cita-cita kita hanya berada di sekitar benda atau jasa yang bisa kita beli dengan uang.
Meskipun demikian, kondisi seperti ini tidak hanya berlaku pada mereka yang berada di dunia kerja.
Dalam keseharian banyak sekali penggangguran yang berlomba-lomba mencari pekerjaan karena takut akan ancaman kelaparan dan kemiskinan. Hal yang sama berlaku pada mereka yang bersandar pada bantuan pemerintah. Bahkan mereka yang berusaha menghindar dari dunia kerja, selalu saja tak lepas dari aktivitas-aktivitas yang serupa dengan kerja. Dalam kata lain, aktivitas yang seharusnya menjadi penopang proyek kehidupan mengarah pada jalan buntu ketika aktivitas itu sendiri menjadi sekadar bertahan hidup.
Tapi, apa basis sebenarnya dari kekuasaan yang menopang dunia kerja ini? Yang pasti, ada hukum, pengadilan, polisi, dan kekuatan militer yang melindungi keberadaannya. Ada penjara juga ancaman kelaparan dan kemiskinan—yang merupakan fondasi nyata dan aspek dominasi yang signifikan. Namun semua elemen pemaksa dan teror keseharian ini hanya dapat terjadi ketika masyarakat mematuhi dan menerimanya. Di sinilah letak kekuatan dari dominasi—kepatuhan budak untuk menerima jaminan hidup mereka menjalani kondisi bertahan hidup yang tak bermakna yang, menurut mereka, lebih aman daripada kehidupan bebas yang tak dapat menjamin apa-apa.
Oleh karena itu, untuk mengakhiri perbudakan, untuk melangkah melampaui penjara bertahan hidup, sangatlah vital untuk melawan kepatuhan dan merampas kembali hidup kita sekarang juga. Proyek seperti ini akan menempatkan kita pada posisi konflik dengan setiap pranata sosial dunia kerja; jadi, proyek untuk merampas kembali kondisi hidup kita adalah juga suatu proyek penghancuran dunia kerja. Kerja yang saya maksudkan di sini tidak disalahpahami sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk mengkreasikan eksistensi mereka (yang idealnya istilah tersebut tak dapat dipisahkan dari “hidup”), tapi kerja dalam artian sebuah hubungan sosial yang merubah aktivitas kreasi menjadi sekadar bekerja demi kehidupan kelas penguasa, yang pada saat itu juga kerja tidak lagi menjadi aktivitas kreasi tapi berubah menjadi aktivitas untuk bertahan hidup melalui berbagai proses mediasi di mana hak milik, uang dan perdagangan komoditas tahapan metamorfosanya. Inilah dunia yang harus kita hancurkan sebagai proses untuk merampas kembali hidup kita, dan menjadikan proyek pengambil-alihan hidup bersahutan dengan proyek insureksi dan revolusi sosial.
Minggu, 14 September 2008
KERJA: Pencurian Kehidupan
MESIN PENGONTROL: Peninjauan Kritis Terhadap Teknologi
“Mengkritisi teknologi [...] berarti mempertimbangkan kerangka umumnya, bukan hanya melihatnya sebagai kumpulan mesin-mesin, namun sebagai sebuah hubungan sosial, sebuah sistem; berarti memahami bahwa suatu instrumen teknologi merefleksikan masyarakat yang memproduksinya, dan bahwa permulaannya merubah hubungan antara individu. Mengkritisi teknologi berarti menolak untuk memposisikan aktivitas manusia di bawah profit.”
-At Daggers Dawn
Perkembangan teknologi tidak dapat dilepaskan dari pranata sosial yang mereproduksi hubungan sosial. Ia adalah produk dari sebuah konteks, dan sesungguhnya merefleksikan konteks tersebut. Oleh karena itu, asumsi bahwa teknologi itu netral tidak mempunyai basis. Teknologi tidak mungkin lebih netral dari sistem-sistem lainnnya yang menjamin reproduksi pranata sosial saat ini—pemerintah, perdagangan komoditas, perkawinan, keluarga, dan hak milik pribadi. Karena itu, analisis revolusioner yang serius mesti melihat teknologi secara kritis.
Teknologi yang saya maksud di sini bukanlah sekadar alat-alat, mesin atau bahkan “kumpulan mesin-mesin” sebagai entitas tersendiri, melainkan sebuah sistem, teknik, mesin, dan masyarakat yang terintegrasi dan dirancang untuk mereproduksi hubungan sosial dan memuluskan serta memajukan eksistensinya. Agar tidak terjadi salah paham yang berkelanjutan, yang saya maksudkan bukanlah teknologi yang mereproduksi hubungan sosial, tapi teknologi dirancang untuk mereproduksinya menurut kepentingan sistem yang berkuasa.
Sebelum kapitalisme mendominasi hubungan sosial, sudah pernah ada teknik, alat-alat, bahkan mesin yang diciptakan untuk tugas-tugas tertentu. Bahkan terdapat beberapa aplikasi mesin dan teknik sistematis yang bisa dibilang cukup teknologis. Cukup penting untuk dicatat, bahwa yang disebut terakhir, diaplikasikan di mana kekuasaan harus mempraktikan aturan yang kaku—dalam biara, ruang penyiksaan, penciptaan monumen sampai pada kekuasaan birokratik, militer, dan polisi seperti, misalnya, Dinasi Cina. Namun teknologi barusan bersifat feriferal dalam lingkup keseharian masyarakat yang menggunakan alat serta teknik yang mereka buat sendiri atau dalam komunitas kecil.
Ketika kapitalisme lahir, keperluan untuk melakukan ekstraksi besar-besaran dan pengembangan sumberdaya mengarah pada perampasan berdarah sumber-sumber yang tadinya dimanfaatkan secara komunal (proses yang menyebar secara internasional melalui kolonialisasi) yang ditandai dengan pengembangan sistem teknologi yang ditujukan untuk memaksimalkan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia dan alam. Tujuan sistem tersebut adalah untuk membuat ekstraksi dan pengembangan sumber daya serta kontrol terhadap masyarakat menjadi lebih efisien.
Aplikasi mula-mula teknik industrial hadir dalam kapal-kapal dagang, angkatan laut, dan perkebunan. Yang disebut terakhir, merupakan sebuah perkebunan skala besar, yang pada saat itu hadir bersamaan ketika tanah-tanah komunal mulai dijadikan hak milik pribadi di wilayah Eropa—terutama di Inggris. Hal ini menyebabkan tumpah-ruahnya penggangguran, kriminal, dan budak yang terpaksa harus bekerja keras serta dimulainya perdagangan budak dari Afrika. Perdagangan budak tersebut merupakan konsekuensi mendasar dari perampasan tanah-tanah, malahan banyak dari budak tersebut merupakan korban penculikan dan dijadikan pekerja kapal. Sistem industrial dalam konteks ini tidak banyak memiliki basis di dalam penggunaan mesin-mesin manufaktur, yang mana metode koordinasi kerjanya adalah pekerja sebagai roda dalam mesin, dan bila satu orang tidak melakukan pekerjaannya maka keseluruhan struktur kerja akan terpengaruh.
Namun, ada aspek-aspek spesifik dari sistem seperti ini yang beresiko mengancam strukturnya sendiri. Sistem perkebunan, yang mengumpulkan budak dari berbagai macam latar belakang dan pengalaman, memudahkan terjadinya asosiasi yang ilegal dan pemberontakan. Pelaut yang hidup seperti budak di atas kapal, mengukuhkan suatu komunikasi yang bersifat internasionalis antara budak-budak dari berbagai belahan dunia. Bukti-bukti terjadinya asosiasi ilegal dan pemberontakan di sekitar Atlantik utara dari 1600 sampai 1700an melibatkan budak dari berbagai macam ras di mana rasisme hampir tidak pernah terjadi, sesungguhnya merupakan yang sangat inspiratif. Namun kejadian-kejadian tersebut juga, pada akhirnya, memaksa kapitalisme untuk lebih jauh mengembangkan teknik-tekniknya. Kombinasi antara ideologi rasial dan pembagian kerja menciptakan keretakan persatuan antara budak kulit berwarna dengan pekerja miskin kulit putih dari Eropa. Sebagai gantinya, meski kapitalisme takkan dapat bertahan tanpa adanya transportasi bagi perdagangan dan suplai bahan mentah, untuk alasan ekonomi serta sosial, pemrosesan bahan mentah menjadi komoditas dalam jumlah yang besar mulai menjadi fokusnya.
Ketergantungannya pada kerajinan-kerajinan berskala kecil berbahaya bagi kapital. Secara ekonomi, aktivitas tersebut lamban, tidak efisien, dan kurang menyuplai keuntungan pada kelas penguasa. Tapi, bahaya sebenarnya terletak pada kemandirian—yang relatif—dari pengrajin-pengrajin tersebut. Kelas penguasa agak kesusahan untuk mengendalikannya. Pengrajin era itu biasanya menentukan sendiri ritme dan waktu bekerja mereka. Sebagai konsekuensinya, sistem pabrik yang tadinya telah terbukti cukup efisien di atas kapal dan perkebunan, juga diaplikasikan ke pemrosesan bahan mentah.
Jadi sistem industrial bukanlah diciptakan sekadar (atau hanya) untuk membuat pemrosesan bahan mentah menjadi lebih efisien. Tujuan kapitalis bukan pada pemrosesan bahan mentah. Minat kapitalis pada pemrosesan bahan mentah terletak pada strategi mereka untuk memperluas kapital guna menghasilkan profit dan mempertahankan kontrol mereka atas kekayaan dan kekuasaan. Maka, sistem pabrik—integrasi antara teknik, mesin, alat, sumber daya alam, dan orang-orang menjadi teknologi—dikembangkan sebagai alat untuk mengendalikan bagian proses produksi yang paling sulit dikontrol—yaitu pekerja manusia. Pabrik, maka dari itu, terdiri dari sebuah mesin besar yang setiap komponennya—termasuk komponen manusianya—terhubung satu sama lain secara integral. Meskipun, proses penyempurnaannya terjadi sebagai respon atas perjuangan kelas yang menunjukan kelemahan sistem tersebut dari waktu ke waktu, tujuan utamanya selalu inheren dalam teknologi industrial sejak awal ia tercipta. Kaum Luddite menyadarinya secara menyeluruh dan menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan mereka.
Bila kita memahami bahwa teknologi yang diciptakan oleh kapitalisme dikembangkan semata-mata untuk mempertahankan dan meningkatkan kontrol kelas penguasa terhadap hidup kita, maka kita tidak akan terkejut bahwa beberapa tekniknya yang tidak ditujukan sebagai respon terhadap perjuangan kelas, justru sering hadir di wilayah-wilayah di mana militer dan polisi memegang kendali yang besar. Sibernetika dan perangkat elektronik memudahkan kita untuk berkomunikasi dan menyimpan informasi pada taraf yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Perkembangan teknologi seperti ini memudahkan kelas penguasa untuk mengawasi kita lebih jauh, artinya ia dapat lebih sukses dalam mengendalikan populasi masyarakat dunia yang memiliki potensi untuk memberontak. Perkembangan baru-baru ini juga membuat kelas penguasa dapat mendesentralisasikan kekuatannya tanpa harus kehilangan kontrol. Sudah pasti, bahwa teknik-teknik baru ini, yang telah menyebar ke seluruh ranah sosial juga mempunyai kelemahan. Mata rantai yang lemah dapat ditemukan oleh pemberontak yang kreatif dan kritis. Namun kebutuhan untuk mengontrol seluas mungkin membuat penguasa menerima setiap resiko, berharap mereka dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut dengan cepat.
Jadi, teknologi sebagai sesuatu yang sangat integral dalam relasi sosial, sebagaimana yang telah kita ketahui, tidak dapat bersifat netral. Ia adalah alat penguasa yang tidak ditujukan untuk memenuhi keinginan dan aspirasi kita, melainkan untuk mempertahankan kontrolnya. Banyak kaum anarkis memahami negara, hak milik pribadi, institusi agama, serta keluarga yang patriarkis sebagai institusi dan sistem dominasi yang harus dihancurkan bila kita ingin menciptakan sebuah masyarakat yang bebas. Oleh karena itu, cukup ganjil apabila pemahaman yang sama tidak diaplikasikan pada sistem tekno-industrial. Bahkan di era ini, ketika pabrik tidak menyediakan ruang bagi setiap inisiatif individual, ketika komunikasi didominasi oleh sistem-sistem dan jaringan besar yang dapat diakses oleh polisi, ketika keseluruhan sistem teknologi memandang manusia hanya sebagai alat yang tidak lebih dari tangan dan mata, seperti teknisi dan pengawas, masih banyak kaum anarkis yang menyerukan “rebut alat produksi”. Meski telah kita ketahui bersama bahwa sistem teknologi itu sendiri merupakan bagian dari struktur dominasi. Ia diciptakan untuk mengontrol kaum tertindas secara lebih efisien. Seperti halnya negara dan kapital, sistem teknologi ini harus dihancurkan agar kita dapat merebut kembali hidup kita. Artinya, sehubungan dengan alat-alat dan teknik, akan dikembangkan seiring dalam alur perjuangan kita melawan sistem dominasi. Demi membuka kemungkinan-kemungkinan baru di dalam mengkreasikan apa yang kita inginkan, mesin pengontrol harus dihancurkan.
