Senin, 23 Februari 2009

ORGANISASIKAN KOMUNITASMU: JANGAN MEMILIH!

Dalam demokrasi, harus ada yang menang dan kalah—Hillary Clinton, Program Musik Dahsyat di RCTI 19 Feb 09

Semua revolusi modern telah berakhir dengan kembalinya kekuatan negara—Albert Camus

Dewasa ini, “demokrasi” menguasai dunia. Runtuhnya rezim komunis Rusia, pendudukan di Afghanistan dan Irak yang mengatasnamakan demokrasi, sistem Pemilu multipartai yang semakin dipopulerkan di berbagai negara-negara miskin Dunia Ketiga, pertemuan-pertemuan tingkat dunia yang membahas persoalan demokrasi ekonomi, pembantaian warga sipil palestina di Jalur Gaza dan serangan balas dendam pada warga Israel yang tidak bersalah demi kekuasaan modal, juga jadwal Pemilu pada bulan April 2009 di Indonesia—yang selalu diklaim dan digembar-gemborkan sebagai pesta demokrasi. Lalu kenapa kita tidak merasa ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah solusi dari segala masalah kita dan dunia? Kenyataannya dunia masih juga berjalan di antara kemiskinan, pengangguran, penghancuran ekologi, penghancuran hak-hak warga oleh korporasi, dan masalah-masalah lainnya. Lebih dari itu, kemandirian komunitas telah menjadi sesuatu yang benar-benar langka. Apakah ada yang salah dengan “demokrasi”? Apakah ada alternatif yang lebih memungkinkan dari “demokrasi”?

Setiap Anak Kecil Dapat Tumbuh Menjadi Seorang Presiden

Bohong. Menjadi seorang Presiden berarti memegang sebuah kekuatan dalam posisi yang hierarkis, sama halnya dengan menjadi seorang milyuner: untuk ada satu orang Presiden, harus ada milyaran orang yang memiliki kekuatan lebih rendah dari dirinya. Dan seperti halnya dengan milyuner, hal yang sama berlaku juga dengan keberadaan seorang Presiden: bukan sebuah kebetulan bahwa kedua tipe tersebut saling menguntungkan, semenjak keduanya datang dari dunia yang memiliki banyak hak-hak istimewa dengan cara membatasi hak-hak kita sebagai orang-orang yang bukan bagian dari mereka. Sistem ekonomi kita, juga sebenarnya tidaklah demokratis, kita semua sudah tahu bahwa sumber kekayaan didistribusikan dengan proporsi yang secara absurd sangatlah tidak adil. Untuk menjadi seorang Presiden engkau harus memulainya dengan memiliki sumber kekayaan, atau setidaknya memiliki kedudukan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi sumber kekayaan. Walaupun apabila memang benar bahwa setiap orang dapat tumbuh menjadi seorang Presiden, hal tersebut tidaklah akan menolong milyaran dari kita yang kebetulan tidak menjadi seorang Presiden—yang masih harus hidup dalam bayang-bayang kekuasaannya. Hal inilah yang menjadi kesulitan mendasar, yang intrinsik, dalam sistem demokrasi representatif[1]—di mana kesulitan tersebut terjadi dalam level paling bawah maupun dalam level teratas. Sebagai contoh: Walikota, bersama beberapa orang politisi profesional, dapat mengagendakan pertemuan-pertemuan yang mendiskusikan masalah-masalah yang dialami oleh warga kota tersebut. Kemudian mereka menghasilkan berbagai keputusan setiap harinya untuk ditaati oleh setiap warga kota, tanpa sekalipun pernah mengkonsultasikannya dengan para warganya. Masalahnya, masalah yang dialami oleh tiap warga pasti berbeda-beda, sehingga mereka yang tidak mengalami masalah yang sama jelas akan merasa keberatan dengan diberlakukannya keputusan sepihak dari Walikota. Tidak perlu heran apabila ketidakpuasan akan terus terjadi. Para warga kota dapat memilih Walikota yang lain, walaupun pilihannya hanya akan kembali ke lingkaran yang itu-itu saja: mereka yang telah disediakan dalam daftar politisi atau calon politisi yang sudah dipilihkan untuk warga kota. Dari pilihan itu, tetap saja kepentingan dan kekuatan kelas dari para politisi tersebut akan selalu bertentangan dengan kepentingan warga kota. Lagipula, para loyalis partai politik selalu saja hanya melakukan hal-hal yang dianggap baik demi mendapatkan kursi kekuasaan dan bagaimana caranya mempertahankan kursi tersebut. Apabila tidak ada Presiden, maka bukan berarti bahwa “demokrasi” kita tersebut kurang demokratis. Masalah mendasarnya adalah korupsi, kepemilikan hak-hak istimewa dan hierarki tidak akan pernah lenyap walaupun kita telah memilih jutaan Presiden; karena cacat tersebut tidak terletak secara personal pada siapa yang menjadi Presiden, melainkan bahwa hal-hal tersebut merupakan metode-metode pemerintahan yang telah melekat erat dalam bentuk pemerintahan apa pun.


Tirani Mayoritas

Apabila anda pernah mengalami suatu masa di mana anda menjadi bagian dari kelompok minoritas yang tidak masuk hitungan sama sekali, sementara kelompok mayoritas memutuskan bahwa anda harus kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi diri anda sendiri tapi dianggap tidak penting oleh kelompok mayoritas, akankah anda hanya menurut demi kepentingan mayoritas? Saat hal tersebut terjadi, benarkah seseorang akan menyadari bahwa kekuasaan sekelompok orang ada karena mereka telah menyingkirkan hak-hak orang lainnya? Kita menerima kebenaran secara mutlak bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena kita tidak pernah percaya bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan kita—dan biasanya mereka, para minoritas yang telah terancam kepentingannya, telah ditutup dulu mulutnya sebelum kita sempat mendengar langsung tentang kondisi yang mereka alami. Tak ada “masyarakat biasa” yang mengakui bahwa dirinya terancam oleh aturan mayoritas, karena setiap orang berpikir ada sebuah “kekuasaan moral” yang menyatakan bahwa kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya: sesuatu yang di dalam kenyataan disebut sebagai fakta dengan merujuk pada standarisasi nilai-nilai yang tidak pernah ditanyakan terlebih dahulu, apakah kita sepakat atau tidak dengan aturan tersebut. Kalaupun hal tersebut tidak disebut sebagai fakta, setidaknya kita begitu sering mendengar hal tersebut dari berbagai teori, yang menyatakan bahwa ide tentang kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya. Dari demokrasi tersentral ala negara-negara Komunis, demokrasi Pancasila, sampai dengan demokrasi pasar yang eksis sekarang ini, kesemuanya tidak pernah mengakomodir kepentingan yang berbeda dari kepentingan mayoritas[2], bahkan jika itu adalah sesuatu yang keliru. Demokrasi dengan aturan mayoritas selalu berakhir dengan keputusan bahwa, apabila segala fakta telah terbukti benar, maka semua orang akan dibuat melihat bahwa hanya ada satu macam cara melakukan sesuatu yang bisa dikatakan benar alias hanya ada satu macam kebenaran. Tak heran jika pola demokrasi seperti demikian tak ada bedanya dengan kediktatoran. Masalahnya, dalam banyak kasus bahkan apabila “fakta” dapat dihadirkan secara jelas pada semua orang (yang jelas tak akan mungkin) beberapa hal tak dapat disetujui begitu saja, yang merupakan bukti bahwa sebenarnya kebenaran tidak hanya satu macam saja. Ada begitu banyak kebenaran di dunia ini, karena masing-masing individu dan lingkungan yang membentuknya punya keunikannya sendiri. Memaksa kebenaran yang bervariatif menjadi kebenaran tunggal akan menghilangkan keindahan yang mewarnai hidup ini. Kita semua membutuhkan bentuk-bentuk demokrasi yang mampu menghitung peristiwa-peristiwa tentang perbedaan kebenaran, di mana kita juga bebas dari sebuah sistem kediktatoran mayoritas sebagaimana kediktatoran kelas yang memiliki hak-hak istimewa.

Aturan Hukum

Perlindungan yang disediakan oleh institusi-institusi legal yang kita miliki sama sekali tidak cukup. “Aturan dan hukum yang adil”, yang dewasa ini diberhalakan oleh mereka yang memang memerlukan perlindungan atas kepentingannya (misalnya tuan tanah atau direktur bank), tidak dapat melindungi setiap orang dari kekacauan atau ketidakadilan; hal tersebut hanya menciptakan arena spesialisasi baru, di mana potensi dan kekuatan yang sebenarnya dimiliki oleh komunitas akan direduksi ke dalam sebuah arena jual beli yang mahal untuk membayar hakim atau pengacara. Masyarakat yang miskin, lemah, dan tidak berdaya, adalah kelompok yang paling akhir diperhatikan oleh aturan hukum yang ada. Di bawah kondisi demikian, potensi mandiri dan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat akan disibukkan pada persoalan pemenuhan kemampuan finansial untuk membiayai institusi pengadilan, bukan digunakan untuk merebut kembali hidup yang telah dirampas. Memapankan keadilan dalam masyarakat melalui penguatan dan pemaksaan kontrol oleh hukum tidak akan pernah berhasil: beberapa hukum hanya dapat menginstitusionalkan apa yang telah menjadi aturan dalam masyarakat. Apa yang kita butuhkan adalah meninggalkan demokrasi representatif, untuk sebuah demokrasi partisipatoris[3] sepenuhnya.

Bukan Sebuah Kebetulan Apabila “Kebebasan” Tak Ada Dalam Kotak Pemilu

Kebebasan bukanlah sebuah kondisi—melainkan sesuatu yang lebih dapat dikatakan sebagai sebuah sensasi—dan hal tersebut bukanlah sebuah konsep akan janji kesetiaan untuk dituju, sebuah sebab yang mendasari tindakan, ataupun sebuah standar yang mengharuskan kita berbaris di bawah satu bendera; melainkan sebuah pengalaman yang harus anda alami sehari-hari yang bila tidak dialami, maka kebebasan tersebut akan meninggalkan anda. Kebebasan bukanlah saat kita beraksi ketika bendera dikibarkan dan bom-bom dijatuhkan hanya demi “membuat dunia aman untuk demokrasi”, tak peduli apa pun warna bendera yang dikibarkan (bahkan juga bendera hitam). Kebebasan tak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan ataupun doktrin filosofis apa pun. Memberikan kebebasan pada orang lain tak akan mampu memperkuat kebebasan, selain hanya mengekang kemampuan orang tersebut untuk menemukan kebebasannya sendiri. Kebebasan muncul pada saat-saat yang sederhana; saat membuat anak kecil percaya pada sesuatu yang dilakukannya, pada momen-momen bersama dengan beberapa teman dekat dan kerabat, ataupun pada saat para pekerja menolak perintah pimpinan serikat buruhnya, dan kemudian mengorganisir pemogokan mandiri tanpa pemimpin. Apabila kita memang memperjuangkan kebebasan kita, maka kita harus mulai berjanji pada diri kita sendiri untuk selalu mengejar dan menghargai momen-momen tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkannya. Hal ini jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu kita untuk melayani kepentingan partai atau ideologi (apa pun). Kebebasan yang nyata tak akan dapat ditemui dalam kotak Pemilu. Kebebasan bukan sekedar kemampuan untuk memilih satu dari beberapa pilihan, melainkan berpartisipasi aktif untuk membuat pilihan sendiri: membentuk dan mendekor ulang lingkungan di mana pilihan-pilihan tersebut dapat terbentuk. Tanpa hal ini, kita tak akan memiliki apa pun, selain hanya menerima pilihan yang telah ada berulang-ulang kali—membuat keputusan yang hasil akhirnya juga akan selalu sama. Apabila pilihan ada di tangan kita, maka segala sesuatu berarti kemungkinan baru. Dan ketika telah tiba saatnya untuk mengambilalih kekuatan dan kekuasaan atas diri kita sendiri, maka tak akan ada seorang pun yang dapat merepresentasikan diri kita—hal itu adalah sesuatu yang harus kita lakukan secara mandiri. Kedaulatan tak akan pernah bisa direpresentasikan, bukan?!

“Lihat, Kotak Suara Pemilu—Demokrasi!”

Apabila kebebasan adalah sesuatu yang berharga di mana telah banyak generasi yang berjuang dan mati untuknya, maka kotak suara Pemilu adalah sebuah pereduksian makna atas kebebasan itu sendiri; seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada sebuah kotak, kemudian kembali ke tempat kerjanya di mana dirinya tak lagi memiliki kontrol atas hidupnya, yang juga berarti hal tersebut justru tidak dapat dibilang sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan demi kebebasan yang telah dilakukan lebih dulu oleh generasi-generasi sebelum kita. Untuk gambaran yang lebih mudah mengenai kebebasan, lihatlah musisi yang sedang melakukan improvisasi musikal bersama beberapa partnernya; ia melakukannya dalam suasana yang menyenangkan, dengan kerjasama yang benar-benar tanpa paksaan, sehingga mereka dapat aktif mencari nada, tempo, dan suasana yang nyaman di mana mereka dapat eksis—semua berpartisipasi untuk mentransformasikan dunia yang sebaliknya juga mentransformasikan diri mereka. Ambil model tersebut dan terapkan pada setiap interaksi kita dengan orang lain, maka anda akan memiliki sesuatu yang secara kualitas jadi lebih baik daripada sistem yang ada saat ini: sebuah harmoni dalam hubungan dan kehidupan manusia—sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk mencapai titik tersebut, kita harus mulai menganggap Pemilu sebagai sebuah ekspresi kebebasan dan partisipasi yang telah ketinggalan zaman dan tak layak dilakukan untuk merengkuh kebebasan yang lebih nyata.

Demokrasi Representatif Memiliki Kontradiksi Dalam Istilahnya Sendiri

Tak ada seorang pun yang dapat merepresentasikan kekuatan dan ketertarikan yang anda miliki—anda hanya akan mendapat kekuatan dengan melakukan sesuatu, dan anda hanya akan dapat tahu apa ketertarikan anda dengan cara melibatkan diri secara langsung. Para politisi telah mengembangkan karirnya dengan mengklaim bahwa mereka merepresentasikan orang lain seolah-olah kebebasan dan kekuatan politis dapat diselenggarakan oleh seorang wakil. Sejujurnya, para politisi yang sering disebut sebagai wakil rakyat, hanya orang-orang yang mewakili kepentingannya sendiri—dan kepentingan kelasnya yang berbeda dengan kita, masyarakat kebanyakan. Kepentingan para politisi yang mencari suara kita adalah mempertahankan sistem yang membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas sosial, sehingga mereka dapat menikmati hak istimewa yang hanya tersentral di sekitar mereka saja. Kepentingan kita adalah menghancurkan tersentralnya akses-akses atas hak-hak hidup dan pembagian manusia ke dalam kelas-kelas sosial, di samping memberdayakan dan memandirikan diri kita sendiri. Pemilu adalah ekspresi dari ketidakberdayaan dan ketidakmandirian kita: sebuah ijin yang kita berikan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengerti kemampuan masyarakat kita melalui orang lain yang nantinya akan mewakili kita. Saat kita membiarkan para politisi tersebut menyediakan pilihan bagi kita, maka hal tersebut tak ada bedanya dengan saat kita menyerahkan urusan teknologi pada para teknokrat, urusan kesehatan pada dokter, tata kota yang kita tinggali pada ahli planologi; kita akan berakhir dengan terus hidup di sebuah dunia yang asing bagi diri kita sendiri, yang walaupun tenaga kita yang menciptakannya, kita tetap tidak mengerti apa yang sedang kita lakukan selain hanya menunggu diberitahu oleh para pemimpin dan para spesialis tentang apa saja kemungkinan yang kita miliki. Faktanya adalah kita tak perlu memilih satu di antara beberapa kandidat Presiden, merk soft-drink, channel televisi, koran, ataupun ideologi politik. Kita dapat membuat keputusan kita sendiri sebagai individu dan komunitas, kita dapat membuat makanan yang enak dengan tangan kita sendiri, membuat koalisi sendiri, media sendiri, hiburan sendiri: kita dapat menciptakan pendekatan individual kita sendiri pada hidup yang memberi kita semua keunikan masing-masing.

