“Saya adalah seorang anarkis bukan karena saya percaya dengan anarkisme, tapi karena saya percaya bahwa tidak ada suatu tujuan akhir.”
—Rudolf Rocker
Visi-visi anarki adalah ideal-ideal yang kemudian dijelaskan sebagai kemungkinan dan potensi eksistensi umat manusia. Perkembangan selanjutnya, melalui beragam reinterpretasi, akan menemui beragam artikulasi anarki yang menekankan pada kontinuitas perjuangan yang tanpa batas untuk memperluas lingkup kebebasan, yang secara konsiten didasari pada:
Penentangan terhadap otoritas.
Pada umumnya penentangan anarkis terhadap otoritas terkait pada penentangannya terhadap institusi negara dan institusi agama. Namun penentangan anarkis terhadap otoritas meluas sebagai suatu penolakan terhadap keterasingan manusia (yang diatur oleh otoritas tersebut) terhadap kemampuan, potensi dan hasrat/kehendak manusia itu). Maka penolakan terhadap keterasingan ini juga mencakup penolakan terhadap segala bentuk otoritas yang tidak dapat dilegitimasikan dengan alasan rasional, termasuk bentuk-bentuk kepemimpinan dan perwakilan. Meskipun pada dasarnya anarki menentang otoritas, tentunya terjadi pengecualian-pengecualian dalam kondisi-kondisi kritis ketika kepemimpinan dan perwakilan yang bersifat temporer tidak dapat dihindari.
Pada konstruksi relasi-relasi manusia berdasarkan asosiasi bebas.
Anarki bukan sekedar suatu proposisi negatif yang berkutat pada penolakan, tapi juga menggagas konstruksi relasi manusia yang (lebih) membebaskan. Elaborasi tentang konstruksi relasi sosial adalah perbedaan mendasar dalam praksis anarki dengan aliran-aliran politik lainnya. Proyek-proyek anarkis selalu menekankan pada relasi horisontal di antara para partisipannya, penekanan pada inisiatif individual dan pengembangan potensi individual. Anarki yang terbatas dalam ruang dan waktu, dipraktekkan dalam proyek-proyek anarkis—di mana cara (untuk mencapai tujuan) dan tujuan anarki menjadi sesuatu yang terintegrasi dalam konteks-konteks tersebut.
Di sini pentingnya memaknai anarki, secara berbeda dengan isme-isme lainnya—bahwa anarki menolak doktrin absolut. Sekaligus ini adalah juga kritik terhadap anarki(sme) tradisional yang absolutis dengan cetak biru masa depannya. Bahkan kita dapat menemui artikulasi anarki sebagai kontinuitas perjuangan untuk memperluas lingkup kebebasan yang terus menerus tanpa suatu definisi akhir.
Di awal abad keduapuluh satu ini, teori anarki telah mengalami perkembangan dan pembaharuan, seiring dengan persinggungannya dengan teori-teori dari beragam displin ilmu sosial, di antaranya pengadopsian dan pengadaptasian pendekatan yang dikembangkan beragam wacana postrukturalis. Gerakan dan teori anarki dalam beberapa dekade ini, menjadi cukup lentur untuk “berbaur” dengan beragam gerakan yang secara umum disebut sebagai gerakan antiotoritarian dan gerakan sosial/politk baru, yang secara fundamental didasari pada politik nonhirarkis, desentralis, otonom dan swakelola.
Genealogi Kekuasaan
Anggapan umum yang menyederhanakan anarki sebagai suatu aliran pemikiran yang hanya berurusan dengan pemusnahan negara adalah suatu bentuk pemiskinan terhadap kekayaan intelektual dan wawasan anarki. Anarki bukanlah semata-mata penentangan terhadap negara, tapi merupakan artikulasi tentang kekuasaan yang melandasi relasi manusia, tentang kritik pada hubungan-hubungan antara kekuasaan dan keterasingan manusia terhadap dirinya sendiri, tentang rekonstruksi kekuasaan dan relasi-relasi sosial.
Anarki bertitik tolak dari antagonisme antara kekuasaan/dominasi pada satu sisi dan kooperasi dan subyektifitas manusia (kekuasaan positif) pada sisi lainnya. Monarki-monarki merupakan bentuk kekuasaan absolut yang mendominasi rakyatnya pada zaman feodalisme; disusul oleh negara nasion (sebagai fenomena dominan dalam zaman modern) dalam bentuknya, oligarki dan totalitarian; sedangkan di sebagian besar wilayah di Asia dan Afrika terjadi dominasi oleh pemerintahan kolonial, sebelum wilayah-wilayah ini mencanangkan perjuangan-perjuangan kemerdekaan nasional, yang akhirnya juga membentuk negara nasion-negara nasion baru; saat ini, negara nasion dan neoliberal yang mengglobal, merupakan rezim-rezim yang mendominasi masyarakat secara simultan.
Anarkis awal di wilayah-wilayah Eropa, melontarkan banyak kritiknya terhadap negara, karena memang negara merupakan mode dominasi yang dominan pada waktu itu. Meskipun sebenarnya anarki melontarkan kritik-kritiknya terhadap konsentrasi kekuasaan, pada segala bentuk hirarki yang dikonstruksi secara sosial—pada hirarki laki-laki atas perempuan, tua terhadap muda, atasan terhadap bawahan dalam dunia kerja, pemimpin dan institusi moral terhadap konstituennya, dan lain sebagainya.
Negara menjadi tema sentral anarki karena negara memayungi beragam bentuk hirarki dan kekuasaan elitis, yang mempunyai dampak luas dan mendalam terhadap kehidupan sosial. Negara, dalam beragam bentuknya baik itu oligarki ataupun totalitarian, melalui birokrasi, menggunakan wewenangnya yang mengatur kehidupan mayoritas masyarakat, dan memonopoli kekerasan teroganisir (tentara dan polisi). Meskipun di tiap-tiap negara terdapat perbedaan-perbedaan spesifik pada derajat wewenang birokrasi negara, partisipasi masyarakat, keragaman jenis institusi sektoral di tiap-tiap negara dan bentuk-bentuk monopoli kekerasan, pada dasarnya negara merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan oleh minoritas untuk mengatur kehidupan populasi mayoritas.