Wolfi Landstreicher
Kamis, 11 September 2008
SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN
1. Tujuan artikel ini
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menunjukkan sebuah prinsip sederhana dari konflik manusia, sebuah prinsip yang mana para oponen dari sistem tekno-industrial ini dilihat secara mendasar. Prinsipnya adalah bahwa dalam setiap bentuk konflik, apabila engkau ingin memenangkannya, engkau harus menyerang musuhmu di tempat yang dapat membuatnya sakit.
Aku harus menjelaskan bahwa saat aku berbicara tentang “menyerang di tempat yang mematikan”, aku tidak secara khusus mengartikannya sebagai sebuah serangan-serangan fisikal atau berbagai bentuk kekerasan fisikal. Sebagai contohnya, dalam perdebatan verbal “menyerang di tempat yang mematikan” akan dapat berarti melancarkan argumen-argumen menyerang posisi terlemah dari oponenmu. Dalam sebuah pemilihan presidental “menyerang di tempat yang mematikan” akan berarti berhasil memenangkan negara dari oponen-oponenmu dengan mendapatkan suara terbanyak. Tetapi tetap saja, dalam mendiskusikan prinsip ini aku akan menggunakan analogi pertempuran fisikal, sebab hal tersebut jelas dan gamblang.
Apabila seseorang memukulmu, engkau akan mempertahankan dirimu dengan memukulnya kembali di lengannya, tetapi engkau tak dapat melukai seseorang tersebut dengan cara tersebut. Agar dapat memenangkan perkelahian, engkau harus menyerangnya di tempat yang dapat menimbulkan rasa sakit. Artinya, engkau harus mampu melampaui kepalannya dan memukul bagian-bagian yang paling lemah dan sensitif dari tubuh seseorang tersebut. Anggap saja sebuah bulldozer milik sebuah perusahaan penebangan telah meruntuhkan pepohonan dekat rumahmu dan engkau ingin menghentikannya. Pisau besar dari bulldozer itulah yang telah merusak bumi dan mencabut pepohonan, tetapi adalah sesuatu yang membuang waktu apabila merusak pisau besar tersebut dengan menggunakan gada. Apabila engkau bisa meluangkan waktu yang cukup lama, kerja keras seharian memukuli pisau besar tersebut, mungkin engkau memang akan berhasil cukup membuatnya rusak sehingga pisau besar tersebut tak dapat digunakan lagi. Tetapi, diperbandingkan dengan bulldozer secara keseluruhannya, pisau besar itu cenderung murah dan dapat dengan mudah diganti. Pisau besar itu hanya “kepalan” yang digunakan bulldozer untuk menyerang bumi. Untuk mengalahkan mesin ini engkau harus melampaui “kepalan” tersebut dan menyerang bagian-bagian vital dari bulldozer. Mesin, misalnya, dapat dihancurkan dalam waktu singkat dan mudah dengan cara-cara yang sudah banyak dikenal di kalangan para radikal.
Dalam poin ini aku harus menjelaskan bahwa aku tidak merekomendasikan siapapun untuk merusak bulldozer (kecuali bulldozer tersebut adalah miliknya sendiri) ataupun segala dalam artikel ini diinterpertasikan sebagai sebuah perekomendasian aktivitas-aktivitas ilegal dalam berbagai bentuknya. Aku adalah seorang narapidana, dan apabila aku mendorong aktivitas ilegal, artikel ini tak akan diperbolehkan untuk keluar dari penjara. Aku menggunakan bulldozer sebagai analogi karena hal tersebut jelas dan gamblang serta akan diapresiasi oleh para radikal.
2. Teknologi adalah target
Telah banyak diketahui bahwa “variabel-variabel dasar yang menentukan proses sejarah kontemporer dihadirkan oleh perkembangan teknologi” (Celso Furtado). Teknologi, di atas segalanya, bertanggung jawab atas kondisi-kondisi dunia saat ini dan akan mengontrol perkembangannya di masa depan. Dengan demikian, “bulldozer” yang harus kita hancurkan adalah teknologi modern itu sendiri. Banyak dari para radikal yang menyadari hal ini dan kemudian menyadari bahwa tugas mereka adalah mengeliminasi seluruh sistem tekno-industrial. Tetapi sayangnya mereka tidak cukup memperhatikan kebutuhan untuk menyerang sistem ini di tempat yang paling mematikan.
Menghancurkan McDonald’s atau Starbuck jelas tak bermakna apa-apa. Lagipula aku juga tidak peduli pada McDonald’s ataupun Starbuck. Aku tidak peduli apakah seseorang menghancurkannya atau tidak. Hal tersebut bukanlah sebuah aktivitas revolusioner. Bahkan apabila semua rantai makanan cepat saji disingkirkan, sebagai hasilnya sistem tekno-industrial ini hanya akan sedikit menderita kerusakan minimal, yang dengannya dapat dengan mudah tetap bertahan hidup tanpa rantai makanan cepat saji. Saat engkau menyerang McDonald’s atau Starbuck, engkau tidak menyerang di tempat yang mematikan.
Beberapa bulan lalu aku menerima sebuah surat dari seorang anak muda di Denmark yang percaya bahwa sistem tekno-industrial harus dieliminasi karena, sebagaimana yang ia katakan, “apa yang akan terjadi apabila kita terus menerus hidup dengan cara seperti ini?” Secara khusus, bagaimanapun juga, bentuk aktivitas “revolusioner”nya adalah menggasak peternakan-peternakan penghasil bulu binatang. Sebagai sebuah cara untuk melemahkan sistem tekno-industrial, aktivitas tersebut benar-benar tidak berguna. Bahkan apabila para pembebas binatang tersebut berhasil sepenuhnya dalam mengeliminasi industri bulu binatang, mereka tidak akan menimbulkan kerusakan apapun bagi sistem ini, karena sistem ini akan dapat berjalan terus dengan mulus tanpa bulu binatang.
Aku setuju bahwa mengurung binatang-binatang liar di kandang adalah sesuatu yang tak dapat ditoleransi, dan mengakhiri praktek-praktek demikian adalah sebuah tindakan yang mulia. Tetapi ada banyak sekali tindakan yang mulia, seperti mencegah kecelakaan lalu lintas, menyediakan tempat bernaung bagi para gelandangan, melakukan daur ulang, atau menolong orang tua menyeberang jalan. Tetapi tak seorangpun kecuali seseorang terlalu bodoh, menganggap hal-hal di atas sebagai sebuah aktivitas revolusioner, ataupun membayangkan bahwa hal-hal tersebut dilakukan untuk melemahkan sistem ini.
3. Industri penebangan kayu adalah sebuah isu sampingan
Dalam mengambil contoh lain, tak seorangpun yang waras percaya bahwa segala sesuatu yang bersifat liar dapat bertahan hidup lebih lama lagi apabila sistem tekno-industrial terus eksis. Banyak dari para environmentalis radikal setuju bahwa ini adalah sebuah kasus dan kemudian mengharapkan sistem ini kolaps. Tetapi semua praktek yang mereka lakukan adalah menyerang industri penebangan kayu.
Aku benar-benar tidak keberatan atas serangan-serangan mereka pada industri penebangan kayu. Pada faktanya, hal tersebut adalah sebuah isu yang dekat dengan hatiku dan aku merasa senang dengan setiap keberhasilan para radikal melawan industri penebangan kayu. Sebagai tambahan, bagi alasan-alasan yang perlu kujelaskan di sini, aku berpikir bahwa oposisi terhadap inudstri penebangan kayu seharusnya menjadi sebuah komponen dari upaya-upaya pelenyapan sistem ini.
Dengan sendirinya, menyerang industri penebangan kayu bukanlah sebuah cara yang efektif dalam usaha melawan sistem, kalaupun terjadi even yang diharapkan di mana para radikal berhasil menghentikan seluruh penebangan hutan di manapun di dunia ini, hal tersebut tidak akan merontokkan sistem ini. Dan hal tersebut tidak dapat menyelamatkan alam liar secara permanen. Cepat atau lambat iklim politik akan berubah dan penebangan akan kembali terjadi. Bahkan apabila penebangan tidak pernah terjadi lagi, akan ada kejadian-kejadian lain yang mana dengannya alam liar akan kembali dihancurkan, atau apabila tidak dihancurkan paling tidak akan dijinakkan dan didomestikasi. Penambangan dan eksplorasi mineral, hujan asam, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, menghancurkan alam liar; alam liar dijinakkan dan didomestikasi melalui rekreasi, studi ilmiah dan manajemen sumber daya, termasuk di antaranya penelusuran jejak binatang secara elektrik, budidaya pengembangbiakkan ikan, dan penanaman pohon-pohon yang direkayasa secara genetik.
Alam liar dapat diselamatkan secara permanen hanya dengan cara mengeliminasi sistem tekno-industrial, dan engkau tak dapat mengeliminasi sistem tersebut dengan cara menyerang industri penebangan kayu. Sistem ini akan dapat dengan mudah bertahan hidup dari kematian industri penebangan kayu karena produk-produk kayu, walaupun sangat berguna bagi sistem ini, apabila dibutuhkan dapat diganti dengan material-material lain. Konsekuensinya, saat engkau menyerang industri penebangan kayu, engkau tidak menyerang di tempat yang dapat menyakitinya. Industri penebangan kayu hanyalah “kepalan” (atau salah satu kepalan) yang digunakan sistem untuk menghancurkan alam liar, dan, sebagaimana juga dalam pertandingan tinju, engkau tak dapat menang dengan cara menyerang kepalan musuh. Engkau harus berusaha melampaui kepalan tersebut dan menyerang organ-organ sistem yang paling vital dan sensitif. Secara legal, tentu saja, dengan melakukan aksi protes yang damai.
4. Mengapa sistem ini tegar
Sistem tekno-industrial benar-benar tegar karena ia memiliki apa yang disebut sebagai struktur “demokratis” yang menghasilkan fleksibilitas. Karena sistem diktatorial cenderung kaku, tensi-tensi sosial dan resistansi dapat dibangun di dalamnya hingga pada titik yang merusak dan memperlemah sistem, dan mungkin mengarah para revolusi. Tetapi dalam sebuah sistem “demokratis”, saat tensi sosial dan resistansi yang dibangun mulai membahayakan, sistem ini akan cukup dapat memberikan respon, cukup mengkompromikannya, sehingga akan menurunkan tensi ke tingkat yang aman.
Selama tahun 1960-an, untuk pertama kalinya orang-orang mulai sadar bahwa polusi lingkungan adalah sebuah masalah yang serius, sebagian besarnya adalah karena kotoran yang terlihat dan berbau dalam udara di atas kota-kota besar mulai membuat orang-orang secara fisik tak merasa nyaman. Ada cukup banyak protes yang timbul sehingga Agensi Perlindungan Lingkungan dibentuk dan beberapa tindakan lain diambil untuk mengatasi masalah. Tentu saja, kita semua tahu bahwa masalah-masalah polusi kita masih sangat jauh dari penyelesaian. Tetapi telah cukup tindakan dilakukan sehingga keluhan-keluhan publik dapat diredam dan tekanan pada sistem semakin menyurut dalam tahun-tahun berikutnya.
Dengan demikian, menyerang sistem tersebut seperti memukul sebuah karet. Sebuah pukulan dengan gada akan dapat membuat besi padat berkeping-keping, karena besi padat sifatnya kaku dan karenanya rapuh. Tetapi engkau dapat memukul sebuah karet tanpa merusaknya karena sifatnya yang fleksibel: ia mengatasi protes, cukup lama hingga protes tersebut kehilangan kekuatan dan momentumnya. Kemudian sistem tersebut memantul kembali. Maka, dalam upaya untuk menyerang sistem di tempat yang dapat mematikannya, engkau harus memilih isu-isu yang tak dapat diatasi oleh sistem ini, yang akan menghabisinya. Dan yang dibutuhkan bukanlah kompromi dengan sistem, melainkan sebuah perjuangan hidup mati.