Konsensus

Secara radikal, demokrasi partisipatoris juga dikenal sebagai demokrasi konsensus, sesuatu yang di belahan dunia lain telah dikenal cukup akrab dan bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, dari komunitas adat di Amerika Latin sampai pada sel-sel aksi politis posmodern (grup affiniti atau kelompok affinitas[4]) di berbagai negara Dunia Pertama ataupun pertanian organik yang dioperasikan secara kooperatif di Australia. Demokrasi konsensus juga telah berlangsung selama sekian waktu dalam komunitas Sedulur Sikep[5] sampai pada aksi gotong-royong para petani di Kulon Progo yang menolak penambangan pasir besi. Demokrasi konsensus adalah sebuah bentuk demokrasi langsung, yang sangat berbeda dengan demokrasi representatif: para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin. Berbeda dengan demokrasi yang mengandalkan aturan mayoritas, nilai-nilai yang dianut demokrasi konsensus membutuhkan keterlibatan setiap individu secara setara; apabila ada satu saja orang yang tidak setuju dengan sebuah keputusan yang diambil, maka adalah tugas semuanya untuk menemukan solusi baru yang dapat diterima oleh semua. Demokrasi konsensus tidak menuntut agar seseorang menerima kekuatan orang lain atas hidupnya, walaupun hal ini juga bukan berarti bahwa tiap orang tidak membutuhkan orang lain; walaupun dalam soalan efisiensi, hal seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi kebebasan dan itikad baik, hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi. Demokrasi konsensus tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun standarisasi nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara pencapaiannya sendiri.

Otonomi

Agar demokrasi langsung dapat menjadi berarti, orang-orang harus memiliki kontrol atas hidup yang berkaitan dengan dirinya maupun sekelilingnya. Otonomi adalah ide di mana pilihan untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri kita masing-masing ada di tangan kita, dan bukan orang lain—apalagi orang yang hanya kita kenal dari poster atau baliho yang dipasang menjelang Pemilu. Otonomi juga berarti bahwa tak ada seorang pun yang dapat menentukan pilihan tentang apa yang harus anda lakukan untuk mengisi waktu dan potensi yang anda miliki—ataupun menentukan bagaimana lingkungan sekitarmu harus dibentuk. Jangan kacaukan hal tersebut dengan “kemerdekaan” individual yang sempit—dalam kenyataannya tak ada seorang pun yang benar-benar merdeka dan mandiri sejak banyak hal dalam kehidupan kita saling terhubung dan tergantung dengan sesama kita (kita terbiasa bekerja dan menyebut diri kita mandiri, padahal kita tetap membutuhkan peran orang lain untuk membuat kita dapat hidup mandiri[6])—kedua hal tersebut hanyalah sebuah mitos individualis sempit yang membuat kita menolak mengakui perlunya keberadaan komunitas. Pemujaan yang berlebih terhadap istilah “mandiri” dalam masyarakat kompetitif menegaskan sebuah penyerangan terhadap siapa pun yang tak mau melakukan pengeksploitasian atas orang lain demi kepentingannya sendiri. Contoh jelasnya terdapat pada istilah otonomi dan mandiri seperti yang sering disebut-sebut oleh media massa dan pemerintah (seperti dalam kata “Otonomi Daerah”[7]). Otonomi yang kita tekankan adalah sebuah hubungan saling ketergantungan yang bebas di antara sesama kita yang berbagi konsensus, seperti pilihan dengan siapa kita bertindak secara bebas demi pembangunan swakelola atas seluruh aspek kehidupan, dll. Otonomi adalah sebuah antitesis dari birokrasi (sebuah hal yang jelas membuat kata “Otonomi Daerah” tampak sebagai sebuah lelucon). Agar otonomi dapat terwujud, segala aspek komunitas, dari teknologi hingga sejarah harus diorganisir ulang agar dapat diakses oleh siapa pun. Agar perjuangan ini menemui titik terang, semua orang harus menggunakan kesempatan akan akses tersebut. Grup-grup otonomis dapat dibentuk tanpa perlu sebuah agenda yang jelas, selama sesama anggotanya mendapat keuntungan dari partisipasi anggota lainnya. Beberapa grup dapat mengandung kontradiksinya sendiri, sebagaimana secara individu kita semua juga seperti itu, tetapi masih tetap dapat bekerja bersama-sama.

Momen-momen di mana kita semua harus diseragamkan di bawah satu bendera, satu model dan satu pola, sudah tak mampu lagi untuk menjawab kebutuhan kita akan kebebasan yang setara. Kita harus mencoba memasuki dunia baru. Grup-grup otonomis harus mengambil sikap yang jelas untuk melawan tekanan dari luar (maupun dari dalam) yang menyatakan bahwa tak ada hak bagi individu untuk menentukan hidupnya sendiri, atau mereka yang berusaha mengilfiltrasi otonomi dan konsensus dengan melakukan penghancuran struktur. Kekuasaan atas otonomi harus dilakukan dengan cara apa pun, termasuk penghancuran struktur status quo dan menggantikannya dengan struktur yang lebih demokratis secara radikal. Sangat tidak cukup saat kita menghancurkan jalanan karena menganggap pembangunan jalan hanya menimbulkan lebih banyak lagi polusi. Kita harus mampu mencari cara seperti menyediakan transportasi gratis, misalnya. Atau contoh lainnya, kita tak cukup sekedar mengkritik pola pendidikan di Indonesia tanpa mencoba membentuk sebuah sekolah dengan pola pendidikan yang berbeda. Tak perlu sekolah besar, cukup sekolah kecil non-formal yang menggunakan pola pengajaran yang progresif.

Aksi Langsung

Otonomi juga berarti aksi langsung, tidak menunggu proposal untuk disetujui oleh “jalur legal” yang selalu memakan waktu yang berkepanjangan dan dana yang mengalir terus menerus tanpa jelas ke mana akhirnya. Mari bangun jalur kita sendiri. Kalau kita ingin orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan, jangan berikan uangmu pada institusi legal yang biasanya membutuhkan biaya-biaya administrasi yang akhirnya uangmu akan habis untuk keperluan birokratis mereka—cari di mana sumber makanan murah dan cukup bergizi, kumpulkan, dan bagikan langsung pada mereka yang mengalami kelaparan. Kalau kamu membutuhkan makanan murah, jangan tunggu sampai ada orang kaya memberimu makanan ataupun mencari tanah kosong dan meminta ijin pada insitusi legal untuk menggunakan lahan tersebut—hal itu hanya akan memakan waktu bertahun-tahun dan jalur berbelit-belit yang malahan akan menghabiskan dana yang kamu miliki. Cari lahan-lahan kosong, tanami dengan tanaman pangan yang mampu tumbuh di tempat tersebut. Langkah berikutnya adalah memelihara dan menjaganya agar dapat tumbuh subur. Akan lebih baik jika dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut secara gotong-royong dengan lebih banyak orang. Kita akan mampu untuk memelihara dan menikmati hasilnya bersama-sama. Apabila ada tuan tanah berusaha meratakan lahan panganmu karena kamu dianggap menggunakan lahan kosongnya tanpa izin, pertahankanlah bersama-sama. Para tuan tanah tersebut terlihat benar hanya karena mereka memiliki uang yang jauh lebih banyak daripada dirimu dan hukum memang melindungi mereka, bukan kalian. Jangan tunggu sebuah ijin legal disahkan untukmu, jangan tunggu mereka yang memegang kekuasaan memberitahu padamu apa yang harus dilakukan dengan hidupmu. Lakukan sesuatu. Saat ini juga.

Federasi Tanpa Pemimpin

Grup-grup otonomis independen dapat bekerjasama dalam sebuah federasi tanpa satu kelompok pun yang memiliki hak lebih untuk memutuskan sesuatu yang merupakan kepentingan semua kelompok. Beberapa struktur sosial seperti demikian tampak seperti sebuah utopia. Tapi sebenarnya hal-hal seperti itu mampu direalisasikan—tak perlu berharap akan terjadi dalam skala besar, cukup kita lakukan dalam skala kecil terlebih dahulu. Hal-hal besar sendiri selalu lahir dari hal-hal kecil yang terus terakumulasi dan berkelanjutan. Individu-individu yang merasa setuju sepenuhnya dengan keputusan sebuah grup tidak boleh menutup dirinya untuk bergabung juga dengan grup lainnya untuk mengembangkan keinginannya. Agar hal-hal seperti itu dapat berjalan dalam jangka panjang, kita semua perlu untuk tetap mengembangkan sikap kooperatif, saling membutuhkan dan toleransi terhadap generasi yang muncul berikutnya—hal-hal seperti itulah yang kami usulkan saat ini.

Bagaimana Menyelesaikan Perbedaan Masalah Tanpa Perlu Keberadaan Pemerintah Ataupun
Pemimpin?

Dalam struktur sosial di mana partisipasi tiap individu diutamakan, maka harus ada sebuah tekanan untuk mendorong pereduksian kebiasaan-kebiasaan yang merusak dan penuh kekerasan. Dibutuhkan sebuah pendekatan yang humanis, bukan yang penuh paksaan dan tekanan seperti yang selama ini pemerintah lakukan dengan ancaman penjara dan aparat keamanannya yang terkenal penuh kekerasan—yang hanya memupuk korupsi di antara para petugas hukum dan membenarkan tindakan kriminal yang ada. Mereka yang menolak untuk berintegrasi dengan komunitas manapun, serta menolak bantuan atau masukan dari yang lain, jelas akan menemukan kenyataan bahwa diri mereka akan tersisihkan dari interaksi manusia; tetapi hal tersebut pun lebih baik daripada pengasingan di penjara, seperti yang selama ini selalu berlaku dalam sistem sosial kita. Kekerasan seharusnya hanya dijadikan sebuah alat untuk mempertahankan diri bagi sebuah komunitas, bukannya sebagai alasan untuk menghancurkan komunitas lainnya atas pembenaran superioritas diri seperti yang selama ini juga selalu terjadi dalam sistem sosial kita. Hal ini juga diaplikasikan bagi kelompok masyarakat ataupun grup otonomis yang belum menjalin hubungan baik dengan komunitas kita. Ketidaksetujuan yang memasuki tahapan sangat serius dapat diselesaikan dengan berbagai cara seperti reorganisasi grup ataupun pembubaran. Seringkali individu-individu yang tidak dapat lagi mendapatkan kata setuju dalam sebuah grup ataupun komunitas, justru dapat lebih banyak meraih sukses dalam melakukan pola kooperatif yang dilakukan bersama individu lain di luar komunitasnya yang pertama. Apabila dalam konsensus tak dapat ditemukan kata setuju pada sebuah komunitas, maka grup tersebut perlu untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil dan saling setuju dalam beberapa aktifitasnya. Hal tersebut memang kadang membuat frustrasi, tetapi hal itu tetap lebih baik daripada akhirnya keputusan dipaksakan oleh sebagian individu yang merasa memiliki kekuatan lebih dari yang lainnya. Semua komunitas independen harus selalu berurusan dengan hal tersebut, suka atau tidak suka, apabila memang tetap ingin membangun sebuah komunitas yang sehat dan terbuka.

Hidup (Ternyata) Tak Memerlukan Ijin

Ini adalah bagian tersulit, tentu saja. Tetapi bukankah kita tidak sedang membicarakan sebuah aturan sosial yang adil? Kita sedang mendiskusikan mengenai sebuah revolusi total atas hubungan manusia sehari-hari—sebuah solusi yang perlu dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh spesies kita dewasa ini. Mari hadapi kenyataan—bahwa sebelum kita semua mampu menerapkan hal tersebut, maka tak perlu heran saat kekerasan yang terjadi dalam interaksi kita sehari-hari akan terus berlanjut, dan tak ada sistem ataupun hukum yang dapat menghentikannya dan melindungi kita. Alasan terbaik untuk menggantikan demokrasi representatif adalah dengan cara membangun demokrasi konsensus di mana tak akan ada lagi solusi palsu. Memang tak ada cara yang mudah untuk menekan angka konflik tanpa mencari akar konflik itu sendiri. Mereka semua yang terlibat harus mulai belajar untuk menjadi eksis tanpa harus merendahkan yang lain, serta mengeliminir kebiasaan-kebiasaan menyebalkan kita sendiri yang justru membuat kita lelah untuk membuat sesuatu yang lebih baik di dunia ini. Perkembangan pertama yang dapat diraih dalam dunia baru ini dapat ditemukan dalam hubungan pertemanan dan cinta kita. Saat kita semua terbebaskan dari hubungan yang dipaksakan, hubungan akan menjadi lebih nyaman. Ambil contoh ini, dan terapkan dalam seluruh masyarakat—ini arti yang dimaksud dengan kalimat “melampaui demokrasi”. Adalah sebuah prospek yang menantang untuk mencapai hal tersebut dari tempat kita berada saat ini… tetapi apa yang menjadi menarik dan indah dari konsensus dan otonomi adalah bahwa kita tidak perlu menunggu terpilihnya sebuah pemerintahan yang adil dan mengerti keinginan kita semua untuk mengaplikasikan konsep di atas—kita dapat mempraktekkannya saat ini juga, dengan orang-orang di sekitar kita dan secara langsung menerima keuntungan dari hal tersebut. Sekali saja hal tersebut dipraktekkan, maka akan terbuka jelas pola hidup tersebut bagi orang lainnya; tak perlu ada khotbah mengenai mana yang baik dan mana yang buruk saat kita menghidupi aktifitas-aktifitas secara langsung. Bentuk grup otonomismu sendiri untuk menjawab tantangan bahwa penguasa tak diperlukan untuk menentukan jalan hidupmu, dan untuk membentuk lingkungan di sekitarmu yang berarti juga hidupmu sendiri. Tak ada seorang wakil pun yang dapat melakukannya untukmu—seperti juga bahwa sejak dulu tak pernah ada seorang wakil pun yang mampu melakukan sesuatu untuk hidup kita. Dari hal-hal kecil seperti yang kita lakukanlah maka demokrasi yang sesungguhnya akan terbentuk. Maka, saat seseorang berkata kepada kita di suatu waktu, “Berterimakasihlah bahwa kamu telah hidup di dalam alam yang lebih demokratis dibanding masa lalu,” kita akan menjawabnya: “Tidak cukup sampai di situ! Kita harus mengetahui dengan lebih jelas apa yang kita inginkan dan apa yang harus kita lakukan, lewat pengalaman langsung kita sendiri.”