Dalam negara dengan demokrasi yang paling liberal sekalipun, sistem-sistem pemilihan wakil rakyat tetap tidak dapat mengubah wajah negara. Sejarah parlementarisme Amerika, negara yang dianggap demokratis, menyingkap fakta bahwa parlemen pada awalnya tidak lebih dari kumpulan para tuan tanah (yang pada waktu itu masih lengkap dengan budaknya). Dan mereka berbicara bagaimana sistem parlementarian merupakan sebuah sistem yang akan menjamin kebebasan tiap-tiap orang dan pada saat bersamaan dapat melanggengkan previlase-previlase politik dan ekonomi mereka.
Elitisme sistem parlementarian ditunjukkan juga oleh sejarah abad ke19 di Eropa. Di awal pembangunan sistem parlementarian, mayoritas anggota parlemen, adalah mereka yang ditunjuk oleh elit-elit yang berkekuasaan—anak-anak para tuan tanah, pengusaha, dan pengacara.
Walter Lippmann, seorang demokrat Amerika, ternyata juga seorang perintis apa yang dinamakan konsep mengenai rekayasa opini publik yang dia namakan order demokratis baru, yaitu demokrasi parlementer. Pertama ada peran yang diusung oleh mereka dari “kelas khusus”,
”orang yang bertanggung jawab”, yang mempunyai akses terhadap informasi dan pemahaman—baginya orang-orang inilah yang “bertanggung jawab” untuk membentuk “opini publik yang baik”, Mereka (yang tergabung dalam kelas khusus) berinisiatif, mengadministrasi dan menyelesaikan dan harus dilindungi dari ‘orang luar yang tidak mempunyai kesadaran dan rusuh’. Bagi Lippmann, bukanlah pada tempatnya bagi publik untuk memberikan penilaian, tapi cukup untuk sekedar memberikan ‘kekuasaan’ pada ‘orang-orang yang bertanggung jawab’.
Pada tahap lanjut perkembangan negara-nasion dan kapitalisme modern, praktek-praktek pengontrolan yang semakin sistematis diterapkan pada populasi, melalui beragam teknik pengontrolan, terutama ditujukan pada pengontrolan populasi dan kehidupan manusia/tubuh, melalui statistik dan probabilitas, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat dan regulasi ancaman (resiko terhadap kehidupan populasi). Bentuk-bentuk pengontrolan yang termasuk pengelolaan keturunan (keluarga), pengumpulan dan pemetaan sistematis etnisitas dan agama masyarakat.
Negara, sebagai bentuk kekuasaan adalah relasi sosial—dari dirinya sendiri, negara tidak mempunyai kekuasaan—seluruh kekuasaannya berasal dari akumulasi kekuasaan yang diberikan warga negaranya dan dari waktu ke waktu negara mengambilalih lebih banyak kekuasaan dari warganya. Hukum, undang-undang, ritual kenegaraan dan seluruh citra kenegaraan—hanya bisa bermakna ketika terjadi “konsensus” (melalui pemaksaan, hegemoni dan secara subliminal[1] ) antara negara dan warganya. Seluruh asumsi tentang kekuasaan negara, terlepas dari kekuasaan yang diberikan oleh atau diambilalih dari masyarakat, secara bersamaan warga (negara)/masyarakat telah kehilangan kekuasaannya.
Negara/nasionalisme menggunakan loyalitas pada kesamaan bahasa, etnisitas, kultural dan tradisi, lalu mengerucutkannya pada bentuk-bentuknya yang chauvinis untuk melegitimasikan eksistensi negara dalam landasan yang seolah-olah merupakan pijakan bersama. Bentuk chauvinis, loyalitas tanpa batas inilah, yang menjadi esensi dari patriotisme, suatu bentuk keterasingan manusia (yang mengidap patriotisme) dari kesadarannya—kesadaran bahwa dia dan minoritas yang melanggengkan negara tidak mempunyai kepentingan-kepentingan umum. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam klaim-klaim negara nasion sebagai perluasan komunitas yang berpijak pada kesamaan biologis dan tradisi. Di sini kita dapat mengutip Benedict Anderson yang mendefinisikan nasion sebagai konstruksi sosial yang hanya berada pada tataran “dapat dibayangkan”, bagi mereka yang merasa menjadi bagian dari sebuah nasion. Negara nasion bisa dikatakan sebagai sebuah artefak yang mewarisi sejarah sistem dominasi manusia oleh manusia, tapi yang sampai sekarang masih mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan belum dapat dilampaui.
Transformasi
Pasca Perang Dunia Dua, masyarakat dunia hanya mengenal dua ideologi besar yaitu "demokrasi representatif" (kapitalisme pasar bebas) dan komunisme (yang secara esensi adalah kapitalisme negara, ketika representasi yang dikenal adalah Rusia, Cina, dan berbagai negara komunis yang menjadi satelit-satelitnya).
Penemuan kembali anarkisme salah satunya berkat jasa dari orang-orang kiri yang sedang melakukan pencarian alternatif-alenatif dari marxisme ortodoks. Situationist International yang berkembang di tahun 1960-1970-an merupakan kelompok-kelompok intelektual dan seniman-seniman avant-garde yang mencoba menjelaskan kapitalisme yang sedang mengalami transformasi. Menurut situasionis, alienasi yang dicermati oleh Marx telah menyusup ke setiap celah dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak hanya terasing dari barang-barang yang diproduksinya, lebih jauh lagi masyarakat juga teralienasi dari kehidupannya dan hasratnya. Komoditas sebagai ciptaan yang mengalienasi, telah menguasai kehidupan sehari-hari. Kapitalisme moderen menciptakan "masyarakat tontonan" atau masyarakat konsumen yang menjanjikan kepuasan—sesuatu yang tidak pernah dipenuhinya. Revolusi Paris 1968 merupakan momen bagi para situasionis.