6. Para radikal harus menyerang sistem ini pada titik-titik yang menentukan
Untuk dapat secara efektif bertujuan mengeliminasi sistem tekno-industrial, para revolusioner harus menyerang sistem ini pada titik-titik yang mana dalam serangan tersebut, musuh tak dibiarkan memiliki kesempatan untuk pulih. Mereka harus menyerang organ-organ vital sistem ini. Tentu saja, saat aku menggunakan kata “serang” aku tidak mengartikannya sebagai serangan fisikal melainkan dengan bentuk protes dan resistansi legal.
Beberapa contoh organ-organ vital dari sistem ini adalah:
a. Industri tenaga listrik. Sistem ini benar-benar tergantung pada jaringan tenaga listrik.
b. Industri komunikasi. Tanpa komunikasi yang gencar, sebagaimana dengan telefon, radio, televisi, e-mail dan semacamnya, sistem ini tak dapat bertahan hidup.
c. Industri komputer. Kita semua tahu bahwa tanpa komputer sistem ini akan kolaps dengan cepat.
d. Industri propaganda. Industri propaganda meliputi industri hiburan, sistem edukasi, jurnalisme, advertising, public-relation, dan berbagai macam politik serta industri kesehatan mental. Sistem ini tak dapat berfungsi kecuali orang-orang di dalamnya cukup jinak dan mampu menyesuaikan diri serta memiliki perilaku-perilaku yang harus dimiliki oleh mereka sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem ini. Fungsi dari industri propaganda adalah untuk melatih orang-orang sebuah jenis pemikiran dan kebiasaan.
e. Industri bioteknologi. Sistem ini memang belum secara fisik tergantung pada bioteknologi yang maju (sejauh yang aku tahu). Tapi tanpa kecuali, sistem ini tak dapat diberi keleluasaan dalam berjalan dengan isu bioteknologi, yang merupakan isu kritis sistem ini, sebagaimana yang akan kuperdebatkan setelah ini.
Sekali lagi: saat engkau menyerang organ-organ vital sistem ini, sangatlah penting untuk tidak menyerang mereka dalam konteks nilai-nilai yang mereka anut sendiri, melainkan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dalam pandangan sistem ini. Misalnya, apabila engkau menyerang industri tenaga listrik dalam konteks bahwa industri tersebut menghasilkan polusi bagi lingkungan, sistem ini akan dengan mudah meredam protes dengan mengembangkan metoda-metoda yang lebih bersih dalam menghasilkan sumber daya listrik. Apabila memang sudah terlalu buruk situasinya, sistem ini akan dapat beralih sepenuhnya pada tenaga angin dan solar. Memang sangat baik upaya mereduksi kerusakan lingkungan, tetapi hal tersebut tidak akan mengakhiri sistem tekno-indutrial. Hal tersebut juga tidak merepresentasikan sebuah kemenangan atas nilai-nilai fundamental sistem ini.
Untuk menyelesaikan segala urusan dalam penyerangan terhadap sistem, engkau harus menyerang generator-generator pembangkit tenaga listrik sebagai sesuatu yang prinsipil, berdasarkan argumen bahwa ketergantungan pada listrik telah membawa orang-orang menjadi tergantung pada sistem ini. Inilah landasan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sistem ini.
7. Bioteknologi mungkin dapat menjadi sasaran terbaik bagi penyerangan politis
Mungkin sasaran paling menjanjikan bagi penyerangan politis adalah industri bioteknologi. Walaupun secara umum berbagai revolusi diletupkan oleh sekelompok minoritas, sangatlah berguna untuk meraih dukungan tertentu, simpati, atau setidaknya persetujuan dari populasi secara umum.
Gol-gol dari aksi yang politis adalah untuk mendapatkan dukungan atau persetujuan semacam itu. Apabila engkau mengkonsentrasikan penyerangan politismu, misalnya pada industri tenaga listrik, hal tersebut akan benar-benar sulit dalam mendapatkan dukungan di luar minoritas radikal, karena sebagian besar orang menolak mengubah cara hidup mereka, khususnya perubahan-perubahan yang menyulitkan mereka.
Atas alasan ini, beberapa akan rela untuk meninggalkan ketergantungannya pada listrik. Tetapi orang-orang belum merasa bahwa diri mereka tergantung pada bioteknologi yang maju sebagaimana mereka tergantung pada listrik. Mengeliminasi bioteknologi tidak akan mengubah hidup mereka secara radikal. Secara kontras, hal tersebut mungkin akan dapat memperlihatkan pada orang-orang bahwa kesinambungan pengembangan bioteknologi akan mentransformasikan cara hidup mereka dan menyapu bersih nilai-nilai manusia selama ini. Dengan demikian, dalam menantang bioteknologi, para radikal harus mampu memobilisir dengan cara mereka sendiri yang merupakan resistansi alamiah manusia terhadap perubahan.
Dan bioteknologi adalah sebuah isu yang mana sistem ini tak akan dapat menanggung kehilangannya. Ia juga adalah sebuah isu yang mana sistem ini harus memperjuangkannya hingga akhir, yang mana hal ini jelas adalah sesuatu yang kita butuhkan. Tetapi—diulangi sekali lagi—amatlah esensial untuk tidak menyerang bioteknologi dalam konteks nilai-nilai yang dianut oleh sistem ini sendiri, melainkan dalam konteks nilai-nilai yang tidak sesuai bagi sistem ini.
Misalnya, apabila engkau menyerang bioteknologi, khususnya dengan berlandaskan pada alasan bahwa hal tersebut akan merusak lingkungan, atau bahwa pangan-pangan yang dimodifikasi secara genetik akan dapat merusak kesehatan, maka sistem ini dapat dan akan menyerap seranganmu dengan memberi celah untuk kompromi—dengan kata lain, dengan memberlakukan pengawasan yang lebih ketat pada riset genetik dan percobaan yang lebih teliti serta memberlakukan regulasi bagi tanaman-tanaman yang dimodifikasi secara genetik. Kegelisahan orang-orang lantas akan menyurut dan protes menjadi layu.
8. Semua bioteknologi harus diserang sebagai sebuah urusan prinsipil
Maka, dibandingkan memprotes satu atau lain hal mengenai konsekuensi negatif dari bioteknologi, engkau harus menyerang seluruh bioteknologi modern secara prinsipil, dalam landasan seperti (a) bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang merendahkan seluruh makhluk hidup; (b) bahwa hal tersebut memberi terlalu banyak kekuasaan ke tangan sistem ini; (c) bahwa hal tersebut secara radikal akan mentransformasikan nilai-nilai fundamental manusia yang telah eksis selama ribuan tahun; dan berbagai landasan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sistem ini.
Dalam merespon serangan jenis ini, sistem ini akan dipaksa untuk berdiri dan berjuang. Ia tak dapat menyerap seranganmu dengan membawanya pada isu yang lebih besar, karena bioteknologi berada di pusat seluruh perusahaan yang berteknologi maju, dan karena saat mundur sistem ini tak akan hanya membuat langkah mundur secara taktis, ia akan terpaksa menerima kekalahan strategis besar dalam kode etiknya sendiri. Nilai-nilai tersebut akan dikuburkan dan pintu akan terbuka bagi serangan-serangan politis lebih lanjut, yang akan menebang fondasi-fondasi sistem ini.
Sekarang memang benar bahwa Dewan Representatif AS baru-baru ini melarang kloning manusia, dan setidaknya beberapa anggota kongres bahkan memberikan beberapa alasan yang tepat mengenainya. Dari yang kubaca, alasan-alasan tersebut berada dalam konteks religius, alasan-alasan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diterima secara teknologis. Dan hal seperti itulah yang patut diperhitungkan.
Dengan demikian, keputusan para anggota kongres atas kloning manusia merupakan sebuah kekalahan sejati bagi sistem ini. Tetapi hal tersebut hanyalah sebuah kekalahan yang sangat sangat kecil, karena ruang lingkup pelarangannya masih sangat sempit—hanya sebagian kecil dari bioteknologi yang terpengaruh—dan lagipula karena dalam jangka waktu dekat di masa depan, kloning manusia secara praktis masih kecil kegunaannya bagi sistem ini. Tetapi aksi dari Dewan Representatif telah menunjukkan bahwa hal ini dapat menjadi sebuah titik lemah sistem ini, dan sebuah serangan yang lebih luas terhadap seluruh bioteknologi mungkin dapat menimbulkan kerusakan serius bagi sistem dan nilai-nilai yang dianutnya.
9. Kaum radikal belum menyerang biotek secara efektif
Beberapa dari kaum radikal memang menyerang bioteknologi, baik secara politis maupun secara fisikal, tetapi sejauh yang kuketahui mereka menjelaskan sikap oposisi mereka terhadap biotek dalam konteks nilai-nilai yang dianut oleh sistem ini. Keluhan-keluhan mereka adalah resiko kerusakan lingkungan dan dampak buruknya bagi kesehatan. Dan mereka tidak menyerang industri biotek di tempat yang mematikan.
Menggunakan analogi perkelahian fisik sekali lagi, anggap engkau harus mempertahankan dirimu dari serangan gurita raksasa. Engkau tak akan mampu menyerang balik secara efektif dengan memutus tentakelnya. Engkau harus menyerang kepalanya. Dari apa yang kubaca tentang aktivitas-aktivitas mereka, para radikal yang bekerja melawan bioteknologi melakukan tak lebih dari upaya untuk memutuskan tentakel sang gurita. Mereka berusaha meyakinkan para petani biasa, secara individual, agar memutuskan untuk tidak menanam benih yang direkayasa secara genetik.
Tetapi ada ribuan pertanian di Amerika, sehingga meyakinkan para petani secara individual menjadi sebuah cara yang sangat tidak efisien dalam penentangan terhadap rekayasa genetik. Akan lebih efektif apabila upaya persuasif itu dilakukan terhadap para ilmuwan riset yang terlibat dalam kerja-kerja bioteknologikal, atau para eksekutif perusahaan seperti Monsanto, untuk meninggalkan industri bioteknologi. Para ilmuwan riset yang baik adalah mereka yang memiliki talenta khusus dan telah menjalani pelatihan yang ekstensif, sehingga mereka sulit untuk dicari penggantinya. Hal yang sama juga berlaku bagi para eksekutif perusahaan. Yakinkan beberapa saja dari mereka untuk meninggalkan biotek akan memberikan kerusakan yang besar bagi industri bioteknologi daripada meyakinkan ribuan petani untuk tidak menanam bibit yang direkayasa secara genetik.
10. Serang di tempat yang mematikan
Amatlah terbuka argumen-argumen mengenai apakah aku benar saat berpikir bahwa bioteknologi adalah isu terbaik dalam upaya menyerang sistem secara politis. Tetapi jelas tak perlu diperdebatkan lagi bahwa kaum radikal dewasa ini telah membuang-buang energi mereka pada isu-isu yang hanya memiliki sedikit atau malah tidak ada relevansinya bagi kelangsungan hidup sistem teknologikal ini. Dan bahkan saat mereka mereka mengalamatkan isu-isunya dengan tepat, para radikal tidak menyerang di tempat yang mematikan. Maka daripada berderap pergi menuju tempat World Trade Summit berikutnya untuk mengeluarkan kemarahan atas globalisasi, kaum radikal lebih baik meluangkan waktunya untuk berpikir bagaimana menyerang sistem ini di tempat yang mematikan. Dengan cara legal, tentu saja.
Ted Kaczynski
Minggu, 07 September 2008
MEMBEBASKAN DIRI DARI TEKANAN: Bentuk Pemberontakan Terhadap Keadaan
Entah apa yang ada dibenakku saat membaca arti sebuah hidup—tak tampak nyata kehidupan sesungguhnya. Sulit sekali bagiku untuk menentukan apa arti sebuah kehidupan itu sendiri. Apakah cukup, dan harus dengan bekerja, bernafas, makan, beranak, dan beristri saja kita bisa dianggap sudah hidup? Kayaknya tak cukup dengan itu semua untuk penggambaran sebuah arti hidup saat ini. Semakin jauh aku berpikir, semakin jauh aku terjebak pada kegilaan ini! Berharap menjadi manusia yang bersayap, akupun mencoba untuk membebaskan diri, bagiku manusia dan kehidupannya bukan sekedar itu semua, kehidupan bagi manusia tak lebih semacam ruangan dimana didalamnya terdapat sebuah harmoni yang indah dari cinta dan kasih dalam diri tiap makhluk yang ada didalamya, tak ada lagi rasa kecewa dan tak ada manipulasi rasa bahagia, semua apa adanya dan berjalan apa adanya.
