Sabtu, 21 Agustus 2010

KAPITALISME SEBAGAI “SPECTACLE”

Memahami Perkembangan Kapitalisme Modern


Dalam masyarakat yang didominasi oleh kondisi moderen dari produksi, hidup di hadirkan sebagai akumulasi dari “spectacle” yang tak berbatas. Semua yang hidup secara langsung telah direduksi ke dalam satu bentuk penyajian.

Image yang dilepaskan dari tiap aspek hidup yang kemudian bergabung dalam satu “arus” umum dimana kesatuan dari hidup itu tak lagi bisa dipertahankan. Pandangan mengenai kenyataan yang terbagi-bagi menyatukan diri mereka ke dalam satu kesatuan yang baru “pseudoworld” yang terpisah yang hanya bisa di lihat saja. Spesialisasi dari gambaran dunia menuju ke dalam dunia yang ter-autonomisasikan di mana seorang penipu sekalipun ikut tertipu olehnya. Spectacle adalah suatu kebalikan dari hidup, suatu pergerakan yang “autonomus” dari yang tidak hidup.

Spectacle menghadirkan dirinya sendiri secara simultan sebagai masyarakat itu sendiri, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai inti dari unifikasi. Sebagai bagian dari masyarakat, spectacle atau dunia tontonan adalah titik api dari tiap visi dan semua kesadaran. Tetapi berkaitan dengan kenyataan bahwa ini adalah bagian yang terpisah, berada pada kenyataan dari sebuah khayalan dan kesadaran yang palsu, penyatuan itu mencapai sesuatu yang tak lain dan tak bukan hanyalah bahasa resmi dari “universal separation”.

“Spectacle” bukanlah kumpulan image, tapi merupakan suatu relasi sosial antara orang-orang yang dimediasikan melalui image. “Spectacle” tak bisa dipahami semata-mata hanya penipuan secara visual yang dihasilkan melalui teknologi media massa. Dunia tontonan (spectacle) adalah pandangan dunia yang telah di materialisasikan secara aktual, pandangan dunia yang telah menjadi objektif.

Memahaminya dalam totalitasnya, ”spectacle” baik hasil dan sasaran dari cara produksi yang dominan. Semua itu bukanlah hanya sebuah “dekorasi” yang ditambahkan ke dalam dunia nyata. Tapi adalah jantung dari ketidaknyataan masyarakat yang benar-benar riil. Berita, propaganda, iklan dan hiburan, dalam semua bentuk manifestasinya, ”Spectacle” menghadirkan suatu bentuk model dari hidup yang dominan. Semua hal tersebut adalah pernyataan yang hadir dimana-mana dari aneka pilihan yang telah dibuat berdasarkan pengaruh dari produksi dan konsumsi yang diimplikasikan melalui produksi itu.

Dalam kedua format dan isinya, ”spectacle” bertindak sebagai penilaian secara total dari kondisi dan “goal” dari sistem yang berjalan itu. “Spectacle” juga merepresentasikan hadirnya justifikasi ini sejak hal itu memonopoli sebagian besar waktu yang dihabiskan diluar proses produksi. “separation” itu sendiri adalah bagian integral yang menyatu dengan dunia ini.

Dari suatu praktek sosial yang global yang terbelah menjadi kenyataan dan gambaran. praktek sosial yang dikonfrontasikan dengan spectacle yang autonomus yang pada saat yang sama menjadi suatu totalitas keseluruhan yang terkandung dalam “spectacle”.

Tetapi keterpisahan secara totalitas ini merusaknya sampai kepada titik dimana “Spectacle” terlihat sebagai “goal”nya. Bahasa dari “Spectacle” mengandung tanda dari sebuah sistem produksi yang dominan, sebuah tanda dimana pada saat yang sama merupakan hasil akhir dari sistem tersebut.

“Spectacle” tidak bisa dipisahkan dari aktivitas sosial secara keseluruhan. Masing-masing sisi dari dualitas itu sendiri terpisahkan.meskipun demikian, “spectacle” yang memalsukan kenyataan merupakan produk yang riil dari kenyataan itu. Dan sebaliknya hidup yang riil secara material diinvasi oleh dialektika dunia tontonan ini, yang pada akhirnya menyerapnya dan menyatukan diri dengannya. Realitas objektif adalah kenyataan yang timbal balik. Masing-masing konsep nampaknya ditetapkan dan sepertinya tidak memiliki konsep lain selain bertranformasi ke arah yang sebaliknya. Kenyataan muncul dalam dunia tontonan dan dunia tontonan adalah riil.

Alienasi yang timbal balik ini adalah inti dan dukungan dari masyarakat yang eksis saat ini. Dalam dunia yang sunguh kacau ini, kebenaran adalah momen dari yang palsu.
Konsep dari “Spectacle”saling berhubungan dan menjelaskan cakupan yang luas dari suatu fenomena yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Keanekaragaman yang nyata dan kontras dari fenomena ini berasal kelompok sosial yang berperan, yang sifat esensialnya harus dikenali.

