Senin, 25 Mei 2009

PATRIARKI, PERADABAN, DAN ASAL-USUL GENDER

Peradaban, pada dasarnya, merupakan sejarah dominasi terhadap alam dan perempuan. Patriarki berarti penguasaan terhadap perempuan dan alam. Apakah kedua institusi ini merupakan sinonim?

Filsafat telah meninggalkan alam penderitaan yang luas ketika jalannya yang panjang, dalam pembagi-bagian divisi kerja, perlahan-lahan mulai terbuka. Hélène Cixous menyebut sejarah filsafat sebagai suatu “rantai ayah-ayah” (chains of fathers). Perempuan, seperti halnya penderitaan, selalu absen dari hal tersebut, dan tentunya (mereka: penderitaan dan perempuan) adalah saudara dekat.

Camille Paglia, seorang pemikir antifeminis, ketika ia merenungi peradaban dan perempuan:


“Ketika aku melihat seekor burung bangau besar melewati sebuah truk panjang, sejenak aku terdiam dan tertunduk takzim, seperti yang akan dilakukan orang-orang ketika sedang berada dalam ibadah gereja. Konsepsi kekuatan macam apa: kebesaran macam apa: yang dihubungkan oleh bangau-bangau ini dengan peradaban Mesir kuno, ketika arsitektur monumental pertama kali dibayangkan dan dicapai. Apabila peradaban diserahkan ke tangan perempuan, mestilah kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami.”2

“Kemuliaan” peradaban dan bagaimana hal tersebut tidak menarik bagi perempuan. Bagi sebagian dari kita “gubuk-gubuk jerami” merepresentasikan untuk tidak mengambil jalan yang salah, yaitu penindasan dan pengrusakan. Di dalam kemajuan peradaban teknologi global yang mengarah pada kehancuran dan kematian, andai saja kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami!

Perempuan dan alam secara universal telah dihilangkan nilainya oleh paradigma dominan dan siapa yang tak melihat penempaan dari ini? Ursula Le Guin memberikan kita koreksi yang tepat dari ketidakpercayaan Paglia akan keduanya (perempuan dan alam):

“Manusia beradab berkata: Aku adalah diri, aku adalah tuan, segala sesuatu diluar dari aku adalah yang lain—berada di luar, di bawah, tak terlihat, bawahan. Aku memiliki, aku menggunakan, aku mengeksplorasi, aku mengeksploitasi, aku mengontrol. Apa yang kulakukan adalah yang penting. Apa yang aku inginkan adalah alasan mengapa semua ini ada. Aku adalah aku, dan selain dari itu adalah keperempuanan dan keliaran yang, harus digunakan sesuai kemauanku.”3

Banyak orang percaya bahwa peradaban yang kali pertama itu matriarkal. Namun, tak seorangpun ahli antropologi atau arkeologi, termasuk feminis, menemukan bukti atas masyarakat tersebut. “Pencarian akan sebuah budaya egalitarian genuin, taruhlah matriarkal, tak pernah membuahkan hasil,” terang Sherry Ortner.4

Meskipun demikian, memang ada masanya, sebelum budaya lelaki menjadi sesuatu yang universal, ketika perempuan secara garis besar tidak selalu berada di bawah pria. Sejak 1970-an antropolog semacam Adrienne Zihlman, Nancy Tanner dan Frances Dahlberg5 membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah di mana ”Lelaki adalah sang pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya di sini adalah bahwa dari data-data yang secara general, komunitas-komunitas praagrikultur memperoleh 80 persen kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu.6 Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup bagi perempuan cukup setara dengan pria.

Dalam konteks umum, etos egalitarian masyarakat pemburu (hunter gatherer) atau peramu makanan (foraging society), ahli-ahli antropologi seperti Eleanor Leacock, Patricia Draper dan Mina Caufield telah menjelaskan, secara garis besar, adanya hubungan setara antara perempuan dan pria.7 Di dalam tatanan masyarakat semacam itu ketika seseorang memperoleh sesuatu, ia pula yang akan membagikannya, dan ketika perempuan memperoleh 80 persen makanan, maka mereka jugalah yang menentukan aturan bagi gerak kelompok serta lokasi-lokasi untuk menetap. Serupa dengan adanya bukti yang mengindikasikan bahwa perempuan dan pria yang membuat alat-alat dari batu yang digunakan oleh masyarakat-masyarakat praagrikultur.8

Dalam komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja. Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya, seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan.9 Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun mengeksploitasi perempuan,

“...mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak ada yang namanya pengagungan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas seksual perempuan.”10

Zubaeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika: “Asosiasi-asosiasi gender suku Mbuti dikarakterisasikan oleh harmoni dan kerjasama.”11

Kendati demikian, seseorang akan berpikir, benarkah situasinya semenyenangkan itu? Melihat terjadinya penghapusan makna atau devaluasi keperempuanan yang beragam bentuknya, namun tidak dalam esensinya, pertanyaan kapan dan bagaimana, cukup jelas berkata sebaliknya. Terdapat sebuah pembagian mendasar eksistensi sosial menurut gender, serta hierarki dari pembagian tersebut. Bagi filosof Jane Flax, dualisme yang paling mapan, termasuk pemisahan subjek-obyek serta pikiran-tubuh, merupakan suatu refleksi dari perpecahan gender.12

Gender tidaklah serupa dengan pembedaan alamiah/fisiologis menurut jenis kelamin. Ia adalah suatu katagorisasi kultural dan tingkatan yang bersandar pada sebuah pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin yang mungkin merupakan bentuk tunggal kultural yang terpenting. Apabila gender mengenalkan dan melegitimasi ketidaksetaraan serta dominasi, apa yang penting untuk dipertanyakan? Jadi dalam pengertian asal-usulnya—serta dalam pengertian masa depan kita—pertanyaan mengenai masyarakat manusia tanpa gender yang menjadi pertanyaannya.

Kita semua mengerti bahwa pembagian divisi kerja memerlebar jalan terciptanya domestikasi dan peradaban yang menjadi penggerak sistem dominasi global sekarang ini. Juga terlihat bahwa bentukan-bentukan pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin merupakan artifisialitas dalam bentuknya yang paling awal dan juga, sebagai efeknya, membentuk formasi gender.

Saling berbagi makanan telah lama dikenal sebagai suatu capaian terbaik dari cara hidup meramu bahan makanan (foraging life-way). begitu juga dengan membagi tanggung jawab untuk merawat keturunan, yang masih dapat dilihat dari sisa-sisa masyarakat semacam itu, dan pola semacam ini cukuplah berbeda dengan kehidupan keluarga dalam peradaban yang terisolasi dan terprivatisasi. Keluarga tidak dipandang sebagai suatu institusi abadi, begitupula dengan eksklusivitas peran “wanita sebagai pengasuh” (female mothering) yang dimaknai sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dari evolusi manusia.13

Masyarakat terintegrasikan melalui pembagian divisi kerja dan keluarga, terintegrasikan melalui pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin. Kebutuhan untuk integrasi memperlihatkan sebuah tegangan, sebuah keterpisahan yang mengundang suatu dasar kohesi atau solidaritas. Dalam pengertian ini, anggapan Testart cukup tepat: ”[hal yang] inheren di dalam hubungan kekerabatan adalah hierarki.”14 Dengan berdasar pada pembagian divisi kerja, hubungan di dalam keluarga menjadi hubungan produksi. ”Gender adalah sesuatu yang inheren di dalam sifat alami hubungan kekerabatan,” seperti yang dijelaskan oleh Cucchiari, ”yang tak dapat eksis tanpanya.”15 Di dalam wilayah inilah akar dari dominasi terhadap alam, sebagaimana juga dominasi terhadap perempuan, dapat dieskplorasi.

Seperti yang telah diketahui, suku-suku peramu makanan di dalam masyarakat semacam itu membuka jalan bagi peran-peran yang terspesialisasi, struktur hubungan kekerabatan membentuk infrastruktur hubungan yang akan berkembang menuju ketidaksetaraan dan pembeda-bedaan kekuatan. Perempuan secara tipikal menjadi imobilitas akibat suatu peran khusus menjaga anak; pola semacam ini selanjutnya semakin berkembang melampui kriteria-kriteria yang tadinya terbentuk sebagai peran gender. Pemisahan dan pembagian divisi kerja menurut gender ini mulai hadir selama transisi dari era Pertengahan sampai era Paleolitikum Lanjut.16

Gender dan sistem hubungan kekerabatan merupakan konstruksi kultural yang dibentuk berdasarkan dan bertentangan dengan subjek-subjek biologis yang, menurut Juliet Mitchell, melibatkan “lebih dari apapun sebuah organisasi simbolik dari perilaku.”17 Seperti yang telah eksis di dalam masyarakat berbasis gender dan sistem hubungan kekerabatan, mungkin akan lebih menjelaskan apabila melihat langsung pada budaya simbolik itu sendiri, dengan melihat “kebutuhan untuk memediasi secara simbolis suatu pendikotomian kosmos yang hebat.”18 Pertanyaan siapa yang lebih dulu muncul, datang dengan sendirinya dan sulit untuk diketahui. Kendati demikian, cukup jelas bahwa tak ada pembuktian aktivitas-aktivitas simbolik (seperti misalnya yang terdapat di dalam lukisan-lukisan gua) sebelum sistem gender, yang didasari pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, terlihat berlangsung di era tersebut.19

Memasuki era Paleolitikum Lanjut, yang merupakan epos awalan dari Revolusi Neolitikum di mana terbentuknya peradaban dan domestikasi, revolusi gender telah mencapai masanya. Tanda-tanda maskulin dan feminin mulai hadir sekitar 35.000 tahun lalu di dalam seni-seni gua. Kesadaran gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan dualitas, suatu spektral atau momok dari masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu polarisasi aktivitas baru ini, aktivitas menjadi relasi dan terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu, misalnya, berkembang menjadi sesuatu yang diasosiasikan sebagai kelaki-lakian, kriteria-kriterianya diatributkan pada gender pria sebagai suatu sifat yang diinginkan.

Ketika telah menjadi sangat menyatu atau menyeluruh, aktivitas semacam kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung jawab komunal untuk merawat anak, sekarang ini menjadi bidang-bidang yang terpisah di mana kecemburuan seksual dan kepemilikan (posesifitas) mulai terlihat. Di saat yang bersamaan, hal-hal simbolis muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas yang terpisah. Bukti-bukti ini bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan ritual. Sangatlah berisiko untuk mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan titik berangkat masa sekarang, meskipun budaya-budaya nonindustrial yang masih tersisa dapat menunjukan titik terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini, misalnya, mengalami pemisahan maskulin dan feminin sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala ksatria perang, tapi juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminin, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh pada ritual.20 Sama halnya dengan Mansi di daerah barat-daya Siberia yang memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan perempuan di dalam praktik-praktik ritual.21 Dengan bukti suku-suku seperti ini, bukanlah hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa, kehadiran atau absen peran ritual, merupakan sesuatu yang menentukan bagi subordinasi perempuan.22 Gayle Rubin menyimpulkan bahwa ”kekalahan dunia-historis (world-historical) perempuan terjadi melalui asal-usul budaya dan merupakan prasyarat budaya.”23

Kebangkitan simultan budaya simbolis dan kehidupan gender bukanlah suatu kejadian yang kebetulan. Kedua-duanya melibatkan suatu perubahan mendasar dari kehidupan yang tadinya tidak terpilah-pilah dan nonhierarkis. Logika perkembangan dan perluasan kedua hal tersebut merupakan sebuah respon dari tegangan-tegangan dan ketidaksetaraan yang mereka ciptakan; keduanya saling-terhubung secara dialektis dengan awal-mula pemisahan divisi kerja yang artifisial.

Secara cukup relatif, “Lompatan Besar Menuju” era agrikultur dan peradaban mulai hadir ketika terjadinya alterasi gender atau budaya simbolik. Ini merupakan era yang menentukan bagi istilah ”rising above nature”, dengan mulai mengenyampingkan keintiman dan kecerdasan nondominatif dengan alam yang telah ada sebelumnya, selama dua juta tahun. Perubahan ini cukup menentukan bagi konsolidasi dan intensifikasi pembagian divisi kerja. Meillasoux mengingatkan kita tentang permulaannya:

“Alam sama sekali tidak menjelaskan mengenai pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, tidak pula dengan institusi semacam pernikahan, keterikatan suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya dipaksakan kepada perempuan, oleh karena itu semua fakta-fakta peradaban haruslah dijelaskan, bukan malah menggunakannya untuk menjelaskan [secara sebaliknya].”24

Kelkar dan Nathan, misalnya, tidak banyak menemukan adanya spesialisasi gender pada kelompok-kelompok pemburu di India bagian barat, apabila dibandingkan dengan kondisi masyarakat agrikultur disana.25 Transisi dari pengumpul makanan menuju pada pemeroduksi makanan mengarah pada perubahan-perubahan radikal di dalam masyarakat mana saja. Cukuplah menjelaskan, apabila mencermati contoh yang mendekati jaman sekarang, bahwa suku Muskogee di Amerika Tenggara yang menjunjung tinggi nilai-nilai intrinsik dari hutan yang belum terjamah dan terdomestikasi; dijajah oleh kaum kolonial dan menggantikan tradisi Muskogee yang matrilineal dengan hubungan patrilineal.26

Tempat terjadinya transformasi dari gaya hidup “liar” menuju yang berbudaya adalah ketika manusia mulai berdomisili secara tetap, sebagaimana perempuan mulai terbatasi horison-horisonnya. Domestikasi berangkat dari sini (secara etimologis, berasal dari kata Latin domus, atau rumah tangga): kerja-kerja membosankan—yang tidak sesulit seperti meramu bahan makanan—, reproduksi berlebihan, dan pengharapan hidup yang lebih rendah daripada kaum pria. Indikasi-indikasi ini hadir di dalam masyarakat agrikultur sebagai peran perempuan.27 Dari sini dikotomi yang lain lagi muncul, pembedaan antara kerja dan nonkerja, sesuatu yang bagi banyak generasi tidak pernah eksis. Melalui produksi gender ini beserta perluasannya yang konstan, mulai berkembanglah fondasi-fondasi budaya dan mentalitas kita.

Setelah dibatas-batasi seperti ini, perempuan, meski belum sepenuhnya dipasifkan, mulai didefinisikan sebagai pasif. Seperti halnya alam, sebagai nilai yang dijadikan sumber untuk diproduksi; yang menunggu penyuburan dan pengaktifan dari luar tubuhnya. Perempuan mengalami pelepasan otonomi dan kesetaraan yang relatif di dalam suku-suku kecil yang bersifat nomadik dan anarkik menjadi kediaman-kediaman yang besar, kompleks, dan dikontrol.

Mitologi dan agama, sebagai kompensasi-kompensasi dari masyarakat yang terpilah-pilah, bersaksi atas direduksinya posisi perempuan. Dalam cerita Yunani versi Homer, tanah kosong (yang belum didomestikasi oleh budaya bercocok-tanam), kediaman Calypso asal Circa, Sirens yang menggoda Odysseus untuk meninggalkan kerja-kerja peradaban, dikatagorikan sebagai feminin. Baik tanah dan perempuan, sekali lagi, menjadi subjek dominasi. Namun imperialisme semacam ini mengkhianati asal muasal rasa bersalah, sebagaimana hukuman bagi mereka yang berkaitan dengan domestikasi dan teknologi, di dalam dongeng-dongeng Promotheus dan Sisifus. Proyek agrikultur di banyak tempat, menjadi semacam pelanggaran; seperti halnya pemerkosaan di dalam cerita-cerita Demeter. Seiring lewatnya waktu dan kekalahan-kekalahan , hubungan-hubungan ibu dan anak perempuan di dalam mite Yunani—seperti cerita-cerita Demeter-Kore, Clytemnestra-Iphigenia, Jocastra-Antigone, misalnya—mulai hilang.

Di dalam Kitab Kejadian (Genesis), bagian awal dari Alkitab, perempuan lahir dari rusuk pria. Kejatuhan (baca: keterusiran) dari Taman Eden merepresentasikan kematian kehidupan berburu dan berkumpul, pemaksaan menuju agrikultur dan kerja-kerja keras. Tentunya, semua itu disalahkan pada Hawa (Eve), yang menjadi stigma dari Kejatuhan ini.28 Cukup ironis memang, di dalam cerita tersebut domestikasi terasa seperti rasa takut dan penolakan terhadap sifat alam dan perempuan, sementara mite Eden, dalam kenyataannya, justru menyalahkan korban utama dari skenarionya.

Agrikultur adalah penaklukan yang mengisi lahirnya formasi dan berkembangnya gender. Terlepas dari adanya figur-figur dewi-dewi, yang dijadikan sebagai lambang kesuburan, secara general budaya Neolitikum sangatlah menjunjung tinggi kejantanan. Melalui dimensi-dimensi emosional maskulinisme, sebagaimana yang dilihat Cauvin, domestikasi hewan-hewan mestilah datang, secara prinsipal, dari inisiatif kaum pria.29 Semenjak itu pemisahan dan tekanan pada kekuasaan mulai hadir bersama kita; ekspansi daerah-daerah, misalnya, di mana energi pria menundukan sifat alami perempuan mulai diperluas.

Hal ini telah mencapai proporsinya yang dashyat, dan dari segala sisi kita diberitahu bahwa kita tidak dapat menghindari hubungan dengan teknologi yang sudah sangat menyeluruh. Namun patriarki, juga, ada di mana-mana, dan sekali lagi inferioritas alam dipertahankan. Untungnya, ”banyak kaum feminis”, menurut Carol Stabile, percaya bahwa “penolakan terhadap teknologi, secara fundamental, sangatlah identik dengan penolakan terhadap patriarki.”30

Ada kaum feminis lain yang mengklaim bahwa bagian dari sumber-sumber teknologi, mengakui adanya suatu “pelepasan dari tubuh” secara virtual, cyborg (organisme sibernetik) dan sejarah penaklukan gendernya. Namun titik berangkat semacam ini salah kaprah, suatu pelupaan akan keseluruhan angkutan dan logika menindas dari institusi yang menciptakan patriarki. Masa depan high-tech yang mengoyak tubuh ini hanya merupakan unsur dan jalan yang sama destruktifnya.

Menurut Freud, menganalisa orang menurut subjek gendernya merupakan sesuatu yang mendasar, baik secara kultural dan psikologis. Namun teori-teorinya mengasumsikan masa yang telah mengekspresikan subjektivitas gender, dan karenanya memicu banyak pertanyaan. Berbagai macam pertimbangan tetap tak terpetakan, seperti halnya gender sebagai suatu ekspresi relasi kekuasaan, dan fakta bahwa manusia datang di dunia sebagai mahkluk biseksual.