Di samping itu, adalah kritik Situasionist International terhadap anarkisme, pada kecenderungan beberapa pemikir anarkis yang bereksperimentasi dengan ide-ide melampaui realisasi praksis, sehingga seringkali teori anarkisme menjadi artikulasi teori yang tidak mempunyai koherensi.
Di Eropa, Autonomen Jerman Barat menciptakan militansi baru dalam resistensi urban. Para Autonomen adalah revolusioner antiotoritarian yang mengenyahkan seluruh label ideologis termasuk anarkis. Gerakan mereka diwarnai praksis aksi langsung, seperti pertarungan jalanan dengan elemen-elemen represif dan fasistik dalam masyarakat (seperti neo-nazi), pendudukan gedung-gedung kosong untuk dijadikan ruang-ruang otonom komunal. Di tahun 1988, dalam sebuah aksi merespon pertemuan IMF/Bank Dunia, Autonomen menggunakan taktik bercadar dalam protes dan melakukan perusakan properti—Black Bloc[2] pelopor yang kemudian menginspirasi banyak anarkis di kemudian hari.
Hakim Bey menerbitkan bukunya “Temporary Autonomous Zone: Ontological Anarchy, Poetic Terrorism” di pertengahan tahun 80-an. Boleh dikatakan bahwa buku ini menjadi suatu tonggak dalam diskursus dan praktek antiotoritarian. “Berhentilah berpikir tentang revolusi sosial yang akan datang.” Setiap revolusioner bisa mengobral janji revolusi tanpa bisa memberikan kepastian kapan ia akan datang. Sedangkan Hakim Bey bisa “menjanjikan” apa yang disebut uprising (yang bagi sejarawan adalah suatu revolusi cacat dan gagal). Uprising yang dirujuk di sini bukan hanya sebatas pagelaran politik spektakular, tapi juga mencakup hal-hal seperti penciptaan komunitas-komunitas otonom dan ruang-ruang yang dibebaskan—di mana komunitas dan individu dapat menerapkan utopia temporer. Temporary autonomous zone (zona otonom temporer) menjadi suatu konsep di mana ideal bertemu dengan realita—ketika konsep “revolusi yang akan datang” menjadi suatu hal yang absurd yang deminya manusia kembali mereproduksi hirarki, elitisme dan dominasi (seperti dalam “partai revolusioner”, serikat buruh birokratis dan bahkan serikat buruh sindikalis). Mungkin juga tidak ada sesuatu yang benar-benar baru yang ditawarkan di sini semenjak anarkis telah menerapkan konsep tentang pentingnya praksis anarki dalam kehidupan sehari-hari. Bey hanya membahasakannya dengan lebih lugas, menawarakan sintesa-sintesa baru tentang konsep anarki dan kaitannya dengan sejarah dan revolusi, menemukan kosa kata-kosa kata yang lebih pas dan meluaskan penjelasannya dengan data-data yang lebih lengkap tentang contoh-contoh TAZ yang terjadi sepanjang sejarah.
Anarkisme tradisional merupakan doktrin sosial yang menyerap ide-ide Pencerahan—penekanannya pada esensi tentang “sifat alamiah” manusia yang mulia dan rasional dan doktrinnya yang mencetuskan tujuan-tujuan yang positivis. Sementara postrukturalis adalah energi wacana kritis menantang ide-ide tentang sifat alamiah, esensi dan positivisme. Anarkisme juga mengintegrasikan analisis-analisis postrukturalis tentang simbol, representasi, dan pemaknaan dalam pengelolaan komunikasi dan informasi oleh kekuasaan dominan. Pendekatan-pendekatan postrukturalis menggagas pandangan kritis terhadap bahasa dalam konstruksi identitas, penyajian, dan pendistorsian isu-isu.
Kekuatan Kontra dan Konstruksi Resistensi
Bagi kebanyakan orang, "neo-anarkisme" lahir dari rintik-rintik hujan dingin dan kabut beracun yang menyambut protes terhadap WTO, pada November 1999. Neo-anarkisme bukanlah anak haram dari gerakan sosial yang banyak bermunculan saat ini. Anarkisme sendiri telah bertransformasi selama beberapa abad. Aksi langsung di Seattle hanya merupakan sebuah momen yang memunculkan kembali anarkisme sebagai wacana publik. Anarkisme telah menyumbangkan praksis yang menarik perhatian banyak orang dalam momen historis Seattle. Sejak saat itu, anarkisme bukan saja turut membentuk gerakan antikapitalis kontemporer; anarkisme juga telah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kebebasan berpotensi untuk menggantikan demokrasi representatif dan kapitalisme. Ke manakah anarki setelah Seattle?
Ketidakpastian-ketidakpastian muncul ketika kita tidak lagi ingin berpretensi tentang harapan berdasarkan determinisme positif pencerahan, dan juga ketika kita menolak segala bentuk pesimisme superior yang menihilkan seluruh kapasitas, potensi dan kemungkinan umat manusia mengkonstruksi masa depan yang lebih baik. Namun tanpa bersikap terlalu optimistis, setidaknya cukup beralasan untuk mengatakan dinamika yang ada masih terus menerus menghadirkan peluang dan potensi.