Cukup menarik juga ketika berbicara tentang kehidupan apalagi tercipta dari buah pikir tampa batas seperti aku inginkan, banyak orang bercerita bahwa arti sebuah hidup, menurutku dengan keadaan sekarang, kebanyakan dari kita atau mereka menganggap hidup itu hanyalah terasa sesaat di sebuah waktu tertentu yaitu sesaat sehabis keluar dari rumah peribadatan, sesaat sehabis keluar dari lokalisasi, sehabis tidur dimakam para sufi, ataupun bagi mereka setelah menghabiskan rupiah-nya untuk belanja. Semua itu kita lakukan agar kita dianggap hidup atau diakui. Bagi aku buat apa jika hidup kita sesaat seperti ini, yah sesaat seperti sehabis beribadah ditempat-tempat ibadah, sehabis kita ngabisin uang gaji, sehabis kita mabok ataupun setelah ngeluarin sperma dilokalisasi, sama saja, betapa naïf dan kenaifan itu adalah sebuah keharaman bagi kesadaran.
Siapa yang salah atau apa yang kita persalahkan?, apakah para pemuka agama dan ajaran-ajaran kemanusiaannya, apakah para bos yang membuka tempat pelacuran, atau juga market-market yang tercipta. Bagi aku keadaanlah yang memaksa kita, bagi aku bukan dosa dan sebuah kesesatan, sebuah kewajaran jika orang ingin melepaskan diri dari tekanan seperti ini, sebuah kewajaran mereka mencari keyakinan –keyakiann baru jika keyakinan lama tidak lagi mendamaikan jiwanya, semangat terus para pencipta agama baru atau keyakinan baru!!!
Sebuah kecurigaan dan persepsi aku rasa ingin aku ciptakan, runtut meruntut sampailah kelaut yang meluas, akupun mencari tahu apakah keadaan seperti ini adalah sebuah kewajaran, ataukah sengaja untuk diciptakan. Beberapa tulisan telah membahas penggambaran keadaan seperti ini, tentang apa yang disebut dengan specktacle. Spectacle atau ‘Dunia Tontonan’, adalah kata pengganti untuk menyatakan sebuah hubungan yang termediasikan oleh imaji. Dunia Tontonan ini tapi tidaklah hanya sekedar sekumpulan imaji-imaji yang tak berbahaya; ia akan dapat menjadi, menurut Debord, nyaris satu-satunya bentuk hubungan social antar manusia. Dunia Tontonan ini semakin mempertegas bentuk institusi dan juga identitas personal kita. Proses ini digerakkan oleh media massa dan iklan. Dalam sebuah lingkungan sosial yang dijejali dengan imaji-imaji buatan
pabrik, maka kebutuhan dasar manusia, nilai guna dan fungsi akan dikomodifikasikan serta diatur dengan pemanipulasian melalui imaji. Uang akan mendominasi sebagai sebuah representasi umum, menjadi point utama untuk mendapatkan segala sesuatu yang baik, termasuk nilai, norma dan bahkan juga ‘hidup’. Spectacle juga bisa dikatakan sebuah perang candu permanen yang didesain untuk memaksa orang-orang agar menyamakan barang-barang dengan komoditi-komoditi dan menyamakan kepuasan dengan sebuah upaya bertahan hidup yang berkembang sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri. Upaya bertahan hidup dengan cara mengonsumsi ini secara konstan diperlebar karena ia tak pernah luput dalam menampilkan privasi. Apabila upaya ber-tahan hidup yang lebih besar tak pernah menjadi sebuah resolusi, apabila tak ada poin di mana ia akan berhenti melebar, hal ini dikarenakan dirinya sendiri tertahan dalam sebuah alam privat. Ia mungkin dapat menyepuh kemiskinan, tetapi ia tak dapat mentransendensikannya.
Menarik juga tentang spectacle ini, cukup menjelaskan keadaan seperti sekarang, Lalu apa hubungan komoditas, manusia dan hidup selanjutnya?
Pengembangan kekuatan-kekuatan produksi adalah sejarah tak sadar yang sesungguhnya membentuk dan mengubah kondisi-kondisi hidup kelompok-kelompok manusia—kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka bertahan hidup dan mengekspansikan kondisi-kondisi tersebut. Hal tersebutlah yang selama ini menjadi dasar ekonomi yang dijalankan oleh manusia. Dalam ekonomi-ekonomi yang natural, hadirnya sebuah sektor komoditi merepresentasikan sebuah perjuangan hidup dari keberlebihan.
Produksi komoditi yang berimplikasi pada per-tukaran berbagai macam produk antara para produsen independen, dalam jangka waktu yang lama cenderung berada dalam aspek-aspek kerajinan tangan skala kecilnya, menurunkan derajatnya sendiri menjadi sebuah peran ekonomi pinggiran di mana realita kuantitatifnya masih tersembunyi. Tetapi saat hal tersebut dihadapkan pada kondisi-kondisi sosial perdagangan skala besar dan akumulasi kapital, ia mengambil kontrol total atas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi telah membebaskan masyarakat-masyarakat dari berbagai tekanan alam yang memaksa mereka untuk berjuang demi bertahan hidup, tetapi masyarakat-masyarakat tersebut belum juga terbebaskan dari para pembebasnya sendiri.
Apa yang lebih indah didalam spectakle ini?, apakah ini semua yang disebut sebagai sebuah keyakinan modern, sebuah keyakinan modern untuk arti sebuah kebahagiaan dan kelestarian omong kosong yang dilontarkan dari para pengecut-pengecut pemerkosa kehidupan, keyakinan modern ini telah berdiri kokoh dan memang memiliki daya tarik yang besar, mereka berhasil menipu kita dan memang benar-benar dapat menciptakan keadaan seperti yang mereka inginkan karena memberi kesan bahwa makin cepat keingingan yang satu terpenuhi makin cepat pula keinginan yang lain tercapai.
“Dan lebih menarik lagi karena keyakinan modern sama sekali menghindari seluruh masalah etika: tak perlu menolak atau berkorban; bahkan sebaliknya! kita memiliki ilmu dan teknologi yang akan membantu kita dalam perjalanan menuju perdamaian dan kemakmuran-yang perlu dijaga hanyalah jangan sampai kita berbuat hal-hal gegabah dan tak masuk akal. Kepada orang-orang yang melarat dan kecewa dipesankan agar mereka tetap sabar dan jangan mengganggu apalagi membunuh angsa bertelur emas, karena pasti akhirnya telur emas itu akan sampai juga pada mereka. Dan kepada sikaya dipesankan agar sekali-kali menolong simiskin, karena inilah caranya untuk lebih kaya lagi.”- sang pembual besar.
Keadaan inilah yang diinginkan oleh seorang Keynes 78 tahun yang lalu, ia berpikir tentang sebuah kejayaan masa depan bagi generasi berikutnya, ia menyebutkan bahwa tak lama lagi semua orang akan menjadi kaya,…….”tetapi ingat”…..”saatnya belum tiba, paling tidak sampai seratus tahun yang akan datang kita masih harus menipu setiap orang, termasuk diri kita sendiri, bahwa yang baik itu buruk dan buruk itu baik-karena yang buruk berguna dan yang baik tidak berguna. Sikap serakah, riba dan sikap hati-hati masih harus tetap menjadi dewa-dewa kita untuk jangka waktu yang cukup lama, karena dewa-dewa inilah yang akan dapat membimbing kita keluar dari terowongan kebutuhan-kebutuhan eknomi ke cerah matahari”. terkutuklah Keynes dan para pengikutnya serta keadaan ini.
Semakin ingin muntah dan berharap ada ruang kosong untuk bernafas dalam sebuah kehidupan, bagi aku apa yang aku certain diawal tentang keragaman upaya manusia untuk ngelepasin diri dari tekanan adalah sebuah symbol pemberotakan manusia terhadap keadaan atau mencoba melepaskan diri spectacle, tak pantas lagi bagi kita semua untuk menyalahkan mereka yang berpindah agama, bukan salah mereka yang mencuri kembali hak yang terenggut di tempat kerja, bukan salah mereka jika tidak mengakui Negara, bukan salah mereka jika mereka memberontak dan terus melakukan pemberontakan, Jadi mengapa harus persalahkan mereka, wahai engkau semua, sebab mereka hanya ingin hidup yang sesaat, sesaat ketika mendengarkan buaian indah kata-kata manis para penceramah agama, sesaat dalam buaian nikmat mibuman beralcohol, dalam pelukan para pelacur dilokalisasi, bahkan sesaat ketika mereka dapat meludahi muka para bos mereka. Untuk apa lagi mereka disalahkan bukankah kita seharusnya saling mengerti dan memahami sebab bagi aku kehidupan seharusnya seperti ini adanya dimana didalamnya terdapat sebuah harmoni yang indah dari cinta dan kasih dalam diri antara makhluk yang ada didalamya, tak ada lagi rasa kecewa dan tak ada manipulasi rasa bahagia, semua apa adanya dan berjalan apa adanya.
Sangat indah hidup ini ketika kau berdoa untuk keselamatan manusia di tempat-tempat ibadahmu, sangat indah hidup ini dalam buaian alcohol diantara kehangatan para saudaramu, sangat indah hidup ini ketika kau terlelap dalam pelukan pelacur di sebuah lokalisasi, sangat indah hidupmu ketika kau dapat mencuri kembali dari apa yang seharusnya menjadi hakmu,, sangat indah hidupmu walau mereka tak sebut diri kalian punk ketika tak memiliki atribut trendy ala blink182 ataupun casualties sebab setiap manusia yang mencoba terus memberontak dalam keadaan seperti ini adalah punk, lepaskan dan bebaskan hidupmu untuk dirimu dan juga untuk orang lain.
Bebaskan diri dari tekanan, rebut hidup kembali, dan nikmati... Semoga mampus para pembual dan pengecut yang telah sengaja menciptakan jaring-jaring kapitalisme serta para penguasa yang semakin menjerumuskan kami dalam keadaan ini.
Moeh. Gandhi
ELEGI YANG TELAH MATI: Sebuah Kritik Ringan Bagi Para Anarkis
Dalam dunia yang telah didesain sedemikian rupa agar sistem dominasi hari ini tampak wajar, maka tak ada yang salah; semuanya dibenarkan selama itu berarti tak keluar dari lingkaran jual-beli atau komoditi. Para anarkis percaya bahwa sistem dominasi ini merupakan sesuatu yang semestinya bisa dirubah. Sialnya, para anarkis lokal[1] sendiri, terutama anak-anak muda yang mengidentikkan diri dengan kultur punk rock, terjebak di lubang yang sama dengan apa yang mereka lawan. Mereka tak lagi mampu menjaga dan mengembangkan kreatifitas perlawanannya dan hanya mereproduksi hal-hal usang yang sama sekali tidak menghantam titik lemah sistem dominasi hari ini.
Para anarkis lokal ini, alih-alih menjadi pasir yang memacetkan mesin besar sistem dominasi, malah menjadi pelumas yang melancarkan eksistensi dan perkembangan sistem dominasi. Seberapa besar semangat anarki dalam diri kita? Seberapa besar resistensi anarkis yang telah terjadi di tengah maraknya personal-personal yang menggunakan pakaian hitam-hitam, balaklava, bendera A dilingkari, dan imaji-imaji anarkis lainnya? Atau tak ada personal di sini—hanyalah massa belaka?
Beberapa mengatakan hal ini dikarenakan ide-ide anarki sendiri masih merupakan hal yang baru dan tak punya basis sejarah dalam konteks masyarakat Indonesia. Belum lagi maraknya ide-ide anarki tak bisa dipungkiri masuk ke Indonesia lewat musik punk rock. Maka tak mengherankan jika kemudian anarkis di sini harus mampu untuk membuat sejarahnya sendiri. Tanpa mengesampingkan pendapat tersebut, tulisan ini mencoba melihat dalam konteks yang lain.
Anarki menolak partai sebagai garda depan revolusi—selain juga penolakan terhadap kelompok tertentu yang konon merupakan kelompok yang paling revolusioner. Apakah anarki menolak beroganisasi? Perlu dipahami lebih mendalam, apa yang anarki tolak adalah struktur koersif yang sudah menjadi bagian integral dari hierarki. Berorganisasi dengan cara yang anarkistik tentu saja merupakan sesuatu yang sangat mungkin. Para anarkis kontemporer banyak yang menggunakan kolektif—atau grup afinitas—sebagai alat organisasi mereka. Di Indonesia sendiri, banyak kolektif-kolektif yang eksis. Dari sekian banyak kolektif tersebut, hampir mayoritasnya seragam: diinisiasikan oleh pemusik-pemusik punk rock dan sejenisnya. Kegiatannya pun serupa: menyablon, tempat ngumpul, dan mabok. Tanpa menihilkan adanya kegiatan lain seperti pertukaran informasi dan distribusi, kolektif-kolektif tersebut terlalu sangat disibukkan oleh hal-hal seperti itu sehingga tak mempunyai daya tohok terhadap sistem dominasi yang katanya mereka tentang. Jangan tersinggung jika anarki hanya mendapat tempat sebagai kenakalan masa remaja saja bagi masyarakat di luar kultur tersebut.