Carla Freeman memiliki pertanyaan yang berkaitan di dalam esainya yang berjudul, “Is Local: Global as Feminine: Masculine? Rethinking the Gender of Globalization” .31

Krisis umum modernitas berakar pada imposisi gender. Pemisahan dan ketidaksetaraan dimulai pada periode lahirnya budaya simbolik, yang pada tingkatan lanjutnya menjadi sesuatu yang menentukan seperti halnya dengan domestikasi dan peradaban: patriarki. Hierarki gender tidak dapat direformasikan seperti halnya sistem kelas atau globalisasi. Tanpa konsep pembebasan perempuan yang benar-benar radikal, kita akan terjebak di dalam pengecohan dan pengudungan yang sekarang ini telah menjadi hasil yang menakutkan di manapun. Keseluruhan orisinal ketiadaan gender (genderlessness) mungkin bisa menjadi prasyarat bagi penyelamatan kita. []

Jejak kaki:

a John Zerzan, lahir pada 1943 di Oregon. Ia menamatkan pendidikan B.A pada Universitas Stanford dalam disiplin Ilmu Politik (1962-1966), mendapatkan magister dalam bidang kajian Sejarah dari Universitas Negeri San Fransisco (1970-1972), dan menempuh pendidikan Ph.D di Universitas California Selatan (1972-1975). Zerzan merupakan seorang anarkis dan filosof primitivis, dan profilik dalam penulisan. Ada empat karya yang menjadi magnum opusnya, yakni Elements of Refusal (1988), Future Primitive and Other Essays (1994), Against Civilization: A Reader (1998) dan Running on Emptiness (2002). Kegiatannya banyak berkonsentrasi pada kritik peradaban. Ia mengkaji secara mendalam mengenai pola kehidupan manusia prasejarah. Selain, itu sangat aktif dalam gerakan-gerakan anarkis yang ada.

1 Naskah ini diterjemahkan oleh Ernesto Setiawan, kemudian diperiksa ulang serta disunting dengan merujuk naskah aslinya oleh Hardiansyah Suteja.

2 Camille Paglia. 1990. Sexual Personae: Art and Decadence from Nefertiti to Emily Dickinson. New Haven: Yale University Press: New Haven. hal. 38.

3 Ursula Le Guin. 1989. "Women/Wildness," dalam Judith Plant (ed.) Healing the Wounds. Philadelphia: New Society. hal. 45.

4 Sherry B. Ortner. 1996. Making Gender: the Politics and Erotics of Culture. Boston: Beacon Press. hal. 24. Lihat juga Cynthia Eller. 2000. The Myth of Matriarchal Prehistory: Why an Invented Past Won’t Give Women a Future. Boston: Beacon Press.

5 Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan Nancy Tanner. 1978. "Gathering and Hominid Adaptation" dalam Lionel Tiger and Heather Fowler (ed.). Female Hierarchies. Chicago: Beresford); Adrienne L. Zihlman. 1978. "Women in Evolution," Signs 4; Frances Dahlberg. 1981. Woman the Gatherer New Haven: Yale University Press; Elizabeth Fisher. 1979. Woman’s Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society. Ga.rden City NY: Anchor/ Doubleday.

6 James Steele dan Stephan Shennan (ed.). 1995. The Archaeology of Human Ancestry. New York: Routledge. hal. 349. juga M. Kay Martin and Barbara Voorhies. 1975. Female of the Species. New York: Columbia University Press, hal 210-211.

7 Leacock merupakan salah satu yang paling ngotot di antara semuanya, dengan mengatakan bahwa apapun bentuk dari dominasi pria yang ada dalam masyarakat tersebut yang bertahan, disebabkan oleh efek dominasi kolonial. LIhat Eleanor Burke Leacock. 1978. "Women’s Status in Egalitarian Society" dalam Current Anthropology 19; dan Eleanor Burke Leacock. 1981. Myths of Male Dominance. New York: Monthly Review Press. Lihat juga "Powerful Women and the Myth of Male Dominance in Aztec Society" karya S. dan G. Cafferty Archaeology from Cambridge 7 (1988).

8 Joan Gero dan Margaret W. Conkey (ed.). 1991. Engendering Archaeology. Cambridge MA: Blackwell; C.F.M. Bird. 1993. "Woman the Toolmaker" dalam Women in Archaeology. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies.

9 Claude Meillasoux. 1981. Maidens, Meal and Money. Cambridge: Cambridge University Press, hal. 16.

10 Rosalind Miles. 1986. The Women’s History of the World. London: Michael Joseph. hal. 16.

11 Zubeeda Banu Quraishy. 2000. "Gender Politics in the Socio-Economic Organization of Contemporary Foragers" dalam Ian Keen dan Takako Yamada (ed.). Identity and Gender in Hunting and Gathering Societies. Osaka: National Museum of Ethnology. hal. 196.

12 Jane Flax. 1983. "Political Philosophy and the Patriarchal Unconscious " dalam Sandra Harding dan Merrill B. Hintikka (ed.), Discovering Reality. Dortrecht: Reidel. hal. 269-270.

13 Lihat Patricia Elliott. 1991. From Mastery to Analysis: Theories of Gender in Psychoanalytic Feminism. Ithaca: Cornell University Press. e.g. hal. 105.

14 Alain Testart. 1989. "Aboriginal Social Inequality and Reciprocity" dalam Oceania 60. hal. 5.

15 Salvatore Cucchiari. 1984. "The Gender Revolution and the Transition from Bisexual Horde to Patrilocal Band" dalam Sherry B. Ortner dan Harriet Whitehead (ed.) Sexual Meanings: The Cultural Construction of Gender and Sexuality. Cambridge UK: Cambridge University Press. hal. 36. Essay ini sangatlah penting.

16 Olga Soffer. 1992. "Social Transformations at the Middle to Upper Paleolithic Transition" dalam Günter Brauer dan Fred H. Smith (ed.) Replacement: Controversies in Homo Sapiens Evolution. Rotterdam: A.A. Balkema. hal. 254.

17 Juliet Mitchell. 1984. Women: The Longest Revolution. London: Virago Press. hal. 83.

18 Cucchiari. op.cit.. hal. 62.

19 Robert Briffault. 1931. The Mothers: the Matriarchal Theory of Social Origins. New York: Macmillan. hal. 159.

20 Theodore Lidz & Ruth Williams Lidz. 1998. Oedipus in the Stone Age. Madison CT: International Universities Press. hal. 123.

21 Elena G. Fedorova. 2000. "The Role of Women in Mansi Society" dalam Peter P. Schweitzer pada Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock (ed.) Hunters and Gatherers in the Modern World. New York: Berghahn Books. hal. 396.

22 Steven Harrall. 1997. Human Families. Boulder CO: Westview Press. hal. 89. "Contoh-contoh hubungan antarritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar luas,” menurut Stephan Shennan pada "Social Inequality and the Transmission of Cultural Traditions in Forager Societies" dalam Steele and Shennan (ed.). op.cit.. hal. 369.

23 Gayle Rubin. 1979. "The Traffic in Women" dalam Toward an Anthropology of Women. New York: Monthly Review Press. hal. 176.

24 Meillasoux. op.cit.. hal 20-21.

25 Disebut oleh Indra Munshi. 2003. "Women and Forest: A Study of the Warlis of Western India," dalam Govind Kelkar, Dev Nathan dan Pierre Walter (ed.) Gender Relations in Forest Societies in Asia: Patriarchy at Odds. New Delhi: Sage. hal. 268.

26 Joel W. Martin. 1991. Sacred Revolt: The Muskogees’ Struggle for a New World. Boston: Beacon Press. hal 99, 143.

27 The production of maize, one of North America’s contributions to domestication, "had a tremendous effect on women’s work and women’s health." Women’s status "was definitely subordinate to that of males in most of the horticultural societies of [what is now] the eastern United States" by the time of first European contact. The reference is from Karen Olsen Bruhns and Karen E. Stothert. 1999. Women in Ancient America. Norman: University of Oklahoma Press. p. 88. Also, for example, Gilda A. Morelli. 1997. "Growing Up Female in a Farmer Community and a Forager Community" in Mary Ellen Mabeck, Alison Galloway and Adrienne Zihlman (ed.). 1997. The Evolving Female. Princeton: Princeton University Press: "Young Efe [Zaire] forager children are growing up in a community where the relationship between men and women is far more egalitarian than is the relationship between farmer men and women" (p. 219). See also Catherine Panter- Brick and Tessa M. Pollard. 1999. "Work and Hormonal Variation in Subsistence and Industrial Contexts" in C. Panter-Brick and C.M. Worthman (ed.). Hormones, Health, and Behavior. Cambridge: Cambridge University Press, in terms of how much more work is done, compared to men, by women who farm vs. those who forage.

28 The Etoro people of Papua New Guinea have a very similar myth in which Nowali, known for her hunting prowess, bears responsibility for the Etoros’ fall from a state of well-being. Raymond C. Kelly. 1993. Constructing Inequality. Ann Arbour: University of Michigan Press. p. 524.

29 Jacques Cauvin. 2000. The Birth of the Gods and the Origins of Nature. Cambridge: Cambridge University Press. p. 133.

30 Carol A. Stabile. 1994. Feminism and the Technological Fix. Manchester: Manchester University Press. p. 5.
31 Carla Freeman. 2001. "Is Local:Global as Feminine:Masculine? Rethinking the Gender of Globalization"dalam Signs 26.


John Zerzan

Read More......

Senin, 18 Mei 2009

TEKNOLOGI DAN PERTENTANGAN KELAS

Perkembangan teknologi enam tahun terakhir—industri nuklir, sibernitika dan teknik-teknik informasi terkait, bioteknologi dan rekayasa genetika—telah memberikan perubahan mendasar dalam ruang lingkup sosial. Metode eksploitasi dan dominasi telah berubah, dan untuk alasan inilah ide lama tentang sifat dasar dan perjuangan kelas tidak cukup untuk bisa memahami situasi sekarang ini. 'Pekerja'isme para marxis dan sindikalis tidak lagi menawarkan sesuatu yang berguna dalam mengembangkan praktek revolusioner. Akan tetapi, penolakan konsep kelas bukan pula merupakan jawaban yang berguna untuk situasi saat ini, karena hal semacam ini [tersebut] akan menghilangkan sarana untuk memahami realitas kekinian dan bagaimana cara menyerangnya.

Eksploitasi tidak hanya berlanjut begitu saja, tetapi telah berkembang secara tajam sejak lahirnya teknologi. Sibernetika telah membuka desentralisasi produksi, penyebaran unit-unit kecil produksi dalam lingkup sosial. Secara drastis, otomasi secara drastis telah mengurangi jumlah produksi pekerja yang dibutuhkan dalam tiap proses manufakur . Sibernetika telah meciptakan metode perolehan keuntungan yang instant tanpa memproduksi sesuatu yang nyata, yang kemudian membantu modal\kapital berkembang sendiri dengan ongkos buruh yang minimal.


Kemudian, teknologi baru menuntut spesialisasi pengetahuan yang memang tidak tersedia untuk kebanykan orang. Pengetahuan ini menjadi harta yang berharga dari kelas yang berkuasa [ruling class] pada masa sekarang. Di bawah sistem industri yang lama, seseorang dapat melihat perjuangan kelas sebagai perjuangan antara pekerja dan pemilik alat produksi. Ini menjadi sesuatu yang masuk akal. Setelah perkembangan teknologi, orang-orang yang tereksploitasi telah mendapati diri mereka mengarah pada posisi yang sulit. Pada masa industri saat ini posisi pekerja yang sepanjang harinya bekerja di dalam pabrik tergantikan oleh pekerja harian, layanan sektor jasa, kerja paruh waktu, pengangguran, pasar ilegal, ilegalitas, tuna wisma dan penjara. keadaan seperti ini menjamin bahwa tembok pemisah yang diciptakan oleh teknlogi baru di antara pengeksploitasi dan yang tereksploitasi menyisakan sesuatu yang tak terobohkan.

Akan tetapi, sifat alamiah teknologi itu sendiri melampaui jangkauan mereka yang tereksploitasi. Awal perkembangan industrial mengambil fokus utamanya dalam penemuan teknik standarisasi pembiayaan rendah dengan profit/keuntungan yang tinggi dalam pabrikasi massal. teknologi yang berkembang kini tidaklah terlalu memfokuskan diri pada produksi barang-barang dalam artian teknologi yang kini berkembang, memfokuskan diri pada penyebaran secara luas kontrol sosial serta sedapat mungkin mengurangi keuntungan dari produksinya. Industri nuklir tidak hanya membutuhkan spesialisasi pengetahuan, namun juga tingkat pengamanan yang tinggi yang menempatkannya benar-benar dibawah kontrol negara dan memerlukan struktur militer yang sesuai dengan penggunaannya yang ekstrim dalam militer. Teknologi sibernetik memiliki kemampuan memproses, merekam, mengumpulkan dan mengirim informasi sesuai kebutuhan negara untuk dokumentasi dan memantau warganya yang juga merupakan pengurangan kebutuhan akan pengetahuan bagi mereka yang diatur dengan berbit-bit informasi—data—harapan, hal ini mereduksi kemampuan yang sesungguhnya/nyata dalam memahami mereka yang tereksploitasi. Bioteknologi memberi kontrol negara dan kapital terhadap sebagian besar proses-proses kehidupan yang paling fundamental itu sendiri—membiarkan mereka (negara dan kapital) menentukan jenis tetumbuhan, hewan—dan bahkan manusia yang bisa eksis.

Oleh karena itu teknologi-teknologi ini memerlukan spesialisasi pengetahuan dan dikembangkan untuk kepentingan peningkatan kontrol negara dan kapital terhadap seluruh kehidupan manusia bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, kelas yang tereksploitasi sekarang dapat dipahami sebagai kelas-kelas yang terabaikan dari spesialisasi pengetahuan ini dan dari partisipasi yang nyata dalam pemungsian kekuasaan. Kelas pemodal/borjuis yang dimaksud dalam pengertian kini adalah golongan yang berpartisipasi dalam fungsi kekuasaan dan penggunaan dari spesialisasi pengetahuan teknologikal dalam artian yang sebenarnya . Tentu saja ada proses-proses dalamnya, dan batas antara kelas penguasa dan kelas pekerja, dalam beberapa kasus dua kelas ini,menjadi sulit untuk dipahami karena peningkatan jumlah penduduk yang terproletarisasi—kehilangan kemampuan/kebebasan untuk membuat keputusan atas kondisi eksistensi mereka yang mungkin telah mereka miliki.

Penting untuk diketahui meskipun teknologi-teknologi baru ini dimaksudkan untuk memberikan kontrol kepada negara atas kelas yang terabaikan dan segala kekayaan hasil bumi, justru mesin-mesin itu sendiri melampaui/tak dapat di kontrol oleh manusia. Keleluasan dan spesialisasi yang mereka perlukan berkombinasi dengan bahan-bahan material yang tak terprediksikan —atom dan sub partikel-partikel atom, gelombang cahaya, gen dan kromosom, dan lain-lain—hal ini untuk menjamin bahwa tidak ada seorang manusia pun yang bisa memahami sepenuhnya bagaimana semua itu bekerja.

Aspek teknologikal ini tentunya yang telah menambah penderitaan kita akibat krisis ekonomi yang berlangsung. Meskipun demikian, ancaman bencana teknologi ini diluar kontrol siapapun juga yang memberi kuasa dalam mengontrol kelas yang tereksploitasi—ketakutan akan Chernobyl-chernobil lainnya, monster bermesin genetis yang lolos dari laboratorium—menciptakan penyakit dan kenyamanan, menggerakkan orang untuk menerima aturan para ahli yang telah membutikan batas-batas mereka secara terus menerus. Lebih jauh lagi, negara—yang bertanggung jawab kepada setiap orang atas perkembangan teknologi ini melalui militernya-mampu menghadirkan dirinya sebagai pengawas dalam melawan penyalahgunaan teknologi oleh korporasi-korporasi yang merajalela kini. Sehingga, kedahsyatan serta nafsu yang tak terkendali ini melayani pihak yang mengeksploitasi dengan baik dalam mempertahankan kontrol mereka terhadap seluruh populasi yang tersisa. Dan apakah mereka(kelas borjuis) perlu memikirkan mengenai kemungkinan musibah-musibah yang akan terjadi pada seluruh umat manusia di bumi ketika kekayaan dan kekuasaan mereka menyediakan rencana darurat yang hanya untuk melindungi mereka, bukan untuk kita?

Oleh sebab itu, pengecualian teknologi baru dan kondisi baru serta bahaya yang dipaksakan pada kelas yang tereksploitasi akan meruntuhkan cita-cita usang tentang pengambilalihan sarana produksi. Teknologi ini-yang terkontrol maupun yang tak terkontrol-tak dapat memberikan tujuan manusia yang sebenarnya dan tidak ada tempat dalam perkembangan dunia bagi kebebasan individu untuk menentukan hidup mereka sesuai yang mereka inginkan. Jadi ilusi utopia para sindikalis dan marxis tak lagi dapat digunakan dalam dunia kita pada masa sekarang ini. Tetapi apakah pernah digunakan sebelumnya? Perkembangan teknologi baru secara spesifik berorientasi pada pengontrolan, tetapi semua perkembangan industri telah mengambil perlunya keseriusan dalam pengontrolan terhadap kelas non-eksploitator. Pabrik diciptakan untuk membawa produsen ke bawah naungan satu atap guna mengatur kegiatan-kegiatan mereka dengan lebih baik; garis produksi memekanisasi peraturan ini; setiap teknologi baru mempercepat pekerjaan pabrik, sehingga setiap waktu serta gerak-gerik pekerja lebih lanjut berada di bawah pengontrolan. Oleh karena itu, ide yang menyatakan bahwa pekerja dapat membebaskan diri mereka dengan mengambil alih sarana produksi masih selalu menjadi angan-angan. Ini adalah angan-angan yang tak dapat dipahami ketika proses teknologikal mengambil manufaktur sebagai tujuan utama mereka. Sekarang ketika tujuan utama mereka begitu jelas sebagai kontrol sosial, sifat nyata perjuangan kita harus jelas pula: menghancurkan segala sistem kontrol-(negara), modal dan sistem teknologi mereka, mengakhiri kondisi proletarianisasi kita dan penciptaan diri kita sebagai individu bebas yang mampu menentukan bagaimana kita hidup sesuai keinginan kita sendiri. Untuk melawan teknologi, senjata terbaik adalah senjata yang digunakan kelas yang dieksploitasi sejak awal era industri: sabotase.


-Wolfi Landstreicher

Read More......