Menurut pengertiannya secara terminologi,”dunia tontonan”atau“spectacle”adalah suatu bentuk pernyataan dari tampilan dan identifikasi dari seluruh kehidupan sosial manusia yang diidentifikasikan melalui tampilan. Tetapi suatu kritik yang menyerap karakter esensial dari”dunia tontonan” ini mengungkapkan dan menguak adanya suatu negasi dari kehidupan itu sendiri yang dapat terlihat dengan jelas, sebuah negasi yang telah mengambil tempat dalam sebuah format yang dapat terlihat.

Untuk menguraikan dunia tontonan,susunan,fungsinya, serta kekuatan yang bertentangan dengannya maka adalah perlu untuk membuat uraian yang dapat membedakannya.
Dalam menganalisa “dunia tontonan” atau “spectacle” maka kita harus menjelaskannya menggunakan bahasa “dunia tontonan” itu sendiri dalam pengertian bahwa kita harus beroperasi pada wilayah metodologi dari masyarakat yang mengekspresikan dirinya melalui “dunia tontonan” tersebut. Bagi dunia tontonan,baik itu maksud maupun agenda dari susunan sosial-ekonomi.Hal tersebut adalah momen historis dimana kita terperangkap di dalamnya.

Dunia tontonan menghadirkan dirinya sendiri sebagai suatu realitas yang sangat luas cakupannya serta dengan mudah dapat diakses dan tak perlu dipertanyakan. Jejak yang ditinggalkannya memberi suatu pesan” Apa yang nampak adalah baik, apa yang baik adalah yang nampak” Menuntut kita menerimanya dengan pasif melalui tampilannya yang memonopoli, melalui cara menampakkan, tanpa memberi kesempatan untuk bertanya.
Mengulangi apa yang telah diungkapkan dari karakter dunia tontonan ini berdasarkan fakta bahwa alat/sumbernya serta tujuan akhirnya adalah serupa. Itu adalah matahari yang bersinar tak lebih dari sebuah kerajaan kepasifan modern. Hal itu menutupi seluruh permukaan bola bumi, terus menerus bersinar dalam kemuliaannya.

Masyarakat yang berdasarkan kepada industri modern tidaklah secara kebetulan atau sunguh-sungguh spectacular, itu adalah spectaclist secara fundamental. Dalam dunia tontonan, refleksi visual dari penguasa perekonomian, bukanlah hal terpenting, melainkan pembangunan. Dunia tontonan tidak bertujuan apapun selain untuk kepentingan dirinya sendiri.

Dunia tontonan dapat melekat dalam keberadaan subjek manusia itu sendiri, karena manusia telah ditaklukkan secara ekonomi. Semua itu tak lebih dari pembangunan ekonomi yang diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Hal itu sekali lagi adalah refleksi yang setia dari produksi dan merupakan distorsi yang objektif dari para produsen.

Dunia tontonan adalah penguasa yang tanpa hentinya berbicara tentang drinya sendiri, sebuah monolog yang tak pernah berhenti memuji dirinya sendiri, potret diri dalam sebuah level yang mendominasi secara totaliter setiap aspek kehidupan. Tampilan fetish dari objektifitas yang murni dalam hubungan yang berkaitan dengan dunia tontonan yang merahasiakan karakter mereka yang sesungguhnya sebagai hubungan antar manusia dan antar kelas, suatu kebiasaan dimana terdapat hukum yang tak terhindarkan, yang sepertinya mendominasi seluruh lingkungan kita.

Tetapi dunia tontonan bukanlah sebuah konsekuensi yang tak bisa diacuhkan dari perkembangan teknologi alamiah sebaliknya masyarakat dunia tontonan adalah sebuah format yang dapat memilih kandungan teknologinya sendiri. Jika dunia tontonan, dengan pertimbangan keterbatasan pandangan dari”media massa” dengan manifestasinya yang dangkal dan menyilaukan, sepertinya menginvasi masyarakat dalam wujud yang semata-mata piranti teknis, maka haruslah dipahami bahwa piranti itu sama sekali tidak netral dan hal itu telah dikembangkan menurut dinamika internal dari dunia tontonan tersebut.

Jika kebutuhan sosial menurut jaman dimana perkembangan teknologi hanya dapat ditemukan melalui mediasinya, jika administrasi masyarakat dan seluruh kontak antar manusia telah bergantung secara total pada sumber komunikasi instan ini, maka hal itu dikarenakan “komunikasi”ini secara esensialnya adalah unilateral/bersifat sepihak.

Konsentrasi dari media yang begitu banyak terpusat dan dikuasai oleh penguasa dari sistem yang eksis saat itu yang memungkinkan untuk menangani bentuk administrasi yang unik ini.

Keterpisahan secara sosial direfleksikan dalam dunia tontonan yang tak dapat dipisahkan dari negara modern, produk dari pembagian kerja, terdapat pada pemilik instrumen dari ruling class dan ekspresi yang dikonsentrasikan dalam semua lapisan sosial.“separation” adalah merupakan permulaan dan sekaligus akhir dunia tontonan.