Gerakan anarki pun hanya termanifestasikan dalam bentuk musik keras dengan lirik yang tidak ada juntrungannya. Atau konsep murahan atas nama do it yourself, yang bukannya membebaskan diri untuk berkreasi, malah menjadi dogma yang lain. Ketika dogma menginfeksi otak, maka yang terjadi adalah kemacetan aktifitas kemanusiaan. Kolektif sendiri, sebagai bentuk organisasi yang anarkistik, kehilangan daya kreatifnya dan terpinggirkan. Ia tak lagi mempunyai keunikan dengan konsep desentralis, egaliter, maupun partisipatoris. Ia hanyalah sebentuk perkumpulan yang sama tidak berbahayanya dengan band pop versi mayor label[2].
Dalam pembantaian yang dilakukan sistem dominasi setiap harinya, hanya sekedar mengandalkan strategi kemalasan, kontra-kultur, merebut kebahagiaan personal yang terpisah dengan personal-personal lainnya yang lebih luas; tanpa dibarengi dengan hal-halnya lainnya sama saja dengan mengamininya. Tentu saja hidup ini tidak sekedar hitam-putih atau monoton. Tapi tentu kita juga dapat melihat keberpihakannya bukan?
Menolak sistem dominasi hari ini memerlukan analisa serta terlibat aktif dalam usaha penggerotannya. Usaha sekecil apa pun tentu sangat berarti semenjak kapitalisme dan sistem dominasi dipaksa berubah bentuk terus menerus lewat kemenangan-kemenangan proletar di berbagai belahan dunia. Semaju apa pun kapitalisme dan sistem dominasi, tak akan pernah menutup kemungkinan untuk melawannya. Jika para pendahulu kita dan proletar di belahan dunia lain saja sanggup, mengapa kita tidak?
Merengkuh hasrat personal adalah sesuatu yang revolusioner. Tapi hasrat sendiri tak pernah bisa berhenti hanya ketika kita telah merengkuh salah satunya. Setiap kali terjadi perengkuhan hasrat, akan terjadi produksi hasrat yang lebih tinggi lagi. Ini sama sekali bukan sedang mengamini klaim bahwa manusia pada dasarnya tamak. Tak ada sifat dasar manusia. Setiap orang lahir dengan kondisi dan lingkungan yang berbeda. Juga pilihan untuk keluar dari kungkungan sosial—dalam struktur massa—yang menegasikan personalitas.
Para anarkis lokal, yang sangat bangga mempertontonkan foto-foto dirinya yang sedang mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup muka di akun Friendster[3], justru terjebak dengan imaji perlawanannya sendiri. Tak heran jika kemudian hal itu membuatnya menjadi etalase perlawanan yang akan sangat sukacita disponsori oleh kapitalisme. Imaji yang anarkis lokal kedepankan dalam konteks ini, terpuruk habis dalam putaran imaji belaka. Di sini, anarkis didefinisikan lewat seberapa keren dia berdandan hitam-hitam dengan bendera A dilingkari sebagai latarnya—bukan dari aktifitas revolusionernya menghantam sistem dominasi hari ini. Tak ada bedanya dengan lifestyle-fashion versi majalah Cosmopolitan, bukan?
Menjadi revolusioner, dengan anarki sebagai titik tolaknya, bukan berarti berhenti menjadi keren. Cukuplah para aktifis ideologis (marxis-leninis, trotskyis, stanilis, nasionalis, posmodernis, maupun agamis) saja yang mencelakakan dirinya lewat klaim radikalitas yang kenyataannya membunuh kreatifitas. Anarkis harus mampu melihat cakrawala lain yang mungkin—yang melampaui batas-batas cakrawala yang ditawarkan dunia modern dan sistem dominasi hari ini. Kegiatan-kegiatan revolusioner diusahakan semaksimal mungkin untuk menarik dan menggairahkan dalam berbagai aktifitasnya. Karena kita tak bisa keluar dari kesuraman dunia hari ini dengan mengadopsi lebih banyak kesuraman.
Tak bisa dipungkiri memang, bahwa perjuangan adalah sesuatu yang berat, melelahkan, dan bahkan memuakkan. Tapi apakah jalan hidup yang ditawarkan sistem dominasi hari ini dapat membuatmu bahagia secara utuh? Atau lebih mudah dari melakukan suatu perlawanan bagi hidup kita yang terampas?
Untuk dapat diterima dalam struktur massa yang eksis hari ini, engkau harus mengikuti aturan yang sama sekali tidak pernah dikonfirmasikan kepadamu sebelumnya. Engkau harus tampil trendi dan gaul. Atau elegan. Untuk itu engkau harus bersusah payah mengikuti tren mode dan fashion, juga referensimu akan teknologi yang gadget—mereka tak butuh gejolak jiwa apalagi filosofi karena mereka hanya akan menilaimu dari permukaannya saja, kamerad. Untuk dapat memiliki hal-hal itu (barang-barang dan status kelas), engkau harus punya uang untuk membelinya. Sementara engkau tak selamanya mampu mengakses itu karena sedari kamu lahir tirani ekonomi telah meluluhlantakkan dirimu dan lingkunganmu. Kemudian, engkau harus bekerja agar dapat uang dan mampu mengakses hal-hal tersebut. Untuk dapat diterima kerja, engkau harus menghilangkan kekritisan dan kreatifitasmu dan hanya menuruti perintah bosmu. Akh, ternyata uangmu tak cukup banyak kamerad: engkau harus bekerja lebih keras dan lebih banyak lagi. Untuk itu, engkau harus benar-benar menjadi robot dan menghilangkan kemanusiaanmu yang masih tersisa. Akhirnya engkau pun lupa, benar-benar lupa, akan tujuan awalmu menjadi bahagia.
Mempunyai uang dan mampu mengakses banyak hal adalah sesuatu yang membahagiakan, memang. Tapi tidakah terlihat bahwa hanya sedikit saja orang yang mampu menjadi seperti itu? Padahal, bukankah hal-hal seperti itu seharusnya dapat diakses dan dinikmati oleh banyak orang?
Kebahagiaan adalah nilai yang luhur. Inilah dikotomi antara kerja dan bersenang-senang. Kerja yang didasarkan oleh tanggung jawab, mereduksi harmoni ke dalam beban. Bersenang-senang didasarkan oleh rasa cinta. Ia takkan pernah menjadi suatu beban karena ia tak memuat nilai beban. Prinsipnya adalah kebahagiaan akan tercipta jika kebahagiaan terjadi di sekitarnya. Seorang personal akan tetap eksis dalam sebuah masyarakat, begitu pula sebaliknya. Kebahagiaan yang separatis sewaktu-waktu akan menciptakan konflik. Manusia baru benar-benar bebas hanya ketika berada di antara persamaan manusia yang bebas juga.
Tak Cukup Bagi Anarkis Untuk Menjadi Manusia, Ia Harus Menjadi Dinamit yang Menyala
Di tengah perang kelas yang sedang diredam ini, anarkis harus mampu menunjukkan poin-poin uniknya yang melampaui kedangkalan kritik oposisi-bayangan[4] dari sistem yang eksis hari ini. Sekaligus menohok pengorbanan diri para puritan agamis demi sesuatu di luar dirinya.
Dengan menolak cetak-biru yang dipaksakan, kita telah memulai sebuah perjalanan yang penuh petualangan untuk hidup. Masa depan belum lagi tertulis. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi di sana. Satu-satunya hal yang pasti adalah saat ini kita sedang dihancurleburkan dengan sangat pelan dan terstruktur rapih. Revolusi kecil-kecilan atau bahkan yang terbesar sekaligus, jika tak melihat struktur hierarkis sebagai akar dari masalah, akan menistakan dirinya sendiri ke dalam lubang yang sama menyedihkannya. Permasalahannya bukanlah bahwa orang yang memimpin kita itu baik atau tidak. Dapat menjadi suri teladan atau oportunis. Masalahnya, ketika siapa pun—dengan ideologi apa pun—yang menceburkan diri ke dalam struktur hierarkis, akan tersedot habis di dalamnya.
Perjuangan anarkis, dengan itu harus merujuk bukan hanya pada masa lalu yang gemilang maupun masa kini yang terasa gelap. Ia harus mampu untuk membuat formula dan cetak-kecilnya sendiri. Sekedar melakukan aktifitas-aktifitas perlawanan yang telah direkuperasi, tak akan mampu menerobos kebuntuan.
Grafitty action dan mural, misalnya. Hal ini telah kehilangan daya tohoknya bagi sistem dominasi semenjak grafiti dan mural telah menjadi ajang eksistensi sebuah genk motor atau karya seni belaka. Bukan menyepelekan daya picu dari hal ini, tapi hal ini pun perlu dibarengi hal-hal laen yang memang dapat menampar kekuasaan—jika memang perjuangan ini adalah untuk hidup, bukan sekedar bertahan hidup.
Setelah sekian waktu merongrong dengan destruksi-destruksi kecil, sudah saatnya bagi para anarkis untuk memperbesar ruang destruksi tersebut. Sekedar menjadi true dalam sistem yang tak lagi peduli pada imaji maupun ideologi, akan membuat anarkis menjadi komodifikasi berikutnya. Mtv bukan hanya sekedar saluran musik, sebagaimana lirik fuck the system bukan lagi sesuatu yang agitatif.
Hidup harus dirayakan dengan segenap madu dan racunnya. Merengkuh salah satunya dengan menegasikan lainnya tak membuat kita menjadi anarkis yang kuat. Harmoni dari hal tersebut akan menjadikan revolusi dan perjuangan menjadi sebuah tarian penyemangat—seperti Infernal Noise Brigade[5] yang menjadi molotov kedua ketika para insureksioner sedang berpesta menghancurkan tatanan koersif. Dan hidup pun bukan lagi sekedar atribut pembenaran-pembenaran ideologis saja. Atau sekedar artefak “kejayaan masa muda” yang akan diceritakan dengan kebanggaan yang tolol kepada generasi sesudahnya kelak.
Dibutuhkan satu langkah nihilistik lagi bagi para anarkis untuk menjadi lebih revolusioner!
Lentera Izhtarza
[1] Penggunaan istilah anarkis lokal dalam tulisan ini adalah untuk menggambarkan para anarkis yang hanya bangga pada tataran imaji belaka—sebagaimana hal itu merupakan latar belakang dari tulisan ini. Tak ada maksud mendefinisikan secara hitam-putih mana anarkis yang revolusioner dengan mana yang sekedar ikut-ikutan. Tulisan ini hanyalah sebuah kritik ringan yang coba membedah keberpihakan anarkis pada perang kelas dan perayaan hidup yang lebih bergelora.
[2] Setidaknya Chumbawumba, sebuah band pop dari Inggris, punya sesuatu yang sangat inspiratif ketimbang superstar hardcore/punk.
[3] Menggunakan balaklava, atau penutup muka lainnya merupakan sebuah upaya untuk menjadi anonim dan tidak teridentifikasi oleh aparat sistem dominasi. Ironisnya, para anarkis lokal menganggap hal itu hanyalah sebagai fashion belaka. Perhatikan saja, disamping foto-foto dirinya yang menggunakan balaklava, terpampang wajahnya dengan jelas. Untuk negara dengan intelejen yang payah seperti Indonesia saja, pihak intelejen akan dengan mudah mengendus dan menangkap para anarkis. Bayangkan jika Indonesia telah sedemikian apokalips seperti yang dibayangkan Orwell dalam 1984.
[4] Term ini ditujukan bagi kelompok-kelompok oposisi kekuasaan yang seolah-olah menampilkan sesuatu yang berbeda. Tapi tentu saja, satu-satunya hal yang membedakan mereka hanya tampilan dan bentuknya saja; substansinya tak berbeda dengan kekuasaan yang sedang eksis. Beberapa contoh argumen yang dikemukakan oleh kelompok oposisi-bayangan adalah, “yang salah itu pemimpinnya karena bukan orang yang baik”; “yang salah itu sistem pemerintahannya, seharusnya industri dan lain-lainnya dikuasai negara”; “yang salah itu negaranya, seharusnya berada di bawah kekhalifahan agar rakyat makmur sejahtera”; dan lain-lainya yang sama sekali tak mempermasalahkan struktur hierarkis yang mengintegralkan pembagian manusia ke dalam kelas-kelas sosial dan diskriminasi.