Minggu, 17 Mei 2009

TUJUH DUSTA TENTANG PERADABAN

Ryan Prieur

1. Kemajuan.
Kebohongan tentang “kemajuan” tidak hanya bahwa hal itu bagus, atau yang tak terelakkan, tapi agar ia eksis, dimana hal tersebut senantiasa kita alami layaknya seperti sebuah garis lurus, dengan satu arahan yang sama, tak berbatas, dengan segala perubahan nilai positif yang tekandung di dalamnya. Kekuatan berpikir kita merasa, karena “kemajuan” adalah pusat kebohongan kebudayaan kita dan di situ ilusi-ilusi serta fantasi-fantasi mengenai itu yang berada di mana-mana:

Ada sebuah sistem yang dipelajari, dimana kita berangkat dari derajat yang “rendah” ke “derajat” yang tinggi – tetapi kenaikan ini tidaklah nyata, hanya cerita yang mereka ceritakan, dan perubahan itu hanya membuat kita tetap baik dalam dominasi sistem, sebagaimana kita menjual pengalaman untuk cerita yang kaku, naluri untuk intelek, perbedaan atas keseragaman, kebebasan atas kepatuhan, dan spontanitas atas kemungkinan. Kemudian terdapat sistem upah tenaga kerja, dimana kita seharusnya memulai dari posisi “rendah” ke posisi “tinggi”, tetapi beberapa dari yang kita lakukan, dan bagaimana pun “tinggi” hanya berarti dominasi sistem mempunyai sebuah pegangan yang ketat pada perhatian kita, penilaian kita, jiwa kita. Kemudian, sejarah teknologi, dimana perubahan mengumumkan “kebajikan” ketika pengaruh mereka malah membangkitkan kekuatan transformatif kita atas dunia, sementara itu secara bersamaan juga meningkatkan jarak emosional kita atau membuat kita lebih tergantung pada para spesialis, atau melingkupi manusia lebih dan lebih dengan segala hal yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, sebuah proses oleh Jerry Mander yang diidentifikasi sebagai sesuatu yang terbentuk dari dalam secara fisik. tempat terdalam yang masih membentuk kita dari dalam adalah dunia permainan komputer, sebuah permainan yang hampir tanpa pengecualian terbentuk di dalam pada mitos mengenai kemajuan, melatih kita untuk mampu mengatur sendiri dopamin bagi visi yang berkaitan dengan kekuasaan pernah meningkatkan kekuasaan, dan kemudian membiarkan kita memeroleh "kemenangan" begitu saja bukannya memerlihatkan kepada kita bagaimana cerita semacam ini benar-benar berakhir. Dalam kenyataan, tak ada satu pun yang mutlak "lebih baik" namun hanya merubahnya dalam relasinya sendiri, dan perubahan dalam relasi tersebut menukarkan kepekaan dan bentuk kolaborasi bagi diskoneksi dan dominasi tidaklah berubah namun hanya tidak dapat dicegah lagi, bukanlah sebuah proses yang tak terbatas namun bentuk pembatasan diri, bukan pula suatu hal yang positif melainkan destuktif.


2. Evolusi
Dalam hal ini tak ada perselisihan mengenai catatan fosil, yang mana dalam bentuk kehidupan di dunia telah mengubah banyak zaman. Ada suatu kebohongan terkait dengan proyek mitos mengenai “kemajuan” yang tekandung dalam perubahan tersebut, untuk mendeklarasikan bahwa mereka sedang menuju pada satu arahan yang sederhana, searah, dan senantiasa menjadi “lebih baik”. Hal ini adalah suatu argumen yang berputar-putar (sirkuler), dimana kegilaan secara kolektif (gangguan jiwa) tersebut kemudian merusak kedoknya sendiri secara biologis untuk kemudian menjadi sebuah bentuk pembenaran diri.

DALAM KENYATAANNYA PERUBAHAN BIOLOGIS TERSEBUT TIDAKLAH SAMA DENGAN DUSTA TENTANG �GKEMAJUAN�H-MEREKA MENUJU KE SEGALA ARAH, SEIRING DENGAN KENAIKAN DAN PENURUNAN POPULASI, ORGANISME MENJADI LEBIH BESAR DAN LEBIH KECIL, DAN BERGERAK DARI DALAM AIR KE DARATAN DAN KEMBALI KE AIR. DAN TAK ADA YANG MENJADI LEBIH 'BAIK" KECUALI SPESIS YANG MAMPU BERADAPTASI DENGAN LINGKUNGAN MEREKA, DAN DALAM ABSENNYA BENCANA, TOTALITAS KEHIDUPAN MENJADI LEBIH BERANEKA RAGAM DAN JAUH LEBIH KOMPLEKS.

Tetapi dalam dua jalan tersebut, manusia beradab justru melakukan hal yang sebaliknya! Kita justru tidak beradaptasi terhadap dunia luas tapi malah memutarbalikkan kenyataan tersebut agar sesuai dengan keinginan kita sendiri, bahkan memutarbalikkan semuanya agar bersesuaian dengan fantasi kultural kita yang dangkal. Dan kita malah tidak mengalami peningkatan atau pun penurunan dalam segi keberagaman serta kompleksitas secara keseluruhan, dengan membawa spesies menuju pada kepunahan dan kemusnahan atau mengasimilasikan masyarakat manusia dalam satu keseragaman monokultur global. Jadi dengan apapun kau menyebut sejarah biologis dunia, peradaban bukanlah sebuah perpanjangan dari hal tersebut tetapi sebuah penolakan terhadapnya, sebuah malapetaka.

3. SEGALA SESUATU ADALAH ALAMIAH
DENGAN BAHAGIA SEBAGIAN BESAR MASYARAKAT MENGAKUI HAL INI SEBAGAI SEBUAH GANGGUAN FILOSOFI-PALSU (PSEUDO-PHILOSOPHICAL) YANG TERAMAT BODOH, TETAPI BAGAIMANAPUN JUGA SAYA TETAP AKAN MENJATUHKANNYA. ARGUMEN YANG TERSISA PADA WILAYAH SEMANTIK YANG TERDISTORSI, SEBUAH REDEFENISI TERHADAP YANG “ALAMIAH” GUNA DAPAT MENAMPUNG SEGALA SESUATUNYA, KARENA AKU (MANUSIA) BERKATA DEMIKIAN. PERADABAN ITU ALAMIAH KARENA MANUSIA ADALAH BINATANG, PEMBUANGAN LIMBAH BERACUN ADALAH HAL YANG ALAMIAH KARENA SEGALA HAL TERSEBUT BERASAL DARI BUMI, DAN DEMIKIAN SETERUSNYA........ BLA BLA BLA.

MASYARAKAT YANG SEBENARNYA TIDAK MENGGUNAKAN KATA “ALAMIAH” PADA JALAN INI. MUNGKIN ADALAH SUATU HAL YANG "ALAMIAH“ JIKA AKU MENGAMBIL TONGKAT DAN MENGHANTAMKANNYA DI KEPALAMU, TAPI KAMU AKAN LEBIH SUKA JIKA SAYA TIDAK MELAKUKANNYA, MAKA KAMU PUN MULAI MEMBERI DEFENISI TERHADAP KATA-KATA SEPERTI “MEMBUNUH/MERUSAK” UNTUK MENGUNGKAPKAN DAN MEMPERTAHANKAN HAL YANG KAMU SUKAI. DALAM CARA YANG SAMA, MASYARAKAT MENDEFENISIKAN YANG “ALAMIAH” GUNA MENGEKSPRESIKAN DAN MEMPERTAHANKAN PILIHAN YANG MEREKA SUKAI ATAS HIDUP BERBAGAI PEPOHONAN YANG DIGANTIKAN DENGAN POHON-POHON PLASTIK, PADANG RUMPUT BERGANTI MENJADI LAHAN PARKIR, SUNGAI-SUNGAI YANG AIRNYA DAPAT DIMINUM MENJADI SUNGAI-SUNGAI YANG MENGANDUNG DIOXIN. INILAH APA YANG SAAT INI DIMAKSUDKAN YANG "ALAMIAH", DAN APABILA KITA TAK INGIN MATI KARENA KANKER DAN MENJADIKAN BUMI MENJADI GURUN PASIR BERACUN, KITA PUNYA SEBUAH TANGGUNG JAWAB UNTUK MEMBAHASAKAN KETERPISAHAN YANG ALAMIAH DARI YANG TIDAK ALAMIAH DAN MEMILIH YANG ALAMIAH DALAM ARTIAN YANG SEBENARNYA.

JIKA KAMU MENGINGINKAN SEBUAH DEFENISI YANG SPESIFIK, KEKAYAAN ALAMIAH PADA DASARNYA BERASAL DARI POLA SIMBIOSISNYA DENGAN ALAM, DAN ALAMI BERSUMBER DARI POLA SIMBIOSIS KEHIDUPAN DI BUMI SECARA KESELURUHAN, SEMENTARA POLA SIMBIOTIK BERARTI HUBUNGAN YANG SECARA MUTUAL SALING MENGUNTUNGKAN SATU SAMA LAIN, DIMANA SIFAT YANG SALING MENGUNTUNGKAN LEBIH DIUTAMAKAN. MENDEFENISIKAN "SALING MENGUNTUNGKAN" MENDORONG SEGALA BATASAN DARI KETERBATASAN BAHASA KITA, NAMUN DALAM HAL INI SAYA LEBIH SEPAKAT UNTUK MENYEBUTNYA SEBAGAI CARA UNTUK MEMBANGKITKAN KEHIDUPAN YANG OTONOM SERTA KEBERAGAMAN BENTUK KEHIDUPAN. NAMUN APABILA KAMU MASIH BELUM MEMAHAMI MAKNA KEHIDUPAN SEBENARNYA, MAKA BERUSAHALALAH UNTUK MENCARINYA LEBIH GIAT LAGI...BODOH.....ANJIIIING EDAN....KEPARAT...MUSNAHLAH...KALIAN SEMUA......!!!


4. TEKNOLOGI ITU NETRAL.
DALAM SEGALA KEBOHONGAN TENTANG PERADABAN, YANG SATU INI ADALAH YANG PALING TERSEMBUNYI DAN MEMBAHAYAKAN, PALING MENANTANG UNTUK MEMBUKTIKAN KESALAHAN YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA, SATU YANG SANGAT TIMPANG DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT YANG JUSTRU SANGAT DIKENALI DENGAN LEBIH BAIK OLEH MASYARAKAT ITU SENDIRI. KEBOHONGAN BESAR SEMACAM ITU SANGAT SULIT UNTUK DIPAHAMI. SEBUAH POIN REFERENSIAL TERSENDIRI DAN SANGAT SULIT UNTUK KELUAR/MELEPASKAN DIRI DARINYA. UNTUK MELEPASKAN DIRI DARI HAL TERSEBUT BUKANLAH MENGENAI MASALAH BELAJAR MENYEDERHANAKAN ARGUMEN NAMUN INI BERKAITAN DENGAN BAGAIMANA BELAJAR UNTUK MENGENALI SEGALA PERBEDAAN SECARA KESELURUHAN SERTA CARA BERPIKIR YANG JAUH LEBIH KOMPLEKS LAGI.

KEBOHONGAN TERSEBUT MEMILIKI DUA BENTUK YANG JUSTRU MENGABURKAN KEDUANYA. SALAH SATU DARI KEDUA BENTUK TERSEBUT MENGATAKAN BAHWA TEKNOLOGI SEBAGAI SATU BAGIAN DARI KESELURUHAN ADALAH "NETRAL", DIMANA "TEKNOLOGI" MUNGKIN SAJA SECARA SAMAR-SAMAR DIDEFINISIKAN SEBAGAI TEKNOLOGI INDUSTRI MODERN. BENTUK YANG LAIN MENGUNGKAPKAN BAHWA TIAP BAGIAN TEKNOLOGI ADALAH NETRAL. STRATEGI SAYA UNTUK MENYERANG BENTUK YANG KEDUA DAN MEMBUAT BENTUK YANG PERTAMA TERLIHAT MENYEDIHKAN ADALAH DENGAN MENYATAKAN BAHWA TAK ADA BAGIAN DARI TEKNOLOGI YANG NETRAL, BAHWA TIAP TEHNIK, TEKNOLOGI, DAN MESIN MEMILKI MOTIF DAN HUBUNGAN-HUBUNGAN TERSENDIRI.

PERTAMA, SAYA INGIN MENGUNGKAPKAN "KEANEHAN" KEBOHONGAN YANG BERKAITAN DENGAN DEFENISI YANG "NETRAL" SECARA INTERNAL. SESUATU DISEBUT NETRAL JIKA KAMU DAPAT MENCERITAKAN BAGAIMANA HAL TERSEBUT MEMBAWA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN. KAPAN KITA PERNAH PERNAH MENGGUNAKAN DEFENISI INI DALAM KEHIDUPAN YANG SESUNGGUHNYA? APAKAH KITA BISA MENGATAKAN BAHWA PEMBUNUHAN BERANTAI SEORANG PRIA ADALAH NETRAL KARENA PEMBUNUHAN TERSEBUT MEMERKOSA DAN MEMBUNUH WANITA HANYA DISEBABKAN OLEH WANITA TERSEBUT ADALAH SEORANG PENAGIH UTANG DAN PADA LAIN HAL PRIA TERSEBUT MEMILIKI PERANGAI YANG BERSAHABAT PADA ORANG DISEKELILINGNYA? JIKA KAMU BEKERJA DALAM SUATU PABRIK TIAP HARINYA UNTUK BELAJAR BAGAIMANA MENYABOTASE PADA MALAM HARI, APAKAH KAMU BERADA DI PIHAK YANG NETRAL PADA PABRIK TERSEBUT KARENA PADA SAAT YANG SAMA KAMU MENOLONG SEKALIGUS MENYERANGNYA? TENTU TIDAK! AKAN TETAPI PERTANYAAN-PERTANYAAN TERSEBUT ADALAH HAL YANG SAMA DENGAN ARGUMEN MENYEDIHKAN YANG DIGUNAKAN ORANG-ORANG UNTUK MENDEKLARASIKAN KENETRALAN TEKNOLOGI: TELEVISI ITU NETRAL KARENA TV TIDAK HANYA MEMBUAT KITA SEBAGAI KONSUMEN PASIF DARI SUBJEK KESERAGAMAN BUDAYA YANG BERADA DI BAWAH SATU PUSAT KONTROL, NAMUN HAL INI DAPAT MEMANCARKAN INFORMASI YANG BERGUNA. BENDUNGAN ITU NETRAL KARENA SEMENTARA MEREKA MENENGGELAMKAN EKOSISTEM DAN MEMBUAT IKAN-IKAN TIDAK BISA KEMANA-MANA, MEREKA JUGA MENGHASILKAN LISTRIK LEWAT BENDUNGAN. BAHKAN BOM ATOM SEKALIPUN ADALAH NETRAL JIKA KITA BISA MEMBAYANGKAN SUATU CERITA COCKAMAMIE TENTANG BETAPA BAIKNYA CERITA TERSEBUT.

PENIPUAN/KEBOHONGAN PADA LEVEL SELANJUTNYA ADALAH MENGATAKAN BAHWA "CARA KITA MENGGUNAKAN" TEKNOLOGI ADALAH HAL YANG PENTING. SEBAGAI MISAL, MOBIL ITU NETRAL KARENA KAMU BISA MENGGUNAKANNYA BERPINDAH DARI SATU TEMPAT KETEMPAT YANG LAIN, ATAU DENGAN SENGAJA MEMBAWA LARI SESEORANG. NAMUN SEBAGAIMANA YANG DINYATAKAN OLEH JAQUES ELLU, BAHWA PERNYATAAN TERAKHIR YANG DISEBUT BUKANLAH MENGENAI MASALAH KEGUNAAN--NAMUN HAL INI ADALAH SUATU KEJAHATAN. MENYEBUTNYA SEBAGAI SESUATU YANG BERGUNA DAPAT MENJERUMUSKAN PANDANGAN KITA KEDALAM RUANG ARTIFISIAL ANTARA PENGGUNAAN MOBIL SECARA NORMAL DAN KEJAHATAN, DAN BUKANNYA MENGEMBALIKANNYA PADA INTI PERMASALAHAN YANG SEBENARNYA --BERADA TEPAT DI TENGAH-TENGAH BIAS YANG EKSTRIM DALAM PENGGUNAAN MOBIL SECARA UMUM.

BAHKAN JIKA KITA MENGABAIKAN EKSPLOITASI DARI "RESOURCES," PERGESERAN ATAU PEMBUNUHAN MASYARAKAT ADAT, DAN PEMBUANGAN RACUN YANG MENJADI KEHARUSAN PABRIK MANUFAKTUR DAN BAHAN BAKAR MOBIL, BAHKAN JIKA KITA MENGABAIKAN JUTAAN BENTURAN YANG MEMATIKAN SERTA MENIMBULKAN KEBOCORAN YANG BERACUN, DAN KITA HANYA MELIHAT MOBIL SEBAGAI ALAT-ALAT MASYARAKAT KONSUMSI, MAKA KITA MASIH BISA MELIHAT DAMPAK BURUK YANG BISA TERJADI LAGI.

DENGAN MEMINDAHKAN KITA DARI ATAU TEMPAT KE TEMPAT LAINNYA DENGAN BEGITU CEPAT, MOBIL MEMBERI JARAK DALAM LINGKUNGAN KITA SECARA FISIK, DAN RUANG DALAM JARAK INI AKAN DIISI DENGAN JALAN DAN LAHAN PARKIR YANG MENAMPUNG SEMUA MOBIL. JALAN BERASPAL YANG TIDAK RAMAH LINGKUNGAN, KEHIDUPAN MASYARAKAT URBAN YANG SEMRAWUT, DAN MAL-MAL YANG PADA PRAKTEKNYA TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DALAM TEKNOLOGI AUTOMOBIL. DAN JUGA, UNTUK ALASAN YANG KOMPLEKS, KECEPATAN MELAMPAUI BATAS TERENDAH YANG MENJADI KETETAPAN SEBENARNYA SEMAKIN MENINGKATKAN MOBILITAS. JUGA, SEKALI JARAK INI TELAH DIMASUKKAN, KAMU MEMBUTUHKAN MOBIL UNTUK MELAKUKAN SEGALA HAL. UNTUK MEMPERLUAS PANDANGAN IVAN ILLICH, "JIKA KAU TINGGAL DI LOS ANGELES KAU TAK PERLU MENGGUNAKAN KAKIMU SUNDAL."

