There's a price tag on me and there's sick on the floor:
we're buying up anything we can't afford.
Wherever I go I keep hearing this voice
saying “choose what you want!” but there's so little choice...
–Chumbawumba, Buy Nothing Day
Hasrat tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh mesin hasrat, kata Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Mesin hasrat sendiri merupakan sebuah istilah yang mereka gunakan untuk menjelaskan reproduksi perasaan kekurangan di dalam diri manusia secara terus menerus.
Dalam kondisi masyarakat sekarang ini, di mana imaji-imaji lebih meyakinkan dari pada kenyataan itu sendiri, pola konsumsi personal maupun masyarakat tidak lagi didasari oleh logika kebutuhan, melainkan oleh logika hasrat. Bila kebutuhan dapat terpenuhi oleh objek-objeknya—setidaknya secara parsial—maka hasrat adalah kebalikannya, ia tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena satu-satunya objek yang dapat memenuhi hasrat adalah objek hasrat (seksual) yang muncul secara bawah sadar pada tahap imajiner, dan objek hasrat ini telah hilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari substitusi-substitusinya dalam dunia objek atau simbol-simbol yang dikonsumsi[1].
Konsumsi, menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari, dapat juga dipandang sebagai satu fenomena bawah sadar, yang dengan demikian masuk ke dalam kawasan psikoanalisis. Dalam pengertian psikoanalisis, konsumsi dapat dipandang sebagai satu proses reproduksi hasrat dan reproduksi pengalaman bawah sadar yang bersifat primordial. Dalam hal ini, konsumsi mengingatkan seseorang kembali pada rangsangan-rangsangan bawah sadar yang dialami pertama kali secara primordial dalam bentuk kesenangan seksual yang timbul pertama kali dalam berhubungan dengan objek seksual (menyusui). Konsumsi adalah subsitusi atau pengganti dari kesenangan yang hilang tersebut, yang tersimpan dalam bentuk bawah sadar[2].
Konsumerisme Fatalis
Konsumsi yang terjadi sekarang ini tidak semudah dan sesederhana konsumsi pada beberapa waktu lampau. Entah tepatnya dimulai pada tahun berapa, tapi yang jelas konsumsi telah menjadi sedemikan kompleks dan menuntut pola yang juga kompleks. Konsumsi pada saat ini bukan saja kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sebagai kegiatan yang dianggap untuk bertahan hidup. Pada saat ini, ketika anda sedang membeli, anda tidak hanya mendapatkan objek-objek yang berupa barang dan jasa saja, misalnya. Pada saat yang bersamaan, anda juga sedang membayar simbol, prestise, dan perbedaan-perbedaan status. Objek-objek konsumsi juga telah berperan sebagai media yang mengkomunikasikan atau mempresentasikan makna-makna tertentu. Sebagai contoh, kita memakai pakaian-pakaian mewah untuk mengkomunikasikan kekayaan dan status sosial kita. Semakin banyak anda mengkonsumsi, semakin tinggi pula tingkat gengsi anda, dan tentu saja, hasrat anda tidak akan merasa terpenuhi sehingga anda akan terus-menerus mengkonsumsi objek-objek.
Bagi Jean Baudrillard, para konsumer—dalam hal ini adalah orang-orang yang hanya sekedar mengkonsumsi tanpa ikut terlibat aktif dalam penciptaan dan tindakan kreatif—lebih tepat disebut sebagai mayoritas yang diam, yang menempatkan dirinya dalam relasi subjek-objek, layaknya jaring laba-laba yang menjaring dan mengkonsumsi apapun yang ada di hadapan mereka bagai magnit, akan tetapi mengalir melalui mereka tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Menurutnya juga, proses pengendapan segala sesuatu yang dikonsumsi melalui pemberian pengakuan kini telah kehilangan makna, ditelan deru percepatan konsumsi itu sendiri yang seakan tidak mengenal titik jenuh ataupun akhir.
Dari pandangan Jean Baudrillard ini, kita mungkin saja terhenyak tidak percaya. Tapi jika kita membenturkannya pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai pola konsumsi secara berlebih, mungkin pandangan Jean Baudrillard tersebut benar. Kaum selebriti, para eksekutif muda, bahkan para remaja atau ABG-ABG gaul kelas menengah ke atas di kota-kota di mana akses terhadap konsumsi secara lebih luas terbuka lebar, mereka telah mencapai tahapan belanja gaya hidup. Bagi kelompok-kelompok masyarakat seperti ini, konsumsi telah menjadi sebuah kegairahan dan ekstase dalam perputaran objek-objek konsumsi, meninggalkan pencarian makna kegunaan atau utilitas, atau makna-makna ideologis melalui pemberian pengakuan. Apa yang mereka cari dalam komunikasi bukan lagi informasi-informasi ataupun pesan-pesan, melainkan pesona-pesona halusinasi dalam berkomunikasi itu sendiri—menikmati permainan di mana hal-hal yang tampak di permukaan sebagai acuannya.