[5] Infernal Noise Brigade, merupakan sebuah marching band mutan radikal yang memainkan musik untuk merubah demonstrasi yang membosankan menjadi sebuah pesta jalanan. Pertama kali dibentuk untuk berpartisipasi dalam protes anti-WTO di Seattle tahun 1999. Setelahnya, mereka banyak terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi di Praha, Mexico, Skotlandia, dan lain-lainnya.
Senin, 01 September 2008
SAATNYA MEMILIH UNTUK MENGHANCURKAN
“Negara, apa itu? apa boleh buat, bukalah kupingmu, sebab kini aku akan mengatakan padamu tentang kematian bangsa-bangsa. Negara adalah monster paling dingin. Dengan dingin ia menipu pula; dan kebohongan ini merangkak dari mulutnya : 'aku, sang negara, adalah rakyat.' Bohong itu! para penciptalah yang menciptakan rakyat dan menaruhkan iman dan cinta di atas mereka : demikianlah mereka melayani kehidupan. Sedang para penghancur memasang jerat bagi orang banyak dan menamainya negara: mereka gantungkan sebilah pedang dan seratus hasrat di atas mereka...”
Friedrich Nietzsche – Tentang Berhala Baru dalam Sabda Zarathustra
Dalam setiap perkembangan kesejarahan, masyarakat selalu menganggap bahwa keberadaan negara sangatlah penting. Mereka berasumsi bahwa eksistensi sebuah negara beserta aparaturnya diperlukan untuk mensejahterahkannya sekaligus melindungi mereka dari serangan pihak luar. Dari asumsi inilah setiap keputusan yang berkaitan dengan kehidupan harian selalu dirancang dan ditentukan oleh segelintir elit negara melalui mekanisme hukum.
Lalu, Apa itu Negara?
Dalam karya F. Engels, Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, disebutkan bahwa, "Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit 'realitas ide moral', 'bayangan dan realitas akal' sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Malahan, negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib'; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara.”
Dari pernyataan Engels tersebut dapat ditarik sebuah argumen bahwa negara adalah produk dari sejarah peradaban masyarakat, di mana negara menjadi bentuk pendamaian antagonisme kelas-kelas dalam masyarakat, yaitu antara ”kelas tertindas” dan ”kelas penindas”. Dan negara pula yang menjadi sebuah jembatan agar ”si kaya” merasa aman dan bahagia karena hartanya dilegalitaskan oleh hukum ”sang negara”, sedang ”si miskin” merasa bahwa hidupnya tidak ada yang salah karena selalu dicekoki ilusi-ilusi nasionalisme dan patriotisme.
Di setiap perkembangan peradaban masyarakat, basis dari sebuah kehidupan sosial ditentukan berdasarkan proses produksi. Pada tahap awal peradaban masyarakat, metode produksi dilakukan seperti apa yang digambarkan oleh Marx, "Mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.” Pada tahap ini masyarakat hidup beriringan bersama sumber daya alam dengan dilandasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan. Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan peradaban masyarakat pula yang mendorong untuk memberhangus prinsip-prinsip hubungan sosial yang berdasarkan kesetaraan dan keadilan dengan prinsip-prinsip penguasaan, dominasi, eksploitasi, dan privatisasi. Dan prinsip-prinsip ini telah bertansformasi dalam sebuah sistem yang disebut dengan kapitalisme.
Untuk menjalankan prinsip-prinsip hubungan sosial yang berbasiskan penguasaan, dominasi, eksploitasi dan privatisasi, kapitalisme membutuhkan sebuah kekuatan untuk mereproduksi dirinya. Dan kapitalisme telah menemukan kekuatan tersebut dalam sebuah wujud yang disebut negara.
Ada Banyak Ilusi Dalam Wujud Negara
Sejak kapitalisme dan negara adalah sebuah rangkaian yang tak terputuskan, maka sejak itulah kita sering disajikan ilusi-ilusi yang seolah nyata. Salah satu wujud ilusi tersebut termanifestasikan dalam sebuah konsep yang dinamakan dengan ”demokrasi”. Demokrasi yang diusung oleh negara seringkali dimaknai dengan kebebasan berpendapat, maupun berekspresi dalam menentukan sebuah kehidupan. Namun sesungguhnya pemaknaan atas demokrasi yang diusung negara hanyalah sebuah mitologi yang tak pernah menemukan pembenarannya dalam praksis kehidupan sehari-hari.
Makna demokrasi yang disajikan negara dalam praksis kehidupan sehari-hari lebih tepat diartikan sebagai kebebasan bagi ”yang kaya” untuk menindas ”yang miskin”; kebebasan berlomba-lomba dalam menguasai sumber daya alam dan manusia di tangan segelintir manusia; ataupun pula kebebasan para anggota parlemen dalam pemerintahan untuk menentukan kebijakan-kebijakan tanpa dapat kita kontrol kebijakan-kebijakannya tersebut. Makna demokrasi yang sesungguhnya pun semakin tereliminir sejak negara adalah sebuah bentuk kesatuan yang tersentralir, dan dijalankan dengan konsep top down. Untuk memperindah ilusi tentang demokrasi dan meredam kontradiksi dari wujud sebuah demokrasi itu pula, kita sering didengungkan oleh negara dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme dan patriotisme ini dapat dimaknai sebagai sebuah ninabobo agar kita merasa bahwa tak ada yang salah dengan negara. Dan bahwa apapun bobroknya negara beserta kebijakan dan sistemnya, kita harus tetap dalam konteks kepatuhan dan kecintaan terhadap tanah air.
Sebagai contoh kajian di atas kita dapat berkaca pada kebijakan kenaikan harga BBM yang diterapkan oleh pemerintah beberapa bulan lalu. Padahal kita tahu bahwa alam raya ini kaya akan minyak mentah yang jika didistribusikan secara desentralisir dan merata, kita akan dapat menikmati minyak tersebut sampai 15 tahun ke depan. Namun apa yang terjadi? pemerintah malah menyerahkan pengolahan dan pengelolaannya pada pihak kapitalis yang memang notabene adalah sebagai sebuah wujud konspirasi busuk. Lalu, apakah kita pernah diberikan kesempatan untuk menyuarakan aspirasi kita sesuai dengan makna demokrasi tersebut? Tidak. Tidak pernah.
Mungkin akan ada anggapan bahwa, lain negara akan lain pula bentuknya. Tidak! Negara di mana pun akan tetap sama. Entah itu Amerika, Inggris, Kuba, Korea Utara, ataupun Cina. Kekuasaan tetap dimonopoli oleh struktur-struktur kekuasaan yang dijalankan berdasarkan hierarki di mana selalu ada pemimpin dan yang dipimpin. Individu-individu tetap tak akan memiliki kontrol atas hidupnya karena hidup dan nasibnya ada pada kontrol segelintir individu lain. Bukankah ini artinya bahwa segala sesuatu yang ada dalam wujud negara adalah korup?
Kemiskinan Demokrasi Dalam Negara
Kita sering mendengar demokrasi didengungkan oleh sebuah negara dalam kehidupan sehari-hari kita, entah itu dengan mengatakan bahwa baik kebijakan-kebijakannya maupun sistem pemerintahan yang dijalankannya berlangsung secara demokrasi. Kita pun terbius hingga berasumsi bahwa negara itu selalu benar dan sangatlah demokratis dalam menjalankan sistem pemerintahannya.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, ”seberapa demokratisnya sebuah negara hingga kita beranggapan bahwa bentuk demokrasi yang dijalankan oleh negara adalah yang paling demokrasi sekali?” Tak pernah ada demokrasi dalam negara. Demokrasi dalam negara lebih diartikan sebagai memilih sebuah pilihan untuk merepresentasikan hidup kita. Kita tak akan dapat mengenal pilihan dalam hidup karena sedari awal, pilihan hidup kita akan dipilihkan oleh individu yang menjadi perwakilan kita. Para kaum legislatif, eksekutif, yudikatif, sampai politisi murahan pun, akan mengklaim bahwa diri mereka adalah wakil bagi kita. Sampai-sampai segala kebijakan apa pun yang menyangkut hidup harian kita pun, mereka yang putuskan. Inilah yang kami sebut dengan demokrasi perwakilan, di mana segala keputusan yang menyangkut hidup kita diwakilkan oleh segelintir orang yang duduk dalam kursi parlemen.
Di dalam demokrasi perwakilan, minimal diperlukan sebuah gerombolan atau massa agar konsep perwakilan itu menjadi eksis. Ketika itu, konsepsi perwakilan ini akan mendorong massa untuk melegitimasi kekuasaannya dengan landasan kebenaran mutlak. Di sinilah lahir apa yang disebut dengan tirani mayoritas, di mana logika ekonomi kapitalis bahwa ”yang paling banyak adalah yang paling baik” memainkan peran yang paling besar. Dalam konsepsi ini ada sebuah anggapan atau pendekatan psikologis bahwa kepentingan mayoritas berada di atas segala-galanya. Jadi ketika ada sempalan dari massa yang merasa perlu adanya pendapat atau argumen yang berbeda dari pendapat massa maka pendapat itu tidak akan dianggap bahkan mungkin akan direpresi habis-habisan. Contoh mudahnya adalah ketika Pemilihan Kepala Daerah. Calon-calon Kepala Daerah tersebut, dengan gaya politik pencitraanya, akan mencoba untuk mengilusi massa dengan janji-janji manisnya. Apakah juga pendapat kita akan didengarkan? Tidak! Calon tersebut akan tetap terpilih dan kekuasaan akan tetap berjalan sebagaimana mekanisme ”pemimpin dan yang dipimpin” atau ”majikan dan bawahan” berjalan. Dan kita telah dinegasikan atas nama mayoritas. Jadi apa bedanya demokrasi dengan ketidakadilan?
Sangatlah konyol jika Pemilu lima tahunan ataupun Pemilu-Pemilu lain dikatakan sebagai indikator betapa demokratisnya sebuah sistem yang dijalankan oleh negara. Pada prakteknya pemilu tak ubahnya sebagai bentuk pereduksian demokrasi sejak pemilu itu sendiri dimaknai sebagai sebuah agenda penumpukan massa. Bagi partai pengikut pemilu, kesadaran dan kekritisan massa adalah nomer kesekian sedangkan dukungan dan pelipatgandaan massa adalah hal yang utama agar ”agenda-agenda” mereka yang otoritarian dan eksploitatif dapat bergerak leluasa menembus sendi-sendi kehidupan kita. Dalam Pemilu pun, kita hanya dibutuhkan tak lebih dari suara dan dukungan kita agar Partai A ataupun pemimpin A memenangi pemilu tersebut. Sedangkan selebihnya, kita hanya menjadi penonton pasif yang hanya bisa menonton kebijakan-kebijakan yang oh-sangat-demokratis-sekali dari para elit politik yang telah kita pilih saat pemilu tanpa pernah kita ikut aktif mengkonstruksikan kebijakan-kebijakan tersebut.
Hidup Untuk Dipilihkan, Bukan Untuk Memilih
Demokrasi telah memberikan ilusi kepada kita bahwa kebebasan dalam menentukan pilihan hidup sepenuhnya ada pada tangan kita. Itu bohong! Sesungguhnya tak ada kebebasan dalam menentukan pilihan dalam hidup jika kita masih berada pada kekuasaan negara. Sekarang perhatikan, negara dalam hal ini mempunyai definisi minimal sebagai sebuah organisasi besar yang di dalamnya mengharuskan adanya pemimpin dan yang dipimpin, serta interaksi sosial yang otoritatif. Lalu dengan hal ini apakah masih mungkin kebebasan menentukan pilihan hidup ada di tangan kita? Kebebasan tersebut jelas akan dipecundangi oleh bermacam aturan-aturan hukum dan ekonomi yang dibuat demi kepentingan elit penguasa dengan tanpa melibatkan partisipasi kita.
Pemilu yang menurut mitos para penguasa merupakan wujud ekspresi kebebasan memilih bagi tiap individu, sesungguhnya merupakan parodi nyata dari kebebasan itu sendiri. Jika menilik realitanya, Pemilu merupakan sebuah ketidakberdayaan kita untuk mengkreasikan pilihan-pilihan kita sendiri–di mana pada dasarnya kita hanya dibebaskan memilih pilihan-pilihan yang berada pada koridor yang telah ditetapkan. Dalam pemilu memang kita diberikan kebebasan langsung dalam memilih, semisal kita bebas memilih partai A, B, dan C atau pemimpin A, B, dan C. Tapi apakah partai-partai dan pemimpin-pemimpin tersebut telah benar-benar dapat memperjuangkan nasib kita, sehingga partai-partai dan pemimpin-pemimpin tersebut layak kita pilih. Nasib kita akan tetap sama, dan kita akan tetap dipecundangi elit-elit partai dan pemimpin-pemimpin yang kita pilih dengan retorika belaka. Karena pada dasarnya pemimpin-pemimpin yang kita pilih hanya mementingkan suara-suara kita demi memuluskan langkah mereka untuk duduk di kursi kekuasaan dan menikmati segala privelese. Setelahnya, kita akan dicampakkan dengan bermacam alibi-alibi pembenaran mereka. Jadi faktanya adalah bahwa dalam negara hidup kita telah dipilihkan dan bukan kita yang mengkreasikan pilihan-pilihan itu.