Ketika kita menolak determinisme sejarah/narasi megah, genealogi menyingkap sejarah sebagai antagonisme, diskontinuitas, ledakan-ledakan peristiwa, yang tidak memiliki logika universal. Di sini sejarah lepas dari segala bentuk determinisme, yang berarti bahwa masa depan berada dalam relung potensi dan kemungkinan—bahwa batas-batas tidak terdefinisikan. Memahami pembebasan sebagai suatu proses produksi dan reproduksi terus menerus yang berada dalam relung potensi untuk pengembangan dan artikulasi hasrat beragam subyektifitas. Narasi pembebasan ini harus menyediakan ruang-ruang yang berlimpah bagi eksperimentasi dan konstruksi, dekontruksi dan rekonstruksi, dalam teori dan praksis.
Dinamika pembebasan ini menolak ketunggalan dalam gerak, arah dan tujuan; menolak seluruh komando sentral; menolak segala jenis subordinasi pada hirarki; menolak seluruh jenis politik representasi dan mediasi. Tujuannya adalah pluralitas maksimum. Secara fundamental, konstruksi resistensi ini terkait dengan pembebasan kehidupan kontemporer. Ia bukan cakrawala mesianistis yang memberikan janji penebusan, bukan suatu mesin politik, yang demi mencapai tujuannya (nanti) akan mengorbankan yang sekarang. Ia adalah kendaraan kemanusiaan, yang ingin berpijak pada kondisi sekarang; yang ingin melampaui alienasi kehidupan sehari-hari manusia (hirarki, identitas representatif, separasi antara kehidupan sehari-hari dan hasrat-hasrat).
Setiap gerakan resistensi saat ini harus menjadikan dirinya sebagai proyek konstruksi komunitas-komunitas yang mampu menjadi wadah untuk mengelaborasi dan mengartikulasikan hasrat kemanusian. Bahwa segala jenis proyek resistensi ini harus mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang memang layak untuk dikembalikan dan mencipta nilai-nilai baru seiring dinamika dan konteks.
Catatan:
[1] Transmisi pesan yang disampaikan melalui bawah sadar manusia dan tidak terdeteksi oleh panca indera.
[2] Kolektif-kolektif anarkis yang menggunakan aksi langsung dalam pengrusakan properti dan vandalisme. Black Bloc menjadi terkenal dalam protes anti WTO, November 1999, di Seattle, Amerika.
Senin, 20 Juli 2009
EKSPLORASI TANPA TITIK BASI
KERUSUHAN PARIS 2005
"Kami telah membakar Paris. Dan kini semua orang memusuhi kami, tapi mereka juga tak menawarkan apa-apa kepada kami. Maka mengapa kami harus mendengarkan mereka saat tak pernah seorang pun dari mereka yang mau mendengarkan kami selama ini?"
—Seorang insurgen kota Paris yang berusia 21 tahun
Dua kali, kota Paris diguncang oleh insureksi popular yang dimotori oleh kaum mudanya sendiri.
Pertama kali, adalah saat musim semi tahun 1968 saat mahasiswa dan pekerja-pekerja muda Paris bangkit memberontak terhadap represifitas rezim De Gaulle. Di tahun tersebut, kaum muda yang biasanya terlena dengan imaji-imaji dari televisi dan pesta-pesta tidak lagi meleburkan diri dalam olah raga kaum urban modern tersebut, tapi mereka menyulut pemberontakan yang segera menyebar dengan cepat dari kota ke kota.
Pemberontakan di Paris kali ini memang berbeda dengan event tahun 1968 tersebut. Para pelakunya memang sama-sama muda, hanya kali ini mereka bukan mahasiswa dan juga bukan pekerja kerah biru. Dalam faktanya, nyaris sebagian besar dari mereka adalah kaum penganggur—walaupun sebagian dari mereka telah berhasil mengantongi ijazah Sorbonne—hampir sepanjang hidup mereka. Kali ini mereka tidak berkulit putih, mereka adalah ras Arab dan Afrika, anak-anak dari hasil kolonialisme Perancis. Kebanyakan dari mereka lahir di Perancis dari keluarga-keluarga imigran yang berasal dari koloni-koloni Perancis. Dan Perancis tidak menawarkan apa pun bagi mereka selain catatan kriminalitas dan pengangguran.
Para pemberontak tahun 2005 ini bukanlah anak-anak muda yang beraksi dari hasil pembacaan mereka atas buku-buku Marxis, Anarkis atau bahkan literatur Situationist. Mereka berada di jalanan bukan karena "dunia yang berbeda itu adalah sesuatu yang mungkin". Mereka berada di jalanan karena sepanjang hidup mereka, untuk hidup di dunia ini pun dianggap sebagai sesuatu yang tak mungkin.
Tidak seperti generasi tahun 1968, mereka tak memiliki batas kompromi. Mereka tak mampu memiliki potongan rambut yang tepat, membeli pakaian yang terbaik atau setelahnya bekerja sebagai pengacara atau akuntan. Kulit mereka, yang mereka miliki sejak lahir, telah menandai mereka bahwa tanpa perlu dipertanyakan lagi, mereka adalah warga negara kelas dua, tak memiliki keistimewaan apa pun, dan bahkan tak dianggap benar-benar "Perancis" di mata banyak warga kulit putih Perancis.
Maka untuk alasan-alasan tersebutlah mereka menjadi jauh lebih berbahaya bagi penguasa Perancis dibandingkan dengan para pemberontak tahun 1968.
Para mahasiswa Perancis tahun 1968 telah memberikan sebuah pendekatan romantis bagi dunia Kiri, bahkan hingga hari ini berpuluh tahun kemudian, baik di Eropa maupun di negara-negara lain. Memang benar, bahwa pemberontakan Paris tahun 1968 adalah sebuah event yang ikonik, baik bagi anak muda pada masanya, maupun hingga kini—atau dalam kata lain ia adalah simbol internasional dari seluruh dekade tahun 1960-an. Event tersebut juga jauh daripada sekedar nostalgia tahun 1960-an.
Maka saat Paris kembali menyala, kami berpikir kembali pada tahun 1968.