Pelembagaan pembagian kerja secara sosial yang diwujudkan dalam pembagian kelas, yang telah membangkitkan dongeng dalam wujudnya yang relijius. Sebuah mitos yang ditawarkan dengan setiap kekuatan yang selalu berkamuflase. Agama memberikan pembenaran terhadap tawaran cosmis dan ontologis itu, yang sesuai dengan keinginan para guru,menguraikan secara rinci dan menghiasnya dan masyarakat tak bisa menolaknya. Dalam hal ini semua tenaga yang terpisahkan dijadikan tontonan. Tetapi pada awalnya ketaatan universal menuju kepada ketetapan relijius yang imajinatif hanyalah pengakuan bersama atas sebuah kehilangan, suatu ganti rugi yang imajinatif untuk kemiskinan dari suatu aktivitas sosial yang kongkrit.Yang secara umum dialami sebagai suatu kondisi yang satu. Sebaliknya “dunia tontonan” atau “spectacle” melukiskan apa yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, tetapi dalam melakukan hal tersebut ia (spectacle) memisahkan apa yang mungkin dari apa yang diijinkan.

Dunia tontonan ini memelihara setiap orang dalam ketidaksadarannya seiring mereka melalui perubahan praktis dalam kondisi eksistensi mereka. Seperti suatu “dewa”yang dibuat-buat, ia melahirkan dirinya sendiri, ia membuat aturannya sendiri. Ia menyatakan dirinya sebagai suatu pengembangan kekuatan yang memisahkan yang sifatnya autonomus, berdasarkan meningkatnya produktivitas yang berasal dari pembagian kerja yang bentuknya “diperhalus” Kedalam sikap yang dikotak-kotakkan dan diarahkan oleh gerak bebas mesin-mesin dan bekerja untuk suatu pasar yang terus berkembang tanpa henti. Selama tahap perkembangan ini, seluruh masyarakat dan semua kesadaran kritis dihancurkan beserta kekuatan yang memungkinkan untuk tumbuh dipisahkan satu sama lain.

Kekuasaan sistem ekonomi seperti lingkaran setan yang terus mengisolasi. Teknologi didasarkan pada peng-Isolasian, dan mereka berperan untuk peng-isolasian tersebut. Dari mobil sampai televisi, barang-barang tesebut dipilih sistem dunia tontonanUntuk diproduksi, untuk melayaninya sebagai senjata untuk memperkuat kondisi-kondisi yang melahirkan “lonely crowds” sebuah “kerumanan yang kesepian”. Dunia tontonan lahir dari dunia yang kehilangan kesatuan dan ekspansi tak berbatas dari dunia tontonan ini menampakkan sifat yang amat jahat dari kehilangan dan kerugian ini.

Pengaburan dari kerja individual dan pengaburan secara umum dari apa yang telah diproduksi direfleksikan melalui dunia tontonan,dengan cara yang amat kongkrit dan abstrak. Penonton dihubungkan semata-mata oleh hubungan mereka yang searah menuju kepada satu pusat yang mengisolasi mereka satu sama lain. Dunia tontonan menyatukan mereka yang terpisah, tetapi hal itu hanya menyatukan mereka dalam kondisi keterpisahan mereka.

Alienasi dari penonton, yang menguatkan keadaan suatu objek yang tak berdaya yang dihasilkan dari aktivitas yang tak sadar ini, berjalan melalui proses seperti ini:semakin ia berdiam diri dan merenung, semakin” kurang” ia hidup; semakin ia mengidentifikasikan dirinya dengan image yang ia butuhkan, makin kurang ia memahami hidup dan keinginannya sendiri.

Proses pengasingan diri dari dunia tontonan berasal dari gerak sebuah subjek yang diekspresikan oleh kenyataan bahwa sikap individual bukan lagi miliknya, mereka adalah sikap dari seorang yang lain yang kemudian menghadirkannya kembali untuk mereka. Penonton/spectator tidak merasakan kenyamanan dimanapun mereka berada, karena dunia tontonan atau “spectacle” ada di mana saja.


* tulisan di atas merupakan hasil terjemahan dari sebagian buku Guy Debord, Society of spectacle

* Spectacle /kata benda/:
Organisasi tampilan yang dibuat eksis melalui cara-cara komunikasi modern (media). Bergerak perlahan dengan yang mana imaji-imaji dapat dilekatkan dan dialienasikan dari sumbernya, serta direorganisasi untuk membentuk representasi yang sejalan dengan ideologi kelas yang berkuasa, membentuk dasar-dasar teknis dalam lingkup yang lebih diutamakan dalam spectacle modern, di mana “segala sesuatu yang dulu langsung dihidupi, kini telah tersingkirkan menjadi sekedar representasi atasnya”. Misalnya, sebuah iklan di televisi memperlihatkan sebuah keluarga dalam sebuah mobil berkendara dengan bahagia sepanjang perjalanan, kemudian “bersenang-senang” dalam ruang lingkup mobil yang sempit, tapi seakan mampu membawa kebahagiaan—sesuatu yang didambakan banyak manusia modern. Mobilnya diperlihatkan sebagai sebuah konteks yang paling menyenangkan: imaji mobil yang lantas disambungkan dengan imaji “bersenang-senang” menyarankan sebuah kebutuhan untuk membeli mobil sebagai sebuah cara untuk “mendapatkan” kesenangan dan kebahagiaan. Tapi pada faktanya, saat iklan tersebut dipertontonkan, jutaan orang tidaklah berbahagia hanya karena memiliki mobil untuk kemudian berkendara bersama keluarga. Atau pada contoh lain, misalkan seseorang yang akibat padatnya penduduk kota yang penuh polusi, bising dan mendorong timbulnya stress merindukan kehidupan alamiah yang tenang dan tenteram, ia tak perlu benar-benar pergi dari kota tempat tinggalnya, ia hanya perlu membeli televisi besar dan berlangganan siaran kabel, mencari saluran film tentang nuansa alam semisal National Geographic. Ingat iklan betapa televisi layar lebar dan datar serta didukung sistem audio modern mampu menghadirkan kenyataan ke rumahmu. Kita dilatih untuk mengkonsumsi imaji yang merupakan representasi atas kenyataan, tapi tidak menjalani kenyataan itu sendiri. Maka yang terjadi adalah bahwa seseorang tersebut tak pernah pergi ke lingkungan alami, ia akan menghabiskan waktunya dengan menonton televisi yang berarti sebuah aktifitas pasif, non-aktifitas.