Aksi Langsung Versus Pemilu
Panduan Bagi Komunitas-Masyarakat Non-Partai

Di Indonesia, Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi di mana “masyarakat umum” akan memilih calon pemimpin mereka—yang diharapkan akan menciptakan perubahan—telah kehilangan pamornya. Ini bukan berarti bahwa masyarakat itu sendiri telah memiliki kesadaran bahwa sistem demokrasi elit ini sudah busuk dan sepatutnya diganti. Buktinya rutinitas ajang popularitas politisi dan elit borjuis terus saja berlangsung. Mengapa seperti ini? Jawaban yang mungkin paling mudah dan sederhana adalah bahwa, meskipun masyarakat “tidak percaya lagi” terhadap pemilu, mereka tidak punya pilihan lain mengenai pilihan macam apa yang dapat menciptakan perubahan yang berarti, selain memilih politisi.

Inilah mengapa banyak masyarakat merasa tak berdaya. Apalagi menimbang mentalitas budaya dominan masyarakat Indonesia di mana ketergantungan dan pendambaan akan pemimpin politik masih sangat kental. Artinya, rasa percaya diri masyarakat terhadap potensi diri mereka sendiri untuk membuat perubahan sangatlah rendah. Meski begitu, budaya sendiri merupakan sesuatu yang dibuat oleh relasi antar manusia, oleh aktivitas manusia itu sendiri, yang berarti mentalitas yang dihasilkan oleh budaya itu sendiri sangat mungkin untuk dirubah. Untuk merubahnya, kita harus terbiasa untuk melakukan aksi langsung.

Bila memang benar bahwa pemilu hanya akan memperbesar kantong para politisi dan elit borjuis, maka, adakah cara yang lebih efisien dan efektif untuk dapat merubah kehidupan kita? Jawaban yang paling mungkin dan berarti adalah bagaimana kita mewakilkan diri kita sendiri untuk memengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat mengenai kehidupan kita. Bagi sebagian orang, pilihan semacam ini disebut sebagai aksi langsung.

Untuk lebih menjelaskannya, aksi langsung bukanlah cara-cara melobi atau kembali memilih kandidat untuk partisipasi politik, sama sekali bukan. Aksi langsung adalah bagaimana kita membangun suatu cara di mana kita sendiri secara langsung berpartisipasi aktif dalam perencanaan hidup kita. Ini berarti kita memotong peranan para penengah. Aksi langsung adalah juga bagaimana kita menyelesaikan permasalahan tanpa harus kompromi atau mempercayai peranan para elit politik di DPR, kepanjangan tangan korporasi, atau siapa pun yang mengklaim memiliki kekuasaan di atas kita. Contoh konkrit aksi langsung ada di mana-mana. Ketika sekelompok orang mendistribusikan pangan secara cuma-cuma bagi tunawisma tanpa harus menunggu kucuran dana atau izin pemerintah, mereka telah melakukan aksi langsung. Ketika seseorang membuat dan mendistribusikan medianya sendiri tanpa harus tergantung pada media-media milik borjuis untuk memuatnya, dia telah melakukan aksi langsung. Ketika komunitas kampung membangun sekolah mandirinya sendiri dan menginisiatifkan pelajarnya untuk membuat kurikulum pelajaran menurut kebutuhan mereka masing-masing tanpa harus bersandar atau tergantung pada lembaga pendidikan resmi, itu adalah aksi langsung. Aksi langsung merupakan fondasi perjuangan masyarakat yang sebenarnya, ketika mereka ingin melakukan perubahan yang berarti. Artinya, aksi langsung adalah ketika kita tidak lagi menuntut atau mengemis agar perubahan dapat dilakukan oleh seseorang yang berada di luar dari kita dan komunitas kita—tapi bagaimana kita dan komunitas kita sendiri yang mengupayakan perubahan tersebut sekarang juga.

Dalam banyak hal, aksi langsung jelas lebih efektif dibandingkan pemilu. Pemilu itu seperti judi, bila salah satu kandidat tidak terpilih, maka energi yang telah diupayakan oleh komunitas-masyarakat untuk menggolkan kandidatnya akan terbuang sia-sia. Dengan aksi langsung, komunitas-masyarakat akan lebih yakin dengan kerjasama serta energi yang mereka keluarkan. Dan manfaat yang didapat dari aksi langsung akan membuat infrastruktur dalam masing-masing komunitas semakin kuat. Hubungan antar komunitas pun akan lebih hidup—serta manfaat-manfaat lainnya yang tidak akan sia-sia.

Pemilu memusatkan seluruh kekuatan masyarakat ke tangan segelintir politisi. Semua itu dilakukan dengan berbagai intrik, manipulasi politik, serta kongkalikong dengan para pengusaha. Mereka memaksa setiap masyarakat untuk tunduk dan tidak punya partisipasi apa-apa, selain apa yang mereka perintahkan lewat mobilisasi massa dan bayaran yang sangat kecil dibanding keuntungan yang mereka dapatkan. Dengan aksi langsung, engkau akan lebih mengenal kemampuan, inisiatif, serta sumber daya-sumber daya yang ada di sekitarmu, dan memahami sejauh mana kau bisa melakukan perubahan yang sebenarnya.

Pemilu juga memaksa semua orang agar menyepakati suatu landasan yang belum tentu cocok dengan kita. Berbagai bentuk koalisi akan dibangun untuk membuat kompromi—setiap faksi bersikukuh bahwa landasan merekalah yang paling benar dan faksi yang lainnya hanya menjadi perusak semenjak tidak dapat mengikuti landasan faksi tersebut. Namun dari kesemuanya, tak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan kita. Akan ada banyak energi yang terbuang sia-sia dalam rutinitas tuding-menuding ini. Dengan aksi langsung, kita tidak membutuhkan dagelan semacam itu: berbagai kelompok yang berbeda dapat menggunakan cara yang berbeda juga—semua itu dilakukan menurut apa yang mereka percayai dan mereka butuhkan. Berikutnya, yang lebih penting, mereka merasa nyaman melakukannya. Dengan demikian, kemungkinan untuk membangun kerjasama yang saling mengisi dapat terjadi. Masyarakat yang menggunakan aksi langsung yang berbeda-beda tidak perlu berdebat sengit, kecuali mereka memang sedang mencari konflik (mungkin karena ekses pengalaman pemilu bertahun-tahun yang membuat mereka sulit untuk menerima pendapat berbeda dari yang lain). Konflik yang terjadi di masa-masa pemilu seringkali menjadi pengalihan dari permasalahan-permasalahan yang nyata, sebagaimana ketika beberapa kelompok masyarakat terlibat dalam drama dan konflik dari partai politik tertentu. Dengan aksi langsung, permasalahan yang mendesak harus diangkat, dibahas, dan menuntut untuk diselesaikan.

Lagipula, Pemilu hanya dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali. Aksi langsung dapat dilakukan kapan saja. Pemilu hanya mengangkat beberapa agenda politik yang dibuat oleh elit politik, sementara aksi langsung dapat dilakukan di setiap aspek kehidupanmu dan di mana saja engkau berada. Pemilu dan voting sering dilebih-lebihkan sebagai “kebebasan” yang sedang beraksi. Pemilu bukanlah kebebasan, karena kebebasan berarti secara aktif memikirkan dan memutuskan sesuatu dari awal—bukan sekedar kebebasan dalam memilih apa yang hanya disediakan oleh mereka, para elit politik yang tak pernah kita kenal. Tak ada yang dapat menggantikan aksi langsung. Dengan aksi langsung, engkau sendirilah yang membuat rencana, mencoba pilihan-pilihan dan resiko-resikonya. Dan batas dari semua itu hanyalah langit.


Catatan:
[1] Demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan, adalah jenis demokrasi yang paling umum kita ketahui—dari yang dipraktekkan dalam kenegaraan, sampai pada komunitas kecil pada umumnya. Demokrasi model seperti ini sangat rentan terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh para wakil yang diklaim dipilih oleh banyak orang. Selain itu, kendali terhadap pilihan yang akan diambil sangat terpusat hanya pada para pemimpinnya, sehingga mayoritas orang, sebenarnya hanya dijadikan alat saja bagi para pemimpin tersebut. Tak heran jika kemudian demokrasi representatif melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Demokrasi representatif, secara mudahnya dapat diidentifikasi berbentuk piramida di mana keputusan yang dibuat berasal dari atas (minoritas) ke bawah (mayoritas).

[2] Pada kenyataannya, kepentingan mayoritas ini juga memiliki kontradiksi. Contohnya, saat Partai Golkar memenangkan pemilu dengan suara paling banyak, mayoritas dari para pemilihnya tetap saja berkubang dalam kemiskinan dan rasa frustasi—hanya para pemimpin dan elit-elit partai tersebut saja yang dapat menikmati hak-hak istimewanya. Siapa pun pemimpinnya, selama masyarakat tidak mempunyai kontrol langsung terhadap keputusan-keputusan yang dibuat, masyarakat hanya akan dijadikan sebagai sapi perahan oleh para pemimpin.

[3] Demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput atau biasa juga disebut demokrasi konsensus, adalah kebalikan dari demokrasi representatif. Demokrasi model ini sangat menekankan pada partisipasi aktif dari anggota komunitas bukan hanya untuk menentukan pilihan saja, tapi juga dalam pembuatan pilihan-pilihan. Demokrasi partisipatoris jelas tidak dapat dipraktekkan dalam kenegaraan karena negara membutuhkan birokrasi yang bertingkat, yang memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Demokrasi partisipatoris adalah demokrasi dalam artian sesungguhnya, di mana masing-masing orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Jika demokrasi representatif menggunakan metode dari atas ke bawah (top-down), maka demokrasi partisipatoris lebih menekankan pengambilan keputusan dari bawah (bottom-up).

[4] Kelompok affinitas merupakan kelompok kecil berjumlah 5 sampai 20 orang yang bekerjasama secara otonom pada proyek-proyek aksi langsung ataupun proyek lain. Kelompok affinitas menantang pengambilan keputusan dari atas ke bawah, dan memberdayakan mereka yang terlibat untuk mengambil aksi langsung yang kreatif. Kelompok affinitas memampukan orang untuk melihat aksi mereka dengan kemerdekaan penuh dan kekuasaaan untuk pengambilan keputusan. Kelompok affinitas menggunakan prinsip-prinsip desentralis dan non-hierarki.

[5] Sedulur Sikep atau dikenal juga dengan sebutan Masyarakat Samin, adalah komunitas yang di awal kelahirannya memberontak untuk membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda. Metode perlawanan yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pembangkangan sosial terhadap kepatuhan yang dipaksakan pada mereka. Komunitas ini menganggap setiap orang setara. Sampai sekarang komunitas ini masih eksis dan tersebar di beberapa wilayah seperti Blora, Pati, Pacitan, dll.

[6] Kemandirian dan keberdayaan yang kami maksud adalah kemandirian yang saling terhubung antar individu maupun antar komunitas—kemandirian yang tidak terpisah dengan hal-hal lainnya. Faktor-faktor ini perlu ditekankan karena sebenarnya setiap individu maupun komunitas punya keunikannya masing-masing. Bandingkan dengan individu maupun komunitas yang hanya bisa membebek pada komunitas-komunitas lainnya: semua hal akan menjadi seragam dan membosankan.

Di sisi lainnya, kemandirian yang dimaksud oleh para individualis sempit adalah kemandirian yang memutuskan relasi sosial dengan sesamanya. Mereka merasa dirinya sendiri jauh lebih baik dari orang lain. Kemandirian yang diklaim oleh para individualis sempit ini biasanya berujung pada tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.

[7] Otonomi Daerah adalah sebuah parodi tak lucu akan kemandirian. Bagaimana mungkin sebuah daerah mampu otonom dalam konstelasi birokrasi yang terpusat, yang keputusannya tetap berada di tingkat paling atas? Otonomi daerah hanyalah sebuah restu yang diberikan pejabat-pejabat pusat di Jakarta agar para pejabat daerah bisa korupsi lebih banyak lagi, dan artinya, yang paling menderita lagi-lagi orang-orang seperti kita.


Kunjungi situs online kami:
www.katalis.tk | www.apokalips.org | www.affinitasonline.com | www.satubumi.co.nr | www.pustaka.otonomis.org | www.kontinum.tk | www.amorfatum.wordpress.com

Read More......

Selasa, 10 Februari 2009

TERBUANGNYA MANUSIA DARI TAMAN FIRDAUS

Seluruh kehidupan di atas planet yang semakin tak nyaman ini diatur oleh sistem ekonomi global yang mendasari dirinya pada uang, profit dan pertukaran--kapitalisme. Secara virtual, segala sesuatu memiliki harga--makanan, minuman, tanah, rumah, tumbuhan, binatang, kerja manusia. Mereka yang tak mampu membayar tak akan diperbolehkan mendapatkannya, bahkan apabila konsekuensi dari ketidakmampuan tersebut adalah kematian.

Bagi mayoritas manusia konsekuensinya adalah bahwa hidup menjadi didominasi oleh kerja, sekolah yang menghabiskan setengah usia seseorang, pabrik, kantor, pasar dan penjara. Bagi banyak orang ini berakibat pada kemiskinan, perang dan berbagai bentuk penindasan lainnya. Tetapi toh manusia bukan satu-satunya yang terjebak dalam jejaring mengerikan ini. Segala jenis spesies menjadi subyek pengaplikasian industri yang berujung pada kesengsaraan dan kematian alam liar, bahkan juga, kepunahan.

Telah jelas bahwa apa yang dialami oleh manusia, dialami juga oleh spesies lain yang hidup di atas bumi, semua juga terjadi atas sumber yang sama, sistem produksi dan pertukaran yang juga sama. Dalam tulisan berikut ini, akan berusaha dipaparkan bahwa sistem yang mengeksploitasi manusia saat ini adalah sistem yang sama yang lahir dari penghancuran atas spesies lainnya, atas ekologi secara keseluruhan. Dengan demikian, diharapkan gerakan yang berupaya mengabolisi kapitalisme akan menyadari sepenuhnya bahwa itu adalah berarti juga mengubah relasi tak hanya antarmanusianya saja, tetapi juga antara manusia dengan alamnya.


Komunal Primitif

Saat kita berbicara mengenai relasi manusia dengan alam, adalah penting untuk tidak kehilangan pandangan atas fakta bahwa manusia adalah juga termasuk ke dalam genus mamalia. Sebagaimana kita bisa telusuri pada perjalanan hidup manusia. Hominid muncul sekitar 25 juta tahun lalu, darinya berevolusi berbagai spesies, termasuk kera, dan sekitar 250.000 tahun lalu, barulah muncul Homo Sapiens. Gigi geligi dan berbagai bentuk fisikal lainnya, memperlihatkan bahwa Hominid pada utamanya adalah vegetarian. Manusia tidak memiliki gigi yang tajam, cakar yang kuat atau sistem pencernaan yang umum seperti karnivora. Walaupun di era tersebut beberapa Hominid menjarah daging hasil buruan binatang lain, tetapi pola makan pada dasarnya terpaut pada tumbuhan--tetapi bukan dengan cara bercocok tanam secara khusus.