Semua imaji yang menyebar di mana-mana tahun 1968, adalah insureksi Paris, pemogokan mahasiswa dan pelajar di Amerika Serikat, Red Guards di Cina, meletupnya mahasiswa di Amerika Latin, hadirnya insureksi Musim Semi Praha, partai Black Panther di mana nyaris seluruh anggotanya adalah anak muda di awal 20 tahunan dan para pemimpinnya hanya berusia sekitar 10 tahunan atau lebih sedikit, semuanya menunjukkan bahwa generasi muda akan menjadi garda depan transformasi global dalam bidang kultur dan politik. Dan semuanya tentu saja, berharap dapat melakukannya sebelum usia mereka beranjak 30.
Sayang, segalanya tidak berlangsung sesuai dengan harapan mereka.
Akhir musim panas 1968, para mahasiswa Perancis dikalahkan. Sebagian alasan adalah karena mereka kekurangan pengalaman—sebagaimana juga yang dialami oleh semua anak muda—dan sebagian besar adalah karena pengkhianatan para "revolusioner" yang seharusnya menjadi kawan mereka, selain karena alasan lain seperti kenyataan bahwa kapitalisme memang terlalu kuat untuk dikalahkan hanya oleh satu atau beberapa insureksi.
De Gaulle telah memahami benar tentang kekuatan negara dibandingkan dengan para pemberontak muda tersebut. Hal pertama yang ia lakukan, saat ia menyadari bahwa ia menghadapi sesuatu yang jauh lebih serius daripada sekedar pemogokan kampus, adalah kunjungannya ke markas besar militer Perancis di Jerman dan meyakinkan bahwa mereka masih loyal terhadap pemerintah Perancis. Walau pada kenyataannya kemudian, De Gaulle tidak membutuhkan intervensi militer, kebrutalan polisi Perancis sendiri telah berhasil menghalau para insurgen. Dan De Gaulle telah berhasil juga meyakinkan bahwa seluruh kekuatan politik yang mapan—baik itu "Kiri" dan Kanan--berdiri menentang pemberontakan aliansi anak muda mahasiswa dan pekerja kerah biru.
Anak-anak muda tersebut, yang berbicara lantang soal bagaimana mereka mempersenjatai imajinasi, masih sangat kurang dalam intelejensi praksis. Mereka membayangkan bahwa mereka akan dapat menduduki kampus demi kampus, pabrik demi pabrik, hingga revolusi sosial terjadi dan negara De Gaulle menjadi semakin tak relevan lagi. Mereka tidak memahami betapa musuh mereka sangat deterministik dan berbahaya.
Tentu saja itu bukan kesalahan mereka. Semenjak mereka adalah anak-anak muda, yang selalu dikorbankan oleh orang tua mereka, generasi sebelumnya, negara dan bahkan juga oleh para elit-elit oposisi yang mengaku "revolusioner"—mereka tumbuh dalam satu pemahaman, bahwa mereka harus menolak seluruh institusi dan kekuatan mapan dunia modern. Tak seorang pun dari mereka akan berpikir tentang bagaimana caranya apabila militer hadir di hadapan mereka. Bagaimana mereka akan mempertahankan kampus dan pabrik menghadapi para veteran perang Aljazair yang mungkin akan berbaris menuju mereka? Hal itu jauh dari sekedar pengalaman harian anak-anak muda Perancis.
Hal demikian memang tak dimengerti oleh anak-anak muda tersebut, tentang bagaimana deterministiknya kekuatan negara. Setidaknya saat mereka melakukan insureksi. Hal demikian lebih dimengerti oleh mereka, para "revolusioner" dari generasi sebelumnya. Banyak dari para "revolusioner" tersebut telah hidup dalam masa kudeta dan kontra-kudeta di Aljazair saat De Gaulle meraih kekuasaannya 10 tahun sebelumnya. Banyak dari mereka adalah aktifis organisasi Resistance yang melawan pendudukan Nazi saat Petain dan komando tinggi Perancis justru berkolaborasi dengan kekuasaan Hitler. Para pemberontak veteran tersebut dapat—dan sudah seharusnya—mengambil sikap dan membantu para pemberontak muda Perancis tersebut untuk membangun pertahanan yang lebih kuat melawan negara De Gaulle. Mereka dapat membangun agitasi melawan intervensi militer, termasuk melakukannya di dalam kekuatan militer sendiri. Atau setidaknya, mereka dapat menggalang dukungan publik atas tuntutan para mahasiswa dan pekerja muda yang melakukan pemogokan.
Tetapi seperti yang juga dialami oleh anak muda di mana-mana, mereka dianggap sebagai sebuah kelompok usia yang reaksioner dan tak mengerti apa pun soal dunia dan kehidupan. Para anak muda Perancis dikhianati oleh para komunis tua dan para pemimpin serikat-serikat "revolusioner" yang selalu saja berharap dapat memonopoli "revolusi", dan bukannya berharap dapat bersanding bersama mereka yang meletupkan aksi revolusi. Bahkan terlepas dari itu juga, para intelektual "revolusioner" seperti Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang telah "dewasa" justru—kadang secara terbuka—bersikap memusuhi para anak muda insurgen tersebut. Para kaum "dewasa" tersebut telah menghabiskan nyaris seluruh waktu hidup mereka untuk mencapai kekuasaan atau popularitas, dalam serikat pekerja, partai politik, masyarakat sipil dan bahkan juga dalam institusi resmi negara. Tak ada satu pun dari mereka yang bersimpati pada para anak muda amatir. Tak ada satu pun yang mau meresikokan segalanya, demi beraliansi bersama anak-anak muda.
Sebagaimana pemberontakan tahun 1968 menyebar dengan cepat, para kaum Kiri yang "revolusioner" dan telah "dewasa" tersebut mendapati posisi mereka jauh lebih buruk daripada yang dialami oleh De Gaulle. Mereka tak memiliki kekuatan militer atau polisi untuk melanggengkan monopolinya, mereka hanya memiliki pengaruh partai dan kantor-kantor serikat pekerja—di mana tak ada seorang pun anak muda yang menaruh respek padanya. Mereka hanya punya satu peran yang harus dipertahankan: sebagai representatif bagi "Kelas Pekerja".