Ini Bukan Saatnya Memilih, Tapi Menghancurkan!
"Aku akan mengatakan padamu dengan segenap energi dan kesedihan di dalam hatiku: pisahkan dirimu dari mereka yang mencerabut diri dari dirimu, melalui separasilah kalian akan menang. Tanpa representatif, tanpa kandidat.
P.J Proudhon
Kontradiksi antara negara dengan demokrasi sesungguhnya amatlah lebar. Tak pernah ada korelasi nyata antara negara beserta sistemnya yang sentralis dengan demokrasi. Namun perlu diketahui bahwa ketiadaan korelasi antara negara dan demokrasi bukan terletak pada siapa pemimpinnya dan apa ideologinya, seperti yang sering dikultuskan oleh para aktivis murahan dan para elit politik dengan kata-kata, "kita harus punya pemimpin yang tegas dan mampu memimpin negeri ini menuju iklim demokrasi." Bagaimanapun kita mengganti pemimpin dan sistemnya hingga ribuan kali, negara tetap tak akan menjalankan demokrasi dengan sesungguhnya.
Kontradiksi ini lebih dikarenakan oleh interaksi sosialnya yang koersif dan menghamba pada mekanisme "pimpinan dan yang dipimpin" yang ada pada wujud negara. Interaksi sosial seperti inilah yang telah mereduksi makna demokrasi yang sesungguhnya. Karena demokrasi yang sebenarnya adalah bahwa kita mempunyai kebebasan mengkreasikan segala pilihan hidup kita. Jadi kontradiksi ini sepenuhnya terletak pada sebuah kekuasaan, sehingga dapat dikatakan sebaik apa pun pemimpin, jika kekuasaan masih tetap mengambil peran besar dalam interaksi sosialnya, maka demokrasi adalah absurd adanya.
Jika kita masih menginginkan hidup yang indah di mana kebebasan mengkreasikan hidup terletak di tangan kita sepenuhnya, apakah kita tetap harus memilih pemimpin lain beserta sistemnya namun berada pada kekuasaan? Ttidak memilih di sini haruslah melampaui makna bahwa kita tidak memilih apa pun karena kita tidak mempercayai pemimpin ini ataupun pemimpin itu. Kita golput karena kita telah muak dengan sebuah kekuasaan yang tersentralisir dan telah lelah dipecundangi oleh negara dan elit politiknya. Kenyataannya, jika kekuasaan masih eksis maka ketidakadilan, penindasan, pengeksploitasian, dominasi, dan kemiskinan adalah niscaya. Kita harus memilih untuk menghancurkan kekuasaan tersebut. "Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas," kata Errico Malatesta. Yang perlu kita lakukan adalah memilih menghancurkan segala kekuasaan yang koersif, yang termanifestasikan dalam negara beserta sistemnya yang sangat otoritatif.
Mungkin sebagian besar dari kita mempunyai ketakutan akan kondisi yang destruktif dan tidak teratur, jika negara tidak eksis. Inilah kebodohan kita. Otak kita telah teracuni oleh sampah imaji yang diciptakan negara dan konspirasinya, sehingga kita tak mampu hidup jika tanpa negara dan sistemnya. Sesungguhnya kita dapat hidup tanpa struktur-struktur kekuasaan yang tersentral. Contoh mudahnya, kita dapat melihat pada konsep interaksi sosial pertemanan, di mana interaksi sosial ini didasari pada interaksi yang nonhierarki dan relatif bebas tanpa ada sebuah kekuasaan yang merepresi satu sama lain. Ini karena dalam diri kita sendiri ada naluri alamiah untuk bebas dari berbagai bentuk eksploitasi dan memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang diinginkan, serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Tentu saja kita tidak butuh pemimpin, negara, ataupun kekuasaan. Karena yang kita butuhkan sesungguhnya adalah sebuah desentralisasi total atas hidup harian kita, di mana aku, kamu dan kita mempunyai kontrol penuh atas hidup harian dengan tanpa ada keinginan untuk saling menguasai dan mendominasi satu sama lain. Sekarang saatnyalah menghancurkan kekuasaan dan menata ulang interaksi sosial kita dengan landasan antiotoritarian dan demokrasi partisipatoris sehingga kemanusiaan akan makin gemilang selayaknya sebuah sinar mentari yang mencerahkan seluruh umat manusia dan seisi bumi.
Jayalah Anarki!
Alessandro DeL Piero
HEY KAWAN, MARI KITA BERLIBUR
Jika pemungutan suara bisa merubah segalanya, itu pasti illegal – Ray Cunningham
Beberapa tahun belakangan, negeri ini katanya mengalami kemajuan pesat dalam demokrasinya. Pilkada secara langsung, misalnya. Tapi ah, itu cuma pendapat elit politik saja. Buktinya demokrasi yang dijalankan tetap bukan solusi terbaik. Pemimpin boleh silih berganti, tapi kenyataannya semua tetap berjalan sama saja.
Lihat saja hasil dari pemilihan kepala daerah, di mana-mana justru dimenangkan
oleh golput. Secara kasar, berarti masyarakat sudah tidak lagi percaya dengan demokrasi perwakilan yang diterapkan saat ini. Bermacam alasan diutarakan, mulai dari yang merasa golput adalah solusi, calon pilihan tidak ada yang sesuai, hingga mereka yang jenuh: memilih atau tidak memilih tidak akan memberikan perubahan.
Bicara mengenai pilkada, pastinya tidak akan lepas dari janji-janji manis yang dilontarkan untuk menghipnotis para pemegang hak pilih. Juga bagaimana program kerja yang ditawarkan, hingga kita menyadari bahwa semua itu hanya omong kosong untuk memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dalam pesta pemilihan.
Pada prakteknya, lima tahun ke depan birokrasi tetap akan ribet. Peluang korupsi di pemerintahan akan tetap sama, kesejahteraan hanya pada kelas ekonomi mapan, pendidikan tetap akan menghasilkan robot-robot pekerja, dan hal-hal sama lainnya atau bahkan akan lebih buruk lagi. Untuk berpartisipasi sebagai kandidat pemimpin, membutuhkan dukungan partai politik, yang pasti membutuhkan dana besar. Pastinya dana itu juga harus diganti bila menang dalam pemilihan. Pada akhirnya semua pemimpin akan tetap mempertahankan kepercayaan para penyokong dana kampanye selama dia menjabat posisi pimpinan, di mana penyokong dana adalah pengusaha yang membutuhkan birokrat agar bisa melanggengkan bisnis tanpa ada hambatan dari birokrasi yang ribet.
Lalu bagaimana nasib kita yang diistimewakan selama pesta demokrasi tadi? Di saat suara kamu dibutuhkan, tentunya kamu akan disanjung dan dibuai dengan janji-janji manis. Berbagai fasilitas akan diperoleh karena mereka sedang membutuhkanmu. Berbagai panggung hiburan dengan deretan selebriti papan atas; bermacam baliho terpampang dengan slogan, nama, dan gambar calon pimpinanmu nantinya; hingga program-program kerja lima tahun ke depan yang mengilusi nasibmu. Dengan kata lain kamu akan menggantungkan segala keputusan hidupmu di tangan mereka. Setelahnya, seperti biasa, kamu hanya akan dicampakkan karena mereka telah berkuasa. Dan kamu tak akan sanggup mengontrolnya. Masihkah kamu mempercayai para wakil rakyat?
Kebebasan nyata tak akan dapat ditemui dalam kotak pemilihan. Kebebasan bukanlah berarti sekedar kemampuan untuk memilih dari beberapa alternatif—melainkan berpartisipasi untuk membuat alternatif sendiri, membentuk dan mendekor ulang lingkungan di mana alternatif-alternatif tersebut dapat terbentuk. Inilah yang sebenarnya didambakan masyarakat saat ini, di mana kita harusnya terlibat langsung dalam menentukan jalan hidup yang akan kita lakukan—bukan melalui perwakilan hidup.
Pemilihan pemimpin adalah wujud ekspresi dari ketidakberdayaan masyarakat, karena hanya menggantungan pilihan hidup pada segelintir pihak di luar dirinya. Pada kenyataannya kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri tanpa perlu diwakilkan oleh mereka. Kita sendirilah yang akan menjalani hidup ini dengan atau tanpa mereka yang duduk sebagai penguasa.
Mari kita menikmati hidup. Ada banyak alternatif untuk hidup bahagia tanpa adanya
sosok pemimpin dan negara. Mulailah dari masyarakat kolektif yang menerapkan demokrasi partisipatoris dalam keseharian, di mana para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan, dalam posisi yang setara dan tidak ada paksaan. Lupakan juga standarisasi nilai yang benar maupun yang salah. Biarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara pencapaiannya sendiri. Tidak ada seorang pun yang lebih mampu menentukan bagaimana seseorang harus hidup, tidak ada seorang pun yang dapat menentukan pilihan tentang apa yang harus dilakukan untuk mengisi waktu dan lebih mengenal potensi yang dimiliki—selain dirimu sendiri.
Ini adalah hidupmu, pegang kendali penuh atasnya. Menyalahkan mereka tidak akan pernah merubah hidupmu menjadi lebih baik. Ah, sepertinya lebih baik kita berlibur daripada harus antri ke bilik suara yang tidak akan pernah merubah nasib kita seperti pemilihan-pemilihan umum yang lalu.
Menikmati hidup dengan bersenang-senang tentunya akan lebih bermakna bagi kita. Menghabiskan hari bersama keluarga yang selama ini sedikit kita lupakan, meneruskan hobi yang semakin kita sisihkan, menyirami kembali pikiran yang penuh dengan kebosanan dengan berbagai aktivitas menyenangkan, mengunjungi keluarga atau teman lama yang sudah lama tidak kita kunjungi, dan banyak lagi kegiatan yang selalu kalah oleh kesibukan kita sehari-hari.
Lupakan pemilihan-pemilihan pemimpin, karena itu hanyalah omong kosong tentang keadilan demokrasi perwakilan yang tidak akan pernah membawa kesejahteraan bagi kita semua. Penyerahan keputusan hidup secara mutlak pada wakil-wakil di luar diri kita hanya sebuah perwujudan kebodohan yang dipaksakan. Tirani mayoritas yang dilegalkan.
Untuk bisa membuat taman bunga yang sangat indah, kita harus mencabut tanaman-tanaman pengganggu sampai ke akarnya. Tanam bibit-bibit bunga baru, sirami dan rawat dengan penuh kesungguhan. Hingga ia akan mengembang saat senja secara malu-malu menampakkan wajahnya. Bagi kita semua.
Soetojo Soetojo
PERUBAHAN KAMPUS ATAU KAMPUS PERUBAHAN? Sebuah Realitas Dikotomi Otoritas Dalam Dunia Pendidikan
Pada isu kali ini mencoba menyambung tentang betapa otoritas kekuasaan semakin membelenggu hidup kita untuk pembebasan diri. Kami masih percaya bahwa pendidikan adalah sesuatu yang penting. Bagaimanapun, kampus masih dianggap sebagai pusat perubahan. Di benak kami tersimpan pertanyaan, relevankah jika kampus saat ini disebut sebagai ruang atau pusat perubahan jika di dalamnya masih ada kontrol-kontrol yang ketat atau belenggu dari otoritas yang kejam? Perubahan seperti apa yang terjadi dalam kampus saat ini? Hal itu akan kami coba analisa pada jurnal kali ini.
Sorak-sorai menderita.
Perubahan ruang-ruang pendidikan, terutama kampus sebagai ladang bisnis sebenarnya bukan lagi rahasia bagi dunia global. Keadaan yang memuakkan ini ternyata berawal ketika WTO membahas 12 sektor jasa dalam General Agrement on Tariff and Services (GATS). Liberalisasi pendidikan adalah salah satu yang dibahas di dalamnya. Pendidikan pun dijadikan sebagai barang komersial yang dapat diperjualbelikan sesuai dengan logika perdagangan ala WTO. Maka tidak ada alasan lain bagi pemerintah di setiap negara yang tergabung di dalamnya, untuk keluar dari kondisi yang telah ditetapkan. Hal ini berdampak pada semakin terbukanya arus pergeseran kapital dalam dunia pendidikan.