KENDARAI MOBILMU, DAN KITA TAK PERLU BERJALAN KAKI UNTUK MENEMPUH JARAK 40 MIL DALAM SEHARI MELALUI JALUR BEBAS -- BERGERAK CEPAT MELALUI JALAN ASPAL DAN MEMBENTUK KOMUNITAS KITA SECARA FISIK JADI ITULAH SEGALA HAL YANG KITA BUTUHKAN DALAM MENEMPUH JARAK-JARAK TERSEBUT. KITA MENGHEMAT WAKTU DALAM MOBILITAS, KITA MENCURAHKAN SEGALA WAKTU DAN ENERGI YANG KITA TEMPATKAN DI DALAM MOBIL-MOBIL, DAN KITA MEMEROLEH KEMBALI OTONOMI MELALUI KESEMPATAN YANG KITA DAPATKAN UNTUK MENGGUNAKAN KAKI KITA SENDIRI. DAN KITA JUGA MEMILIKI HUBUNGAN YANG LEBIH BAIK DENGAN ORANG LAIN. KARENA MOBIL MENGGERAKKAN KITA UNTUK MENINGGALKAN SEGALA HAL DENGAN BEGITU CEPATNYA, MEMBUAT KITA LEBIH TERTUTUP ANTARA SATU SAMA LAIN, MEREKA MENGISOLASI KITA DARI REALITA YANG BERADA DI SEKITAR KITA, DARI ORANG LAIN DAN ALAM, DAN MEREKA MEMUNGKINKAN KITA UNTUK MENGGANTI HUBUNGAN ERAT DENGAN JARAK YANG SANGAT SINGKAT. TANPA MEREKA KITA TERHUBUNG SECARA LANGSUNG DAN BERKAITAN DENGAN APA YANG ADA DIHADAPAN KITA; KITA MENGENALI TETANGGA-TETANGGA KITA DAN LINGKUNGAN KITA.

SAYA DAPAT MEMBUAT ARGUMEN YANG SAMA BERKAITAN DENGAN KOMPUTER, TELEVISI, SERTA LISTRIK, ATAU BAHKAN BAHASA YANG TELAH TERTULIS. AKAN TETAPI POINNYA DISINI ADALAH TIDAKLAH SEKEDAR/SESEDERHANA SEBAGAI BENTUK PENOLAKAN KESELURUHAN KATEGORI YANG BERKAITAN DENGAN DENGAN TEKNOLOGI, NAMUN LEBIH PADA BAGAIMANA KITA BELAJAR UNTUK MEMANDANG KESATUAN SERTA BERBAGAI MOTIF YANG TERBENTUK DALAM TEKNOLOGI ITU SENDIRI TANPA MEMPERDULIKAN SEGALA HAL YANG BERKAITAN DENGAN PENGGUNAANNYA, DAN TERMASUK PRAKTEK DI DALAMNYA ATAU PUN MENOLAK SEGALA TEKNOLOGI TERSEBUT YANG MENDASARI PEMAHAMAN INI.

DEFENISI UMUM DARI NILAI "GUNA" ITU SENDIRI MERUPAKAN TRIK BAHASA YANG SECARA TIDAK SADAR MEMBATASI APA YANG MASIH DAPAT TERNEGOSIASIKAN. PERLU DICATAT DI SINI BAHWA HAL TERSEBUT TIDAK HANYA BERKAITAN DENGAN PARA KONSUMER SERTA PARA AHLI MESIN, YANG SECARA SAMAR-SAMAR TELAH MEMBERIKAN IJIN UNTUK MENGGUNAKAN APA PUN DENGAN SEGALA CARA. APAKAH AUTOMOBILE ADALAH TEKNOLOGI, ATAUKAH PENGGUNAAN DARI MESIN PEMBAKARANNYA YANG MERUPAKAN TEKNOLOGI? APAKAH TEKNOLOGI PEMBAKARAN SECARA INTERNAL YANG MERUPAKAN TEKNOLOGI ATAUKAH PENGGUNAAN API/PENGAPIANNYA YANG MERUPAKAN TEKNOLOGI?

BEBERAPA MASYARAKAT PURBA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DARI RODA HANYA DALAM PEMBUATAN TEMBIKAR SAJA. AYO MARI BUAT YANG SEPERTI ITU....!! "TIDAK, TIDAK, MOBIL ADALAH TEKNOLOGI, KEGUNAANNYA BERGANTUNG PADA KEMANA SAYA AKAN MEMBAWANYA. ITULAH SATU-SATUNYA HAL YANG KALIAN IJINKAN UNTUK DIPERTANYAKAN."

Jika kalian tetap menginginkan diskusi ini tetap berlanjut, cepat atau lambat kalian akan mendengar sesuatu, misalnya "mobil dapat berfungsi dengan tenaga listrik bukannya dari hasil pembakaran bensin" atau "kita dapat menggunakan solar atau pun tenaga angin dan bukannya nuklir." Kemudian kalian dapat mengatakan bahwa mereka memilih untuk menggunakan satu diantara teknologi lainnya untuk kegunaan yang pada dasarnya sama. Jadi dengan semua ini mereka akan mengetahui segalanya bahwa teknologi tidaklah netral.


5. KITA TAK BISA KEMBALI.
SEPERTI DI ATAS, HAL INI ADALAH MURNI SEBAGAI DOKTRIN AGAMIS--TETAPI YANG SATU INI SANGAT JELAS SANGAT MENIPU DENGAN RUNTUHNYA PERADABAN LAMPAU DI SELURUH DUNIA DARI TIAP ORANG YANG INGIN "KEMBALI", DAN DENGAN KEBERUNTUNGAN ATAU OLEH INDIVIDU-INDIVIDU YANG CUKUP BERUNTUNG ATAU MENDAPAT PENGECUALIAN SEPANJANG SEJARAH YANG DIHEMPASKAN KELUAR OLEH SISTEM DAN MEMILIKI KEDEKATAN DENGAN ALAM. DALAM SATU HAL, BAGAIMANAPUN, HAL INI BENAR: MASYARAKAT YANG EKSPLOITATIF TIDAK BISA KEMBALI LAGI DAN HANYA DAPAT TERUS MENANJAK HINGGA MEREKA HANCUR BERKEPING-KEPING. UNTUK MENGHINDARI BERPIKIR LEBIH JERNIH MENGENAI HAL INI, KITA DAPAT MENGATAKAN PADA DIRI KITA SENDIRI HAL SEBAGAI BERIKUT:

". . . MASYARAKAT MENDEFENISIKAN "ALAMI" UNTUK MENGEKSPRESIKAN DAN MEMERTAHANKAN APA YANG MEREKA SUKAI BERKAITAN DENGAN KEHIDUPAN PEPOHONAN YANG DIGANTI DENGAN POHON-POHON PLASTIK, PADANG RUMPUT BERGANTI MENJADI LAHAN PARKIR, SUNGAI-SUNGAI YANG AIRNYA DAPAT DIMINUM MENJADI SUNGAI-SUNGAI YANG MENGANDUNG DIOXIN. INILAH APA YANG SAAT INI DIMAKSUDKAN YANG "ALAMIAH", DAN APABILA KITA TAK INGIN MATI KARENA KANKER DAN MENJADIKAN BUMI MENJADI GURUN PASIR BERACUN, KITA PUNYA SEBUAH TANGGUNG JAWAB UNTUK MEMBAHASAKAN KETERPISAHAN YANG ALAMIAH DARI YANG TIDAK ALAMIAH DAN MEMILIH YANG ALAMIAH DALAM ARTIAN YANG SEBENARNYA. . ."


6. Segalanya-atau-masa depan hampa.
Menurut cerita ini hanya ada dua kemungkinan: melanjutkan peradaban indutrial, ataukah mengakhiri secara total kehidupan di dunia. Melanjutkan peradaban secara umum berarti melanjutkan penggunaan mesin untuk mentransformasikan relasi sosial ke dalam pelegalan dominasi dan penghisapan atas diri kita sendiri. Bagi teknopilia ini bisa berarti menambang di planet-planet yang lain, atau realitas virtual yang lebih mendalam, bagi kaum liberal itu berarti memeroleh versi kehidupan kelas menengah keatas yang teridealisasikan dalam negara-negara kaya pada akhir abad 20-an, memperpanjang hal tersebut ke seluruh dunia, dan tetap terdefenisikan melalui pusat kontrol mekanis. Dan sekiranya peradaban kita runtuh -- jangan pernah menoleh! Tak ada apapun di sana, yang ada hanyalah amnesia absolut yang mengerikan di mana kita dapat berbicara hanya mengenai terma apa yang "harus" kita lakukan untuk mencegahnya. Manusia mengekspresikan hal ini dengan berbagai pengumuman-pengumuman menjengkelkan yang justru menyamarkan hal seperti "jika kita tidak mereduksi emisi rumah kaca sebanyak 50% dalam sepuluh tahun, maka hal itu akan sangatlah terlambat."

Terlambat untuk apa suntala'?

Tentu saja realitas adalah reforma yang dianjurkan secara politis adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidaklah cukup, bahwa peradaban kita adalah kereta yang sedang melaju dan akan tak akan pernah melamban hingga ia keluar dari jalurnya, dan masa depan yang ada akan larut dalam daerah terlarang untuk dilihat. Kepunahan dari 95% spesis termasuk manusia bukanlah suatu hal menyeramkan yang tak dapat terpikirkan namun adalah sebuah kemungkinan spesifik yang dapat kita pikir secara teliti. Kemungkinan yang lebih "lunak" adalah skenario perjalanan para pejuang dimana beberapa manusia bertahan di bumi yang tengah sekarat. Kelunakan tersebut masih dapat menjadi desentralisasi secara politis dan penyembuhan ekologi seperti yang mereka sebut dengan jaman "kegelapan" di Eropa setelah kejatuhan Roma. Poin saya adalah, kita mampu menyebarluaskan hal ini! Segala mimpi-mimpi dan aksi yang dapat memengaruhi dunia yang sedang kita cita-citakan, namun selama ini mereka berpikir kita tidak mampu memeliharanya.

Ada suatu masa di mana letupan ini akan menyebabkan kalian berhenti mencoba untuk menyelamatkan keseluruhan apa yang telah kau bangun dan menggantinya dengan menyelamatkan apa yang kau bisa selamatkan. Maksud dari "segalanya-atau-kebohongan hampa adalah untuk membendung perubahan mental ini, untuk menjaga perhatian kita agar tetap terhubung pada salah satu pilihan yang tersedia; Apakah menyelamatkan dunia sebagaimana yang kita ketahui selama ini, ataukah menyerah begitu saja. Bila kita melihat perbedaan dunia secara radikal adalah mungkin dan beberapa di antaranya akan segera terjadi, jika kita mulai mengimajinasikan dan giat membangun persaingan terhadap peradaban industrial, kita harus menyerang sistem "ekonomi" dan terlebih lagi menyakiti perasaan orang-orang yang telah menginvestasikan ego-ego mereka dalam kultur dominan saat ini. Cara lain mereka dalam melindungi egonya adalah dengan menciptakan kebohongan berikutnya:

7. Peradaban hanya terjadi sekali saja.
Ide-ide khas ini memiliki kesamaan dengan ide-ide di atas, tetapi kekurangan tersebut yang terjadi bukanlah sesuatu yang lain dari sistem yang diperadabkan, tetapi merupakan peradaban yang lain. dan versi anti-peradaban mengatakan bahwa jika kita mampu menjatuhkan peradaban saat ini, maka hal-hal buruk ini takkan pernah terjadi lagi. Saya sama sekali tidak tahu dari manakah orang-orang memperoleh ide-ide semacam itu, sekalipun mereka mengetahui sesuatu yang tidak saya tahu mengenai era baru transformasi dari kesadaran manusia. Pelajaran yang keras dari sejarah adalah bahwa setiap bagian dari peradaban sedang mengalami kejatuhan dan bersamaan dengan itu peradaban secara luas tetap saja mengeluarkan letupan-letupan kecil.

Saya mendefenisikan peradaban secara umum sebagai persekutuan antara kesadaran yang mendominasi dan eksploitasi yang memungkinkan secara teknis, menciptakan masyarakat yang secara sistemik mengambil lebih dari apa sepantasnya. Ya... minyak saat ini telah makin menyusut, akan tetapi peradaban sebelumnya telah mengalami jatuh-bangun ribuan tahun yang lampau tanpa minyak, dan saya melihat tak ada alasan sama sekali bagi mereka untuk melakukannya lagi. Pola umum tetap dapat berfungsi dengan baik, jika perlu, hanya bergantung kekuatan otot dari para budak dan hewan yang telah terdomestikasi. Dan ketika kalian bergantung pada segala logam serta peralatan berat yang senantiasa berbohong, dan kebiasaan yang masih terpelihara hingga kini, serta segala pengetahuan teknis yang masih`tetap terpelihara, semua hal tersebut sangat meyakinkan kita bahwa kita akan dilingkupi oleh peradaban-untuk bermain atau pun menentang-hingga kita menuju pada kemusnahan atau berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda dari sebelumnya ana' sundala...........................!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

_Green Anarchy
Issue #21
Fall/Winter 2005-06

Diterjemahkan oleh: Tinja Bersayap

Read More......

Kamis, 14 Mei 2009

REPRODUKSI KEHIDUPAN HARIAN

Fredy Perlman


Masyarakat tribal melalui aktifitas praksis hariannya, telah mereproduksi atau mengekalkan sebuah tribal itu sendiri. Reproduksi ini tidak hanya dilakukan secara fisikal, tetapi juga secara sosial. Melalui aktifitas hariannya tersebut, masyarakat tribal mereproduksi lebih dari sekedar sebuah kelompok manusia: mereka telah mereproduksi sebuah suku, yakni suatu bentuk tatanan sosial tertentu di mana kelompok manusia ini melakukan aktifitas-aktifitas spesifik dengan cara yang juga spesifik. Aktifitas-aktifitas spesifik ini bukanlah hasil karakteristik “alamiah” dari manusia yang melakukannya sebagaimana halnya cara madu diproduksi adalah sebuah hasil dari karakteristik alamiah seekor lebah. Aktifitas nyata kehidupan harian yang dikekalkan oleh masyarakat tribal ini adalah sebuah respon sosial yang spesifik dari kondisi-kondisi material dan historis tertentu.

Para budak melalui aktifitas hariannya, juga telah mereproduksi perbudakan. Melalui aktifitas hariannya, para budak tidak hanya mereproduksi diri mereka dan tuan mereka sendiri secara fisik; mereka juga mereproduksi perangkat-perangkat yang biasa digunakan oleh tuan-tuan mereka untuk merepresi mereka, serta kebiasaan mereka untuk patuh pada otoritas tuan-tuan mereka. Bagi seseorang yang hidup dalam sebuah masyarakat perbudakan, hubungan antara tuan dan budak tampak seperti sebuah hubungan yang alamiah dan abadi. Tapi toh bagaimanapun juga, sesungguhnya manusia tidak dilahirkan baik sebagai seorang budak ataupun seorang tuan. Perbudakan merupakan sebuah bentuk tatanan sosial yang spesifik dan manusia mematuhinya hanya dalam sebuah kondisi-kondisi material dan historis tertentu.

Sementara aktifitas praksis harian pekerja-upahan juga telah mereproduksi sistem kerja-upahan dan kapital. Melalui aktifitas hariannya, manusia “modern,” seperti halnya masyarakat tribal dan para budak, telah mereproduksi masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan idea-idea dari masyarakatnya; mereka mereproduksi bentuk tatanan sosial hidup harian. Seperti sistem tribal dan perbudakan, sistem kapitalis bukanlah sebuah sistem yang alamiah ataupun bentuk final bagi masyarakat manusia; seperti halnya bentuk tatanan sosial yang sebelumnya, kapitalisme juga hanya merupakan sebuah respon spesifik dari kondisi-kondisi material dan historis tertentu.

Tidak seperti bentuk aktifitas-aktifitas sosial sebelumnya, kehidupan harian dalam masyarakat kapitalis secara sistematis mentransformasikan kondisi-kondisi material yang pada awalnya direspon oleh kapitalisme. Beberapa batas material dalam aktifitas manusia secara berangsur-angsur masuk ke bawah kendali manusia. Dalam sebuah industrialisasi tingkat tinggi, aktifitas praksis menciptakan kondisi-kondisi material sebagaimana juga bentuk tatanan sosialnya sendiri. Dengan demikian, pembahasan analisisnya tidak hanya tentang bagaimana aktifitas praksis dalam masyarakat kapitalis telah dan terus mereproduksi masyarakat kapitalis, tetapi juga tentang bagaimana aktifitas ini dengan sendirinya mengeliminir kondisi-kondisi material di mana pada awalnya kapitalisme hadir sebagai responnya.



Kehidupan Harian dalam Masyarakat Kapitalis

Bentuk sosial dari aktifitas-aktifitas reguler masyarakat di bawah kapitalisme adalah sebuah respon dari sebuah situasi material dan historis tertentu. Kondisi-kondisi material dan historis ini menjelaskan asal mula bentuk kapitalis, tetapi sama sekali tidak menjelaskan bagaimana bentuk ini terus-menerus berlanjut setelah situasi awalnya lenyap. Sebuah konsep “cultural lag” bukanlah penjelasan dari keberlanjutan sebuah bentuk sosial setelah kondisi awal di mana ia merespon telah menghilang. Konsep ini hanyalah sebuah nama bagi keberlanjutan bentuk sosial ini. Ketika “cultural lag” terlihat sebagai sebuah nama bagi suatu “kekuatan sosial” yang menentukan aktifitas manusia, hal ini menjadi sebuah pengaburan yang mempresentasikan aktifitas masyarakat sebagai sebuah kekuatan external yang tak dapat mereka kontrol sama sekali. Ini tidak hanya berlaku bagi sebuah konsep seperti “cultural lag.” Banyak istilah-istilah yang digunakan oleh Marx untuk mendeskripsikan aktifitas dari masyarakat telah dibawa pada pengertian eksternal dan bahkan sebagai sebuah kekuatan “alamiah” yang menentukan aktifitas masyarakat; karenanya, konsep seperti “perjuangan kelas”, “hubungan produksi” dan khususnya “dialektika” dalam teori beberapa orang “Marxis” telah memainkan peranan yang sama dengan “dosa”, “nasib” dan “takdir” dari teori para pendongeng abad pertengahan.

Dalam melaksanakan aktifitas hariannya, anggota-anggota masyarakat kapitalis melakukan dua proses sekaligus: mereka mereproduksi bentuk aktifitas mereka dan sekaligus menghilangkan kondisi-kondisi material yang direspon oleh bentuk aktifitas ini pada awalnya. Namun mereka tidak menyadari bahwa mereka melakukan proses tersebut; aktifitas yang mereka lakukan sendiri sama sekali tidak transparan bagi mereka. Mereka berada di bawah ilusi bahwa aktifitas mereka merupakan respon dari kondisi-kondisi alamiah tak mampu mereka kontrol, serta tidak melihat bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang sesungguhnya menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Tugas ideologi kapitalis adalah untuk terus memberi tabir agar masyarakat tidak mampu melihat bahwa mereka sendirilah yang sebenarnya mereproduksi bentuk hidup harian mereka dengan aktifitas-aktifitas mereka; dan telah menjadi tugas bagi teori kritis untuk membuka tabir aktifitas-aktifitas harian masyarakat, membuatnya transparan, untuk membuat reproduksi bentuk sosial aktifitas kapitalis tampak jelas dalam aktifitas harian masyarakat.