Seperti yang dialami oleh anak muda generasi 1968, para pemberontak muda generasi 2005 ini dikhianati oleh para "revolusioner" yang telah "dewasa" yang merasa tak memiliki keharusan sama sekali untuk mendukung insureksi. Anak-anak muda 2005 ini, bahkan juga dikhianati oleh para imam mereka, yang mengisukan fatwa melawan insureksi dan para insurgen. Hal ini sangat menyedihkan dan tragis sekaligus telah terprediksikan. Maka, adalah sebuah kejahatan besar, apabila kami juga menolak mereka, hanya apabila mereka tidak berhasil untuk mengadopsi gaya bahasa dan simbol-simbol yang kami terima dan gunakan.
Sangatlah alamiah apabila orang mengekspresikan diri mereka melalui bahasa dan simbol yang familiar bagi mereka. Tahun 1968, anak-anak muda yang memberontak menggunakan bahasa Frankfurt School serta berpenampilan a la Che Guevara ataupun Mao. Dan kini, para anak muda insurgen generasi 2005 tidak melakukannya sama sekali. Mereka juga tidak menunjukkan kepeduliannya atas pentingnya publikasi—yang menjadi karakteristik generasi 1968—yang dalam bayangan kami memang tetap penting, setidaknya untuk dapat memahami agenda dan tuntutan mereka. Tapi itu bukan alasan untuk menolak dan menyepelekan mereka.
Pemerintah Perancis mencap bahwa mereka adalah korban agitasi para ekstrimis Islam. Banyak dari anak muda insurgen generasi 2005 ini memang memiliki latar belakang keluarga muslim. Tetapi berapa banyak yang benar-benar memeluk agama Islam ataupun setuju dengan program teror para ekstrimis Islam, tak pernah jelas. Tapi juga tidak mengherankan apabila orang-orang dari latar belakang muslim mengekspresikan kepedihan mereka melawan kolonialisme dengan bahasa yang diambil dari kultur Islam.
Program revolusioner dan visi politis yang koheren memang absen dari anak-anak muda tersebut. Mereka hanya mengekspresikan kehidupan mereka dengan satu-satunya cara yang dianggap mungkin. Apakah itu lantas juga akan dianggap sebagai sebuah kesalahan?
Adalah sebuah arogansi berlebihan apabila seluruh insurgen yang melawan intervensi kekuatan kapitalisme diharuskan mampu untuk berbicara dengan bahasa Marx atau Bakunin, atau bahkan juga Marcuse dan Baudrillard, hanya sekedar agar dapat dianggap serius. Kami tidak peduli apa mereka muslim atau bukan, sebuah hal yang pasti, mereka mengekspresikan bahasa mereka sendiri dalam menyerang intervensi kapitalisme. Ini justru sebuah tantangan bagi kami dan bagi kita pada umumnya. Bagaimana kita dapat mampu memapankan sebuah program revolusioner yang mampu berbicara dalam bahasa yang dapat dipahami oleh mereka untuk dapat menyalakan impuls revolusioner mereka dalam mengambilalih kontrol atas hidup mereka sendiri? Dan bagaimana kita dapat memberi respek pada mereka yang berbicara berbeda dengan tata bahasa kita, agar dapat kita mengerti dan begitu juga sebaliknya?
Dalam hal ini, kami justru tidak menyarankan agar kita memberikan "pendidikan" atau "kursus politik" bagi mereka, kaum muda di manapun. Justru sebaliknya, kita harus belajar banyak dari mereka.
Anak muda Perancis itu adalah salah satu bukti bahwa anak muda memang dan selalu brilian. Dalam beberapa hari saja, nyaris seluruh daerah pinggiran kota Paris menjadi daerah yang tertutup bagi polisi—sesuatu yang membuat kepala polisi Paris memohon-mohon agar militer turut meredam apa yang ia sebut sendiri sebagai insureksi. Dan dalam beberapa hari berikutnya juga, insureksi telah menyebar ke kota-kota lain.
Tahun 1968, para anak muda insurgen berpikir bahwa mereka harus bertahan di kampus dan pabrik karena itulah tempat mereka, membangun otonomi mereka dari tempat tersebut. Tapi justru hal ini juga memberi sebuah kepastian bahwa kekuatan negara akan dapat dengan mudah mendeteksi mereka dan memukul balik mereka dengan mudah. Tak ada yang sulit bagi kekuatan negara untuk menyerang kampus-kampus, apalagi apabila kekuatan militer mulai hadir. Toh apabila memang polisi gagal menyelesaikan tugasnya dalam meredam insureksi, militer telah siap dan selalu siap menggunakan senjata mereka yang lebih berat.
Sementara bagi generasi 2005 ini, saat mereka tak memiliki apa pun, mereka juga tak memiliki apa pun untuk dipertahankan dan dijadikan basis pertahanan. Hal ini justru juga menjadi keuntungan bagi para insurgen ini, mereka dapat dengan bebas menentukan lokasi dan terminologi pertempuran jalanannya serta juga tentang bagaimana polisi diharapkan akan meresponnya. Para insurgen bertempur dalam tim-tim kecil yang sangat mobile, yang dapat menyerang kapan dan di mana mereka mau, untuk kemudian berpisah dan menghilang. Hal yang memaksa kekuatan polisi untuk mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk mempertahankan aset negara di manapun dan dalam waktu yang sama—yang tentu saja tak mungkin dilakukan. Bahkan apabila polisi melakukan penahanan acak, jelas hal tersebut hanya semakin tidak efektif. Apabila para insurgen menyerang sebuah target yang tak dijaga polisi, sudah dapat diperkirakan bahwa polisi akan datang dalam waktu yang sangat terlambat, dan apabila polisi kemudian menangkap mereka yang sekedar kebetulan hadir di lokasi kejadian, hal itu hanya akan menyudutkan polisi sebagai sebuah kekuatan musuh komunitas. Dalam hal ini, dominasi negara telah di ambang kekalahan.