Bombardir Imaji-Imaji Visual
Pasar ekonomi yang eksis sekarang ini adalah pasar ekonomi yang mengkomodifikasikan hasrat. Pasar ekonomi menjadikan hasrat sebagai sebuah titik tolak menuju imperiumnya yang megah di atas reruntuhan imaji-imaji manusia untuk hidup berdampingan dan bekerja sama—menghidupi dirinya sendiri. Kompetisi, imaji-imaji halusinatif di mana kesuksesan adalah hal yang utama, pola konsumsi yang berlebihan, fashion-fashion up to date, kendaraan sporty mentereng, atau rumah mewah, adalah contoh life style yang diyakini dapat membawa kebahagiaan dalam hidup ini, bahkan diyakini sebagai pemuas hasrat-hasrat yang selama ini terus-menerus berreproduksi dalam diri manusia.
Dalam proses menuju imperiumnya tersebut, para pelaku pasar ekonomi mengincar setiap titik yang dapat dijadikan kesuksesan mereka, dengan berbagai varian dan penciptaan bentuk-bentuk visual yang menggugah banyak orang, dan tentu saja, agar dapat menghasilkan profit sebanyak mungkin. Dan sekarang, tiba saatnya hasrat menjadi sasaran tembak.
Seperti apa yang telah dikatakan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari tentang operasi mesin hasrat di dalam diri kita, maka di saat yang bersamaan masing-masing dari diri kita akan selalu mencoba untuk mencari dan menemukan objek-objek substitusi yang setidaknya dapat membuat kita merasa puas dalam beberapa waktu, untuk kemudian kembali mencarinya lewat substitusi-substitusi lainnya. Celakanya, pencarian kepuasan hasrat lewat objek-objek subsititusinya mengalami stagnasi yang cukup akut—setidaknya bagi beberapa kelompok masyarakat. Hal ini mungkin saja dapat kita tandai dengan maraknya berbagai media yang menyajikan imaji-imaji kenikmatan atau kebahagiaan—yang bagi kelompok-kelompok masyarakat tadi cukup diyakini kebenarannya—tapi hanya berputar-putar di lingkaran yang sama: beli, beli, dan beli.
Hasrat seolah-olah dapat dengan mudah dikenali dan ditandai. Hasrat seolah-olah dapat dengan mudah direngkuh tanpa proses pencarian dan pengendapan, hanya dengan membeli. Dari mulai imaji tentang seorang lelaki macho yang tubuhnya menjadi berotot dan berbobot dengan mengkonsumsi susu merk X, yang akan menjadi idola bagi banyak wanita, sampai imaji tentang bagaimana menjadikan hidup anda selalu bahagia versi merk Y—imaji-imaji ini disajikan dengan intensitas yang konstan dan bertubi-tubi, sehingga menggelitik hampir setiap orang untuk meyakininya. Dan kalaupun memang benar hasrat dapat dengan mudahnya dikenali dan direngkuh secara instan, maka sepertinya, hasilnya pun akan bersifat instan: cepat—datang lalu menguap kembali.
Kekuasaan Modal dan Alienasi Hasrat
Di dalam masyarakat kapitalisme global, atau yang disebut juga sebagai masyarakat konsumer, setidak-tidaknya terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek, yaitu: kekuasaan kapital, kekuasaan produsen, dan kekuasaan media massa. Ketiga bentuk kekuasaan ini beserta pengetahuan yang mendukung serta artikulasinya pada pelbagai praktik sosial menentukan bentuk dan gaya, serta produksi dan konsumsinya[3].
Kekuasaan modal sendiri memiliki kontribusi yang bisa dibilang sangat besar dalam menciptakan masyarakat konsumer yang disebut Jean Baudrillard sebagai mayoritas yang diam, tentunya tanpa mengecilkan apalagi menihilkan kontribusi dari kekuasaan-kekuasaan lainnya seperti kekuasaan produsen dan media massa. Dengan modal yang besar, mereka dapat membuat produksinya terus berjalan sedemikian rupa, dan dapat menguasai media massa sebagai penyampai imaji-imaji mereka bagi personal-personal atau masyarakat. Kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah rectoverso (dua sisi dalam mata uang) yang saling mendukung.