Perburuan binatang yang lebih besar untuk dimakan, hadir sejalan dengan semakin pentingnya daging untuk masuk ke dalam pola makan, yang menjadi signifikan saat manusia berhadapan dengan kondisi yang lebih dingin di mana tumbuhan semakin sulit ditemui, khususnya di era terakhir dari empat bagian besar Zaman Es. Perburuan besar yang dilakukan pada era tersebut, walaupun mulai menampakkan adanya divisi kerja, di mana perempuan masih turut berburu walaupun tidak dominan karena kebanyakan mengurus anak dan mengolah makanan, toh hal tersebut tidak terlalu kentara.

Tetapi bagaimanapun juga berburu memperlihatkan jejak awal transformasi aktivitas manusia yang bebas ke dalam sesuatu yang mirip kerja. Hal ini terjadi khususnya karena berburu membutuhkan usaha berlebih: “Pada sekitar 240 kalori di mana tumbuhan dapat dikumpulkan dalam waktu satu jam, sementara anggap saja kegagalan berburu yang tinggi. Diperkirakan satu jam berburu memroduksi hanya 100 kalori makanan” (Ehrenberg). Lebih pentingnya lagi, aktivitas memetik dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan dapat dilakukan oleh seisi komuniti yang sepenuhnya terintegrasi dengan aktivitas sosial lain seperti bernyanyi, bercakap-cakap dan mengurus anak. Berburu di sisi lain, sangat bergantung pada pelacakan dan fokus tinggi, tenang dan cenderung menjadi tugas yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.

Walaupun corak produksi berburu telah mulai mapan kehadirannya, tidak secara langsung manusia awal itu hanya memakan daging saja. Imaji popular bahwa para primitif yang haus darah dan makan daging setelah membunuh buruannya dengan kejam jelas adalah omong kosong. Dugaan bahwa manusia adalah sepenuhnya pemburu di mana “makanan utamanya adalah daging dan pekerjaan utamanya adalah berburu” telah banyak dikritisi sebagai “sebuah refleksi di mana kebanyakan kepentingan serta prakonsepsi-prakonsepsi dari para antropolog lelaki Barat abad ke-19 dan status berburu sebagai pengisi waktu luang kelas atas di Eropa abad ke-19.” (Ehrenberg).

Bahkan juga menurut Margaret Ehrenberg, apa yang disebut sebagai masyarakat pemburu-peramu (hunter-gatherer) seharusnya lebih tepat disebut masyarakat pemetik sebagaimana pengumpulan makanan dari tumbuhan berupa dedaunan, umbi dan buah-buahan di banyak kasus jauh lebih fundamental dibanding dengan berburu.

Tetapi bagaimanapun juga, mayoritas rentang waktu di mana manusia eksis, manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang terpisah dan relatif otonom, dalam keluarga-keluarga (dalam makna luas: keluarga sesuai garis keturunan), dalam suku-suku. Gaya hidup mereka secara esensial komunistik. Tak ada jual beli, tak ada kerja upahan, tak ada negara dan tak ada properti privat: “barang-barang tidak diproduksi untuk dikonsumsi setelah dipertukarkan atau setelah ditempatkan di pasar... Komunit mendistribusikan apa yang diproduksinya sesuai dengan aturan-aturan sederhana, dan setiap orang secara langsung mendapatkan apa yang diberikan. Berbagai aktivitas diputuskan (sesungguhnya diterapkan pada kelompok sesuai kebutuhan) dan dilakukan bersama-sama, dan hasilnya juga dibagikan bersama-sama.” (Gilles DauvĂ© & François Martin).

Dalam masyarakat demikian, relasi antara manusia dan alam secara keseluruhan sepenuhnya berbeda dengan masyarakat modern. Fakta paling signifikan adalah bahwa dalam masyarakat komunal primitif, binatang tidak menjadi milik siapapun. Tak ada properti privat atas tanah, tumbuhan ataupun binatang dan tak ada domestikasi. Walaupun beberapa binatang diburu, binatang-binatang tetap hidup bebas dan liar. Manusia hanya mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam, binatang hanya diburu sesuai kebutuhan pangan atau sandang komuniti yang jelas terbatas. Tak ada gunanya bagi mereka untuk membantai binatang secara massal, sehubungan komuniti juga tak merasa perlu untuk memiliki atau menyimpan surplus, tak ada pasar untuk menjual surplus. Komuniti-komuniti secara tipikal hidup dalam sebuah relasi yang harmonis dengan lingkungan mereka; alam adalah rumah dan penyedia hidup bagi mereka, sehingga tak ada keinginan bagi mereka untuk menghancurkannya dan memunahkan spesies lain.

Binatang tidak dilihat sebagai komoditi, melainkan sebagai sebuah campuran dari kekaguman, keajaiban yang patut direspek dan ditakuti. Bukannya dianggap sebagai spesies yang lebih rendah dari manusia, binatang dilihat sebagai makhluk hidup yang berbagi alam dengan manusia. Tak jarang komuniti-komuniti mengadopsi binatang tertentu sebagai simbol mereka, dalam kasus lain binatang juga sering dianggap sebagai pelindung suku yang harus dihormati.

Domestikasi dan Dominasi

Relasi manusia dengan alam dan antardiri mereka sendiri, secara radikal tertransformasikan bersamaan dengan pengembangan agrikultur. Agrikultur menginstitusikan sebuah relasi baru dengan dunia alamiah: “tanah itu sendiri menjadi sebuah instrumen produksi dan spesies planet menjadi obyek-obyeknya.” (John Zerzan). Domestikasi, yang ditandai dengan pembudidayaan tumbuhan dan pengurungan binatang di tempat-tempat tertentu, adalah titik kunci awal penggantian yang berangsur-angsur dari gaya hidup nomadik dengan sistem yang melahirkan negara, kelas, kota, kerja dan properti privat. Dalam konteks ini, Zerzan berargumen, “ saat mendomestikasikan binatang dan tanaman, manusia pada intinya mendomestikasikan dirinya sendiri.”

Tetapi walaupun begini, sebaiknya kita tidak lantas menuduh bahwa agrikultur-lah dosa utama manusia, yang menyebabkan ketidakberuntungan hidup manusia di atas bumi dan ditendangnya kita dari taman firdaus primitif-anarkistik. Perkembangan negara dan kelas adalah sebuah proses yang kontradiktif, kompleks sepanjang sisa waktu perjalanan hidup manusia di atas bumi, sehingga tak bisa sekedar semua itu dipersalahkan pada agrikultur semata. Saat pendomestikasian tumbuhan dan binatang (dan pada akhirnya juga manusia) memainkan peran penting dalam keseluruhan kisah hidup kita, itu semua bukan kisah keseluruhan.

Beberapa arkeolog mengatakan bahwa kelahiran elit-elit sosial adalah asal muasal lahirnya agrikultur, dan bukan sebaliknya. Menurut Ian Hodder (1990), “ada kemungkinan bahwa domestikasi dalam makna sosial dan simbolis terjadi lebih dahulu pada pendomestikasian dalam makna ekonomis.” Di mana aktivitas memetik menawarkan akses langsung pada makanan (saat memang tersedia), terdapat sebuah “jeda untuk kembali pada investasi kerja agrikultural”: tanaman pangan harus ditumbuhkan, binatang diberi makan dan ditumbuhkan sebelum makanan kembali tersedia. Dengan demikian, “pengadopsian teknik-teknik produksi yang lebih intensif, mengarah pada agrikultur, melayani berbagai kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat di mana rezim ekonomi baru yang menjerat orang-orang dalam struktur sosial dan ekonomi di mana mereka menjadi tergantung padanya.” Dalam pengertian inilah maka “domestikasi binatang liar untuk diternakkan adalah sebuah metafora dan mekanisme kontrol masyarakat.”

Beberapa bentuk agrikultur eksis selama ribuan tahun tanpa secara khusus menimbulkan perubahan sosial yang radikal. Transisi dari memetik ke bertani diyakini dimulai di daerah yang disebut daerah Bulan Sabit yang Subur (kini menjadi negara Irak, Iran, Turki, Syria, Israel dan Jordania) di sekitaran 10.000 SM dan benar-benar mapan di sekitaran 6000 SM. Bagaimanapun juga, hanya sejumlah kecil binatang yang dikandangi, sedangkan sebagian besar daging masih didapatkan dari hasil berburu. Fokus utama pertanian terletak pada bagaimana menumbuhkan tanaman pangan dengan menggunakan teknologi sederhana, bukan dengan membajak tanah; para arkeolog kadang menyebutkan bahwa kala tersebut digunakan teknik hortikultura.

Perubahan yang besar baru hadir di era akhir Neolitikum (sekitar 3000 SM) dengan dikembangkannya agrikultur secara lebih intensif. Binatang mulai digunakan untuk diambil susunya dan produk wool selain dagingnya, serta mulai digunakan untuk menarik bajak dan kereta. Untuk pertama kalinya, manusia mulai mengurung sejumlah besar binatang dalam sebuah peternakan. Secara sistematis, binatang-binatang itu dipisahkan dari kehidupan liarnya dan dikembangbiakkan dengan selektif, sehingga binatang-binatang domestik pertama itu secara berangsur-angsur menjadi berbeda secara fisik dari saudara-saudara mereka yang hidup di alam bebas.

Dampak sosial dari hal ini sangat menakjubkan. Dari praktek “binatang sebagai properti”, Camatte berargumen, “lahir pulalah properti privat dan nilai tukar” serta “kelahiran awal patriarki.” Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam masyarakat secara dramatis meningkat pesat dengan sejumlah besar bidang kerja: pembukaan hutan untuk lahan pertanian, memberi makan dan mengurus binatang ternak, memerah susu, memroses produk-produk yang dihasilkan dari susu, mengambil dan memintal wool, dan seterusnya hingga “bertani dan memroduksi makanan... berubah dari sebuah tugas yang sederhana di mana seorang perempuan, atau sekelompok perempuan, dapat melakukannya dengan peralatan sederhana, menjadi sebuah operasi yang kompleks di mana dibutuhkan sebagai pekerjaan penuh waktu bagi seluruh populasi.” (Ehrenberg)

Relasi gender mulai tertransformasikan. Permintaan akan tenaga kerja membutuhkan perempuan untuk memiliki lebih banyak lagi anak (dalam masyarakat pemetik, kelahiran anak cenderung memiliki jeda cukup panjang, antara tiga atau empat tahun). Intensifikasi kerja perempuan dalam mereproduksi tenaga kerja membuat mereka disisihkan dari tugas-tugas lain. Sebagaimana kebutuhan berburu semakin menurun, lelaki semakin banyak yang bekerja di lahan pertanian yang sebelumnya menjadi bagian para perempuan. Posisi sosial perempuan juga semakin menyusut hingga “mereka tak lagi banyak berkontribusi bagi produksi makanan harian, yang sebelumnya menjadi faktor krusial dalam memapankan kesetaraan status yang sebelumnya mereka miliki.” (Ehrenberg)

Ada sebuah pendapat yang berkata bahwa, “manajemen ternak atas binatang-binatang domestiklah yang menimbulkan sebuah konsepsi hidup politik yang intervensionis dan manipulatif. Domestikasi dengan demikian menjadi sebuah pola arketipikal bagi berbagai jenis subordinasi sosial lainnya. Model yang hadir adalah keberadaan seorang penggembala yang menjadi seorang pemimpin, seperti pendeta di tengah staf kependetaannya. Binatang-binatang yang loyal, patuh, menuruti kehendak tuannya adalah contoh bagi struktur majikan dan pekerja.” (Keith Thomas)

Binatang sebagai Kemakmuran

Setelah pendomestikasian, binatang-binatang, atau setidaknya beberapa spesies, tak lagi hidup liar dan bebas. Mereka kini menjadi milik dari seseorang; Adam Smith mencatat bahwa bersamaan dengan tanaman pangan, sejumlah binatang adalah menjadi bentuk paling awal dari properti privat. Properti ini tidak hanya digunakan untuk memroduksi makanan dan pakaian; tapi juga sebagai sebuah bentuk kemakmuran. Dari tahap awal domestikasi “konsumsi daging adalah unjuk penampakan akan kekuasaan penguasa dominan. Semakin banyak ternak yang disembelih, dimasak dan dimakan, semakin besar seseorang tersebut.” (Colin Spencer)

Binatang-binatang domestik adalah sebuah bentuk fundamental dari kemakmuran “yang dapat diakumulasi dan diberikan dari satu generasi ke generasi berikutnya... sebagaimana satu keluarga mengakumulasi lebih banyak lagi binatang ternak atau memiliki alat bajak yang lebih baik, jenjang antara kemakmuran mereka dan tetangga-tetangga mereka akan semakin meningkat secara progresif... perbedaan antara kaya dan miskin, yang tidak tampak di tengah masyarakat pemetik, kini mulai berkembang.” (Ehrenberg)

Sebagaimana binatang dikembangkan sebagai penentu kemakmuran, binatang yang tidak dibutuhkan secara langsung untuk dikonsumsi dapat dipertukarkan dengan pemilik properti lain dan bahkan juga bisa digunakan sebagai alat tukar. Di tahap awal munculnya pasar ini, sebagaimana yang diteliti oleh Marx dalam Kapital, “bentuk uang dilekatkan pada obyek kemakmuran, sebagai contohnya binatang ternak.” Dengannya, binatang menjadi properti bagi kelompok atau individu-individu, tidak hanya dapat diperjualbelikan tapi juga dapat dicuri dan diperebutkan. Saat pengembangan perburuan membutuhkan organisasi sebagian masyarakat sebagai mesin pembunuh, transformasi dari para pemburu menjadi sebuah mesin perang yang secara sistematis membunuh manusia lain juga mulai hadir “saat untuk pertama kalinya manusia memiliki sebuah sumber daya yang sangat berharga sekaligus cukup mudah untuk dicuri.” (Ehrenberg)

Perbudakan

Banyak dari mereka yang bekerja di awal peradaban adalah budak. Saat binatang mulai diperlakukan sebagai sekedar obyek yang dapat digunakan demi kepentingan manusia, bukan lagi sesuatu yang hidup berdampingan di alam, pengenalan perbudakan juga menjelaskan bagaimana beberapa kelompok manusia tertentu memiliki status yang sama dengan binatang: sebagai obyek. Sebagaimana yang dicatat oleh Marx (1867), “di bawah perbudakan, pekerja tak dapat dibedakan sekedar sebagai instrumentum vocale (alat yang bisa berbicara) dari binatang, yang mana berarti juga instrumentum semi-vocale (alat yang semi-bisu) dan dari alat tak hidup, yang berarti juga instrumentum mutum (alat bisu).”

Dalam periode modern, ideologi rasis mendefinisikan manusia berkulit hitam dan berwarna lebih sebagai binatang ketimbang sebagai manusia, semakin gelap warna kulit seseorang, semakin ia sederajat dengan binatang, itu jugalah yang melegitimasi perbudakan. Budak diperlakukan seperti binatang ternak, harus mampu bertahan di bawah kondisi-kondisi mengerikan saat ditransportasikan, diambil anak-anaknya dan dipisahkan dari keluarganya, dicap dengan besi panas, mengenakan rantai besi dan bahkan juga untuk eksperimentasi medis. Budak dijual di pasar, diuji ketahanan fisiknya dan kekuatannya, serta lainnya. Budak yang tak patuh akan dikirim ke tempat penjinakkan sebagaimana kuda liar dijinakkan. Mirip dengan “domestikasi binatang yang membutuhkan teknik-teknik untuk berurusan dengan para pembangkang: kekang bagi perempuan yang membantah; kurungan, rantai bagi orang gila.” (Thomas). Kita dapat menambahkan penjara dalam daftar ini sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Michel Foucault.