Kini, sekali lagi, anak-anak muda ini dikalahkan karena mereka dibuang oleh generasi yang seharusnya mendukung mereka. Mereka kembali dikalahkan, hanya karena mereka adalah anak muda.
Melihat itu semua, kami tidak akan mengakhiri tulisan ini dengan berusaha mengagitasi anak-anak muda tersebut agar dapat lebih menilik pada program revolusioner yang lebih koheren. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa inilah kesalahan kita selama ini—yang terus diulang-ulang entah untuk ke berapa kalinya—bahwa kita selalu menolak menganggap serius mereka yang memiliki bahasa yang berbeda dalam penentangannya terhadap sistem kapitalisme ini. Yang kami tahu juga, bahwa sesungguhnya anak-anak muda di manapun—tak hanya di Perancis—adalah mentor-mentor yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Mereka telah menunjukkan pada kita semua, bahwa tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan, untuk mengambilalih kontrol atas hidup kita sendiri. Hanya saja, semua itu akan dapat lebih berhasil apabila kita tidak menganggap remeh semua yang memiliki bahasa dan perbendaharaan kata dan kultur yang berbeda.
Sekali lagi, anak muda telah membuktikan diri sebagai mentor terbaik kita semua, terlepas dari seluruh kesalahan yang mereka lakukan.
PREDIKSI ORWELL DAN PASIFITAS MASYARAKAT MODERN
War is Peace
Ignorance is Strenght
Freedom is Slavery
Dengan slogan-slogan tersebut, 1984 melejit dalam dunia literer sebagai sebuah novel anti-utopian di pertengahan abad ke 20. Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1949, visi yang gelap tentang masa depan yang segera hadir di dunia, menjadi sebuah peringatan melawan bahayanya sebuah pemerintahan totalitarian yang didukung oleh teknologi tinggi. Orwell menggambarkan sebuah dunia yang diluluhlantakkan oleh perang nuklir dan kemiskinan, di mana Barat jatuh ke bawah kaki pemerintahan diktator totaliter sosialis: Big Brother. Pemerintahan yang dijalankan bukan oleh seorang yang tampak secara visual, tetapi oleh sebuah perasaan ketidakamanan publik akibat pengawasan yang terus menerus.
Ingsoc Party, partai politik yang berkuasa, telah secara sempurna menggunakan teknologi tinggi untuk memonitor setiap gerak hidup populasi di bawahnya, membuatnya tunduk dengan pengawasan, propaganda dan cuci otak. Tetapi di samping itu semua, proyeknya yang paling brilian adalah dengan diterapkannya sebuah dekonstruksi aktual bahasa Inggris ke dalam Newspeak, bahasa yang digunakan oleh partai penguasa.Setiap edisi dari kamus Newspeak, menampilkan semakin sedikit kata daripada sebelumnya. Dengan melenyapkan arti dan nuansa dari bahasa sehari-hari, pemerintah berharap akan dapat mengikis pemikiran-pemikiran anti-sosial sebelum ia dapat merasuki pikiran seseorang. Tanpa adanya kata-kata dan bahasa untuk mengekspresikan revolusi, maka revolusi tak akan dapat eksis. Bagi mereka yang tetap bertahan untuk tidak mengikuti jalur partai (atau disebut sebagai Thought Criminals dalam Newspeak). Pasukan keamanan Ingsoc, Thought Police, akan segera hadir mengintervensi, memasukkan para pemikir bebas tersebut ke dalam Ministry of Love, di mana mereka akan dicuci otak kembali, atau mungkin malah lebih parah.
Hal yang paling mengganggu dalam kehidupan sehari-hari penduduk Oceania (sebagaimana Orwell di situ menyebut negara besar Eropa-Amerika) adalah keberadaan telescreen, televisi interaktif dua arah yang tak dapat dimatikan, dan memberi akses pengawasan ketat 24 jam penuh di manapun terhadap masyarakatnya. Siapakah yang berada di balik telescreen tersebut? Apakah masyarakat dapat seluruhnya termonitor? Apakah seluruh program tersebut dijalankan oleh mesin? Tak pernah ada masyarakat yang tahu, selain bahwa hanya para anggota elit partailah yang diperbolehkan mematikan telescreen mereka untuk sementara waktu.
Winston Smith, tokoh protagonisnya, bertransformasi menjadi seorang Tought Criminal. Pekerjaannya adalah menulis ulang arsip-arsip dari London Times agar dapat konsisten dengan kebijakan gaya bahasa Newspeak. Saat Ingsoc mengubah kebijakan politiknya ketika beraliansi dengan negara superpower lain dan mulai mengobarkan perang terhadap bekas aliansinya, tugas Winston adalah menulis ulang seluruh informasi untuk memperlihatkan bahwa Oceania tak pernah memiliki aliansi dengan negara yang kini berperang dengannya. Keadaan tersebut diperparah oleh orang-orang yang ia temui, yang tak pernah menyadari bahwa berbagai perubahan telah dilakukan. Winston yang sedih dan kesepian, tetapi juga cukup pintar, mulai memahami manipulasi berbahaya telah disuntikkan ke dalam kesadaran masyarakat.