Di Indonesia, Untuk menjamin langgengnya keadaan ini maka pemerintah dengan kekuatan otoritas tunggalnya mulai melakukan perubahan kebijakan. Mulai dari perubahan UU Sisdiknas, Kebijakan BHMN (Badan Hukum Milik Negara), RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan), termasuk Perpres No. 76 dan 77 Tahun 2007. Dengan adanya perubahan kebijakan ini maka kampus-kampus pun mulai berbenah. Mereka mencari sumber dana akibat pengurangan subsidi. Kampus pun mulai bersolek untuk merebut gengsi tampilan, sampai kegiatan promosi/iklan yang memuakkan di media-media massa. Tidak hanya itu, perguruan tinggi juga mulai mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan perusahaan, dan kerja sama internasional.
Lalu Apa Yang Terjadi?
Di bawah ketertundukan dan takut tergilas oleh globalisasi, mahasiswa harus mempelajari berbagai macam spesialisasi untuk kebutuhan dalam industri. Untuk itu mahasiswa semakin digenjot untuk menjadi robot yang patuh pada logika industri.
Selain itu, sebagai individu-individu bebas, mahasiswa sering kehilangan kontrol akan dirinya. Tidak sedikit dari mereka mulai membiarkan diri terjerumus dalam ketidakberdayaan dan rela kehilangan kepercayaan akan dirinya, demi standar nilai indeks prestasi dalam pasar tenaga kerja. Mereka juga mulai mempraktekkan cara-cara instant seperti mencari calo pembuat tugas kuliah, membeli tugas akhir, sampai memberi upeti pada dosen pengajar. Lalu siapa yang salah sekarang jika begitu keadaannya?
Dahulu, universitas memiliki sebuah prestise khusus; mahasiswa menjadi yakin bahwa mereka beruntung karena diterima di sana. Tapi mereka sangat terlambat. Pendidikan mekanikal dan spesialisasi telah mengalami degradasi yang parah (dalam kaitannya dengan tingkat kultur borjuis secara umum) sebagaimana juga tingkat intelektualitasnya, karena sistem ekonomi modern menuntut mahasiswa-mahasiswa yang diproduksi secara massal, yang telah dibentuk sedemikian rupa sehingga tak mampu lagi berpikir.
Lalu bagaimana dengan nasib organisasi mahasiswa saat ini? Berubahnya kampus menjadi ladang industri membuat para aktifis kampus kelimpungan. Gelombang perlawanan untuk mencari kelemahan dan menetralisir kebijakan pemegang otoritas tunggal terus dilakukan. Namun perubahan strategi yang dipraktekkan musuh tak mampu dianalisa, perlawanan pun semakin meredup. Dari beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, pihak kampus mulai melakukan pembungkaman dan pendisplinan bagi mereka yang dianggap sebagai ancaman. Dimulai dari terbunuhnya M. Ridwan, mahasiswa IKIP mataram (Mei -2006). Penyerbuan kampus UISU di Medan, sampai maraknya kebijakan skrorsing dan drop out yang mengubur masa depan mahasiswa. Pada bulan April–Mei terdapat dua kasus skorsing & drop out sepihak terhadap mahasiswa hanya karena melakukan kritik terhadap kampus. Kasus tersebut terjadi di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, di mana mahasiswa melakukan kritik terhadap kebijakan kampus melalui apresiasi seni. Kritik terhadap kampus juga dilakukan para mahasiswa Institut Teknologi 10 November Surabaya, yang menggelar “seminar jalanan” untuk mengungkapkan keterlibatan ITS dengan proyek Lapindo Brantas di Sidoarjo.
Yang paling brutal terjadi pada bulan September di Universitas HKBP Nomensen. 32 mahasiswa diskrosing, dan 12 mahasiswa di DO hanya karena kampus marah terhadap mahasiswa yang berpendapat bahwa orientasi mahasiswa tetap harus dipegang oleh mahasiswa lama, dan bukan yayasan. Pihak universitas takut jika kemudian tradisi aktifisme terus berlanjut.
Universitas menjadi sebuah organisasi pembodohan yang institusional; “kultur tinggi” sendiri telah didegradasikan dalam ban berjalan di pabrik-pabik untuk mencetak profesor. Tetapi para mahasiswa tidak sadar akan hal ini; mereka tetap mendengarkan dosen-dosennya dengan penuh respek, dengan sungguh-sungguh meniadakan segala semangat kritis yang dengan demikian membenamkan diri mereka ke dalam ilusi mistis tentang menjadi seorang “mahasiswa”—seseorang yang dengan sangat serius menekuni hal-hal yang juga serius, dengan harapan bahwa profesor mereka pada akhirnya akan memberikan kebenaran sejati dunia pada mereka.
Mahasiswa juga merupakan bagian yang harus dikorbankan dalam perubahan kampus sebagai akibat dari industrialisasi pendidikan. Peran para eksekutif dan legislaif mahasiswa tidak akan mampu lagi melakukan pembelajaran dan advokasi pada mahasiswa. Kebergantungan organisasi mahasiswa terhadap birokrasi telah mematikan ruang gerak kebebasan para aktivis di dalamnya. Dikeluarkannya beberapa aturan tentang kegiatan di luar perkuliahan seperti SK Mendikbud No. 028/U/1974 tentang Petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan dalam Rangka Pembinaan Kehidupan Kampus PT, Keputusan Pangkopkamtib No. 02/1978 tentang Pembekuan Dema, hingga SK Mendikbud No. 155/U/1998 tgl. 30 Juni 1998 tentang Pedoman Umum Organisasi kemahasiswaan di PT, semakin membuktikan betapa tidak berdayanya mereka di dalam lingkaran hierarki kekuasaan. Seperti telah dijelaskan di atas, birokrasi kampus tidak akan membiarkan “kucing-kucing liar” untuk hidup di kampus. Mereka harus dimatikan. Berbagai macam strategi telah dilakukan birokrasi kampus untuk mengendalikan organ kampus. Pengawasan ketat harus dilakukan untuk setiap kegiatan. Jika kegiatan itu dirasa akan memunculkan perlawanan maka pihak birokrasi tidak akan mengijinkan kegiatan tersebut. Maka, diperlukan perlawanan-perlawanan baru yang lebih variatif untuk membuat kontrol dipegang oleh diri sendiri.
Bukan Sekedar Perubahan Kampus, Tetapi Kampus Perubahan yang Kita Butuhkan
Perubahan kampus semacam ini dianggap sebagai sebuah kewajaran. Padahal apa yang kita butuhkan dan kita harapkan, bukan sekedar sekedar kampus ber-AC, bukan sekedar kerapian dari ruang-ruang belajar semata atau keindahannya semu lainnya. Sebab kita masih percaya bahwa kampus bukan sekedar pabrik-pabrik penghasil komoditas belaka. Ketidakmampuan perguruan tinggi membangun kapasitas keilmuan yang secara kritis mampu memberikan banyak perspektif epistemis, juga berpengaruh pada kualitas mahasiswa yang dihasilkannya. Perguruan tinggi hanya sekedar menjadi pabrik yang melahirkan produk massal yang bernama sarjana, yang bahan mentahnya adalah mahasiswa. Perguruan tinggi juga harus mengikuti selera pasar dalam melahirkan produk-produknya.
Dalam konteks lain, perguruan tinggi kemudian menjadi kelompok oportunis yang dibungkus oleh legitimasi ilmiah yang canggih. Pada titik inilah sebenarnya terjadi benturan yang sangat berat di internal sebuah perguruan tinggi, yang secara langsung mempengaruhi cara berfikir mahasiswanya. Akibatnya, mayoritas mahasiswa adalah mereka yang tidak kreatif, tidak inovatif, tidak kritis, serta tidak mempunyai visi perubahan secara esoterik dalam memandang masa depan masyarakatnya.
Pada akhirnya benar juga jika Paulo Freire menyebutkan bahwa “kebudayaan bisu” merupakan kontribusi sekolah (baca: Perguruan Tinggi) dalam melakukan penindasan yang melembaga. Hal itu terjadi lewat hubungan yang tidak setara dari sistem pendidikan dengan mengaburkan kontradiksi antara subjek (dosen) dan objek (mahasiswa), kaum penindas dan tertindas, dan pedidikan yang antidialog.
Dari Tertimpa Batu, Kampus pun Terjebak Dalam Lingkaran Api
Perubahan kampus menjadi industri bengkel manusia pada akhirnya menimbulkan persaingan. Untuk sebuah pengkondisian keadaan, dikotomi kekuasaan di dalam kampus semakin menjadi-jadi. Tidak hanya dari pihak birokrasi, bahkan organisasi intra kampus pun ikut terkontaminasi. Peluang setiap mahasiswa dalam partisipasi pada demokrasi kampus dibatasi. Keberadaan sistem perwakilan yang ada saat ini, pada akhirnya membuat mahasiswa terpaksa dan dipaksa untuk pasrah dan menunggu perubahan.
Setiap mahasiswa yang berada di dalam dikotomi kekuasaan hanya sekedar korban akal-akal dari berbagai macam program-program kerja. Yang terjadi kemudian adalah tidak membawa dampak perubahan bagi kemampuan intelektual dan kekritisan mahasiswa. Tidak hanya organ intra, organ ekstra kampus yang melabelisasi dirinya sebagai pelopor perubahan dengan model-model doktrinasinya malah menjadi kepanjangan tangan dari partai-partai politik yang mencari kader-kader yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Pada kondisi sekarang ini, sadar atau tidak, organisasi kemahasiswaan yang ada tidak dapat kita harapkan lagi. Dikotomi kekuasaan dalam sisstem hierarki yang halus telah diciptakan dengan penuh kepatuhan. Organisasi kemahasiswaan tak mampu lagi berbuat banyak, mereka dipaksa untuk patuh sebab kini lembaga kemahasiswaan semakin kehilangan otonominya. Dengan begitu, kritisisme yang diharapkan terjadi dalam organisasi kemahasiswaan, sangat bergantung pada otoritas perguruan tinggi. Otoritas birokrasi perlu kita sadari juga memiliki kekuatan yang berasal dari legitimasi raksasa kekuasaan, yaitu pemerintah dan kapital.
Kami Masih Percaya Kampus Bisa Menjadi Ruang Perubahan Jika di Dalamnya Ada Demokrasi
Masih mampukah demokrasi merubah keadaan? Kami masih percaya dengan demokrasi, tapi kami tidak akan membiarkan demokrasi mendikte kehidupan kita semua. Saat ini kebanyakan dari demokrasi dalam kampus tak ubahnya dengan sistem pemerintahan yang memberikan penekanan pada fungsi kontrol atau dengan kata lain check and balance dari semua pos-pos kekuasaan yang ada. Demokrasi seharusnya merupakan taktik dari masyarakat komunal tanpa hierarki. Bersifat antiotoritarian tanpa konspirasi yang sangat mungkin muncul dalam sistem lainnya.
Walau tak lebih dari sekedar kekonyolan semata, dari sini kita sering berharap akan lahir keadilan yang secara mekanistik maupun organik memberikan kebaikan kepada seluruh elemen masyarakat. Jika keadaan tetap seperti sekarang ini, sudah sewajarnya terjadi sulutan dan letupan kecil untuk sebuah perubahan kampus dalam artian sesungguhnya.
Kami tidak ragu lagi untuk mengatakan, bahwa kami menginginkan masyarakat untuk terus berkembang. Masyarakat secara konstan mampu menghancurkan dan memperbaharui sekeliling mereka serta diri mereka sendiri: di mana kemandirian intelektualnya merupakan kekuatan terbesarnya, di mana mereka takkan tunduk pada apa pun; selalu ingin untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik, berkeinginan keras untuk memenangkan ide-ide baru, gelisah untuk merengkuh banyak hal dari kehidupan ke dalam hidup yang mereka punya. Ini mesti menjadi tujuan dari sekolah untuk mengajarkan pada anak-anak bahwa akan selalu ada tirani selama orang masih bergantung ke orang yang lain.
Sampai kini perjuangan untuk sebuah perubahan bagi kami adalah sebuah pilihan, bukan keterpaksaan ketika tak punya nyali untuk menghadapi kematian. Sebab bagi kami kematian telah lama mendatangi kami—kematian telah datang sejak dominasi kelas dan hierarki kekuasaan telah merampas hidup kami. Lebih baik biarkan kami memilih untuk malas belajar dalam ruang-ruang kelas yang memuakkan, sebab bagi kami kampus adalah ruang perubahan.
Moeh. Gandhi