Akumulasi primitif

Industri binatang, khususnya ternak, telah menjadi titik pusat pengembangan relasi sosial kapitalis ke seluruh dunia, dari pusat-pusat awalnya di Eropa Barat hingga ke negeri-negeri lain. Marx mengajukan argumen bahwa demi pengembangan kapitalisme, harus dilakukan sebuah proses pelucutan properti secara brutal, yaitu apa yang ia sebut sebagai “akumulasi primitif... proses historis dari penceraian produsen dengan alat produksinya.” Kapitalisme membutuhkan seluruh alat produksi (termasuk tanah) untuk menjadi kapital, dan mayoritas populasi direduksi menjadi proletarian--orang yang hanya dapat bertahan hidup dengan cara menjual tenaga kerjanya untuk dipertukarkan dengan upah.

Dalam masyarakat pra-kapitalis, walaupun tidak sepenuhnya terjadi di seluruh dunia, banyak para petani yang memiliki tanah, bekerja di atas tanahnya dan tak perlu mengumpulkan uang untuk membeli makanan. Termasuk di beberapa daerah feodal seperti di Indonesia pra-kapitalis, mereka yang bekerja di atas tanah milik seseorang, biasanya mendapatkan jatah hasil panen dalam jumlah tertentu yang setidaknya tidak akan membuat keluarga mereka kelaparan--kondisi ini telah berubah sehingga para petani tak bertanah tak lagi mendapat jatah panen, melainkan tenaga kerja mereka dibayar dengan uang untuk membeli makanan. Untuk terjadinya perubahan ini, para petani yang bertanah harus dipaksa untuk melepaskan kepemilikan atas tanahnya melalui “penaklukan, perbudakan, perampokan dan pembunuhan”--“sejarah ini, sejarah penjarahan mereka, ditulis dari tahun ke tahun dalam darah dan api kemanusiaan.” (Marx)

Kolonisasi berdarah atas daratan Amerika juga menampilkan penggantian masyarakat adat dengan binatang-binatang komoditi, dimulai dengan Kolumbus yang pertama kali membawa binatang ternak dan kuda ke “Dunia Baru” di tahun 1494. Mitos Hollywood tentang perjuangan antara koboi (cow-boy, ‘cow’ artinya sapi; dan cowboy adalah istilah bagi para peternak) dengan indian memang tidak akurat secara historis, tetapi setidaknya mitos tersebut mengekspresikan sebuah kebenaran dasar yang terjadi. Dinamika pelucutan kepemilikan dan pemusnahan masyarakat adat seringkali demi upaya untuk menggantinya dengan peternakan. Ironisnya, beberapa korban pertama dari pelucutan tersebut justru juga menolong penyempurnaan proses ini. Misalnya di Patagonia di mana indian Araucanian dikepung dan dibantai di tahun 1870, beberapa yang selamat justru juga mulai beternak. Mereka “terasing di daerah mereka sendiri, dipisahkan secara kejam dari komunitasnya dan dipaksa mengelana di lautan, mereka mendarat di Falkland, yang mana mereka kemudian menjadi bagian aktif dalam pelucutan brutal di sana, di sisi lain dunia.” (Hank Wangford)

Pembukaan lahan peternakan memang bukan satu-satunya aspek industri binatang terpenting bagi kolonisasi. Di Amerika Utara khususnya, perdagangan bulu binatang adalah hal penting. Merunut pada Fredy Perlman, di akhir abad ke-18, “Bulu adalah minyaknya Eropa. Kekaisaran Perancis di Amerika hadir di sekitaran perdagangan bulu binatang, sementara kekaisaran Russia di Siberia adalah juga kekaisaran para penjerat bulu binatang.”

Di Indonesia, proses akumulasi primitif ini banyak dilakukan dalam kampanye transmigrasi di era Suharto, di mana di beberapa daerah seperti Kalimantan, hutan-hutan yang sebelumnya menjadi lahan hidup para masyarakat adat dibuka untuk dijadikan kawasan pertanian bagi para transmigran. Binatang-binatang yang sebelumnya menjadi penunjang hidup masyarakat adat dan dihormati, juga mulai dijadikan obyek komoditi. Sementara masyarakat adat sendiri semakin didorong untuk tinggal ke daerah-daerah hutan pedalaman yang tinggal menunggu waktu untuk dipunahkan apabila tidak diasimilasikan ke dalam kehidupan modern. Sementara di Papua Barat, proses modernisasi memaksa para anggota masyarakat adat yang kehidupan awalnya adalah sebagai pemburu-peramu (sebagiannya malah masih masyarakat pemetik) ditransformasikan ke dalam kerja-kerja pabrikan di tambang-tambang pengolahan mineral setelah ruang hidup mereka dipersempit, hidup mereka yang dekat dengan alam dilucuti dan sungai-sungai yang menjadi sumber hidup mereka dicemari.

Akumulasi primitif tidak hanya terjadi sebagai sebuah insentif dari hasil menyingkirkan manusia dari keterikatannya atas alam dan tanah, ini juga terjadi dengan mengakumulasi profit dari eksploitasi binatang dan pengenalan pola agrikultur modern. Dalam pemahaman ini, pelucutan manusia dari alam dan penransformasian manusia kepada pola pikir penguasa alam semesta adalah juga motor penggerak akumulasi primitif, yang mana tanpanya kelas penguasa tak akan dapat menciptakan proletariat, tak akan mendapatkan akses pada kemakmuran mineral, dan mempertahankan posisinya.

Peternakan dan Asal Mula Sistem Pabrik

Kapitalisme berusaha untuk menyedot hingga ke titik akhir kehidupan manusia, mengintensifkan proses kerja untuk mengeliminasi seluruh gerak yang tak produktif. Ia berusaha untuk menyapu bersih setiap gerakan tangan yang tak dapat dikontrol, setiap gerakan mata yang tak produktif, setiap penjelajahan pikiran yang tak diinginkan. Mirip dengan yang terjadi pada binatang, tujuannya adalah mengeliminasi apapun yang tak ada kontribusinya bagi produk akhir, sehingga mengubah mereka ke dalam mesin yang mengonversi daging sebagai komoditi.

Sebagaimana binatang di peternakan, di bawah sistem pabrik, manusia dibatasi gerak tubuhnya untuk memaksimalkan profit. Pabrik peternakan telah dikembangkan di era kekaisaran Romawi; Plutarch menulis bahwa “adalah sebuah praktik umum untuk menjahit mata bangau dan angsa hingga tertutup dan mengurung mereka di tempat gelap, agar mereka menjadi lebih gemuk.” Di Inggris abad ke-17, babi dan domba digemukkan dengan cara dikurung di tempat gelap. “Angsa diyakini akan bertambah gemuk apabila kaki mereka dipakukan ke lantai.” (Thomas). Gerakan binatang dibatasi karena dapat membakar kalori yang menyebabkan penggemukan menjadi terhambat.

Teknik-teknik dasar yang sama masih digunakan dalam pabrik peternakan modern, dengan penambahan metoda baru pengekangan seperti kandang individual bagi beberapa binatang tertentu seperti babi. Dirunut lebih lanjut, tampak bahwa pengembangan pabrik bagi manusia dalam periode modern dipengaruhi oleh sejarah panjang pabrik peternakan. Tujuan dari sistem pabrik adalah untuk mengonsentrasikan tubuh manusia di satu tempat untuk meningkatkan kontrol atas gerakan mereka. Perbedaan utama dengan pabrik peternakan adalah bahwa manusia hanya menjadi bagian mekanisme pabrik di sebagian hari hidupnya; kapitalisme membutuhkan tubuh mereka agar bisa bertahan selama mungkin dalam upaya memaksimalkan profit. Sementara bagi binatang, tujuannya adalah menggemukkan mereka untuk disembelih dalam waktu sesingkat mungkin—ayam broiler, di mana waktu hidup ayam secara alamiah adalah tujuh tahun, dimanipulasi hingga dapat menghasilkan daging sebanyak mungkin hanya dalam waktu hidup selama tujuh minggu.

Asal-usul penggunaan ban berjalan dalam proses produksi pabrik juga diawali dalam pabrik pengepakan daging di Amerika di abad ke-19. “Pabrik pengepakan daging adalah industri Amerika pertama yang menciptakan ban berjalan, karena tak mampu berurusan dengan arus konstan dari ternak yang didatangkan setiap hari.” (Jeremy Rifkin). “Henry Ford menjelaskan bahwa ide ban berjalan dalam pabrik mobil muncul dari para pengepak daging di Chicago.” (Carol Adams)

Pengembangbiakan: Intensifikasi Genetik pada Produksi

Jacques Camatte berkata bahwa “kapital menjadi otonom dengan mendomestikasikan manusia. Setelah menganalisa-memilah-membelah manusia, kapital merekonstruksi manusia ke dalam sebuah fungsi khusus dalam prosesnya.” Dengan manusia, proses ini dilengkapi tidak hanya melalui ideologi, tetapi juga dengan menerapkan pada tubuh manusia sejumlah rezim disiplin: sekolah, penjara dan pabrik.

Pada binatang, hal-hal tersebut jauh lebih pelik dengan memberikan modifikasi fisikal untuk membuat mereka semakin produktif. Terdapat sebuah sejarah panjang tentang pengembangbiakan binatang, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Zerzan, “pendomestikasian binatang... mengesampingkan seleksi alamiah dan mengembangkan kembali dunia kontrol organik ke dalam sebuah tingkat artifisial.

Ditransmutasikan dari sebuah alam kebebasan ke dalam bentuk parasit yang tak tertolong, binatang-binatang tersebut sepenuhnya menjadi tergantung pada manusia untuk dapat bertahan hidup. Pada mamalia domestik, ukuran otak menjadi relatif lebih kecil atas semakin berkurangnya aktivitas. Tenang, tak berkembang, menjadi tipikal yang terjadi pada domba, binatang yang paling banyak didomestikasi; intelejensia yang terdapat pada domba liar sepenuhnya lenyap. Relasi sosial antarbinatang domestik direduksi pada segi esensial paling mendasar saja. Bagian-bagian dari lingkaran hidup yang tak reproduktif diminimalisir, dan kapasitas binatang untuk mengenali spesiesnya sendiri semakin berkurang.”

Di abad ke-20 sejumlah upaya untuk mengaplikasikan teknik pengembangbiakan binatang pada manusia telah dimulai, sebagaimana yang dipromosikan oleh gerakan eugenik. Sterilisasi paksa dan upaya lain dilakukan untuk menghentikan kelahiran bayi cacat. Saat hal ini diaplikasikan secara intensif oleh partai Nazi Jerman, program eugenik juga diimplementasikan di negeri sosial demokrat seperti Swedia. Di Inggris, eugenik memang tidak secara sistematis diaplikasikan, tetapi ide-idenya menjadi sangat berpengaruh pada beberapa politisi.

Pengembangbiakan selektif atas binatang kini diperbaharui melalui pengembangan sejumlah besar metoda teknologi biogenetik. Spesies-spesies binatang dimanipulasi secara genetiks untuk mengembangkan xenotransplantasi (tranplantasi organ antarspesies), farmasi (produksi obat-obatan dan berbagai produk lain dari binatang-binatang yang dimutasi secara genetik) dan peningkatan produktivitas makanan. Sebagai langkah lanjut dari komodifikasi kehidupan, beberapa parlemen Eropa telah memilih untuk mematenkan binatang dan tumbuhan yang telah dimutasi secara genetik. Perusahaan-perusahaan bioteknologi seperti Monsanto kini dapat mengajukan klaim bahwa beberapa tanaman hasil biogenetik adalah properti privat mereka.

Camatte meramalkan bahwa pada perkembangan jangka panjang mendatang, kapitalisme dapat menjadi “mutasi manusia atau pengubahan spesies: produksi sebuah makhluk yang sepenuhnya dapat diprogram dan kehilangan seluruh karakteristiknya sebagai spesies Homo Sapiens.” Critical Arts Ensemble mengatakan bahwa hal tersebut sebenarnya telah dimulai di mana “individu dari berbagai kelompok dan kelas sosial dipaksa untuk menyerahkan tubuh mereka untuk direkonfigurasi sehingga mereka dapat berfungsi dengan lebih efektif di bawah operasi yang terobsesi secara rasional dari pankapitalisme (produksi, konsumsi dan perintah).” Dalam masa depan yang tak terlalu jauh, mekanisme utamanya berupa penggabungan antara organisme dan substansi kimiawi seperti obat-obatan yang dapat mengontrol mood. Kloning, cyborg dan replika adalah materi bagi pembuatan karya fiksi-ilmiah, tetapi eksperimentasi pada binatang dan tumbuhan dan upaya untuk pengontrolan sepenuhnya atas alam beserta seluruh organisme yang eksis di dalamnya adalah juga tanda awal bahwa penerapannya pada manusia telah begitu dekat dan menjadi realisasi karya-karya fiksi-ilmiah di tengah masyarakat kelas.

Melampaui Humanisme

Dominasi manusia atas alam telah dijustifikasi oleh beberapa agama, banyak ideologi termasuk humanisme, yang mana kesemuanya menempatkan manusia sebagai pusat penciptaan, raja dunia, atas alam dan bukan di tengah alam. Batas antara manusia dan binatang dikokohkan dengan absolut dan jelas. Konstruksi “manusia” dalam imaji ini telah melibatkan penolakan dan represi atas kebutuhan dan hasrat manusia. Dengan demikian keseluruhan kategori hidup manusia, sebagaimana seks, tarian dan ketelanjangan, oleh para moralis dituduh sepanjang sejarah sebagai sifat yang liar dan “kebinatangan”.

Sang sosialis Italia, Antonio Gramsci, dalam karyanya Prison Notebooks menulis bahwa “sejarah industrialisme selalu berarti perjuangan yang berkelanjutan... melawan elemen kebinatangan dalam diri manusia. Ia selalu proses yang tak terinterupsi, seringkali menyakitkan dan berdarah dalam menundukkan insting-insting alamiah ke dalam norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih kompleks dan jelas akan aturan, kepastian dan kepresisian yang mana dapat membuat mungkin semakin meningkatnya bentuk-bentuk kehidupan kolektif yang kompleks yang mana adalah konsekuensi yang dibutuhkan dalam perkembangan industrial.”

Tetapi dalam kultur-kultur di mana penetrasi nilai-nilai kapital masih kurang kentara, kebinatangan justru menjadi sesuatu yang direngkuh dengan hati terbuka, bukannya malah dianggap sebagai degradasi. Seorang tetua suku Dogon di Mali, sesuai yang dicatat oleh Museum Horniman (1999) berkata, “Binatang-binatang lebih superior daripada manusia karena mereka menjadi milik semak belukar dan tak perlu bekerja. Banyak binatang yang memenuhi kebutuhan makanannya dengan apa yang oleh manusia ditumbuhkan dengan kerja yang menyakitkan.”