Maka ia menjadi sebuah korban berikutnya bagi kebijakan pemerintah. Winston mulai mempelajari sebuah kopian buku yang telah dibredel karena dianggap revolusioner oleh Ingsoc, yang ditulis oleh musuh negara yang paling terkenal: Goldstein.Termotivasi dan terinspirasi oleh apa yang ia baca, ia mulai menceburkan diri dalam sebuah kisah cinta dengan sesama pekerja bernama Julia, dan merasa mendapatkan sebuah kawan dalam pemberontakannya melalui seseorang yang bekerja dalam Ingsoc, OBrien. Diliputi kerinduan untuk dapat melarikan diri dari dunia kaku menuju sebuah dunia baru yang lebih baik, ia tak menyadari bahwa ini semua adalah sebuah plot untuk menangkapnya. Ia terlalu terlambat menyadari bahwa sesungguhnya OBrien adalah kepala Thought Police, dan ia jugalah yang sebenarnya menulis buku atas nama Goldstein, dengan tujuan menangkap sebanyak mungkin para revolusioner dan menyeret mereka ke ruang 101—sebuah ruang penyiksaan di mana ketakutan seseorang menjadi nyata. Maka, dalam keadaan hancur sepenuhnya, tercuci otak dan terprogram ulang (sehingga menyetujui bahwa 2+2=5, seperti kata OBrien), Winston dikembalikan ke tengah masyarakat sebagai seorang pemuja Big Brother yang tak berbahaya. Di akhir buku, Winston, berlinang air mata karena takut dan gembira, memproklamirkan kecintaannya pada Big Brother. Seluruh pemikirannya, harapan dan impiannya akan pelarian diri dan kebebasan, secara permanen telah terhapus dari kesadarannya.
Tujuan dari Newspeak, adalah secara drastis mereduksi sejumlah kata-kata dalam bahasa Inggris, dengan tujuan untuk mengeliminasi ide-ide yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan kediktatoran Ingsoc dan Big Brother-nya. Thoughtcrime adalah sebuah kejahatan karena berpikir tentang kebebasan dan revolusi, dan karenanya seseorang dapat dijatuhi hukuman siksaan dan cuci otak. Dalam novel tersebut juga disebutkan, tidakkah kau lihat, bahwa tujuan utama Newspeak adalah untuk mempersempit ruang pikiran? Pada akhirnya, kita akan dapat membuat thoughtcrime secara literer menjadi tak mungkin lagi, karena tak ada kata-kata yang dapat digunakan untuk mengekspresikannya. Seluruh iklim pemikiran kita akan berbeda. Pada faktanya nanti, tak akan ada lagi pemikiran sebagaimana yang kita miliki sekarang ini.
Lantas apakah dunia kita saat ini? Apakah di era baru milenia ini berbeda jauh secara fundamental dengan apa yang diprediksikan oleh Orwell? Sepintas tampak banyak sekali perbedaan dari distopia 1984, seperti: rezim totalitarianisme telah bertumbangan, matinya komunisme yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, muncul lebih banyak komunitas, tersedia lebih banyak lagi kebebasan daripada sebelumnya.
Dalam tingkatan geopolitik, ekonomi informasi global telah mempromosikan banyak kedamaian dan kebebasan, menyoroti kasus-kasus represif yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara, dari kediktatoran Taliban dan Saddam Hussein hingga Castro di Kuba. Internet juga tampak memberi lebih banyak kebebasan informasi bagi para penggunanya, yang dapat secara spontan mengkomunikasikan ide-ide mereka, apapun itu.
Tetapi benarkah prediksi Orwell melenceng jauh? Dalam Oceania, terdapat dua golongan, mereka yang menjadi bagian dari Partai dan satu lagi disebut The Proles—sejumlah besar proletariat yang tak tercuci otak dan hidup di lokasi-lokasi yang tak layak huni. Sementara di dunia kita, lebih dari 6 juta jiwa tinggal dan hidup di planet ini, siapa sajakah yang menjadi bagian dari Partai? Oke, mari kita berkata dengan terminologi internet. Berapa banyak pengguna internet di dunia? 505 ribu, menurut perhitungan terakhir (sumber: Global Reach 12/01), yang berarti hanya sekitar 8% dari 6,2 juta populasi. Baiklah, lantas Ingsoc memiliki Inner Party dan Outer Party. Jika saja 5% dari populasi dunia adalah Inner Party (mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan, kemakmuran, dan dapat menentukan nasib mereka sendiri lebih daripada yang lainnya), maka dapat dikatakan bahwa 10% lainnya termasuk ke dalam Outer Party (mereka yang masih mendapat keuntungan dari kemakmuran, tetapi tak dapat menentukan kebijakan). Di dunia nyata, yang berjumlah 6,2 juta jiwa, katakanlah 9 ribu jiwa (15%) dari populasi mendapat keuntungan dari kebebasan dan kemakmuran dunia modern, mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dll. Lantas bagaimana dengan 85% sisanya yang mungkin mirip dengan para The Proles dalam karya Orwell ini? Mereka hidup di sebuah dunia di mana 30% dari mereka tinggal di atas lahan di mana air tak dapat diminum, di mana kematian bayi sangat tinggi dan penyakit menyebar tanpa terkontrol, di mana tak ada pendidikan, layanan sosial dan bahkan tak ada prospek hidup sama sekali.
Pikirkan beberapa hal berikut ini: Engkau dapat mematikan televisimu, tetapi apakah memang itu yang kau inginkan? Engkau hidup dalam sebuah masyarakat yang demokratis karena Pemilu yang lalu berjalan demokratis, tetapi kau melihat populasi masyarakat miskin terus bertambah, lantas kau berpikir, mengapa tak ada cukup dana untuk itu semua sementara para birokrat semakin bertambah kaya? Engkau bebas untuk menggunakan uangmu sesuka hatimu. Tetapi mengapa kau selalu ingin membelanjakannya untuk hal-hal yang didiktekan oleh iklan-iklan di sekelilingmu?
Kini garis bawahi pernyataan berikut: engkau tak memiliki kebebasan ataupun kekuatan. Engkau tak merasakan kebutuhan akan kebebasan atau kekuatan. Bahkan lebih buruknya lagi, engkau tak merasa bahwa kau pernah memiliki kedua hal tersebut.
Orwell memang tepat!