Pengorganisiran aktifitas spektakular adalah pengorganisiran pasifitas dan pasifikasi sosial modern yang sesungguhnya—pengelompokan manusia sebagai sekedar pengamat atas penerimaan satu sisi dari imaji-imaji hidup mereka sendiri yang telah teralienasikan.

Tetapi spectacle bukanlah sekedar sebuah kumpulan imaji, melainkan sebuah relasi sosial antar manusia yang dimediasikan melalui imaji. Relasi nyata antar manusia ditransformasikan ke dalam sebuah relasi antar imaji. Contohnya, imaji Tony Blair di televisi yang mengunjungi Indonesia beberapa tahun lalu, bersalam-salaman dengan tokoh-tokoh ulama seperti Aa’ Gym dan mengadakan temu wicara dengan beberapa murid pesantren. Hal tersebut menampilkan Tony Blair yang merepresentasikan warga Inggris, merespek Aa’ Gym yang merepresentasikan umat muslim Indonesia; yang pada kenyataannya Tony Blair tak melakukan apapun saat di Inggris kasus-kasus kekerasan terhadap muslim pasca histeria terorisme merebak. Lagi, saat seorang “bintang film” atau “bintang olah raga” mengiklankan sebuah produk, kita diharapkan merespon pada imaji mereka sebagai seseorang yang ideal, dan lantas mengemulasikan hal tersebut dengan mengasosiasikan diri kita sendiri dengan imaji yang mana para bintang tersebut mengasosiasikan dirinya. Contohnya, saat Dian Sastro mengenakan kaos kaki panjang sebagai seragam sekolah SLTA-nya saat ia terasosiasikan dengan film “Ada Apa Dengan Cinta”, perhatikan berapa banyak dari perempuan SLTA yang juga lantas mengenakan kaos kaki panjang sekaligus memanjangkan rambut untuk mengasosiasikan diri mereka dengan imaji Dian Sastro, yang mereka anggap sebagai seseorang yang ideal.

Tetapi proses tersebut juga melangkah lebih jauh: spectacle menjadi topik utama obrolan, diskusi dan bahkan juga subyek bagi spectacle lanjutan (misalnya, maraknya diskusi mengenai teori “simulacra” dari Baudrillard di kalangan mahasiswa filsafat yang hanya berujung pada pengkonsumsian lebih banyak buku tapi mengalienasi mereka dari kenyataan itu sendiri). Pembicaraan anak-anak kawasan urban juga dimonopoli oleh argumen-argumen soal program acara televisi yang mereka tonton hari sebelumnya. Komunikasi tentang pengalaman hidup yang nyata menjadi spectacle komunikasi dan tentang spectacle, komunikasi atas pengalaman pasifitas, non-komunikasi. Spectacle secara umum digunakan untuk menamai irama relasi sosial yang non-komunikasi, irama isolasi. Tujuan utama komunikasi adalah sebuah dialog pengalaman nyata, bukanlah sebuah pertukaran kepasifan yang didominasi oleh teknologi yang dikembangkan dalam spectacle.

Mimpi buruk spectacle, imaji-imaji yang mengambil “hidup” dari kehidupan itu sendiri, sepenuhnya telah terealisasikan saat dengan sadar orang-orang berusaha untuk menghidupkan imaji-imaji yang dianggap dapat merepresentasikan diri mereka: bahkan juga dalam urusan bercinta, yang seharusnya momen potensial dari bentuk komunikasi sempurna (kesatuan dari pemberian-kenikmatan dan pengambilan-kenikmatan), kini secara konstan berusaha merepresentasikan imaji diri mereka sendiri pada sesamanya; kontak langsung dan juga fisikal dari dua orang manusia telah lenyap dalam percintaan palsu yang mengandalkan imaji-imaji spektakular.

Sementara itu, barang dan jasa (komoditi) diproduksi oleh proletariat yang juga menjadi bagian aktif dari spectacle, dijual kembali pada proletariat yang memproduksi mereka adalah sebuah pola yang didorong oleh spectacle: dengan iklan dan dorongan konsumsi yang membludak. Konsumsi komoditi menjadi satu-satunya bentuk konsumsi. “Semakin lama, semakin sedikit pertukaran yang tidak dilakukan tanpa eksistensi uang”. Pengalienasian para spektator demi kepentingan obyek kontemplasinya, dapat diekspresikan antara lain sebagai berikut, “semakin ia berkontemplasi semakin kurang ia hidup; semakin ia menerima dan menemukan dirinya dalam imaji-imaji kebutuhan dominan, semakin ia tidak memahami eksistensinya dan hasratnya sendiri. Dalam hal tersebut semua gerak-geriknya tak lagi menjadi miliknya melainkan milik semua yang lain yang merepresentasikan diri dalam seseorang tersebut.” (Guy Debord, The Society of the Spectacle).