Di bawah kapitalisme, hidup harian diisi oleh aktifitas-aktifitas yang saling berhubungan yang mereproduksi dan memperluas bentuk aktifitas sosial kapitalis. Penjualan waktu kerja demi sebuah upah (gaji), penjelmaan waktu kerja ke dalam komoditi (barang yang dapat dijual, baik yang nyata maupun yang tak nyata), konsumsi komoditi nyata dan tak nyata (seperti barang-barang konsumer dan spektakular)—aktifitas-aktifitas yang menjadi karakteristik kehidupan harian di bawah kapitalisme ini bukanlah manifestasi dari sifat “alamiah manusia”, bukan juga sesuatu yang dipaksakan kepada menusia oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar kendalinya.


Jika memang benar bahwa seluruh manusia itu alamiahnya adalah anggota masyarakat tribal yang tidak berdaya-cipta dan seorang pengusaha yang berdaya-cipta, seorang budak yang patuh dan seorang pengrajin yang penuh kebanggaan, seorang pemburu yang mandiri dan seorang pekerja-upahan yang tidak mandiri, maka “sifat alami manusia” bisa jadi hanyalah sebuah konsep yang kosong, atau pada faktanya “sifat alami” manusia ditentukan oleh kondisi-kondisi material dan historisnya, dan memang pada faktanya “sifat alami” manusia hanyalah sebuah respon dari kondisi-kondisi tersebut.



Alienasi Aktifitas Hidup

Dalam masyarakat kapitalis, aktifitas kreatif mengambil bentuk dalam produksi komoditi, yakni produksi barang-barang yang dapat dipasarkan, dan karenanya aktifitas manusiapun juga mengambil bentuk komoditi-komoditi. Kemampuan untuk dijual ataupun laris di pasaran, merupakan karakteristik universal dari seluruh aktifitas praktis dan semua produk.

Hasil-hasil produksi aktifitas manusia yang penting dalam proses bertahan hidup juga memiliki bentuk sebagai barang-barang yang dapat dijual: barang-barang yang hanya tersedia apabila dipertukarkan dengan uang. Dan uang juga hanya tersedia untuk dipertukarkan dengan komoditi. Jika sebagian besar manusia menerima legitimasi dari kesepakatan-kesepakatan ini, jika mereka menerima kesepakatan bahwa komoditi adalah sebuah prasyarat untuk mendapatkan uang dan uang adalah suatu prasyarat bagi proses bertahan hidup mereka, maka mereka akan menemukan diri mereka sendiri terkunci dalam sebuah lingkaran yang kejam. Karena mereka tidak memiliki komoditi, satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kejam ini adalah dengan menganggap diri mereka sendiri, atau beberapa bagian dari diri mereka sendiri, sebagai komoditi. Dan inilah, yang pada kenyataannya, sebuah “solusi” ganjil yang diberikan manusia pada diri mereka sendiri di hadapan kondisi-kondisi material dan historis yang spesifik. Mereka tidak menukar tubuh mereka, atau sebagian dari tubuh mereka untuk uang. Mereka menukarkan daya kreatif dari hidup, aktifitas praksis harian mereka, demi uang.


Sesegera manusia menerima uang sebagai sesuatu yang berbanding sama dengan hidup, maka penjualan aktifitas hidup menjadi sebuah kondisi dari proses bertahan hidup mereka secara fisikal maupun sosial. Hidup telah dipertukarkan dengan proses bertahan hidup. Kreasi dan produksi dimaknai sebagai aktifitas berjualan. Aktifitas manusia dianggap “produktif”, berguna bagi masyarakat, hanya jika aktifitas ini dapat dijual. Dan manusia sendiri adalah seorang anggota produktif dari masyarakat hanya jika aktifitas hidup harian mereka dapat dijual. Sesegera manusia menerima syarat-syarat pertukaran seperti ini, aktifitas harian mengambil bentuk prostitusi universal.


Penjualan tenaga kreatif, atau penjualan aktifitas harian, mengambil bentuknya dalam kerja. Kerja adalah suatu bentuk aktifitas manusia yang spesifik secara historis. Kerja adalah aktifitas abstrak yang hanya memiliki satu khasiat: ia dapat dipasarkan, ia dapat dijual untuk sejumlah uang yang diberikan. Kerja adalah aktifitas yang tak berbeda: tak berbeda dalam artian tugas yang dilakukan dan tak berbeda dalam artian terutama pada subjek di mana tugas itu ditujukan. Menggali, mencetak dan mengukir adalah aktifitas yang berbeda, namun ketiganya adalah sama-sama kerja dalam masyarakat kapitalis. Kerja adalah sekedar “memperoleh uang.” Aktifitas hidup yang mengambil bentuk kerja adalah sebuah proses untuk memperoleh uang. Hidup menjadi sebuah proses bertahan hidup.


Pembalikan yang ironis ini bukanlah klimaks dramatis dari novel yang imajinatif; ini adalah sebuah fakta tentang hidup harian dalam masyarakat kapitalis. Bertahan hidup, katakanlah pelestarian diri dan reproduksi, menjadi bukan lagi proses bagi aktifitas praksis yang kreatif, melainkan jelas-jelas justru kebalikannya. Aktifitas kreatif dalam bentuk kerja, katakanlah aktifitas berjualan, adalah sebuah keharusan menyakitkan untuk bertahan hidup; kerja adalah proses bagi pelestarian diri dan reproduksi.

Penjualan aktifitas hidup membawa satu pembalikan yang lain lagi. Melalui penjualan, kerja dari seorang individu menjadi “milik” individu lain, kerja tersebut diambil oleh individu lain, kerja tersebut menjadi berada di bawah kontrol individu lain. Dengan kata lain, aktifitas seseorang menjadi aktifitas orang lain, aktifitas pemiliknya; akibatnya aktifitas tersebut menjadi asing bagi orang yang melakukannya. Dengan demikian, hidup seseorang, pencapaian-pencapaian seorang individu dalam dunia, perbedaan yang ia buat dalam perjalanan hidup kemanusiaan, tidak hanya tertransformasikan ke dalam kerja, sebuah kondisi menyakitkan untuk bertahan hidup; hidup tertransformasikan ke dalam aktifitas yang asing, aktifitas yang dilakukan oleh si pembeli kerja. Dalam masyarakat kapitalis, arsitek, ahli mesin, pekerja, bukanlah mereka yang membangun; orang-orang yang membeli kerja merekalah yang membangun; proyek-proyek, kalkulasi-kalkulasi dan gerak yang mereka lakukan adalah sesuatu yang asing bagi diri mereka sendiri; aktifitas hidup mereka, pencapaian-pencapaian yang mereka lakukan, dimiliki oleh sang pembeli kerja.

Para sosiolog akademik, yang menganggap penjualan kerja ini sebagai sesuatu yang lumrah, memahami keterasingan kerja ini sebagai sebuah perasaan: aktifitas pekerja “tampak” asing bagi pekerjanya, ia “tampak” dikontrol oleh orang lain. Bagaimanapun juga, setiap pekerja dapat menjelaskan pada para sosiolog akademik bahwa keterasingan bukanlah sebuah perasaan ataupun hanya sebuah idea yang ada dalam otak pekerja, melainkan sebuah fakta nyata tentang hidup harian pekerja. Aktifitas penjualan pada faktanya asing bagi pekerja; kerja yang dilakukan pada faktanya dikontrol oleh sang pembeli kerjanya.


Dari pertukaran atas penjualan aktifitasnya, pekerja mendapatkan uang, proses bertahan hidup yang secara konvensional telah diterima dalam masyarakat kapitalis. Dengan uang ini, ia dapat membeli komoditi, berbagai hal, namun ia tidak dapat membeli kembali aktifitasnya sendiri. Hal ini memperlihatkan adanya “jurang” yang ganjil dalam konsep uang sebagai “pembanding universal.” Seseorang dapat menjual komoditi demi uang, dan ia dapat membeli komoditi dengan uang. Ia dapat menjual aktifitas hidupnya demi uang, tapi ia tidak dapat membeli aktifitas hidupnya itu dengan uang.


Benda-benda yang dibeli oleh pekerja dengan upahnya pertama-tama adalah barang-barang konsumer yang dapat memungkinkan pekerja tersebut untuk terus bertahan hidup, untuk mereproduksi tenaga kerjanya agar ia dapat terus menjualnya; dan semua itu menjadi spectacle, obyek bagi kekaguman yang pasif. Ia mengkonsumsi dan mengagumi produk-produk dari aktifitas manusia dengan pasif. Ia tidak eksis di dunia ini sebagai seorang agen yang aktif mentransformasikannya, melainkan sebagai seorang yang tak berdaya, seorang spektator yang impoten; ia bisa saja menganggap pengertian dari ketidakberdayaan yang dikaguminya ini sebagai “kebahagiaan,” dan sejak kerja adalah sesuatu yang menyakitkan, ia mungkin menghasrati “bahagia,” katakanlah ketidakaktifan, untuk sepanjang hidupnya (sebuah kondisi yang mirip dengan terlahir mati). Komoditi, spectacle-spectacle, mengkonsumsi dirinya; ia menggunakan energi hidup ke dalam kekaguman yang pasif; ia dikonsumsi oleh berbagai benda. Dalam pengertian ini, semakin banyak ia memiliki, maka semakin berkuranglah dirinya. (Seorang individu bisa saja mengatasi mati-selagi-hidup ini dengan melakukan aktifitas kreatif sampingan; tapi populasi tidak bisa, kecuali dengan cara mengabolisi bentuk kapitalis dari aktifitas praktis, dengan mengabolisi kerja-upahan, dan dengan demikian juga menghilangkan keterasingan aktifitas kreatif).



Fetishisme Komoditi

Dengan mengalienaskani aktifitas mereka sendiri dan mewujudkannya dalam bentuk komoditi, orang-orang mereproduksi diri mereka sendiri dan menciptakan kapital melalui wadah materialnya yaitu: kerja manusia.

Dari sudut pandang ideologi kapitalis, dan khususnya ilmu-ilmu Ekonomi akademik, pernyataan berikut bukanlah sesuatu yang benar: komoditi-komoditi “bukanlah produk dari pekerja saja”; tetapi juga diproduksi oleh “faktor primordial dari produksi”. Tanah, Tenaga Kerja, dan Kapital, atau apa yang sering disebut sebagai Trinitas Suci kapitalis, dan “faktor” utamanya jelas pahlawan di antara bagian tersebut, kapital.


Trinitas suci ini bukanlah sebuah analisa, semenjak para ahli-ahli ekonomi tidak dibayar untuk menganalisa. Mereka dibayar untuk melakukan pengaburan, untuk menopengi bentuk sosial dari aktifitas praksis di bawah kapitalisme, untuk menyelubungi fakta bahwa para produsen mereproduksi diri mereka sendiri, para eksploitator mereka dan juga perangkat-perangkat yang menjadi alat eksploitasi mereka. Formula Trinitas tidak cukup meyakinkan untuk mengungkap kenyataan ini. Sudah lumrah bagi kita bahwa tanah tidak lebih dari sekedar produsen komoditi sebagaimana juga air, udara atau matahari Terlebih lagi Kapital, yang dulu pernah menjadi nama bagi hubungan sosial yang terjadi antara para pekerja dan para kapitalis, nama bagi perangkat produksi yang diimilki oleh si kapitalis, dan nama bagi uang yang berharga sama dengan perangkatt produksi dan “aset-aset” milik kapitalis tersebut, tidak mereproduksi apapun selain ejakulasi-ejakulasi yang dikikis ke dalam bentuk-bentuk materi publikasi oleh para ekonom akademik. bahkan perangkat-perangkat produksi yang merupakan kapital bagi seorang kapitalis adalah “faktor produksi” primordial hanya jika seseorang membutakan batas pandangnya pada satu firma kapitalis yang terisolir, semenjak pandangan menyeluruh atas sistem ekonomi akan menjelaskan bahwa kapital dari seorang kapitalis merupakan wadah material dari alienasi para pekerja bagi kapitalis lainnya. Bagaimanapun juga, walaupun formula Trinitas ini tidak meyakinkan, ia telah melakukan tugasnya dalam pengaburan dengan cara menukar subyek dari pertanyaan: bukannya menanyakan mengapa aktifitas orang-orang di bawah kapitalisme mengambil bentuk pekerja-upahan, para analis yang potensial dari kehidupan harian kapitalis akan mentransformasikannya ke dalam pola yang ditanyakan oleh para akademisi Marxis rumahan yang mempertanyakan apakah benar pekerja adalah satu-satunya “faktor produksi”.


Dengan demikian, para ekonom (dan ideologi kapitalis pada umumnya) memperlakukan tanah, uang dan hasil kerja sebagai hal-hal yang memiliki kekuatan untuk memproduksi, menciptakan nilai, untuk bekerja bagi pemiliknya, untuk mentransformasikan dunia. Inilah apa yang oleh Marx disebut sebagai fetishisme yang mengkarakteristikan konsep keseharian masyarakat, yang telah dibesarkan hingga pada level dogma oleh para ekonom. Bagi para ekonom, orang hidup adalah benda (“faktor produksi”), dan benda adalah sesuatu yang hidup (uang “bekerja”, Kapital “memproduksi”).


Para pemuja fetish menghargai produk dari aktifitasnya sendiri sebagai fetish. Sebagai hasilnya, ia berhenti menggunakan kekuatannya sendiri (kekuatan untuk mentransformasikan alam, kekuatan untuk menentukan bentuk dan isi dari kehidupan hariannya); ia hanya menghentikan “kekuatan-kekuatan” tersebut yang kemudian ia persembahkan pada fetishnya (“kekuatan” untuk membeli komoditi-komoditi). Dengan kata lain, para pemuja fetish mengebiri diri mereka sendiri dan lebih menghargai kejantanan fetishnya.


Tapi fetish adalah sebuah benda mati, bukan sesuatu yang hidup: ia tak memiliki gairah hidup. Fetish tak lebih dari sekedar benda yang mana, dan melaluinya, relasi kapitalis dimapankan. Kekuatan misterius dari Kapital, “kekuatannya” untuk memproduksi, dayanya, tidaklah terkandung di dalam Kapital itu sendiri, melainkan terkandung dalam fakta bahwa orang-orang mengalienasikan aktifitas kreatif mereka, menjual tenaga kerja mereka pada para kapitalis, mematerialisasikan atau mereifikasikan tenaga kerja mereka yang telah teralienasikan ke dalam komoditi. Dengan kata lain, manusia dibeli oleh produk dari aktifitas mereka sendiri, di mana mereka menganggap bahwa aktifitas mereka sendiri adalah aktifitas Kapital dan juga produk-produk yang mereka hasilkan adalah produk-produk dari Kapital. Dengan menghargakan kekuatan kreatif mereka pada Kapital, mereka mempersembahkan aktifitas hidup mereka, kehidupan harian mereka, pada Kapital, yang berarti juga bahwa manusia memberikan diri mereka sendiri, setiap hari, kepada personifikasi Kapital, yaitu sang kapitalis.


Dengan menjual tenaga kerja mereka, mengalienasikan aktifitas mereka, orang-orang setiap hari mereproduksi personifikasi-personifikasi bentuk dominan aktiftas di bawah kapitalisme, mereka mereproduksi bentuk pekerja-upahan dan bentuk kapitalis. Mereka tidak saja mereproduksi individual-individual secara fisikal namun juga secara sosial; mereka mereproduksi individual-individual yang menjadi para penjual tenaga kerja, dan individual-individual yang menjadi para pemilik produksi; mereka mereproduksi individual termasuk aktifitas-aktifitas spesifiknya, penjualannya dan juga kepemilikannya.

Setiap kali orang-orang melakukan aktifitas yang bukan demi diri mereka sendiri dan berada di luar kendali mereka sendiri, setiap kali mereka membayar untuk barang-barang yang telah mereka produksi dengan uang yang mereka terima dari hasil pertukaran aktifitas mereka yang teralienasikan, setiap kali mereka secara pasif memuja produk-produk dari aktiftas mereka sendiri sebagai benda asing yang didapatkan oleh uangnya, mereka memberikan nafas kehidupan baru pada Kapital dan mematikan hidup mereka sendiri.

Tujuan dari proses ini adalah untuk mereproduksi hubungan antara pekerja dan kapitalis. Namun bagaimanapun juga, ini bukanlah tujuan dari para pelaku individual yang berkutat di dalamnya. Aktifitas yang mereka lakukan ini tidak tampak jelas bagi mereka; mata mereka terpaku pada fetish yang berada di antara aksi dan hasil akhirnya. Para pelaku aktifitas ini menancapkan mata mereka hanya pada benda-benda, sesuatu yang berada tepat di mana hubungan-hubungan kapitalis dimapankan.

Pekerja sebagai seorang pemroduksi bertujuan mempertukarkan kerja harian mereka dengan uang-gaji, tujuannya jelas adalah benda yang mana melaluinya hubungannya dengan sang kapitalis dimapankan kembali, benda yang mana melaluinya ia mereproduksi dirinya sendiri sebagai seorang pekerja upahan dan yang lain sebagai seorang kapitalis. Pekerja sebagai konsumer mempertukarkan uangnya untuk hasil produksi kerjanya, tepatnya benda-benda yang mana oleh sang kapitalis dijual untuk merealisasikan Kapital-nya.


Transformasi harian aktifitas kehidupan ke dalam Kapital, dimediasikan oleh benda-benda, bukannya dilakukan oleh benda-benda. Para pemuja fetish tidak mengetahui hal ini; baginya, kerja, tanah, perangkat-perangkat dan uang, para pengusaha dan bankir, semuanya adalah “faktor” dan “pelaku”. Ketika seorang pemburu menggunakan jimat saat menjatuhkan seekor rusa dengan batu, ia mungkin saja menganggap jimatnya sebagai “faktor” penting dalam menjatuhkan rusa dan bahkan juga dalam menyediakan rusa sebagai obyek untuk dijatuhkan. Apabila pemburu ini seorang yang beretanggung jawab dan pemuja fetish yang berpendidikan tinggi, maka ia akan mengerucutkan perhatiannya pada jimat ini, merawatnya dengan seksama dan penuh rasa sayang; dengan tujuan meningkatkan kondisi-kondisi material kehidupannya, ia akan meningkatkan cara ia menggunakan fetishnya, bukan bagaimana cara ia melempar batu; dalam sebuah ikatan, ia bahkan mungkin akan mengirimkan jimatnya untuk berburu untuknya. Aktifitas-aktifitas hariannya tidak tampak jelas baginya: saat ia makan dengan baik, ia gagal untuk melihat bahwa itu adalah karena aksinya dalam melempar baru, dan bukan aksi jimat, yang telah berhasil menyediakan makanan baginya; saat ia lapar, ia gagal melihat bahwa itu adalah karena aksi pemujaan terhadap jimatnya, bukan aksi berburunya, dan bukan kegusarannya terhadap fetishnya, yang menyebabkan ia kelaparan.


