Minggu, 28 Februari 2010

Warga dan Anarkis Melawan Penggusuran

Perlawanan eksekusi lahan Warga Pandang Raya
(Potret resistensi miskin kota melawan ekspansi kapital)
Makassar, 23 Februari 2010

Pandang Raya adalah sebuah pemukiman kecil seluas 4900m2. Posisinya yang strategis, berada di tengah kota dan diapit oleh perumahan dan pusat perbelanjaan terbesar di kota ini, tentu adalah incaran bagi mereka yang tergiur akan peluang investasi di lokasi tersebut. Sama halnya yang terjadi di beberapa tempat lainnya, yang hilang dan terpinggirkan oleh pesatnya pembanguan infrastruktur, pandang raya kini menghadapi ancaman yang sama. Lahan kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 40 rumah ini merupakan lahan emas yang kini diklaim oleh seorang bernama Goman Wisan, pengusaha kakao yang berdomisili di kota Palu.
Kasus sengketa ini telah berjalan lama dan menjalani proses persidangan yang memenangkan si pengusaha dan menetapkan keputusan eksekusi lahan tersebut. Surat keputusan ekseskusi tanah berapa kali telah dikeluarkan pengadilan tinggi. Eksekusi pertama gagal dijalankan oleh perlawanan warga setempat, begitu pula dengan ekseskusi kedua juga batal oleh serangkaian aksi yang dilakukan warga di beberapa instansi yaitu BPN, Pengadilan Negeri Makassar, dan Polwiltabes. Warga terus melakukan perlawanan dan mempertahankan lahan serta mencari dukungan solidaritas. Selain secara psinsipil bahwa tanah tersebut merupakan tempat hidup dan bernaung mereka selama berpuluh-puluh tahun, tanah tersebut adalah hak milik mereka yang sah, karena jelas bahwa tanah yang diklaim oleh si pengusaha berada di lokasi yang salah berdasarkan surat-surat tanah yang tertera. Tetapi bagaimanapun legalitas hukum yang dimiliki, kepentingan modal tetap mengambil kuasa. 23 Februari 2010 Eksekusi lahan kembali ditetapkan oleh pengadilan tinggi.


Sejak pagi warga setempat telah bersiap menyiapkan strategi, taktik serta amunisi untuk menghadapi eksekusi. Lokasi yang diapit oleh perumahan dan pusat perbelanjaan ini, dihubungkan oleh sebuah jalan diblokade dua arah oleh warga. Berjarak 100 meter dari pemukiman, jalan tersebut ditutup oleh drum panjang dan kawat duri. Batu-batu dari pinggiran jalan dan bambu runcing dikumpulkan warga sebagai amunisi bertahan mereka. Bersama sejumlah mahasiswa dan organ yang bersolidaritas atas ancaman eksekusi ini, menutup jalan sambil berorasi. Sekitar pukul 09:00 pagi satuan kepolisian dari Polsek makasaar timur dikerahkan menuju lokasi lahan. Terdapat 10 mobil PHH atau sekitar 300 satuan aparat diturunkan untuk proses eksekusi ini. Kedatangan aparat serentak membuat situasi mulai memanas, warga mulai bersiap menghadapi aparat yang telah menyusun formasi dengan tameng lengkap.

Saat memulai menyusun formasinya, Sesuatu yang menarik terjadi. Dihadapan aparat kepolisian, warga menyembelih seekor kambing sebagai simbol bahwa apapun yang terjadi mereka akan terus bertahan dan melawan sampai titik darah penghabisan. Ungkapan sakral dari sebuah perlawanan, yang sering mereka utarakan. Hal ini terlihat dari psikologi dan mental yang begitu siap menghalangi eksekusi walau secara kuantitas, jumlah mereka sangat kecil.