Maka dapat dianggap juga bahwa spectacle adalah kapital yang dalam tingkat tertentu telah berakumulasi menjadi imaji, menjadi tampilan. Semenjak dunia masa kini dikendalikan oleh kapital yang mengkonsentrasikan pada dirinya sendiri, spectacle adalah kapital yang menciptakan sebuah dunia yang berisi imajinya sendiri. Kapital adalah tuhan material, dan spectacle adalah agama (ideologi) materialnya. Spectacle, dalam berbagai bentuknya telah menguasai dunia: dunia yang merepresentasikan dirinya sebagai dunia nyata.

Engkau ingin kaya raya, kini tak perlu mencari uang bertumpuk tetapi cukup mengenakan tampilan seperti layaknya orang-orang kaya. Engkau ingin memberontak, cukup mengenakan pakaian yang penuh dengan imaji-imaji pemberontakan (gambar wajah Che Guevara atau mengkoleksi buku-buku karya Karl Marx). Engkau ingin pintar, cukup menamatkan kuliah dan menyematkan titel akademismu dalam setiap pencantuman namamu. Engkau ingin peduli sosial, cukup beritakan bahwa engkau telah menyumbangkan sejumlah uang pada mereka yang sedang berkesusahan uang. Engkau ingin menjadi muslim/muslimah yang beriman, cukup kenakan pakaian tradisional muslim/muslimah, melaksanakan shalat atau berpuasa saat Ramadhan. Engkau ingin dianggap bersolidaritas dengan mereka yang miskin, cukup tampilkan dirimu dengan pakaian yang dikenakan orang-orang miskin. Dan masih banyak contoh lain tentang bagaimana kita melibatkan diri kita dalam spectacle di kehidupan kita sehari-hari, yang menjadi bukti bahwa spectacle adalah aturan dominan masyarakat paling modern dewasa ini.

Catatan tambahan:

(1) Contoh soal membeli televisi dan perangkat home-theater dapat dibawa lebih jauh dari sekedar kepasifan menonton televisi yang memang terlalu jelas. Pasifitas bukan sekedar duduk menonton, tetapi berpikir juga dapat dianggap pasifitas semenjak tak ada gerakan yang dilakukan. Ada beberapa relasi sosial yang perlu dianalisa di sini. Bukan sekedar televisinya yang membuat orang menjadi pasif, tetapi juga relasi yang ditampilkan dalam program-program acara televisi juga perlu diperhatikan, seperti maraknya acara talkshow, realitas, debat publik, dsb. yang juga adalah tampilan imaji (misalnya, bagaimana acara debat publik dan dialog yang ditampilkan di televisi sebenarnya adalah juga sekedar imaji dari demokrasi).

(2) Contoh Tony Blair yang berjabatan dengan Aa’ Gym, lebih jelasnya, memperlihatkan Blair yang secara spektakular menjabat erat kebijakan Aa’ Gym, bukan sekedar Aa’ Gym. Tetapi melihat Blair sebagai “Inggris” dan Aa’ Gym sebagai “muslim Indonesia” jelas adalah juga pandangan spektakular, semenjak seluruh kebijakan Blair adalah kebijakan sistem, demikian juga kebijakan Aa’ Gym, yang mana kebijakan keduanya tak dapat diterapkan sebagai kebijakan semua orang Inggris ataupun semua orang muslim di Indonesia.

(3) “Bintang film”, “bintang olah raga” dan “bintang musik” sesungguhnya juga sekedar produk. Mereka adalah imaji yang dipisahkan dari diri mereka sebagai manusia oleh relasi sosial para konsumennya dan juga produsennya. Spectacle hanya dapat muncul apabila ada sebuah relasi mutual antara imaji dan konsumen imajinya, yang akan menghasilkan pemenuhan palsu hidup yang teralienasi. Semua itu hanya mungkin terjadi dengan adanya relasi sosial seperti demikian.

(4) Alienasi dan isolasi seharusnya dipahami bukan sekedar sebagai “keterpisahan individu dari individu lainnya” melainkan juga sebagai keterpisahan aktifitas manusia dari obyek aktifitasnya sendiri.

Read More......

MELAWAN IDEOLOGI?

“Aku menyatakan melawan dogmatisme, karena meskipun diriku tetap kukuh dan yakin terhadap apa yang aku mau, aku selalu meragukan apa yang aku tahu.”—Errico Malatesta

Di saat fundamentalisme religius masih menjadi gerakan yang sangat kuat, ideologi tampaknya mengalami penurunan kekuatan sebagai motor dari gerakan revolusioner yang bersifat sekuler. Ada saat-saat yang cukup panjang di masa lalu ketika kelompok-kelompok seperti Partai Komunis mampu memerintahkan jutaan pengikutnya di seluruh dunia. Haruskah para anarkis merayakan kemunduran ini, memposisikan diri kita di atas segala gelombang yang saling bertubrukan di dalam sejarah? Apakah ideologi itu sendiri adalah masalahnya? Namun apakah yang diartikan dengan melawan ideologi? Untuk mencapai dasar dari masalah ini, kita harus mengerti dengan tepat tentang apa yang kita maksud dengan ideologi itu sendiri.