Pada faktanya kehidupan liar memang menyediakan sebuah kritik yang implisit atas masyarakat manusia, sebagai sebuah inspirasi dan sangat kontras dengan masyarakat yang terdomestikasi. Mengesampingkan potret kehidupan sosial binatang sekedar sebagai sebuah perang permanen demi mempertahankan hidup, setiap orang tahu betul bahwa anjing dan kucing (termasuk yang liar sekalipun) mengisi hidupnya hanya dengan bermalas-malasan dan bermain-main apabila tidak sedang makan atau mencari makan.

Sebagaimana yang Fredy Perlman perlihatkan, aktivitas binatang adalah sebuah oposit dari kerja yang teralienasi. Aktivitas manusia dalam masyarakat-masyarakat komunal primitif berlaku sebagai berikut: “sebuah pengatur gerak dan waktu yang mengamati seekor beruang di dekat pohon berry... beruang tak membedakan antara bekerja dan bermain. Apabila sang pengatur waktu memiliki sebuah imajinasi, ia mungkin akan berkata bahwa beruang tersebut mengalami keriangan dari momen di mana buah berry menjadi merah gelap dan tak ada satupun gerak sang beruang yang dapat dibilang sebagai kerja.”
‘Liar’ adalah sebuah istilah peyoratif yang diterapkan pada apapun yang bebas (dan mereka yang berniat untuk menjadi bebas), sebagaimana perempuan yang menolak ditundukkan oleh aturan masyarakat dilabeli perempuan liar. Tetapi apabila kita membalikkan ide tentang keliaran ini sebagai sebuah kebebasan, maka justru itulah yang justru menjadi nilai kebajikan. Lantas juga apabila kita merunut pada Martin Luther saat di tahun 1530 berkata, “kepemilikan properti privat adalah sebuah esensi yang membedakan antara manusia dan binatang” (Keith Thomas) dan menilik ucapan Proudhon bahwa “properti adalah pencurian”, sebagaimana kita kini paham bahwa akibat keberadaan properti privat-lah maka hidup di dunia menjadi sedemikian menyengsarakannya, maka berbahagialah mereka yang dianggap binatang, karena ia hidup lebih murni, alami dan lebih dekat pada kebebasan.


Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 1972. Mythologies.
Camatte, Jacques. 1995. The World We Must Leave and Other Essays.
Critical Art Ensemble. 1998. Flesh Machine: Cyborgs, Designer Babies and New Eugenic Consciousness.
Dauvé, Gilles & Martin, François. 1998. The Eclipse and Re-emergence of the Communist Movement.
Ehrenberg, Margaret. 1989. Women in Prehistory.
Hodder, Ian. 1990. The Domestication in Europe: Structure and Contingency in Neolithic Societies.
Horniman Museum. 1999. African World Exhibition.
Law, Larry. 1982. Spectacular Times: Animals.
Marx, Karl. 1844. Economic and Philosophical Manuscript.
Marx, Karl. 1867. Capital.
Perlman, Fredy. 1983. Against His-story, Against Leviathan.
Reclus, Elisée. 1996. The Great Kinship of Human and Fauna.
Rifkin, Jeremy. 1994. Beyond Beef.
Spencer, Colin. 1995. The Heretic’s Feast.
Thomas, Keith. 1983. Man and the Natural World: Changing Attitudes in England, 1500–1800.
Wangford, Hank. 1995. The Lost Cowboys.
Zerzan, John. 1994. Future Primitive and Other Essays.

Read More......

Rabu, 04 Februari 2009

SEBUAH DOMINASI, KUROBEK SECARIK PENGKHIANATAN YANG SEKSI

Mereka yang berbicara mengenai revolusi dan perjuangan kelas tanpa mengacu kepada realitas hidup sehari-hari, berarti menyimpan bangkai dalam mulutnya.
—Grafiti di kota Paris tahun 1968


Pertimbangkan bahwa peradaban kapitalisme dan negara telah berlangsung selama beberapa abad sebagai suatu proses evolutif yang seringkali tak terelakkan, yang menyebabkan terubahnya pandangan dunia dan memanifestasi dirinya melalui berbagai paradigma perubahan masyarakat: agrikultur, industri, posindustrial. Namun, adakah sesuatu di antara hal-hal besar tersebut yang mampu membuat kita bergairah atas hidup?

Pertimbangkan bahwa kapitalisme dan segala institusi formal-informal hierarkis merupakan kekuatan yang membebankan peraturan mereka yang menyeragamkan karakter manusia menjadi hanya untuk bertahan hidup. Lihatlah dengan kejelasan seorang anak yang begitu berbinar saat melihat bundanya, dominasi terjadi dalam banyak sektor dan wilayah, yang menjadikan manusia hanya sebagai statistik untung-rugi atau modal yang bisa diolah untuk mendapatkan modal yang lebih besar. Dunia dalam kerangka besar yang kita tinggali saat ini merupakan sesuatu yang hanya berharga dalam kacamata keuntungan, kompetisi, dan efisiensi.

Pertimbangkan bahwa hierarki dan kapitalisme berangkat melalui sebuah pandangan dunia yang melihat bahwa segala sesuatunya terpisah dan tak saling berhubungan. Menimbang bahwa pandangan dunia semacam ini merefleksikan setiap ketimpangan, ketidakadilan, kerusakan, dan penderitaan di dunia, dan karena kapitalisme adalah suatu manifestasi maju dari sebuah pola relasi non-hidup yang berresiko untuk menghancurkan kemanusiaan, penolakan kita terhadapnya harus bersifat menyeluruh. Juga menegasikan semaksimal mungkin setiap kolaborasi ataupun adaptasi akan logika kapitalisme bersama segala sesuatu yang mereka sertakan di dalam gerbong kereta mereka. Anti-kapitalisme berarti tidak hanya memerangi pandangan dunianya tapi juga mencoba mematerialkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena perpisahan antara ide dan tindakan adalah juga pilar-pilar arkaik masyarakat hierarkis-kapitalis.

Pertimbangkan bahwa personalitas dalam kultur kapitalis hanyalah ilusi untuk membuat mereka masuk lebih dalam dan mengatur pola hidup manusia secara lebih detil. Mengidentikkan diri menjadi individual bebas dengan titik tolak eskapisme keluarga dan masyarakat, tanpa mengakar pada hasrat hidup bebas itu sendiri, menjadikan bebas hanyalah apologi bagi konsumsi akut. Sekedar berreaksi memilih sosialitas pun tak akan membuat keadaan yang lebih baik dalam kultur ideal manusia bebas. Personalitas harus disandingkan secara mesra seperti sepasang kekasih yang berselimut kehangatan cinta dalam deraan dinginnya maut. Aksi jangan sampai terjebak menjadi sekedar hempasan reaksi, tapi juga kreasi.

Pertimbangkan bahwa pola produksi kapitalis yang mengalienasikan merupakan kondisi yang tak terelakkan—yang mereduksi kesenangan dan kegembiraan menjadi taktik dan strategi terus menerus demi pencapaian akumulasi dan eksistensi dalam kompetisi. Mengadopsi kebahagiaan versi televisi juga merupakan pencapaian terburuk dari sebuah hubungan yang dinamis. Realitas hidup tak hanya melulu hitam-putih—protagonis-antagonis. Tidak juga oposisi bayangannya yang berwarna abu-abu dalam konteks konstruksi hierarkis-kapitalis. Kita harus bisa melampaui bangkai dunia lama menuju dunia baru yang mungkin, untuk membuat kerja menjadi sesuatu yang lepas dari kegiatan kebinatangan. Membuat kerja menjadi aktifitas kemanusiaan komunal yang akan membawa nilai penggarapnya.

Pertimbangkan bahwa kehidupan sehari-hari merupakan tumpuan hubungan produksi kapitalis. Melaluinya setiap mediasi dan penyelubungan relasi hidup sebenarnya dilakukan. Pembebasan sebenarnya dimulai dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sebuah proyek untuk menghancurkan dan mempertanyakan kemonotonan aktivitas sehari-hari (menurut strata sosialnya) yang termaterialkan dalam kerja, sekolah, bisnis seperti biasanya, hubungan keluarga, merupakan hal yang vital untuk memahami bagaimana kapitalisme mereproduksi dirinya sendiri di berbagai wilayah kehidupan yang saling berhubungan. Dan hanya dapat dihancurkan dengan mengidentifikasinya seperti demikian.

Dengan demikian revolusi menuntut peruntuhan setiap sudut pandangan dunia borjuis yang termaterialkan dalam hubungan produksi kapitalis yang menjadi suatu relasi sosial hidup manusia dalam relung keseharian. Oleh karenanya, revolusi adalah suatu proses di mana relasi-relasi sosial lama telah dinegasikan untuk menciptakan pola relasi yang baru. Pola relasi baru ini pun bukanlah suatu blueprint mutlak yang tak dapat diubah, tapi suatu proses tanpa ujung dari eksperimentasi kehidupan untuk dapat terus mendinamisasikan suatu pola relasi kehidupan baru yang bebas dari setiap residu masyarakat lama. Revolusi, juga berarti memutuskan rantai dalam diri kita sendiri.

Dalam sebuah masyarakat yang telah menghapuskan semua jenis petualangan, satu-satunya petualangan yang masih tersisa adalah menghapuskan masyarakat tersebut.
—Grafiti di kota Paris tahun 1968



Lentera Izhtarza

Read More......

AKU MEMBELI MAKA AKU ADA

There's a price tag on me and there's sick on the floor:
we're buying up anything we can't afford.
Wherever I go I keep hearing this voice
saying “choose what you want!” but there's so little choice...
–Chumbawumba, Buy Nothing Day

Hasrat tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh mesin hasrat, kata Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Mesin hasrat sendiri merupakan sebuah istilah yang mereka gunakan untuk menjelaskan reproduksi perasaan kekurangan di dalam diri manusia secara terus menerus.

Dalam kondisi masyarakat sekarang ini, di mana imaji-imaji lebih meyakinkan dari pada kenyataan itu sendiri, pola konsumsi personal maupun masyarakat tidak lagi didasari oleh logika kebutuhan, melainkan oleh logika hasrat. Bila kebutuhan dapat terpenuhi oleh objek-objeknya—setidaknya secara parsial—maka hasrat adalah kebalikannya, ia tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena satu-satunya objek yang dapat memenuhi hasrat adalah objek hasrat (seksual) yang muncul secara bawah sadar pada tahap imajiner, dan objek hasrat ini telah hilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari substitusi-substitusinya dalam dunia objek atau simbol-simbol yang dikonsumsi[1].

Konsumsi, menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari, dapat juga dipandang sebagai satu fenomena bawah sadar, yang dengan demikian masuk ke dalam kawasan psikoanalisis. Dalam pengertian psikoanalisis, konsumsi dapat dipandang sebagai satu proses reproduksi hasrat dan reproduksi pengalaman bawah sadar yang bersifat primordial. Dalam hal ini, konsumsi mengingatkan seseorang kembali pada rangsangan-rangsangan bawah sadar yang dialami pertama kali secara primordial dalam bentuk kesenangan seksual yang timbul pertama kali dalam berhubungan dengan objek seksual (menyusui). Konsumsi adalah subsitusi atau pengganti dari kesenangan yang hilang tersebut, yang tersimpan dalam bentuk bawah sadar[2].

Konsumerisme Fatalis

Konsumsi yang terjadi sekarang ini tidak semudah dan sesederhana konsumsi pada beberapa waktu lampau. Entah tepatnya dimulai pada tahun berapa, tapi yang jelas konsumsi telah menjadi sedemikan kompleks dan menuntut pola yang juga kompleks. Konsumsi pada saat ini bukan saja kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sebagai kegiatan yang dianggap untuk bertahan hidup. Pada saat ini, ketika anda sedang membeli, anda tidak hanya mendapatkan objek-objek yang berupa barang dan jasa saja, misalnya. Pada saat yang bersamaan, anda juga sedang membayar simbol, prestise, dan perbedaan-perbedaan status. Objek-objek konsumsi juga telah berperan sebagai media yang mengkomunikasikan atau mempresentasikan makna-makna tertentu. Sebagai contoh, kita memakai pakaian-pakaian mewah untuk mengkomunikasikan kekayaan dan status sosial kita. Semakin banyak anda mengkonsumsi, semakin tinggi pula tingkat gengsi anda, dan tentu saja, hasrat anda tidak akan merasa terpenuhi sehingga anda akan terus-menerus mengkonsumsi objek-objek.

Bagi Jean Baudrillard, para konsumer—dalam hal ini adalah orang-orang yang hanya sekedar mengkonsumsi tanpa ikut terlibat aktif dalam penciptaan dan tindakan kreatif—lebih tepat disebut sebagai mayoritas yang diam, yang menempatkan dirinya dalam relasi subjek-objek, layaknya jaring laba-laba yang menjaring dan mengkonsumsi apapun yang ada di hadapan mereka bagai magnit, akan tetapi mengalir melalui mereka tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Menurutnya juga, proses pengendapan segala sesuatu yang dikonsumsi melalui pemberian pengakuan kini telah kehilangan makna, ditelan deru percepatan konsumsi itu sendiri yang seakan tidak mengenal titik jenuh ataupun akhir.

Dari pandangan Jean Baudrillard ini, kita mungkin saja terhenyak tidak percaya. Tapi jika kita membenturkannya pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai pola konsumsi secara berlebih, mungkin pandangan Jean Baudrillard tersebut benar. Kaum selebriti, para eksekutif muda, bahkan para remaja atau ABG-ABG gaul kelas menengah ke atas di kota-kota di mana akses terhadap konsumsi secara lebih luas terbuka lebar, mereka telah mencapai tahapan belanja gaya hidup. Bagi kelompok-kelompok masyarakat seperti ini, konsumsi telah menjadi sebuah kegairahan dan ekstase dalam perputaran objek-objek konsumsi, meninggalkan pencarian makna kegunaan atau utilitas, atau makna-makna ideologis melalui pemberian pengakuan. Apa yang mereka cari dalam komunikasi bukan lagi informasi-informasi ataupun pesan-pesan, melainkan pesona-pesona halusinasi dalam berkomunikasi itu sendiri—menikmati permainan di mana hal-hal yang tampak di permukaan sebagai acuannya.

Bombardir Imaji-Imaji Visual

Pasar ekonomi yang eksis sekarang ini adalah pasar ekonomi yang mengkomodifikasikan hasrat. Pasar ekonomi menjadikan hasrat sebagai sebuah titik tolak menuju imperiumnya yang megah di atas reruntuhan imaji-imaji manusia untuk hidup berdampingan dan bekerja sama—menghidupi dirinya sendiri. Kompetisi, imaji-imaji halusinatif di mana kesuksesan adalah hal yang utama, pola konsumsi yang berlebihan, fashion-fashion up to date, kendaraan sporty mentereng, atau rumah mewah, adalah contoh life style yang diyakini dapat membawa kebahagiaan dalam hidup ini, bahkan diyakini sebagai pemuas hasrat-hasrat yang selama ini terus-menerus berreproduksi dalam diri manusia.