Fetishisme komoditi dan uang, mistifikasi aktifitas-aktifitas hidup harian seseorang, agama harian yang membuat aktifitas hidup menjadi benda-benda tak nyata, bukanlah sebuah mental yang terlahir mendadak dalam imajinasi manusia; ia memiliki karakter yang berakar dari relasi sosial di bawah kapitalisme. Apa yang seseorang lakukan dalam faktanya selalu berhubungan dengan orang lain melalui benda-benda; fetish dalam faktanya adalah sebuah kondisi di mana mereka beraksi secara kolektif, dan melaluinya juga mereka mereproduksi aktifitas mereka. Tetapi bukan fetish yang melakukan aktifitas tersebut. Bukan Kapital yang mentransformasikan bahan mentah, bukan pula Kapital yang yang memproduksi barang. Apabila aktifitas hidup tidak mentransformasikan material-material, maka semuanya tak akan ada yang tertransformasikan, semuanya akan tetap tak berdaya dan sekedar benda mati. Apabila seseorang tidak ingin terus menjual aktifitas hidupnya, akan terbukalah impotensi Kapital; Kapital akan terhapus dari eksistensinya; potensi terakhirnya akan terus membuat orang-orang tetap melewati kehidupan hariannya yang secara karakteristik merupakan sebuah pelacuran universal.


Pekerja mengalienasikan hidupnya agar supaya mempertahankan hidupnya. Apabila ia tidak menjual aktifitas hidupnya ia tak akan mendapat upah dan tak akan dapat bertahan hidup. Namun bagaimanapun juga, bukanlah upah yang mengalienasikan kondisi bertahan hidup. Apabila manusia secara kolektif tidak ingin terus menjual aktifitas hidupnya, memilih mengambil alih kontrol atas aktifitas-aktifitas mereka sendiri, maka pelacuran universal tak akan menjadi sebuah kondisi bertahan hidup. Adalah posisi manusia yang terus menjual tenaga mereka, dan bukan karena benda-benda yang membuat mereka menjual tenaganya, yang membuat alienasi aktifitas kehidupan menjadi penting untuk dihapuskan dari kehidupan.


Aktifitas hidup yang dijual oleh pekerja dibeli oleh kapitalis. Dan hanya aktifitas hiduplah yang menghembuskan nafas kehidupan pada Kapital dan membuatnya “produktif”. Kapitalis, seorang “pemilik” bahan baku dan perangkat-perangkat produksi, merepresentasikan barang-barang alami dan hasil-hasil kerja dari tenaga orang lain, sebagai “kepemilikan privat”nya sendiri. Tetapi ini bukanlah kekuatan misterius Kapital yang menciptakan “kepemilikan privat” bagi kapitalis; aktifitas hiduplah yang menciptakan “kepemilikan” dan bentuk aktifitas tersebutlah yang membuatnya menjadi tetap “privat”.



Transformasi Aktifitas Hidup ke dalam Kapital

Transformasi aktifitas hidup ke dalam kapital diakomodir setiap hari melalui benda-benda, tetapi tidak dilaksanakan oleh benda-benda tersebut. Benda-benda yang mana merupakan produk-produk dari aktifitas manusia tampak sebagai agen-agen yang aktif karena berbagai kontak dan aktifias dilakukan untuk dan melalui benda-benda tersebut, dan karena berbagai aktifitas manusia tidak transparan bagi diri mereka sendiri; mereka mencampur adukkan antara barang yang memediasi dengan penyebab semuanya itu dapat terjadi.

Dalam proses produksi kapitalis, pekerja mewujudkan atau mematerialisasikan energi hidupnya yang teralienasi ke dalam sebuah barang yang tidak berdaya dengan menggunakan berbagai perangkat yang merupakan perwujudan aktifitas orang lain. (Berbagai perangkat industri yang rumit mewujudkan aktifitas intelektual maupun manual dari berbagai generasi yang tak terhitung jumlahnya yang menjadi penemu, pengembang dan produsen dari seluruh penjuru dunia dan berbagai macam bentuk masyarakat.) Berbagai perangkat itu sendiri sebenarnya adalah barang-barang yang tak berdaya; yang merupakan perwujudan material dari aktifitas hidup, namun perangkat-perangkat tidak hidup dengan sendirinya. Satu-satunya agen aktif dalam proses produksi adalah yang hidup dan mengerjakannya. Ia menggunakan produk kerja orang lain dan mengisinya dengan kehidupan, maka dapat dikatakan bahwa hidup tetaplah miliknya sendiri; ia tak mampu menghidupkan kembali individu-individu yang telah menyimpan aktifitas hidupnya dalam perangkat-perangkat yang ia gunakan.

Perangkat-perangkat tersebut dapat saja membuatnya melakukan sesuatu lebih banyak dalam waktu yang diberikan, dan dalam pengertian ini, perangkat-perangkat tersebut dapat meningkatkan produktifitasnya. Tetapi hanya pekerja hidup yang mampu melakukan produksilah yang dapat menjadi produktif.


Sebagai contoh, saat seorang pekerja industri menggunakan sebuah mesin elektrik, ia menggunakan berbagai produk kerja dari berbagai generasi ahli fisika, penemu, ahli mesin, para pembuat mesin. Pekerja ini tentunya jauh lebih produktif dibandingkan dengan seorang pengrajin yang membuat benda yang sama dengan menggunakan tangan. Tetapi bukan lantas berarti bahwa “Kapital” yang dihasilkan oleh pekerja industri tersebut menjadi lebih “produktif” dibandingkan “Kapital” sang pengrajin. Apabila saja berbagai generasi intelektual dan aktifitas manual tidak mewujudkan aktifitasnya dalam mesin elektrik, apabila sang pekerja industri harus menciptakan mesin, listrik, dan mesin elektrik, maka akan dibutuhkan waktu yang nyaris sepanjang hidup bagi sang pekerja industri tersebut untuk mengubah sebuah benda menjadi sebuah mesin elektrik, dan tidak akan ada sejumlah Kapital yang dapat meningkatkan produktifitasnya melebihi sang pengrajin yang membuat bendanya dengan menggunakan tangan.


Sebutan bagi “produktifitas kapital” dan khususnya ukuran detail dari “produktifitas” adalah hasil temuan-temuan para Ekonom yang “ilmiah”, agama kehidupan harian kapitalis yang menggunakan enersi masyarakat dalam penyembahan, pemelukan dan penyanjungan fetish utama masyarakat kapitalis. Kolega-kolega mediaval dari para “ilmuwan” ini menggunakan ukuran-ukuran detail dari tinggi dan lebar para malaikat di Surga, tanpa pernah mempertanyakan apakah malaikat ataupun Surga itu sendiri, dan menerima begitu saja keberadaan keduanya.


Hasil dari penjualan aktifitas pekerja ini adalah sebuah produk yang tidak lagi menjadi milik sang pekerja itu sendiri. Produk ini merupakan perwujudan dari kerjanya, sebuah materialisasi dari sebagian hidupnya, sebuah wadah yang berisi aktifitas hidupnya, tetapi produk itu sendiri bukanlah miliknya; produk tersebut menjadi sesuatu yang asing baik baginya maupun bagi aktifitas kerjanya. Yang memutuskan untuk membuat produk tersebut juga bukan sang pekerja, dan ketika produk tersebut dibuat bukan sang pekerja juga yang mengaturnya. Apabila ia menginginkan produk tersebut, ia harus membelinya. Apa yang dibuat oleh sang pekerja bukanlah semata-mata sebuah produk yang memiliki berbagai kegunaan; karenanya sang pekerja tak perlu menjual kerjanya bagi seorang kapitalis untuk dipertukarkan dengan sejumlah upah; ia hanya perlu mengambil beberapa material yang dibutuhkan serta alat-alat yang tersedia, ia hanya harus membentuk material-material tersebut dipandu dengan tujuan-tujuan yang ingin ia capai dan hanya dibatasi oleh pengetahuan dan kemampuannya. (Umumnya seorang individu hanya dapat melakukan aktifitas sebagai sampingan; pengambilan dan penggunaan berbagai material dan alat oleh orang-orang hanya dapat terjadi setelah penggulingan bentuk aktifitas kapitalis.)


Apa yang diproduksi oleh pekerja di bawah berbagai kondisi kapitalis adalah sebuah produk dengan guna yang juga sangat spesifik, guna untuk dijual. Apa yang diproduksi oleh aktifitasnya yang telah teralienasi adalah sebuah komoditi.


Karena produksi kapitalis adalah produksi komoditi, maka pernyataan bahwa tujuan proses produksi tersebut adalah demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi sepenuhnya palsu; proses produksi tersebut adalah sebuah rasionalisasi dan apologi. “Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia” bukanlah tujuan dari kapitalis atau para pekerja yang terlibat dalam produksi, bukan juga hasil dari proses tersebut. Pekerja menjual kerjanya demi mendapat upah; apapun kandungan spesifik dari kerjanya baginya sama saja; ia tidak akan mengalienasikan kerjanya kepada seorang kapitalis yang tidak memberikan upah sebagai pertukaran atas kerjanya, tidak peduli seberapa banyak kebutuhan manusia yang dapat terpenuhi oleh produk kapitalis tersebut. Sang kapitalis membeli kerja dan menempatkannya dalam proses produksi untuk digabungkan dengan berbagai komoditi yang dapat dijual. Ia tidak peduli kegunaan-kegunaan khusus dari produknya, sama seperti ia yang tak peduli dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat; apa yang menarik hatinya dalam sebuah produk adalah seberapa menguntungkan produk itu dapat dijual, dan segala sesuatu yang menarik hatinya berkaitan dengan kebutuhan masyarakat adalah sebanyak apa yang masyarakat “butuhkan” untuk membeli dan bagaimana mereka dapat dipengaruhi melalui propaganda dan pengkondisian psikologis agar selalu “butuh” lebih. Tujuan kapitalis adalah untuk memenuhi kebutuhannya untuk terus memproduksi dan memperbesar Kapital, dan hasil dari proses ini adalah perluasan produksi kerja-upahan dan Kapital (yang mana artinya bukanlah “kebutuhan-kebutuhan manusia”).


Komoditi yang diproduksi oleh pekerja dipertukarkan oleh kapitalis dengan sejumlah khusus uang; komoditi adalah sebuah nilai yang dipertukarkan untuk sebuah nilai yang setara. Dengan kata lain, hidup dan materialisasi kerja masa lalu dapat eksis dalam dua bentuk yang berbeda tetapi setara, yaitu dalam komoditi dan dalam uang, ataupun juga dalam bentuk nilai, sesuatu yang umum bagi keduanya. Ini bukan berarti nilai adalah kerja. Nilai adalah sebuah bentuk sosial dari reifikasi (materialisasi) kerja dalam masyarakat kapitalis.


Dalam kapitalisme berbagai hubungan sosial tidak dibangun secara langsung; semuanya dibangun melalui nilai. Aktifitas harian tidak dipertukarkan secara langsung; tetapi dipertukarkan dalam bentuk nilai. Konsekuensinya, apa yang terjadi pada aktifitas hidup dalam kapitalisme tak dapat dilacak dengan mengamati aktifitas itu sendiri, tetapi hanya dengan cara menyusuri metamorfosis nilai.

Ketika aktifitas hidup masyarakat mengambil bentuk kerja (aktifitas yang teralienasi), aktifitas tersebut membutuhkan benda-benda yang dimiliki untuk dipertukarkan; aktifitas tersebut membentuk nilainya. Dengan kata lain, kerja dapat dipertukarkan dengan sejumlah uang (upah) yang setara.

Pengalienasian aktifitas hidup yang dilakukan dengan sengaja, yang mana dirasa oleh anggota-anggota masyarakat kapitalis sebagai sesuatu yang penting untuk dapat bertahan hidup, telah mereproduksi bentuk kapitalis dalam hal di mana alienasi dibutuhkan agar dapat bertahan hidup. Karena adanya fakta bahwa aktifitas hidup terwujud dalam bentuk nilai, maka produk-produk dari aktifitas tersebut juga harus terwujud dalam bentuk nilai: yaitu bahwa produk-produk tersebut harus dapat dipertukarkan dengan uang. Hal ini telah jelas semenjak apabila produk kerja tidak terwujud dalam bentuk nilai, misalnya terwujud dalam bentuk barang-barang yang berguna bagi pembangunan masyarakat, maka produk-produk tersebut akan tetap tersimpan dalam pabrik atau juga akan dapat diambil dengan cuma-cuma oleh anggota-anggota masyarakat saat hadir kebutuhan akan produk-produk tersebut; dalam kasus lain, upah-uang yang diterima oleh para pekerja tidak memiliki nilai, dan aktifitas hidup tak dapat dijual untuk sejumlah uang yang setara; aktifitas hidup tak dapat dialienasikan. Konsekuensinya, begitu aktifitas hidup terwujud dalam bentuk nilai, reproduksi kehidupan harian terjadi melalui perubahan-perubahan atau metamorfosis-metamorfosis nilai.


Sang kapitalis menjual produk-produk hasil kerja dalam sebuah pasar; ia mempertukarkannya dengan sejumlah uang yang setara; ia menyadari akan sebuah nilai yang menjadi penentu. Besaran spesifik nilai tersebut ini di sebuah pasar tertentu merupakan harga komoditi-komoditi. Bagi para Ekonom akademik, Harga adalah kunci milik Santo Petrus untuk membuka gerbang surga. Layaknya Kapital sendiri, Harga bergerak dalam sebuah dunia menakjubkan yang seluruhnya penuh berisi barang; barang-barang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lain, mengkomunikasikan satu sama lain; mereka menikahkan dan menghasilkan anak-anak. Dan tentunya semua itu hanya dapat terwujud melalui berkah barang-barang yang intelek, kuat dan kreatif yang dengannya orang akan sangat berbahagia dalam masyarakat kapitalis.


Untuk merepresentasikan bagaimana Surga bekerja melalui gambaran seorang Ekonom, para malaikat mengerjakan semuanya sementara manusia tidak melakukan apapun; manusia sekedar menikmati apa yang dilakukan oleh mahkluk-mahkluk superior tersebut bagi mereka. Tak sekedar mengartikan bahwa Kapital yang memproduksi dan uang yang mengerjakan; mahkluk-mahkluk misterius lainnya juga memiliki pandangan yang sama. Persediaan, sejumlah barang untuk dijual, dan Permintaan, sejumlah barang untuk dibeli, bersama-sama menentukan Harga, sejumlah uang; saat Persediaan dan Permintaan dikawinkan dalam suatu poin tertentu pada sebuah diagram, mereka melahirkan Harga yang Setara, yang mempengaruhi sebuah kebahagiaan universal. Aktifitas kehidupan harian dimainkan oleh benda-benda, dan orang-orang tereduksi menjadi benda-benda (“faktor produksi”) dalam jam-jam “produktif” mereka, dan menjadi pengamat benda dalam “waktu luang” mereka. Pandangan para Ilmuwan Ekonom menjelaskan hal tersebut sebagai kemampuan seseorang dalam menghargai hasil aktifitas harian masyarakat melalui benda-benda, dan ketidakmampuan seseorang dalam melihat aktifitas hidup masyarakat melalui keunikan benda-benda. Bagi para Ekonom, benda-benda yang hadir melalui aktifitas masyarakat yang diatur dalam kapitalisme adalah ibu dan anak, sebab dan akibat yang hadir atas aktifitas mereka sendiri.


Besaran nilai, katakanlah harga sebuah komoditi, sejumlah uang yang merupakan hasil pertukarannya, tidaklah ditentukan oleh benda-benda, melainkan oleh aktifitas harian masyarakat. Persediaan dan permintaan, kompetisi yang sempurna dan yang tidak sempurna, tak lebih dari sekedar bentuk-bentuk sosial dari berbagai produk dan aktifitas dalam masyarakat kapitalis; mereka sendiri tidaklah hidup.

Fakta mengatakan bahwa aktifitas yang telah teralienasi, katakanlah waktu kerja yang dijual demi sejumlah uang tertentu, memiliki nilai, memiliki beberapa konsekuensi yang mempengaruhi besaran nilai hasil kerja tersebut. Nilai komoditi yang dijual setidaknya harus setara dengan nilai waktu kerja. Hal ini sudah jelas baik dari sudut pandang firma kapitalis individu ataupun dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan. Apabila nilai komoditi yang dijual oleh seorang individu kapitalis lebih rendah dari nilai kerja yang ia sewa, lantas pengeluaran untuk pengerjaanya sendiri lebih besar dari pendapatannya, dengan segera ia akan menemui kebangkrutan. Secara sosial, apabila nilai hasil kerja lebih rendah dari nilai konsumsinya, maka kekuatan kerja tak akan dapat mereproduksi dirinya sendiri, belum apabila bicara soal kelas para kapitalis. Tetapi bagaimanapun juga, apabila nilai komoditi setidaknya setara dengan nilai waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya, maka para produsen komoditi akan dapat mereproduksi diri mereka sendiri, dan bentuk masyarakat mereka tidak lagi sebuah masyarakat kapitalis; aktifitas mereka mungkin masih berupa produksi komoditi, tetapi bukan bentuk produksi komoditi kapitalis.


Bagi kerja untuk dapat menciptakan Kapital, nilai hasil kerja harus lebih tinggi dari nilai kerja itu sendiri. Dalam kata lain, tenaga kerja harus memproduksi sebuah produk yang berlebih, sejumlah barang yang tidak dikonsumsi, dan produk lebih ini harus ditransformasikan menjadi nilai lebih, sebuah bentuk nilai yang tidak diperuntukkan bagi para pekerja sebagai upah, melainkan diperuntukkan bagi kapitalis sebagai profit. Lebih jauhnya lagi, nilai kerja harus selalu dijaga agar tetap lebih besar, semenjak pekerja yang hidup bukanlah satu-satunya jenis kerja yang mematerialkan dirinya dalam hasil kerja.

Dalam proses produksi, para pekerja memang menghabiskan energi mereka sendiri, tetapi mereka juga menyimpan kerja pekerja lainnya dalam bentuk perangkat kerja, dan mereka membentuk material-material dengan menggunakan hasil kerja para pekerja sebelum mereka.