Permasalahan ini telah diperkeruh oleh banyak marxis yang ada sebelum kita. Marx menegaskan bahwa ideologi ditentukan oleh siapa yang mengontrol proses produksi, dan hal itu berfungsi untuk membutakan proletariat terhadap eksploitasi yang mereka alami. Namun bukankan ideologi Marxisme itu sendiri juga telah membutakan jutaan orang? Dan bagaimana mungkin asumsi akan produksi yang didasarkan pada relasi kelas seperti yang telah dikemukakan oleh teori Marx cukup untuk menjelaskan perkembangan dari berbagai hal yang terjadi selama abad ke 20? Jika beberapa pengikut Marx telah berusaha untuk mengembangkan analisisnya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dunia yang nyatanya tidak pernah tepat seperti prediksi Marx, kita seharusnya curiga terhadap mereka, seperti kita juga harus curiga terhadap semua ideolog.

Merupakan suatu hal yang mudah untuk melihat bahaya yang tersembunyi di dalam ideologi ketika kita menguji dogmatisme yang ada pada musuh kita. Namun walaupun ideologi adalah hal yang biasa kita sebut sebagai ide-ide dari mereka yang tidak kita sepakati, kita juga harus mampu untuk mengkritisi ide-ide yang ada dalam diri kita sendiri.

Namun, apakah ideologi itu?

Sifat dasar ideologi masih menjadi suatu tanda tanya besar bagi para anarkis kontemporer: kita tahu bahwa kita melawan hal ini, namun kita tidak dapat benar-benar mendefinisikannya pengertiannya dengan jelas.

Misalnya saja, kolektif CrimethInc telah berjuang dengan hal ini selama satu setengah dekade. Di awal-awal dalam buku Days of War, Nights of Love, kritik tersebut dirangkum dalam sebuah slogan seperti, “Apakah kamu yang memiliki ide-ide, atau ide-ide tersebut yang memilikimu?” Dalam sebuah tinjauan kembali, perumusan tersebut menganggap adanya pemisahan antara diri seseorang dan ide-ide yang dimilikinya, yang mengandaikan adanya sebuah diri esensial yang mendahului konstruksi ideologis. Setelah itu dalam buku Expect Resistance, CrimethInc mencoba pendekatan lain: “Ketika kita mencoba untuk memberontak melawan keterbatasan yang diakibatkan oleh kultur, kita menyebutnya sebagai ‘ideologi’ … namun kita tidak bisa lolos dari kultur itu sendiri—kita membawanya bersama diri kita selagi melarikan diri.” Pernyataan ini merupakan analisis yang lebih hati-hati, namun ini tidak juga menjelaskan bagaimana kita mampu untuk melawan batasan-batasan tersebut.

Ada orang lain yang mampu menjelaskannya dengan sedikit lebih baik. David Graeber, yang diwawancarai oleh Void Network untuk Koran Babylonia, tanpa pikir panjang mendefinisikan ideologi sebagai “ide yang seseorang butuhkan untuk membangun sebuah analisis global sebelum mengambil suatu tindakan (dan pengertian ini tidak terelakkan mengarah pada asumsi bahwa seorang vanguard intelektual wajib mengambil peran kepemimpinan di semua pergerakan politis popular). Hal ini dirasa sebagai pengertian yang terlalu spesifik. Di sisi lain, dalam buku The Revolution of Everyday Life, Raoul Vaneigm memasukkan “individualisme, alkoholisme, kolektifisme, aktivisme” dalam suatu jangkauan di antara berbagai ideologi-ideologi yang mungkin. Berbagai definisi yang mencakup semua hal ini tentunya masihlah terlalu luas.

Jika merujuk pada kamus, ideologi adalah “Sebuah sistem ide-ide dan ideal, terutama yang membentuk basis ekonomi/teori politik dan kebijakan.” Berdasarkan definisi tersebut, tampaknya sulit untuk menguraikan sebuah oposisi anarkis terhadap ideologi: jika kita menyatakan diri kita melawan sistem ide-ide dan ideal, bagaimana bisa kita menegakkan sebuah kritik terhadap hierarki dan opresi? Lebih buruk lagi, pada dasar apa kita bisa melawan sistem itu, tanpa mengadopsi sistem tersebut pada diri kita sendiri? Karena itulah mari kita mendekati permasalahan ini dari arah yang berbeda, memperbesar kemungkinan daripada membuat teritori tertentu, dengan harapan agar kita mampu membuat kemajuan tanpa merencanakan sebuah cetak biru ideologis untuk melawan ideologi.

Apa yang dimaksudkan dengan melawan ideologi?

Jika ideologi ditandai sebagai sesuatu yang berawal dari sebuah jawaban atau kerangka konseptual, serta usaha untuk bekerja dari titik tersebut, maka satu cara untuk menentang ideologi adalah dengan mengawali sesuatu lewat pertanyaan daripada jawaban. Karenanya ketika kita berkecimpung dalam suatu konflik sosial, lakukan hal tersebut untuk menghadirkan pertanyaan-pertanyaan daripada sekedar kesimpulan semata.