Dalam proses menuju imperiumnya tersebut, para pelaku pasar ekonomi mengincar setiap titik yang dapat dijadikan kesuksesan mereka, dengan berbagai varian dan penciptaan bentuk-bentuk visual yang menggugah banyak orang, dan tentu saja, agar dapat menghasilkan profit sebanyak mungkin. Dan sekarang, tiba saatnya hasrat menjadi sasaran tembak.

Seperti apa yang telah dikatakan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari tentang operasi mesin hasrat di dalam diri kita, maka di saat yang bersamaan masing-masing dari diri kita akan selalu mencoba untuk mencari dan menemukan objek-objek substitusi yang setidaknya dapat membuat kita merasa puas dalam beberapa waktu, untuk kemudian kembali mencarinya lewat substitusi-substitusi lainnya. Celakanya, pencarian kepuasan hasrat lewat objek-objek subsititusinya mengalami stagnasi yang cukup akut—setidaknya bagi beberapa kelompok masyarakat. Hal ini mungkin saja dapat kita tandai dengan maraknya berbagai media yang menyajikan imaji-imaji kenikmatan atau kebahagiaan—yang bagi kelompok-kelompok masyarakat tadi cukup diyakini kebenarannya—tapi hanya berputar-putar di lingkaran yang sama: beli, beli, dan beli.

Hasrat seolah-olah dapat dengan mudah dikenali dan ditandai. Hasrat seolah-olah dapat dengan mudah direngkuh tanpa proses pencarian dan pengendapan, hanya dengan membeli. Dari mulai imaji tentang seorang lelaki macho yang tubuhnya menjadi berotot dan berbobot dengan mengkonsumsi susu merk X, yang akan menjadi idola bagi banyak wanita, sampai imaji tentang bagaimana menjadikan hidup anda selalu bahagia versi merk Y—imaji-imaji ini disajikan dengan intensitas yang konstan dan bertubi-tubi, sehingga menggelitik hampir setiap orang untuk meyakininya. Dan kalaupun memang benar hasrat dapat dengan mudahnya dikenali dan direngkuh secara instan, maka sepertinya, hasilnya pun akan bersifat instan: cepat—datang lalu menguap kembali.

Kekuasaan Modal dan Alienasi Hasrat

Di dalam masyarakat kapitalisme global, atau yang disebut juga sebagai masyarakat konsumer, setidak-tidaknya terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek, yaitu: kekuasaan kapital, kekuasaan produsen, dan kekuasaan media massa. Ketiga bentuk kekuasaan ini beserta pengetahuan yang mendukung serta artikulasinya pada pelbagai praktik sosial menentukan bentuk dan gaya, serta produksi dan konsumsinya[3].

Kekuasaan modal sendiri memiliki kontribusi yang bisa dibilang sangat besar dalam menciptakan masyarakat konsumer yang disebut Jean Baudrillard sebagai mayoritas yang diam, tentunya tanpa mengecilkan apalagi menihilkan kontribusi dari kekuasaan-kekuasaan lainnya seperti kekuasaan produsen dan media massa. Dengan modal yang besar, mereka dapat membuat produksinya terus berjalan sedemikian rupa, dan dapat menguasai media massa sebagai penyampai imaji-imaji mereka bagi personal-personal atau masyarakat. Kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah rectoverso (dua sisi dalam mata uang) yang saling mendukung.

Di dalam model produksi kapitalis, objek-objek tidak diproduksi oleh subjek-subjek yang memiliki sarana dan prasarana produksi serta modal, akan tetapi oleh subjek sebagai pekerja, yang memproduksi objek untuk para pemilik modal, demi mendapatkan upah dari pekerjaannya, kata mbah Karl Marx. Di dalam relasi seperti ini, Marx melihat satu proses yang disebutnya pemisahan, yakni pemisahan subjek (pekerja) dari hasil kerjanya. Tapi kemudian, apakah analisa Marx tersebut masih relevan dalam masyarakat konsumer kontemporer, di mana telah terjadi perubahan besar dan transformasi dalam relasi subjek-objek itu sendiri? Melalui perkembangan mutakhir dalam tekhnologi produksi, semisal otomatisasi dan komputerisasi, peran pekerja dapat diminimalisir sedemikian rupa. Alienasi yang telah dipaparkan Marx, bahwa subjek (pekerja) terasing dari alat produksi dan objek-objek yang dihasilkannya, di dalam masyarakat konsumer kontemporer telah bertransformasi menjadi lebih kompleks. Bukan hanya para pekerja yang terasing dari alat produksi dan hasil-hasil produksinya, konsumer pun terasing dari hasrat dan imaji-imaji yang ditawarkan oleh produsen.

Alienasi masih ada, bahkan telah menjelma menjadi sesuatu yang ada tanpa kita sadari. Relasi yang terjalin dalam komunikasi masyarakat konsumer sekarang hanyalah relasi konsumsi yang terkadang palsu belaka, di mana seorang pelayan perempuan berbodi montok akan tersenyum ramah, atau bahkan menggoda anda jika anda mau membeli produk yang dijajakannya.

Dalam masyarakat konsumer kontemporer, hampir setiap waktu dihabiskan untuk mengkonsumsi, tanpa ikut terlibat aktif dalam proses kreasi penciptaan baru. Hampir setiap imaji yang ditawarkan atau dikomodifikasikan, mereka lahap.

Objek-objek konsumsi yang mengalir tak henti-hentinya dalam kecepatan tinggi di dalam area konsumerisme tidak pernah—dan tidak akan pernah—memenuhi kebutuhan, sebagaimana hasrat tidak akan selamanya terpenuhi oleh objek hasrat. Jika satu hasrat dapat terpenuhi lewat substitusi-subtitusinya, maka yang terjadi adalah hasrat lain yang lebih tinggi. Pemuasan hasrat tidak akan terjadi lewat repetisi substitusi-substitusi.


Catatan:
[1] Yasraf Amir Piliang
Hipersemiotika, Penerbit Jalasutra, Tanpa Tahun, Yogyakarta
[2] Gilles Deleuze dan Felix Guattari
Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, The Viking Press, 1977, New York
[3] Yasraf Amir Piliang
Hipersemiotika, Penerbit Jalasutra, Tanpa Tahun, Yogyakarta


Lentera Izhtarza

Read More......

Selasa, 03 Februari 2009

BENTUK-BENTUK KELOMPOK ANARKIS

Kelompok Affinitas

[diambil dari Direct Democracy Now! http://www.directdemocracynow.org/ags.html]


Apakah kelompok afinitas itu?


Kelompok afinitas merupakan kelompok kecil berjumlah dari 5 hingga 20 orang yang bekerjasama secara otonom pada proyek-proyek aksi langsung ataupun proyek lain. Kamu dapat membentuk sebuah kelompok afinitas bersama teman-temanmu, orang-orang dari komunitasmu, tempat kerja kerja yang sama, atau orang-orang dari organisasi yang sama.


Kelompok afinitas menantang pengambilan keputusan dari atas ke bawah, dan memberdayakan meeka yang terlibat untuk mengambil aksi langsung yang kreatif. Kelompok afinitas memampukan orang untuk melihat aksi mereka dengan kemerdekaan penuh dan kekuasaaan untuk pengambilan keputusan. Kelompok afinitas secara alamiah desentralis dan non-hirarki, dua prinsip penting perorganisiran dan aksi kaum anarkis. Model kelompok afinitas pertama kali dipergunakan oleh kaum anarkis di Spanyol diakhir abad 19 dan awal abad 20. Para buruh yang tergabung dalam serikat buruh anarko-sindikalis, CNT, menggalang proyek-proyek tertentu bersama rekan-rekan terdekat di dalam kelompok-kelompok afinitas. Model ini diperkenalkan kembali oleh aktivis anti nuklir selama tahun 1970-an. Di masa itu aktivis memakai aksi langsung tanpa kekerasan yang desentralis untuk memblokade jalan-jalan, menduduki ruang dan mengacaukan "urusan-urusan" pembuat kebijakan nuklir dan perang di Amerika.

Kelompok afinitas memiliki masa lalu yang panjang dan menarik. Kita berhutang banyak kepada kaum anarkis dan pekerja Spanyol. Kaum anarkis dan radikal hari ini menggunakan model kelompok afinitas, struktur non hirarkis, dan pengambilan keputusan secara konsensus dalam aksi langsung dan pengorganisirannya.


Peran Kelompok Afinitas [dalam unjuk rasa]

Banyak peranan yang dapat diisi. Peran itu diantaranya:


- Medis, kelompok afinitas yang dapat dilatih sebagai medis jalanan yang dapat mengurus tap masalah medis dan kesehatan selama berlangsunya aksi.

- Pengamat Legal, jika belum terdapat pengamat legal untuk sebuah aksi. Penting untuk memiliki orang-orang yang tidak terlibat di dalam aksi yang mencatat perbuatan polisi dan pelanggaran hak para aktivis yang mungkin terjadi.
- Media, jika anda membuat aksi yang berencana menarik perhatian media, seorang di dalam kelompok afinitas dapat diberdayakan untuk berbicara kepada media dan bertindak sebagai juru bicara.
- Action Elf atau pengamat suasana (Vibes-Watcher), orang ini bertanggung jawab mengenai "kebaikan" seluruh kelompok: air, pesan, maupun dukungan psikologis dengan memulai sebuah nyanyian ataupun sorakan. Ini bukanlah peranan yang diperlukan namun membantu dalam aksi sepanjang hari saat peserta aksi kemungkinan mulai letih atau mudah tersinggung saat waktu terus berjalan.
- Pengatur Lalu Lintas, jika kelompok afinitas menjalan aksi bergerak, mungkin perlu untuk memiliki orang yang diberdayakan untuk menghentikan kendaraan pada perempatan dan secara umum mengawasi keamanan orang-orang di jalanan dari mobil atau kendaraan lain.
- Anggota yang dapat ditangkap, ini tergantung pada aksi langsung macam apa yang akan anda lakukan. Beberapa aksi mungkin memerlukan sejumlah orang yang ingin tertangkap, atau sejumlah bagian dari aksi memerlukan jumlah minimum orang yang boleh tertangkap. Apa pun itu, penting untuk mengetahui siapa yang membuat rencana dan aksi untuk tertangkap.
- Dukungan penjara, diperlukan jika anggota afinitas tertangkap. Orang ini memiliki semua alamat orang yang tertangkap. Dia akan pergi ke penjara, berbicara, dan bekerja dengan para pengacara, mengawasi mengenai siapa yang tertangkap dan sebagainya.

[kelompok afinitas bukan hanya berguna dalam sebuah protes atau aksi langsung, bentuk organisasi ini berguna untuk kegunaan yang luas sebagaimana yang ditunjukkan sejarah kelompok afinitas di bawah ini]


Sejarah kelompok afinitas


Ide mengenai kelompok afinitas berasal dari kaum anarkis dan gerakan pekerja yang dibentuk akhir abad 19 dalam menentang fasisme di Spanyol selama Perang Sipil Spanyol. Gerakan anarkis Spanyol menyediakan contoh menggembirakan mengenai sebuah gerakan, dan kemungkinan perwujudan sebuah masyarakat berlandaskan organisasi desentralis, demokrasi langsung. Lingkar kecil para sahabat, disebut "tertulias" bertemu di cafe-cafe (warung kopi – penj) untuk mendiskusikan ide dan rencana aksi. Tahun 1888, sebuah periode konflik klas hebat berlangsung di seluruh Eropa dan insureksi lokal terjadi di Spanyol, Organisasi Anarkis Spanyol membentuk (tertulias) tradisional ini sebagai basis organisasinya.


Beberapa dekade kemudian, Federasi Anarchist Iberian (FAI), yang beranggotakan 50.000 aktifis, diorganisir ke dalam kelompok afinitas dan berkofederasi ke dalam dewan lokal, regional, dan nasional. Di mana saja beberapa kelompok afinitas FAI hadir, mereka membentuk sebuah federasi lokal. Kemudian, federasi lokal mengkoordinasi komite yang diciptakan dari seorang delegasi yang mendapat mandat dari tiap-tiap kelompok afinitas. Delegasi yang mendapat mandat dikirim dari federasi lokal ke komite regional dan kemudian Komite Penisular (pegunungan). Kelompok afinitas tetap otonom saat mereka menjalankan pendidikan, mengorganisir dan mendukung perjuangan lokal. Suasana akrab di dalam kelompok afinitas menyulitkan infiltrasi kepolisian.


Ide mengenai kelompok afinitas yang besar "ditanamkan" kembali di tanah Amerika, 30 April 1977. Saat itu 2.500 aktifis, diorganisir dalam kelompok afinitas. Mereka menduduki instalasi nuklir Seabrook, New Hamshire. Gerakan anti nuklir dan perlucutan senjata yang tengah tumbuh mengadopsi bentuk ini, dan memakainya di dalam banyak aksi sukses di akhir 1970-an dan 1980-an. Sejak itu, model telah dipakai gerakan solidaritas untuk Amerika Tengah, gerakan gay dan lebian, Earth First dan gerakan pembebasan bumi, dan banyak yang lain.


Terakhir, kelompok afinitas dipakai dalam aksi massa di Seattle, Amerika melawan organisasi perdagangan dunia (WTO) dan di Washington DC saat melawan pertemuan IMF dan Bank Dunia. Model ini juga dipakai di Philadepia dan Los Angeles di sekitar aksi saat berlangsungnya Konvensi Nasional Partai Republik dan Demokrat.


Apa itu cluster dan spokescouncil?


Cluster merupakan pengelompokkan kelompok afinitas yang datang bersama untuk mengerjakan tugas atau bagian tertentu dari suatu aksi besar. Karena itu, sebuah cluster bertanggung jawab untuk memblokade suatu daerah tertentu, mengorganisir sebagian aksi dalam aksi bersama-sama, atau mengumpulkan dan menampilkan teater jalanan massal. Cluster dapat diorganisir di sekitar asal kelompok afinitas (misalnya: Texas cluster, sebuah isu atau identitas (contoh: cluster pelajar atau anti-sweatshop), atau ketertarikan bentuk aksi (contoh: teater jalanan atau aksi black block).

Struktur spokescouncil dipergunakan dalam model kelompok afinitas untuk mengkoordinasi sebuah aksi massa. Setiap kelompok afinitas (atau cluster) memberdayakan seorang juru bicara (perwakilan) untuk datang ke sebuah pertemuan spokecouncil untuk menentukan isu penting dalam sebuah. Misalnya, kelompok afinitas membutuhkan untuk menentukan strategi hukum atau pun penjara, isu-isu taktik yang mungkin, tempat pertemuan, dan logistik. Spokecouncil tak mengambil alih otonomi masing-masing kelompok individu di dalam sebuah aksi; kelompok afinitas membuat keputusan mereka sendiri mengenai apa yang ingin mereka lakukan di jalanan.