Hal tersebut di atas membawa pada suatu hasil yang aneh yang mana nilai hasil kerja dan nilai upah yang diterima sang pekerja berbeda besarnya, katakanlah sejumlah uang yang diterima si kapitalis dari hasil penjualan berbagai komoditi yang diproduksi oleh tenaga kerja yang ia sewa berbeda dengan jumlah uang yang ia bayarkan pada para pekerjanya. Perbedaan ini tidak dijelaskan melalui fakta bahwa material-material dan alat-alat yang digunakan juga harus dibayar. Apabila nilai komoditi yang dijual setara dengan nilai pekerja hidup dan berbagai perangkatnya, maka tak akan ada tempat bagi sang kapitalis. Fakta bahwa beda dua besaran tersebut cukup besar untuk memberi eksistensi bagi kelas kapitalis—tidak hanya bagi para individunya, tetapi juga bagi seluruh aktifitas khusus yang dilakukan oleh para individu tersebut, katakanlah untuk dapat menyewa tenaga kerja. Beda antara nilai total produk dan nilai kerja yang dibutuhkan dalam produksinya inilah yang disebut sebagai nilai lebih, bibit dari Kapital.


Untuk menemukan dari mana asalnya nilai lebih, sangat penting untuk menyelidiki mengapa nilai kerja lebih rendah dari nilai komoditi yang dihasilkannya. Aktifitas teralienasi yang dilakukan pekerja mentransformasikan material-material dibantu dengan adanya berbagai perangkat, kemudian menghasilkan sejumlah komoditi tertentu. Bagaimanapun juga, saat komoditi-komoditi tersebut terjual dan material-material serta berbagai perangkatnya juga terbayar, sisa nilai atas seluruh penjualan hasil kerjanya tidak diberikan pada para pekerja sebagai upah mereka, mereka diberi bagian lebih kecil. Dengan kata lain, selama setiap hari kerja, para pekerja melakukan sejumlah aktifitas kerja yang tidak dibayar, kerja paksa, yang mana untuk hal ini mereka sama sekali tidak menerima nilai yang setara.


Dilakukannya kerja yang tak dibayar ini, kerja paksa ini, adalah sebuah “kondisi untuk bertahan hidup” yang lain dalam masyarakat kapitalis. Bagaimanapun juga, layaknya alienasi, kondisi semacam ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan terjadi melalui praktek-praktek masyarakat yang dilakukan secara kolektif, melalui aktifitas harian mereka. Sebelum serikat-serikat pekerja lahir, seorang individu pekerja menerima apapun kerja paksa yang ada, semenjak penolakan terhadap kerja tersebut berarti bahwa akan ada pekerja lain yang akan menerima bentuk pertukaran tersebut, yang mana artinya individu tersebut tak akan menerima upah sama sekali. Maka para pekerja berkompetisi satu sama lain demi upah yang ditawarkan oleh para kapitalis; apabila seorang pekerja berhenti bekerja karena upah yang diterimanya sangat rendah, maka seorang pekerja yang menganggur akan segera bersedia menggantikan posisinya, karena bagi sang penganggur upah serendah apapun tetap lebih baik daripada tak memiliki upah sama sekali. Kompetisi antar pekerja inilah yang oleh para kapitalis disebut “kerja bebas”, yang melakukan pengorbanan besar dalam memberikan kebebasan bagi para pekerja, karena kebebasan seperti inilah yang akan memapankan nilai lebih bagi para kapitalis tersebut dan membuatnya mampu untuk terus mengakumulasikan Kapital. Bukan tujuan pekerja manapun untuk memproduksi lebih banyak barang daripada yang dibayarkan kepadanya. Tujuannya adalah mendapatkan upah sebesar mungkin. Tetapi bagaimanapun juga, sebenarnya eksistensi para pekerjalah yang sama sekali tidak diupah, dan yang mana konsepsi bahwa upah besar secara konsekuen tetap lebih rendah dari yang dikerjakan, membuat para kapitalis mampu untuk menyewa tenaga kerja dengan harga yang tetap lebih rendah. Pada faktanya, eksistensi para pekerja penganggurlah yang membuat para kapitalis untuk memberikan upah yang sangat rendah pada para pekerja yang bersedia bekerja. Dengan demikian hasil aktifitas harian kolektif para pekerja, setiap pengejaran individu atas upah tertinggi yang mungkin dicapai, yang artinya justru semakin merendahkan upah secara keseluruhan; dampak dari kompetisi antar sesama pekerjalah yang membuat upah menjadi semakin rendah, dan kapitalis mendapatkan lebih yang semakin besar.


Praktek harian keduanya merusak tujuan masing-masing pihak. Tetapi para pekerja tidak mengetahui bahwa situasi mereka adalah sebuah produk atas perilaku harian mereka sendiri; aktifitas mereka sendiri tidak transparan bagi mereka. Bagi para pekerja ini, upah rendah tampak sebagai bagian alamiah dari kehidupan, layaknya penyakit dan kematian, dan jatuhnya upah juga dianggap bencana yang alamiah, seperti banjir dan musim dingin yang keras. Kritik-kritik kaum sosialis dan analisa-analisa Marx, sebagaimana juga naiknya perkembangan pembangunan industrial yang memberi cukup waktu untuk berkaca, membuka beberapa tabir dan membuat para pekerja dapat melihat aktifitas mereka sendiri secara cukup mendalam. Bagaimanapun juga, di Eropa Barat dan Amerika Serikat, para pekerja tidak menghapuskan bentuk kapitalis dari aktifitas harian mereka; mereka membentuk serikat pekerja. Dan dalam kondisi-kondisi material yang berbeda di Uni Soviet dan Eropa Timur, para pekerja (dan petani) menggantikan kelas kapitalis dengan sebuah birokrasi negara yang juga menciptakan alienasi kerja serta mengakumulasikan Kapital atas nama Marx.


Dengan terbentuknya serikat pekerja, kehidupan harian tetap mirip dengan sebelum serikat pekerja lahir. Bahkan pada faktanya hampir sama. Kehidupan harian terus berisi kerja, aktifitas yang teralienasi, dan kerja yang tak dibayar, kerja paksa. Pekerja yang bergabung dengan serikat pekerja tidak lagi menganggap aktifitasnya sebagai aktifitas yang teralienasi; para pelaku serikat melakukan itu semua demi dirinya sendiri. Terminologi yang menerangkan tentang bagaimana aktifitas pekerja telah teralienasi, tidak lagi dipandu oleh kebutuhan seorang individu pekerja untuk menerima apa yang ada; mereka kini dipandu oleh kebutuhan para birokrat serikat pekerja untuk memapankan posisinya sebagai seorang germo yang berdiri di antara penjual tenaga kerja dan pembelinya.


Dengan atau tanpa serikat pekerja, nilai lebih bukanlah sebuah produk alamiah ataupun juga produk Kapital; ia diciptakan oleh aktifitas harian masyarakat. Dalam melaksanaan aktifitas hariannya, masyarakat tidak hanya diatur untuk mengalienasikan aktifitas mereka sendiri, tetapi mereka juga diatur untuk mereproduksi kondisi-kondisi yang memaksa mereka untuk mengalienasikan aktifitas mereka sendiri, untuk mereproduksi Kapital dan yang dengan demikian juga berarti mereproduksi kuasa Kapital dalam mendapatkan tenaga kerja. Hal ini bukan karena mereka tidak mengetahui tentang “alternatif yang ada”. Seseorang yang mengalami ketidakmampuan kronis dalam mencerna akibat terlalu banyak mengkonsumsi lemak tidak lantas berhenti mengkonsumsi lemak, akibat ia tidak mengetahui alternatif yang ada. Ia juga tak mampu untuk tidak mengkonsumsi lemak, atau juga karena memang ia tidak mengerti bahwa konsumsi lemak hariannyalah yang telah membuatnya tak mampu mencerna. Dan apabila dokter, pendo’a, guru dan politisinya memberitahukan padanya mengenai hal tersebut, pertama, bahwa lemak adalah sesuatu yang membuatnya terus hidup, dan kedua, mereka telah melakukan baginya apapun yang akan ia lakukan apabila sehat, maka segalanya akan menjadi tidak transparan baginya dan iapun tak akan melakukan upaya besar apapun untuk membuatnya transparan.


Produksi nilai lebih adalah sebuah kondisi untuk bertahan hidup, bukan bagi keseluruhan populasi melainkan bagi sistem kapitalis. Nilai lebih adalah bagian dari nilai berbagai komoditi yang dihasilkan oleh pekerja namun tidak dikembalikan pada mereka yang mengerjakannya. Nilai lebih terekspresikan melalui berbagai komoditi ataupun juga melalui uang (sebagaimana Kapital terekspresikan baik sebagai sejumlah benda ataupun uang), tetapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa nilai lebih tersebut adalah sebuah ekspresi bagi materialisasi kerja yang tersimpan dalam sebuah jumlah produk tertentu.

Semenjak berbagai produk dapat dipertukarkan dengan sejumlah uang yang “setara”, maka uang “artinya” atau merepresentasikan nilai yang sama dengan berbagai produk tersebut. Pada gilirannya uang dapat dipertukarkan dengan sejumlah produk yang memiliki nilai yang “setara”. Seluruh soalan tukar menukar ini, yang terwujud secara simultan selama kehidupan harian kapitalis, merupakan proses sirkulasi kapitalis. Melalui proses inilah metamorfosa nilai lebih menjadi Kapital terjadi.


Sejumlah nilai yang tidak dikembalikan kepada pekerja, atau yang dinamakan nilai lebih, membuat kapitalis dapat eksis, dan hal tersebut juga mampu membuatnya melakukan banyak hal lebih daripada sekedar eksis. Kapitalis membuat investasi dengan sebagian dari nilai lebih ini; ia menyewa pekerja-pekerja baru dan membeli alat produksi yang juga baru; ia memperluas dominasinya. Ini berarti bahwa sang kapitalis mengakumulasikan pekerjaan baru, baik dalam bentuk pekerja hidup yang ia sewa dan kerja-kerja sebelumnya (baik yang dibayar maupun yang tak dibayar) yang tersimpan dalam berbagai material, maupun juga dalam bentuk perangkat yang ia beli.


Secara keseluruhannya, kelas kapitalis mengakumulasikan kelebihan pekerja dari masyarakat, tetapi proses ini terjadi dalam skala sosial yang luas dan tidak akan tampak apabila seseorang memperhatikan berbagai aktifitas individual sang kapitalis. Harus diingat bahwa produk yang dibeli oleh sang kapitalis untuk perangkat-perangkatnya memiliki karakteristik-karakteristik yang sama dengan produk yang ia jual. Kapitalis pertama menjual perangkatnya pada kapitalis kedua untuk sejumlah nilai tertentu, dan hanya sebagian kecil saja dari nilai ini yang dikembalikan kepada para pekerja sebagai upah; nilai yang tersisa itulah nilai lebih, yang mana digunakan oleh sang kapitalis pertama untuk membeli berbagai perangkat dan tenaga kerja baru. Kapitalis kedua membeli berbagai perangkat dengan sejumlah nilai yang diajukan, yang artinya bahwa ia membayar jumlah keseluruhan kerja yang dihasilkan oleh sang kapitalis pertama, jumlah kerja yang telah melalui penghitungan ulang karena sejumlah kerja tersebut dilakukan tanpa dibayar. Hal ini berarti bahwa berbagai perangkat yang diakumulasikan oleh sang kapitalis kedua berisi kerja yang tidak dibayar yang dilakukan oleh pekerja sang kapitalis pertama.
Pada gilirannya, kapitalis kedua menjual produk-produknya dengan sejumlah nilai tertentu, dan mengembalikan hanya sebagian nilai tersebut kepada para pekerjanya; ia menggunakan sisa nilai tadi untuk perangkat dan pekerja baru.


Apabila keseluruhan proses tersebut dimampatkan dalam satu periode waktu dan apabila seluruh kapitalis digabungkan menjadi satu, maka akan terlihat bahwa nilai yang kapitalis gunakan untuk membeli perangkat dan pekerja baru jumlahnya sama dengan nilai produk yang tidak ia kembalikan pada produsennya. Akumulasi nilai lebih inilah yang dinamakan Kapital.


Dalam pengertian masyarakat kapitalis secara keseluruhan, keseluruhan jumlah Kapital sama dengan aktifitas kerja yang tak dibayar yang dilakukan oleh berbagai generasi manusia yang hidupnya berisi pengalienasian aktifitas hidup mereka setiap harinya. Dengan kata lain, dalam artian yang mana manusia menjual hidup hariannya, Kapital adalah hasil dari penjualan aktifitas manusia yang terus direproduksi, diperluas setiap hari sehingga manusia menjualnya di hari kerja yang lain, setiap momen yang ia putuskan untuk terus menghidupi bentuk kapitalis dari kehidupan hariannya.



Penyimpanan dan Akumulasi Aktifitas Manusia

Transformasi surplus kerja menjadi kapital adalah suatu bentuk spesifik histories sebuah proses yang lebih luas, proses industrialisasi, transformasi permanent lingkungan material manusia.

Beberapa karakteristik tertentu yang esensial sebagai konsekuensi aktifitas manusia di bawah kapitalisme dapat ditangkap melalui sebuah ilustrasi yang disederhanakan. Dalam suatu masyarakat imajiner, orang-orang menghabiskan sebagian besar waktu aktif mereka untuk memproduksi makanan dan berbagai kebutuhan lainnya; hanya sebagian dari waktu mereka yang menjadi “waktu lebih” dalam pengertian waktu yang tidak digunakan untuk memproduksi berbagai kebutuhan. Aktifitas lebih ini dapat digunakan untuk menyediakan makanan bagi para pendeta dan prajurit yang tidak memproduksi makanan bagi diri mereka sendiri; aktifitas tersebut juga dapat digunakan untuk memproduksi benda-benda yang dibakar dalam saat-saat yang dianggap sakral; aktifitas tersebut dapat juga digunakan dalam melakukan berbagai perayaan atau olah raga. Dalam berbagai kasus tersebut, kondisi-kondisi material masyarakat tersebut tidak berubah-ubah dari generasi yang satu ke generasi yang lain sebagai hasil aktifitas harian mereka. Bagaimanapun juga, satu generasi dari masyarakat imajiner ini dapat menyimpan waktu lebih mereka dan bukan menggunakannya. Misalnya, mereka dapat menghabiskan waktu lebih mereka untuk melikui musim semi. Generasi berikutnya dapat tidak perlu melikui musim semi dan menggunakan energi yang telah tersimpan dalam musim semi tersebut untuk melakukan hal-hal lain yang juga penting, atau sekedar menggunakan energi musim semi mereka untuk melikui musim semi selanjutnya. Dalam kasus lain, kerja lebih yang tersimpan dari generasi sebelumnya akan menyediakan sejumlah waktu kerja berlebih bagi generasi baru. Generasi baru ini dapat saja menggunakannya dalam musim semi ataupun dalam wadah-wadah lainnya. Dalam suatu periode yang relatif pendek, kerja yang tersimpan dalam musim semi akan meningkatkan waktu kerja yang tersedia bagi setiap generasi-generasi lain yang hidup selanjutnya; dengan mengeluarkan energi yang relatif kecil, orang-orang dalam masyarakat imajiner ini dapat memanfaatkan musim seminya untuk melakukan banyak kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling penting, dan juga untuk melikui musim semi bagi generasi selanjutnya. Sebagian besar waktu hidup mereka yang tadinya digunakan untuk menghasilkan berbagai kebutuhan kini dapat digunakan untuk berbagai aktifitas yang tidak lagi didikte oleh kebutuhan melainkan yang diproyeksikan oleh imajinasi.


Dalam pembacaan sekilas tampaknya tidak menyenangkan bagi orang-orang untuk memanfaatkan waktu-waktu hidup mereka dalam tugas aneh melikui musim semi. Tapi sama tidak menyenangkannya apabila mereka tidak melikui musim semi dan menyimpan energi mereka bagi generasi berikutnya, karena tidak melikui musim semi mungkin juga akan memberi mereka waktu, misalnya, untuk membuat tontonan yang merayakan hari-hari mereka.


Bagaimanapun juga, apabila masyarakat tidak mengatur hidup mereka sendiri, apabila aktifitas kerja mereka bukanlah milik mereka sendiri, apabila aktifitas praksis mereka berisi kerja paksa, maka aktifitas manusia tidak akan dimanfaatkan untuk melikui musim semi, tugas penyimpanan waktu kerja lebih mereka dalam wadah-wadah material. Peran bersejarah Kapitalisme, sebuah peran yang dilakukan oleh orang-orang yang menerima legitimasi orang lain untuk mengatur hidup mereka, sama artinya dengan menyimpan aktifitas manusia dalam wadah-wadah material, dalam bentuk kerja paksa.


Begitu orang-orang tunduk pada “kekuatan” uang untuk membeli kerja yang tersimpan dan aktifitas hidup, begitu mereka menerima “hak” fiktif pemegang-uang untuk mengontrol dan mengatur aktifitas yang tersimpan dan aktifitas hidup masyarakat, mereka telah mentransformasikan uang uang menjadi Kapital dan pemilik uang menjadi kapitalis.


Alienasi ganda ini, pengalienasian aktifitas hidup dalam bentuk kerja-upahan dan pengalienasian aktifitas berbagai generasi terdahulu dalam bentuk kerja yang tersimpan (alat produksi) bukanlah sebuah aksi yang terjadi pada satu waktu dalam sejarah. Hubungan antara pekerja dan kapitalis bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja dalam masyarakat jaman dulu yang lantas tidak dapat tergantikan lagi. Manusia tak pernah menandatangani kontrak atau membuat suatu persetujuan secara verbal, saat menyerahkan kuasa atas aktifitas hidup mereka, yang mana mereka juga telah menyerahkan kuasa atas aktifitas hidup seluruh generasi mendatang di seluruh penjuru dunia.


Kapital mengenakan topeng kuasa alamiah; yang tampak sesolid bumi sendiri; gerakan-gerakannya tampak tak dapat dibalik sebagaimana gelombang pasang; krisis-krisisnya tampak tak terhindarkan sebagaimana gempa bumi dan banjir. Bahkan saat diakui bahwa kekuatan Kapital sesungguhnya adalah ciptaan manusia, pernyataan ini dapat saja menjadi sekedar kesempatan untuk membuat topeng yang lebih menekan, topeng kuasa ciptaan manusia, sesosok monster Frankenstein, yang kekuatannya menginspirasikan pesona yang lebih mengagumkan daripada segala kekuatan alam.


Bagaimanapun juga Kapital bukanlah sebuah kuasa alamiah ataupun monster ciptaan manusia yang diciptakan pada satu masa di jaman dahulu yang mendominasi seluruh hidup manusia setelahnya.

Bagaimanapun juga kuasa Kapital tidak terletak dalam uang, karena uang hanyalah sebuah konvensi sosial yang tidak mempunyai “kuasa” dibanding manusia yang memilih untuk menggunakannya; saat manusia menolak menjual kerja mereka, uang tak dapat berperan sedikitpun bahkan hingga peran-peran sederhananya, karena uang tidak “bekerja”.