Apakah yang mampu menciptakan serta mendefinisi suatu pergerakan, jika bukan pertanyaan-pertanyaan? Jawaban dapat mengalienasi dan membakukan, namun pertanyaan mampu menggodamu. Sekali seseorang terpikat pada sebuah pertanyaan, ia akan berjuang sepenuh dirinya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan mendahului jawaban dan mampu hidup lebih lama dari jawaban-jawaban; setiap jawaban hanya terus-menerus menghidupkan pertanyaan yang diturunkannya.

Istilah anarkisme itu sendiri berguna bukan karena ia adalah sebuah jawaban, namun karena ia adalah sebuah pertanyaan—karena ia lebih efektif daripada istilah-istilah lainnya (kebebasan, komunitas, komunisme) dalam menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kita tanyakan. Apa yang diartikan dengan hidup tanpa hierarki, atau berjuang melawannya? Satu kata ini menawarkan titik keberangkatan yang tiada habisnya, misteri-misteri yang tak berujung.

Mungkin perjuangan anarkis adalah sebuah usaha untuk membuat suatu program yang nyata, untuk menggapai sebuah tujuan yang telah dipilih dari awal—ini adalah cara ideologis untuk mewujudkan proyek kita. Namun mungkin utopia ini tidak tergapai, dan signifikansi nyatanya adalah bahwa hal ini berperan sebagai sebuah kekuatan pemotivasi yang memungkinkan kita untuk hidup secara berbeda di saat ini. Jika inilah nilai sejati dari berbagai program utopis, semakin mereka tidak dapat dicapai maka akan semakin baik.

Namun apa lagi yang dapat diartikan dengan menentang ideologi?

Mungkin ini berarti dengan menolak konsepsi Platonik akan pengetahuan, yang merujuk pada suatu “realitas sejati di luar sana” yang lebih berarti daripada pengalaman yang kita hidupi di sini. Mereka yang menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari dan mengkonstruksikan teori seringkali salah mengartikan abstraksi mereka terhadap fenomena dunia nyata, ketika nyatanya abstraksi tersebut hanyalah generalisasi yang disimpulkan dari pengalaman individual. Menilai suatu ketidakterbatasan yang tidak bisa direduksi dari hidup kita sendiri di atas petunjuk kemalasan orang mati, dan mengetahui daripada mempercayai bahwa kita sempurna, kita harus menyusun ide-ide kita sebagai hipotesis daripada sebagai prinsip-prinsip universal. Hipotesis dapat diuji, diperbaiki, dan diuji kembali secara terus-menerus. Dengan cara itu, maka anarkisme sendiri hanyalah suatu generalisasi yang luas, sebuah hipotesis bahwa hidup akan lebih kaya tanpa hierarki.

Mungkin melawan ideologi berarti berhenti untuk menganggap ide-ide kita sebagai suatu kepemilikan yang terpisah dari cara yang kita mampu untuk menghadirkannya sebagai suatu tindakan. Selama masa puncak dalam perjuangan, orang-orang cenderung untuk berfokus pada pertanyaan-pertanyaan praktis, dan teori menubuh dalam tindakan sehari-hari; selama masa-masa kekalahan, teori cenderung untuk menjadi terpisah dari aktifitas, menjadi sebuah bidang yang terspesialisasikan. Dalam sebuah kekosongan, perluasan dari teori dapat menjadi suatu aktivitas pengganti, untuk mengkompensasikan semua itu seseorang tidak bertindak, namun justru membiasakan seseorang untuk berpikir daripada bertindak—seakan-akan kedua hal itu dapat dipisahkan! Demikianlah ideologi menjadi perpanjangan ego dari mereka yang meyakininya, yang membenturkan ideologi yang satu dengan lainnya seperti musuh dalam sebuah perkelahian yang sengit.

Mungkin melawan ideologi berarti berusaha untuk melakukan sesuatu tanpa penilaian dan pembedaan yang biner. Daripada mengambil posisi untuk mengadopsi atau menentang berbagai kategori tertentu—“organisasi siswa,” “reformisme,” “kekerasan,” bahkan “ideologi”—kita bisa melihat setiap hal ini disusun oleh berbagai tendensi dan arus yang saling berkonflik. Dari sudut pandang ini, peran dari teori bukanlah untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu, namun untuk mempelajari berbagai dorongan yang saling mempengaruhi suatu masalah agar kita dapat menyusun tindakan yang strategis.

Mampukah kita membayangkan untuk menentang ideologi dalam cakupan yang lebih konkrit—misalnya, saat kita harus melakukan pengorganisiran dan upaya menjangkau keluar (outreach)? Mungkin ini berarti tidak memposisikan diri kita dalam sebuah kelompok yang berideologi tertentu, namun berfokus untuk mendestabilisasikan wilayah sosial yang telah eksis: menciptakan koneksi-koneksi baru dan mensirkulasikan energi subversif ketimbang berusaha untuk menggenggam teritori tertentu. Para anarkis yang melakukan pendekatan ini mengarahkan perhatian mereka keluar dari komunitas anarkis, mendekati orang-orang dalam komunitas lain daripada mendebatkan hal-hal tertentu dengan mereka yang memiliki pemahaman serta bahasa teoritis yang sama. Tentu saja kita tidak dapat mengharapkan orang lain untuk beranjak dari zona kenyamanannya jika kita sendiri tidak memulai untuk melakukan hal tersebut.