Bagaimana memulai sebuah kelompok afinitas


Sebuah kelompok afinitas dapat berupa hubungan di antara orang-orang yang telah saling mengenal selama bertahun-tahun di antara kelompok kawan dan aktifis, atau bisa berupa sebuah hubungan berusia seminggu. Apa pun itu, penting untuk bergabung ke dalam sebuah kelompok afinitas yang sangat cocok denganmu atau kepentinganmu. Jika kamu membentuk kelompok afinitas di kotamu, temukan kawan atau sesama aktifis yang memiliki kepentingan isu yang serupa, dan karena itu mau bergerak ke dalam aksi yang sama pula. Juga, cari orang-orang yang mau menggunakan taktik yang sama. Jika kamu ingin melakukan aksi yang cukup beresiko, seseorang yang tidak ingin berada dalam situasi berbahaya itu mungkin tak ingin berada dalam kelompok afinitasmu. Orang itu dapat bergabung dalam kerja media atau pun medis. Tidak baik jika mereka tidak nyaman berada di sekitar taktik aksi langsung tertentu.


Jika kamu ingin bergabung dengan sebuah kelompok afinitas pada saat aksi massa, pertama-tama cari tahu dulu kelompok afinitas apa yang terbuka terhadap anggota baru dan mana yang tertutup. Bagi kebanyakan orang, kelompok afinitas dilandaskan pada hubungan percaya yang telah dibina dalam hubungan persekawanan dan kerja selama bertahun-tahun. Karena itu, mereka mungkin tidak ingin orang yang tidak mereka kenal berada di dalam kelompok afinitas mereka. Saat kamu temukan kelompok afinitas yang terbuka, cari isu, kepentingan, atau taktik yang menarik bagimu.


Apa yang bisa dilakukan kelompok afinitas?


Segala hal. Mereka bisa digunakan untuk aksi massa atau pun aksi yang lebih kecil. Kelompok afinitas dapat dipergunakan untuk memasang spanduk-spanduk besar, memblokade jalan, menyediakan dukungan bagi kelompok afinitas lain, melakukan teater jalanan, memblokade lalu lintas dengan bersepeda, mengorganisir pendudukan pohon, [berhadapan dengan polisi, serta menjalankan strategi penghancuran properti], mengubah pesan pada billboard besar, memainkan musik dalam marching band radikal, atau bernyanyi dalam sebuah paduan suara revolusioner dan sebagainya. Bahkan terdapat kelompok afinitas yang menjalankan tugas tertentu di dalam sebuah aksi. Contohnya, sebuah kelompok afinitas yang berkeliling di dalam aksi, yang terdiri dari medis jalanan, atau kelompok afinitas yang membawa makanan atau air bagi orang-orang di jalan.


Apa yang membuat kelompok afinitas sangat efektif untuk sebuah aksi adalah mereka tetap bisa kreatif dan independen. Mereka merancang sendiri aksi mereka sendiri tanpa sebuah organisasi lain atau seseorang yang mendiktekan kepada mereka apa yang dapat dan tidak boleh untuk dilakukan. Maka itu, terdapat begitu besar kemungkinan tak terbatas mengenai apa yang dapat dilakukan kelompok afinitas. Jadilah kreatif dan ingat: aksi langsung lebih bermanfaat!


Kolektif


Apa itu kolektif?


Sebuah kolektif merupakan pengelompokkan organisasional yang permanen. Ia hadir untuk menyelesaikan berbagai tugas, mencapai sebuah tujuan, atau memelihara sebuah proyek permanen. Anggota kolektif biasanya berbagi pandangan politik yang sama. Bahkan, mereka seringkali tergabung dalam sebuah kolektif karena kesamaan pandangan politik. Kebanyakan kolektif memiliki fokus lokal, karena kebanyakan proyek kolektif berbasis komunitas lokal, memiliki cakupan lokal, dan terbentuk dari orang-orang yang hidup relatif berdekatan.


Kolektif, dalam skala kecil seringkali tidak terlalu berbeda dari kelompok afinitas. Meski demikian, kolektif biasanya bekerja dalam proyek jangka panjang seperti menerbitkan sebuah majalah, menjalankan infoshop, atau mengoperasikan sebuah bisnis. Kelompok afinitas secara teoritis dapat melakukan semua hal, namun secara khusus kelompok afinitas sering memusatkan diri pada beragam tujuan dan tugas jangka pendek. Di sisi lain, sebuah kolektif memusatkan diri pada tujuan jangka panjang dan proyek permanen.


Sebagai contoh, sebuah kelompok afinitas mungkin memutuskan untuk menyebarkan selebaran ke seluruh penjuru kota sebagai bagian aksi yang lebih besar atau aksi individual yang dilaksanakan kelompok afinitas itu sendiri. Berbeda dengan kelompok afinitas, sebuah kolektif yang menjalankan infoshop akan menyebarkan selebaran ke seluruh kota mengenai sebuah acara yang akan berlangsung di infoshop. Aksi diselenggarakan kelompok afinitas akan menjadi tujuan akhirnya, namun tindakan kolektif infoshop hanya salah satu dari berbagai tugas yang dibutuhkan untuk mempertahankan proyek permanen, dalam hal ini sebuah infoshop.


Demikian pula, tidak seperti kelompok afinitas, sebuah kolektif tak memiliki batasan jumlah. Sebuah kolektif dapat berjumlah mulai dari 3 hingga 200 orang. Bagaimanapun, ketika sebuah kolektif telah mencapai jumlah tertentu, adalah bijak untuk memecah kolektif ke dalam satu atau lebih kolektif kecil atau membagi kolektif tersebut secara internal ke dalam kelompok afinitas permanen. Pengambilan keputusan dapat tersusun dari demokrasi langsung, konsensus sampai kombinasi dari keduanya.

Tips membentuk dan memelihara sebuah kolektif:

Cobalah mengorganisir kolektifmu dengan menggabungkan sebanyak mungkin keterampilan yang relevan untuk menyelesaikan tujuan anda. Beraksilah dengan fokus, dalam konteks kepedulian yang lebih luas. Pendekatan "main tembak secara ngawur" dalam aktivitas kolektifmu akan berakhir dengan frustrasi.


Kenali dan dekati semua sekutu yang mungkin bagi kolektif dan cita-citamu. Beri keseriusan kepada dirimu, kolektifmu, dan isu yang kalian sampaikan. Jika kamu sendiri tak percaya diri atas proyek atau alasan perjuanganmu, hal itu segera akan terlihat orang lain. Keberlanjutan, ketekunan, dan fokus nerupakan bumbu sukses. Mudah untuk memulai, berat untuk memelihara. Satu-satunya cara terpenting untuk mempertahankan sebuah kolektif adalah tetap aktif. Jika kamu tak mengembangkan proyek dan aksi secara reguler sebagai sebuah kelompok, sehingga orang lain dapat terlibat, anggota kolektif lain akan merasa tak memiliki kaitan dengan kelompok dan akan pasti menarik diri. Untuk menghindari usaha melemahkan dan menganggu politik atau pun cita-cita kolektifmu (baik sengaja atau pun tidak), kelompok harus didirikan atas dasar yang jelas. Sebuah kelompok koalisi sangat rentan terhadap manipulasi ketimbang kelompok dengan tujuan politik dan cita-cita dinyatakan secara jelas.


[dikutip dari pamflet War Resister League "Organizing a Local Group" oleh Ed Hedemann dengan perubahan oleh editor]


Bagaimana Memulai


Sebisa mungkin, kontak seorang anggota dari kolektif yang telah berdiri yang kamu kenal dan minta nasehatnya mengenai bagaimana mendirikan sebuah kolektif di daerahmu. Hubungi sebanyak mungkin orang di wilayahmu yang kamu pikir akan tertarik. Jika tertarik, katakan kepada mereka untuk menyebarkan kepada orang lain yang tertarik. Undang ke pertemuan semua orang yang terlibat di sebuah ruang publik (misal perpustakaan atau arena bowling). Susun agenda jelas mengenai apa yang mesti dan perlu dilakukan. Semangati setiap anggota untuk berbicara dan menyuarakan ketidaksetujuan sehingga setiap anggota merasa nyaman berterus terang.


Jika terdapat balai komunitas atau toko buku anarkis di daerahmu, letakan selebaran yang menerangkan tentang kelompokmu dan tujuan yang akan kamu capai. Jika tidak terdapat balai komunitas atau toko buku anarkis, coba dan temukan tempat serupa.


Susun sasaran jangka pendek dan laksanakan. Hal ini bisa sesuatu seperti menyebarkan 500 pampflet, menghadiri demostrasi, mengorganisir sebuah demonstrasi kecil, memasukkan buku-buku anarkis klasik ke perpustakaan lokal, atau berpartisipasi dan belajar dari proyek komunitas yang telah ada. Sekali lagi batasnya hanya imajinasimu.


Sekali kolektif berdiri, kamu dapat mengerjakan proyek tersebut untuk memelihara kepentingan kolektif. Ini merupakan tujuan yang memerlukan perencanaan luas dan sumber daya dan sangat berharga saat berjalan sesuai rencana. Salah satu, proyek menyiarkan acara TV kabel yang dapat diakses masyarakat umum, atau sebuah program mingguan di radio komunitas lokal – tetapi mereka membutuhkan banyak penulisan dan seseorang yang tetap tenang dalam siaran dan juga memiliki tampang bersahabat. Jika kamu memilih untuk melakukan sesuatu berat, mesti banyak menyusun rencana mendetil sehingga jika ada yang gagal sedikitnya kamu memiliki beberapa rencana cadangan. Pada dasarnya, gunakan perkiraan umum dan coba putuskan apa dapat berhasil di dalam komunitasmu.


Meski demikian, yang terpenting adalah kelompok bertindak. Aksi menentukan eksistensi kolektif. Orang-orang ingin sebuah kelompok yang kelihatan menghasilkan. Setiap orang menjanjikan hasil, namun hanya mereka yang mewujudkannya akan mendapat dukung paling banyak. Ini juga berarti bahwa kamu mesti mengetahui apa masalah yang dihadapi masyarakat. Berbicara dengan lebih banyak anggota masyarakat merupakan cara yang terbaik memahami masalah-masalah ini, sekaligus juga menemukan pemecahan yang baik dan taktik baru.


[dikutip dari "information on Starting a Heatwave Collective". http://flag.blackened.net/heatwave/collective.html dengan perubahan dari editor.]


Federasi dan Jaringan Kerja


Apa itu federasi?


Federasi secara esensinya perserikatan organisasi-organisasi otonom dan atau kelompok afinitas. Sebuah federasi anarkis dapat dipandang sebagai badan pengambil keputusan di tingkatan regional, atau nasional, atau internasional (tergantung pembatasan secara geografis yang ditentukan federasi). Kolektif atau afinitas yang menjadi bagian federasi dapat dipandang sebagai serikat lokal yang otonom. Federasi merupakan organisasi formal dengan kontitusi, anggaran rumah tangga, dan petunjuk keanggotaan khusus. Ada tiga tipe umum yang pernah dibentuk, saya menyebut mereka, federasi Spesialis, Revolusioner Umum, dan Sintesis. Istilah ini bukan sebuah standard, namun ini berguna untuk penggambaran saja.


Federasi Spesialis: Federasi, seperti halnya kelompok afinitas, dan kolektif dapat hadir untuk melayani peran khusus atau mencapai tujuan khusus. Sebagai contoh federasi spesialis adalah Anarchist Black Cross Federation (ABCF -http://www.anarchistblackcross.org/), yang muncul untuk mendukung kerja bagi tahanan politik.


"Federasi Revolusioner Umum: Federasi dengan lingkup yang sangat luas dan fokus pada pengorganisiran seputar pandangan politik tertentu. Federasi ini juga mengerjakan kerja pengorganisiran dan aktivitas untuk mewujudkan serta memajukan pandangan politik. Sebagai contoh sebuah federasi semacam ini adalah North Eastern Federation of Anarchist-Communists (NEFAC- http://www.nefac.net). Ini merupakan sebuah federasi dengan cakupan luas yang melakukan berbagai pengorganisiran dan aktivitas yang konsisten dengan prinsip-prinsip Anarko Komunisme.


"Federasi Sintesis ": semacam federasi anarkis dengan usaha untuk menjadi lebih inklusif (terbuka – penj) terhadap berbagai kecenderungan. Federasi ini membawa anarkis dari berbagai kecenderungan berbeda ke dalam satu organisasi. Sebuah federasi sitesis dapat dianggap sebagai sebuah sub kategori dari federasi "general revolutionary". Contoh yang paling dekat mengenai federasi "sintesis" saat adalah Federasi Love and Rage di Amerika Utara yang sekarang telah bubar.


Struktur Federasi


Bagaimana sebuah federasi dikelola dan bagaimana cara pengambilan keputusan sepenuhnya diserahkan kepada anggota federasi. Namun, mengenai pengambilan keputusan dapat dikatakan bahwa semua jenis federasi anarkis saat ini menggunakan delegasi yang dapat di-recall. Delegasi ini dikirim oleh kolektif dan/atau kelompok afinitas ke rapat federasi untuk membuat keputusan yang menyangkut nasib federasi secara keseluruhan. Dalam struktur internal, konsensus atau demokrasi yang digunakan untuk mengambil keputusan mesti konsisten dengan prinsip-prinsip Anarkisme.


Apa itu jaringan kerja (Network)?


Cara termudah untuk menjelaskan jaringan kerja anarkis adalah membandingkannya dengan federasi anarkis. Jaringan kerja lebih tidak formal ketimbang federasi (meski, beberapa jaringan kerja cukup formal secara struktur sehingga mengaburkan garis antara jaringan kerja dan federasi). Biasanya untuk membuat jaringan kerja hanya diperlukan persetujuan untuk menyusun prinsip-prinsip atau pandangan politik umum untuk sebuah kualifikasi keanggotaan. Jaringan tidak menekankan aksi kolektif dan organisasi, melainkan menekankan pada otonomi atas organisasi formal. Hal ini tidak berarti secara tidak langsung jaringan kerja anarkis tidak terorganisir atau mereka anti organisasi. Ia hanya berarti bahwa fokus organisasi mereka tidak memperbolehkan masing-masing anggota kelompok untuk terlibat dalam aksi-aksi yang dirasakan cocok di dalam konteks jaringan dan menggunakan jaringan kerja terutama sekali untuk bersolidaritas dan mendukung tiap anggota kelompok yang membutuhkan dukungan.


Umumnya terdapat dua tipe jaringan kerja: jaringan kerja formal dan informal.


Jaringan kerja formal: biasa yang mebuat sebuah jaringa kerja formal adalah ia memiliki sebuah struktur pengambil keputusan "global". Hal itu berarti sebagaimana federasi lembaga delegasi yang melingkupi yang membuat keputusan menyangkut jaringan kerja secara keseluruhan. Dalam kebanyakan aspek jaringan ini sama saja dengan jaringan informal. Sebuah contoh yang baik dari jaringan formal adalah, Direct Action Network (DAN) yang kini telah tamat riwayatnya.

Jaringan kerja informal: selama 20 tahun terakhir jaringan kerja informal telah mempersembahkan metode organisasi anarkis paling efektif sebagaimana berbagai kesuksesan jaringan kerja informal telah membuktikan. Pengunaan jaringan ini di dalam gerakan anarkis sangat luas dan sukses. Bentuk organisasi seperti ini banyak dijalankan kelompok anarkis di seluruh dunia. Contohnya Food Not Bombs, Earth First!, Reclaim The Streets, Anti-Racist Action, Homes Not Jails, dan lain sebagainya.


Materi ini merupakan bagian dari buku “Saat Anarkisme Beraksi” yang diterjemahkan oleh Yerry Niko.


Read More......