Kuasa Kapital juga tidak terletak dalam wadah-wadah material di mana kerja berbagai generasi sebelumnya tersimpan karena energi potensial yang tersimpan dalam wadah-wadah material tersebut dapat dibebaskan oleh aktifitas nyata manusia, baik wadah tersebut adalah Kapital atau bukan, atau katakanlah “milik” yang lain. Tanpa aktifitas hidup, sekumpulan barang yang membentuk Kapital masyarakat tak lebih dari sekedar setumpuk artefak yang tak memiliki hidup mereka sendiri, dan “para pemilik” Kapital hanya menjadi sekumpulan orang tidak biasa yang tidak kreatif (karena dilatih demikian), yang mengelilingi diri mereka sendiri dengan kertas-kertas tak berguna yang dengan sia-sia berusaha membangkitkan kejayaan lama. Satu-satunya “kuasa” Kapital terletak dalam aktifitas kehidupan harian manusia; “kuasa” ini berarti membubarkan penjualan aktifitas harian mereka yang dipertukarkan dengan uang dan melepaskan aktifitas mereka dan berbagai generasi sebelumnya dari kontrol kebendaan.


Begitu seseorang menjual kerjanya kepada seorang kapitalis dan menerima hanya sebagian dari produk-produk yang dihasilkannya sebagai pembayaran atas kerjanya, ia menciptakan kondisi-kondisi bagi pembelian dan pengeksploitasian atas orang lainnya. Tak seorangpun akan dengan rela memberikan tangan atau anaknya untuk dipertukarkan dengan uang; tapi saat seseorang secara sengaja dan sadar menjual kehidupan kerjanya demi memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, ia tak hanya mereproduksi kondisi-kondisi yang terus membuat penjualan hidupnya sebagai sebuah kebutuhan menjadi langgeng; ia juga menciptakan kondisi-kondisi di mana penjualan hidup menjadi sebuah kebutuhan bagi orang lainnya. Generasi-generasi selanjutnya mungkin akan menolak menjual kehidupan kerja mereka dengan suatu alasan yang sama saat ia menolak menjual tangannya; tetapi bagaimanapun juga setiap kegagalan untuk menolak kerja paksa dan teralienasi akan memperbesar persediaan kerja yang tersimpan yang mana Kapital dapat membeli kehidupan-kehidupan kerja.


Dalam upaya mentransformasikan kerja lebih menjadi Kapital, sang kapitalis harus menemukan jalan untuk menyimpannya dalam wadah-wadah material, dalam alat-alat produksi yang baru, dan ia harus menyewa para pekerja baru untuk menjalankan alat-alat produksi baru tersebut. Dengan kata lain, ia harus memperbesar perusahaannya, atau membuat sebuah perusahaan baru dengan cabang produksi yang berbeda. Hal ini membutuhkan keberadaan material-material yang dapat bentuk menjadi komoditi-komoditi baru yang dapat dijual serta keberadaan orang-orang yang terlalu miskin yang membuat mereka rela menjual tenaga kerja mereka. Syarat-syarat itu sendiri diciptakan oleh aktifitas kapitalis, dan para kapitalis tak mengenal batas ataupun rintangan dalam pelaksanaan aktifitas mereka; demokrasi Kapital menuntut kebebasan yang absolut.


Imperialisme tidaklah sekedar tahap tertinggi kapitalisme; tetapi juga merupakan tahap awal.

Apapun yang dapat ditransformasikan menjadi sebuah barang yang laku di pasaran menjadi padi bagi penggilingan Kapital, entah itu berada di tanah sang kapitalis atau di tanah tetangganya, entah itu berada di atas ataupun di bawah tanah, terapung di lautan atau merangkak di lantai; entah itu berada di kontinen lain ataupun planet lain. Seluruh eksplorasi manusia terhadap alam, dari Kimia ke Fisika, dimobilisasi untuk mencari material-material baru untuk menyimpan kerja, untuk mencari barang baru yang mana seseorang dapat dilatih untuk membelinya.

Pembeli produk lama dan baru diciptakan dengan cara apapun yang tersedia, dan cara baru pun ditemukan secara terus menerus. “Pasar terbuka” dan “pintu terbuka” dikembangkan dengan pemaksaan dan penipuan. Apabila orang-orang kekurangan cara agar dapat membeli produk-produk kapitalis, mereka disewa oleh para kapitalis dan dibayar untuk memproduksi produk-produk yang ingin mereka beli; apabila para pengrajin lokal telah memproduksi apa yang seharusnya hendak dijual oleh sang kapitalis, maka para pengrajin ini akan dibuat merugi atau dibeli; apabila hukum dan tradisi melarang penggunaan produk-produk tersebut, maka hukum dan tradisi tersebut akan dihapuskan; apabila orang-orang kurang merasa perlu untuk menggunakan produk-produk sang kapitalis, maka mereka dilatih untuk membeli barang-barang ini; apabila orang-orang secara fisik dan biologis kehabisan keinginan, maka para kapitalis “memuaskan” semua “kebutuhan spiritual” mereka dengan cara menyewa psikolog untuk menciptakan keinginan tersebut; apabila orang-orang sudah terlalu terpuaskan dengan produk-produk para kapitalis yang membuat mereka tak memerlukan barang-barang lainnya lagi, mereka dilatih untuk membeli barang dan spectacle yang tak berguna selain sekedar untuk dilihat dan dikagumi.


Orang-orang miskin sudah ada baik dalam masyarakat masa pra-agraris maupuan masa agraris di setiap daerah; apabila mereka tidak terlalu miskin sehingga rela menjual tenaga kerja mereka saat para kapitalis datang, mereka akan termiskinkan oleh aktifitas para kapitalis itu sendiri. Tanah-tanah buruan berangsur-angsur menjadi “milik pribadi” dari “para pemilik” yang menggunakan kekerasan negara untuk membatasi para pemburu di “reservasi” yang tidak tersedia makanan yang cukup bagi mereka untuk bertahan hidup. Peralatan yang dibutuhkan para petani berangsur-angsur hanya bisa didapat pada pedagang yang sama yang dengan dermawan memberi mereka pinjaman agar dapat membeli peralatan, hingga “hutang” para petani terlalu besar sehingga memaksa mereka untuk menjual tanah yang sebelumnya tak pernah mereka atau para pendahulu mereka beli. Para pembeli produk pengrajin berangsur-angsur tereduksi menjadi pedagang yang memasarkan produk-produk tersebut, hingga satu titik di mana pedagang tersebut memutuskan untuk mengumpulkan “para pengrajinnya” di bawah satu atap, dan menyediakan mereka perangkat-perangkat kerja yang mampu membuat mereka mengkonsentrasikan aktifitasnya dalam pemroduksian barang-barang yang paling mampu mendatangkan keuntungan. Para pemburu yang independen maupun yang tidak, para petani dan pengrajin, manusia bebas ataupun budak, tertransformasikan menjadi pekerja sewaan. Mereka yang dulunya mengatur hidup mereka sendiri di hadapan kondisi-kondisi material yang keras, tak lagi mengatur hidup mereka sendiri bertepatan dengan momen saat mereka memutuskan untuk turut ambil bagian dalam memodifikasi kondisi-kondisi material mereka tersebut; mereka yang dulunya pencipta keberadaan diri mereka sendiri yang tak lengkap menjadi korban tak sadar atas aktifitas mereka sendiri saat menghancurkan ketidaklengkapan keberadaan mereka tersebut. Orang-orang yang dulunya kaya tetapi sedikit memiliki, kini banyak memiliki tetapi miskin.


Produksi komoditi-komoditi baru, “pembukaan” pasar baru, penciptaan pekerja baru, bukanlah tiga aktifitas yang terpisah; mereka adalah tiga aspek dari aktifitas yang sama. Sebuah tenaga kerja baru diciptakan dengan pasti untuk menghasilkan komoditi yang juga baru; upah yang diterima oleh pekerja dengan sendirinya juga menciptakan pasar baru; kerja mereka yang tak dibayar adalah sumber ekspansi baru. Tak ada rintangan-rintangan dari budaya atau juga alam yang dapat menghentikan penyebaran Kapital, transformasi aktifitas harian orang-orang menjadi kerja yang teralienasi, transformasi kerja lebih mereka menjadi “kepemilikan pribadi” para kapitalis. Bagaimanpun juga, Kapital bukanlah sebuah kekuatan alamiah; ia adalah sebentuk aktifitas yang dilakukan setiap hari oleh orang-orang; ia adalah bentuk kehidupan harian; keberadaan dan ekspansinya yang dilanjutkannya mengisyaratkan hanya satu kondisi saja yang essensial: penyusunan orang-orang agar terus mengalienasikan kehidupan kerja mereka dan dengan demikian juga mereproduksi bentuk kapitalis di kehidupan harian.




BIOGRAFI SINGKAT FREDY PERLMAN
Brno, Chekoslovakia 20 Agustus 1934 — Detroit, Michigan, Amerika Serikat 26 Juli 1985


Lahir di Brno, Chekoslovakia pada 20 Agustus 1934. Ia berimigrasi bersama kedua orang tuanya ke Cochabamba, Bolivia pada 1938 bersamaan dengan pendudukan Nazi di negeri asalnya. Keluarga Perlman baru datang ke Amerika Serikat pada tahun 1945 dan hidup berpindah-pindah di Mobile, Alabama, Brooklyn, Queens sebelum pada akhirnya menetap di Lakeside Park, Kentucky, sebuah daerah pinggiran Cincinnati, Ohio, di mana Fredy menyelesaikan masa sekolah menengah atasnya.
Tahun 1952 ia melanjutkan pendidikannya di Morehead State Collage, Kentucky, yang kemudian dilanjutkan di UCLA pada tahun 1953 hingga 1955. Di kampus awalnya, Fredy menjadi salah seorang staf koran kampus bernama The Daily Bruin, saat seorang administratif universitas yang reaksioner mengeluarkan semua editor publikasi tersebut dari universitas. Kelima editornya, termasuk Fredy, walaupun dikeluarkan, tetap berupaya mempublikasikan koran tersebut secara mandiri dan juga tetap mendistribusikannya di dalam kampus.

Tahun 1952 Fredy mendaftar dan diterima di Universitas Columbia di mana ia bertemu partner sepanjang hidupnya, Lorraine Nybakken. Awalnya Fredy menjadi seorang mahasiswa sastra Inggris tetapi kemudian segera berkonsentrasi di bidang filsafat, ilmu politik dan sastra Eropa. Dosennya yang paling mempengaruhinya saat itu adalah C. Wright Mills.


Akhir tahun 1959 bersama Lorraine ia dengan mengendarai skuter melakukan perjalanan lintas daerah di sepanjang jalur bebas hambatan Amerika.


Sepanjang tahun 1959 hingga 1963, mereka berdua tinggal di Lower East Side, Manhattan, di mana Fredy bekerja sebagai seorang analis statistik sumber daya dunia bersama John Ricklefs. Bersama kawan barunya, Fredy dan Lorraine segera terlibat aktif dalam berbagai aktifitas pasifis anti bom di bawah organisasi the Living Theater dan beberapa organisasi lainnya. Musim gugur 1961 Fredy ditangkap saat melakukan aksi duduk di Times Square. Di masa tersebut ia menjadi penulis bagi materi-materi agitasi-propaganda grup the Living Theater serta mulai menulis karya-karya awalnya yaitu “The New Freedom” (Kebebasan Baru), “Corporate Capitalism” (Kapitalisme Korporat) dan sebuah drama berjudul “Plunder” (Jarahan), yang mana kesemuanya ia publikasikan sendiri.


Bulan Januari 1963, ia bersama Lorraine berlayar ke Eropa dengan menumpang pada sebuah kapal Swedia; sebuah perjalanan yang mereka anggap sebagai sebuah perpisahan sementara dengan benua Amerika. Bulan September di tahun yang sama, mereka tiba di Belgrade, Yugoslavia setelah sebelumnya hidup beberapa bulan di Kopenhagen dan Paris. Bulan Juni 1964 ia mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di Chekoslovakia, tetapi negeri tanah kelahirannya tersebut pada awalnya mencurigai dirinya.


Tetapi terlepas dari segala kesulitan tersebut, tahun 1963 hingga 1966 ia berhasil menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi di mana ia berhasil mendapatkan gelar sarjana. Tesisnya berjudul “The Structure of Backwardness” (Struktur Keterbelakangan). Ia juga menerima Ph.D di Fakultas Hukum; di mana disertasinya yang berjudul “Conditions for the Development of a Backward Religion” (Berbagai Kondisi bagi Pengembangan sebuah Agama yang Terbelakang) menimbulkan kemarahan di antara beberapa jajaran fakultas tersebut. Selama masa ia tinggal di Yugoslavia, ia menjadi seorang anggota perencana pendidikan bagi Kosovo dan Metohija.


Selama tahun 1966 hingga 1969 ia dan Lorraine kembali ke Amerika Serikat dan tinggal di Kalamazoo, Michigan di mana Fredy menjadi seorang profesor di Departemen Ekonomi Universitas Michigan Barat. Kebanyakan dari ajaran-ajarannya adalah berupa pengenalan diskursus ilmu sosial, dan kembali ia membuat marah beberapa jajaran fakultas saat ia menginisiasikan kelas-kelas yang diorganisir secara otonom oleh para mahasiswanya serta membiarkan para mahasiswanya tersebut meluluskan diri mereka sendiri. Selama tahun pertamanya di Kalamazoo, ia dan Milos Samardzija, seorang profesor dari Belgrade, menterjemahkan essay karya I.I Rubin berjudul “Marx’s Theory of Value” Fredy juga menulis introduksi di buku tersebut berjudul “An Essay on Commodity Fetishism” (Sebuah Essay tentang Fetishisme Komoditi).


Bulan Mei 1968 setelah mengajar selama dua minggu di Turin, Italia, Fredy pergi ke Paris dengan menggunakan kereta terakhir sebelum seluruh transportasi mati karena pemogokan umum yang terjadi di sana. Ia secara aktif berpartisipasi dalam May Day di Paris bersama para pekerja di Censier Center dan komite pabrik Citroen. Bulan Agustus ia kembali ke Kalamazoo dan berkolaborasi dengan Roger Gregoire untuk menulis pamflet berjudul “Worker-Student Action Commitees, May 1968” (Komite-Komite Aksi Mahasiswa-Pekerja, Mei 1968).


Dalam tahun terakhirnya di Kalamazoo Fredy meninggalkan universitas dan bersama beberapa orang lain, kebanyakan adalah mahasiswanya, mendirikan Black and Red yang berhasil mempublikasikan enam edisi. Semua urusan pengetikan dan layout dikerjakan di rumah Fredy dan Lorraine, sementara pencetakkannya dikerjakan di Radical Education Project di Ann Arbor. Bulan Januari 1969 ia menyelesaikan pamfletnya yang berjudul “The Reproduction of Daily Life” (Reproduksi Kehidupan Harian). Saat melakukan perjalanan ke Eropa kembali pada musim panas tahun 1969, ia menghabiskan beberapa minggu di Yugoslavia di mana ia menulis “Revolt in Socialist Yugoslavia” (Kebangkitan di Yugoslavia yang Sosialis) yang segera dicekal oleh pemerintah karena dianggap sebagai sebuah plot CIA.


Bulan Agustus 1969 bersama Lorraine ia pindah ke Detroit dan menulis “The Incoherence of the Intellectual” (Inkoherensi Intelektual) serta bersama beberapa kawannya menterjemahkan “Society of the Spectacle” (Masyarakat Spectacle) karya Guy Debord.


Tahun 1970 Fredy adalah salah satu dari sekelompok besar yang membangun Detroit Printing Co-op dengan peralatan yang mereka pindahkan, bangun dan pelajari untuk mereka operasikan dari Chicago. Dalam sepuluh tahun berikutnya, semua publikasi Black and Red dicetak di sana bersama berbagai proyek dari mulai leaflet, koran hingga buku.


Antara tahun 1971 hingga 1976 seringkali bersama beberapa kawannya, Fredy mengerjakan beberapa buku, beberapa karya mereka sendiri, beberapa adalah karya terjemahan termasuk “Manual for Revolutionary Leaders” (Panduan bagi para Pemimpin Revolusioner), “Letters of Insurgents” (Surat-surat para Insurgen), “History of Makhnovist Movement” (Sejarah Gerakan Makhnovist) karya Arshinov, “The Unknown Revolution” (Revolusi yang tak Dikenal) karya Voline, serta “The Wander of Humanity” (Penjelajahan Kemanusiaan) karya Camatte. Di tahun-tahun yang sama, Fredy mulai bermain cello dan seringkali tampil di sesi-sesi musikal dua kali setiap minggunya. Tahun 1971 bersama Lorraine melakukan perjalanan dengan menggunakan mobil ke Alaska.


Tahun 1976 Fredy menjalani operasi bedah jantung untuk memperbaiki jantungnya yang rusak. Setelahnya ia membantu menulis serta mementaskan “Who’s Zerelli?” (Siapakah Zerelli?), sebuah drama yang mengkritisi berbagai aspek otoritarian dari perkembangan di bidang medis.


Selama tahun 1977 hingga 1980 ia mempelajari (serta memetakan) sejarah dunia. Selama tahun-tahun tersebut ia melakukan perjalanan ke Turki, Mesir, Eropa dan berbagai daerah di Amerika Serikat untuk mengunjungi situs-situs bersejarah bersama Lorraine. Tahun 1980 ia mulai menulis sejarah komprehensif the Strait (Selat) yang berkisah soal Detroit dan sekitarnya. Ia tidak menyelesaikan karya tersebut sebagaimana bab pertama dan terakhirnya tetap belum ditulis hingga ia meninggal dunia. Bulan Juli 1985, ia memperkirakan bahwa ia akan dapat menyelesaikan serta mengedit naskah tersebut dalam waktu delapan atau sepuluh bulan.


Baik Fredy maupun Lorraine, membantu kerja-kerja kelompok media the Fifth Estate dalam melakukan pengetikan dan proofreading, juga dalam penulisan beberapa artikel kontribusi. Kontribusi terakhir Fredy adalah “Anti-Semitism and the Beirut Pogrom” (Anti-Semitisme dan Pogrom Beirut) dan “The Continuing Appeal of Nationalism” (Daya Tarik Berkelanjutan dari Nasionalisme). Selama tahun 1982 hingga 1983 Fredy menunda karyanya, The Strait, untuk menulis “Against His-Story, Against Leviathan” (Melawan Sejarah—dari konsep lelaki—, Melawan Leviathan).


Tahun 1983 Fredy bergabung dalam seksi cello di bawah Dearborn Orchestra dan di bulan Juni 1985 ia tampil kuartet memainkan karya-karya Mozart dan Schumman dalam sebuah program bagi kelompok Physician for Social Responsibility.


Tanggal 26 Juli 1985 Fredy kembali menjalani operasi jantung di rumah sakit Henry Ford untuk mengganti dua katup jantungnya. Tetapi kerusakan jantungnya tak dapat lagi diperbaiki dan kembali berfungsi di akhir operasi. Ia meninggal dunia dalam operasi.

Read More......