Konsekuensi yang wajar dari hal ini adalah bahwa mereka yang berada di tengah transformasi adalah ahli yang sebenarnya pada hal perubahan sosial, bukan seorang radikal berkarier yang hanya berada dalam posisi yang itu-itu saja dari dulu. Jikalau begitu, maka yang terakhir harus mengikuti pimpinan mereka, bukannya dengan cara yang lain. Dan jelas, menentang ideologi berarti mempertimbangkan taktik dan strategi habitual, secara konstan menguji diri dan pemahaman kita sendiri, serta tidak menjadi terlalu silau dengan suara kita sendiri.

Dan selain ideologi?

Tentu saja sebuah pengingkaran total akan ideologi tidak dapat dipertahankan begitu saja—sebuah ide yang mengisyaratkan suatu “sistem ide-ide dan ideal.” Ideologi bukanlah sesuatu yang dapat kita lepaskan atau buang; yang terbaik adalah, kita dapat memelihara sebuah kecurigaan yang sehat terhadap ide-ide dan ideal yang kita miliki. Keinginan untuk benar-benar melawan atau berada di luar ideologi dapat menjadi berbahaya, pertama karena hal itu menciptakan ilusi bahwa seseorang tidak membutuhkan kecurigaan tersebut. Menegaskan bahwa semua orang adalah ideolog yang memperdaya dirinya sendiri adalah sebuah indikasi yang baik bahwa kamu juga menjadi bagian dari orang-orang tersebut, tak peduli apakah kamu seorang marxis garis keras ataupun seorang nihilis apolitis.

Mereka yang menyatakan menolak ideologi secara keseluruhan seringkali berakhir dengan mengglorifikasikan aktifitas tertentu yang dimaksudkan sebagai komitmen politis—misalnya saja, vandalisme dan kekerasan terhadap figur kekuasaan. Namun dengan memisahkan diri dari segala program politis, tidak ada jaminan bahwa hal ini dapat menciptakan konsekuensi yang membebaskan; hanya mereka yang hidup jauh dari Kosovo dan Palestina yang dapat menyatukan segala aktivitas tersebut dengan perlawanan terhadap hierarki. Kebanyakan dari mereka yang bertindak seperti ini tetap memiliki keyakinan politis tertentu, tak peduli apakah mereka mengakuinya atau tidak.

Retorika yang dibesar-besarkan tentang yang hal yang tidak dikenal (atau “menghancurkan dunia”) sekalipun, kita hanya mampu mendasarkan perlawanan pada sebuah keadaan yang kita tahu. Jika hal yang tidak diketahui itu sendiri (atau total destruksi) adalah satu-satunya tujuan kita, bagaimana mungkin kita tahu darimana untuk memulai? Alangkah lebih baik untuk mengenali ide-ide dan ideal yang membentuk keputusan kita.

Ideologi—ataupun ide-ide, ideal, nilai, makna—dibentuk melalui proses sosial. Dari saat kita lahir, hal tersebut mengkonstruksikan diri kita, lalu kita mengkonstruksikan, dan kembali merekonstruksikannya. Inilah proses yang tak terhindarkan dari eksistensi kita sebagai makhluk sosial. Anarkisme mengemukakan bahwa kita mampu berpartisipasi dalam proses ini dengan sengaja, secara kolektif memproduksi nilai dan makna, dan dengan demikian: diri kita sendiri. Esensi dari determinasi-diri bukanlah sesederhana sebagai kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bagi diri kita sendiri, namun juga untuk membuat diri kita sendiri dalam proses hidup. Memenangkan kekuatan ini adalah suatu usaha yang lebih penting daripada sekedar memenangkan setiap pertempuran yang dapat dipertarungkan di jalanan.

Kapitalisme eksis dengan menghidupkan dirinya terus-menerus tanpa ideologi: hal ini memberikan kesan bahwa kapitalisme tidak membutuhkan orang-orang untuk percaya padanya, selama mereka telah berpartisipasi dalam kapitalisme untuk bertahan hidup. Jangan kita lupakan juga bahwa jutaan orang dalam “Dunia Baru” dan di tempat lain telah memilih untuk berjuang dan mati daripada harus bertahan dalam dunia seperti ini, tanpa peduli kenyamanan apa pun yang ditawarkan oleh peradaban barat pada mereka. “Kebutuhan material” yang mengendalikan sistem ini juga diproduksi melalui proses sosial: seseorang harus menginternalisasikan suatu kadar materialisme tertentu dalam sudut pandang kapitalisme untuk mengadopsi materialisme dari sudut pandang marxis.

Jadi mungkin kita dapat menyusun proyek kita dalam suatu kerangka nilai-nilai daripada kerangka ideologi. Kita tidak sedang mencoba untuk mempropagandakan terlalu banyak sistem ide-ide tertentu untuk membantu perkembangan hasrat anti-autoritarian. Dengan memulai dari apa yang kita inginkan daripada apa yang kita percaya, kita dapat menghindari bahaya yang tersembunyi dalam dogmatisme dan menemukan penyebab umum dari suatu permasalahan bersama orang-orang lainnya yang mampu melampaui teori apa pun.


Crimethinc.

Read More......