Di dalam model produksi kapitalis, objek-objek tidak diproduksi oleh subjek-subjek yang memiliki sarana dan prasarana produksi serta modal, akan tetapi oleh subjek sebagai pekerja, yang memproduksi objek untuk para pemilik modal, demi mendapatkan upah dari pekerjaannya, kata mbah Karl Marx. Di dalam relasi seperti ini, Marx melihat satu proses yang disebutnya pemisahan, yakni pemisahan subjek (pekerja) dari hasil kerjanya. Tapi kemudian, apakah analisa Marx tersebut masih relevan dalam masyarakat konsumer kontemporer, di mana telah terjadi perubahan besar dan transformasi dalam relasi subjek-objek itu sendiri? Melalui perkembangan mutakhir dalam tekhnologi produksi, semisal otomatisasi dan komputerisasi, peran pekerja dapat diminimalisir sedemikian rupa. Alienasi yang telah dipaparkan Marx, bahwa subjek (pekerja) terasing dari alat produksi dan objek-objek yang dihasilkannya, di dalam masyarakat konsumer kontemporer telah bertransformasi menjadi lebih kompleks. Bukan hanya para pekerja yang terasing dari alat produksi dan hasil-hasil produksinya, konsumer pun terasing dari hasrat dan imaji-imaji yang ditawarkan oleh produsen.
Alienasi masih ada, bahkan telah menjelma menjadi sesuatu yang ada tanpa kita sadari. Relasi yang terjalin dalam komunikasi masyarakat konsumer sekarang hanyalah relasi konsumsi yang terkadang palsu belaka, di mana seorang pelayan perempuan berbodi montok akan tersenyum ramah, atau bahkan menggoda anda jika anda mau membeli produk yang dijajakannya.
Dalam masyarakat konsumer kontemporer, hampir setiap waktu dihabiskan untuk mengkonsumsi, tanpa ikut terlibat aktif dalam proses kreasi penciptaan baru. Hampir setiap imaji yang ditawarkan atau dikomodifikasikan, mereka lahap.
Objek-objek konsumsi yang mengalir tak henti-hentinya dalam kecepatan tinggi di dalam area konsumerisme tidak pernah—dan tidak akan pernah—memenuhi kebutuhan, sebagaimana hasrat tidak akan selamanya terpenuhi oleh objek hasrat. Jika satu hasrat dapat terpenuhi lewat substitusi-subtitusinya, maka yang terjadi adalah hasrat lain yang lebih tinggi. Pemuasan hasrat tidak akan terjadi lewat repetisi substitusi-substitusi.
Catatan:
[1] Yasraf Amir Piliang
Hipersemiotika, Penerbit Jalasutra, Tanpa Tahun, Yogyakarta
[2] Gilles Deleuze dan Felix Guattari
Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, The Viking Press, 1977, New York
[3] Yasraf Amir Piliang
Hipersemiotika, Penerbit Jalasutra, Tanpa Tahun, Yogyakarta
Lentera Izhtarza
Rabu, 04 Februari 2009
AKU MEMBELI MAKA AKU ADA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Anda tidak berdiri sendiri dengan pandangan itu.Bahkan teman2 di Jalasutra sudah menerbitkan buku dngan judul Saya Berbelanja Maka Saya Ada.Kl menurut gw,apa yang dikerjakan sama adbusters di kanada bisa menjadi acuan.Tinggal bagaimana kita mulai bergerak di sini.Jakarta memang sudah saatnya sedikit di'goyang'.hahaha
isu soal konsumerisme emg isu yg eye-catchy, berteman ma alienasi idup seharihari, keterpurukan mental dan psikologi, dll. tp seperti jg adbusters di sana, isu ini cuman jadi pintu masuk buat perang kelas yg sesungguhnya.
masalahnya kemudian, kebanyakan individu ato kelompok cuman ngeliat isu ini di tataran permukaannya ajah dan ga aneh kl kemudia mereka kejebak di lobang yg sama ma mereka yg ngebangun isu ini. yasraf amir pilliang misalnya. dia cuman sibuk ngutakngatik ide ini-itu sampe kblinger sendiri dan ngasih solusi buat balik lg ke kesalehan agama? pfyyuuuuhhh,,,
Dari taktik ini yang sering terjadi adalah: orang-orang kelas menengah yang cari aman tapi pengen keliatan "tetap peduli" atau "cukup radikal" biasanya mendominasi di kelompok-kelompok yang aktif di isu ini (Tau sendiri kan kelompok-kelompok mana aja itu?). Saat isunya dibawa ke arah yang lebih radikal, mereka pada kabur...
Posting Komentar