Selang beberapa lama aparat mulai mendekati blokade warga. Spontan membuat warga serempak lebih bersiaga. Aparat bergerak maju dan mendekati blokade depan.Warga berteriak memberikan ultimatum agar aparat tidak bergerak maju tetapi tetap saja mereka terus mendekati blockade yang dipasang warga. Keadaan makin memanas, saat polisi mendekat, spontan warga bertahan dengan melemparkan batu ke arah polisi dari sinilah bentrok terjadi. Batu-batu terus dilemparkan, senjata minimal yang bisa digunakan warga untuk menghalangi kemungkinan terburuk terjadinya pembongkaran rumah mereka. Polisi terus bergerak, hingga mampu melewati blokade utama, pertahanan warga mulai terhambur, belum lagi oleh persediaan amunisi yang semakin sedikit. Tapi keadaan kembali berubah, saat beberapa orang melemparkan Molotov. Beberapa orang dari polisi terkena lemparan tersebut, seorang bahkan terkena bakar dan membuat formasi mereka berhamburan dan memecah. Kelabakan oleh lemparan yang terus diarahkan, satuan polisi kemudian mundur. Tetapi keadaan belum mereda, karena formasi atau ring kepolisian pertama diganti oleh Dalmas yang bertameng besi. Dalam cuaca yang cukup panas, satuan ini merengsek maju dan langsung menembakkan gas air mata kearah warga. Dua kali tembakan terus dilemparkan, menyebabkan warga berhamburan karena merasakan perih dan sesak oleh hirupan gas, sambil terus bertahan dengan melempar batu dan Molotov.


Tetapi kembali sesuatu menarik yang terjadi, saat kondisi alam seolah memihak pada pertahanan warga. Oleh arah angin, gas air mata yang dilemparkan justru kembali mengarah ke kerumunan aparat dan membuat mereka juga berhamburan. Lemparan batu yang tersisa, akhirnya melemahkan dan memundurkan dalmas. Saat mereka mundur, warga kembali menyiapkan amunisi batu dan Molotov untuk menghadapi kemungkinan serangan yang kembali datang. Hingga beberapa waktu polisi, masih menahan diri sampai akhirnya seorang dari pimpinan kepolisian meminta perwakilan warga untuk bernegosiasi. Keadaan mereda, saat keputusan eksekusi hari itu kembali dibatalkan. Luapan kegembiraan serentak diekpresikan dengan bersorak dan bernyayi terlebih saat satuan aparat dipulangkan dan meninggalkan lokasi mereka. Bentrokan antara warga dan aparat ini berlangsung kurang dari satu jam, keadaan mereda menjelang pukul 12:00.



Kata ‘anarkis” selalu identik oleh kerusuhan dan bentrok. Dilekatkan dengan pengrusakan, lemparan batu, dan tindakan sejenisnya. Merusak makna sesungguhnya bahwa aksi-aksi demikian justru adalah cara untuk mendapatkan kehidupannya. Luapan amarah dari lemparan batu dan Molotov, lagi-lagi dalam pandangan mainstream terlebih oleh media, tiada hentinya mencekoki kita dengan sesuatu yang sifatnya bar-bar dan rusuh. Tetapi sama sekali tidak pernah memandang bahwa cara inilah yang dipaksakan kepada mereka untuk menghadapi kekerasaan yang sesungguhnya dari Negara dan Kapital. Yang tidak akan pernah sebanding hanya dengan lemparan batu dan Molotov itu. Lucunya, medialah yang semakin mendapatkan nyawa dari situasi seperti ini.

Apa yang terjadi di Pandang Raya hari itu adalah sekian dari potret tersebut. Bentuk resistensi warga miskin kota yang bertahan untuk tetap terselip di ruang-ruang kota, walau mereka terus dipaksa dan diusir untuk kepentingan modal (pengusaha) yang terbelalak oleh investasi di lahan kehidupan mereka.

Apakah mereka akan mendapatkan kemenangan? Tak ada yang bisa menjawab, selain bagaimana warga haru terus bersiap mengantungi batu dan amunisi untuk terus bertahan.

Finally…

24 Februari 2010.



Kronologis :
Jarak 100meter dari pemukiman . PHH 10 mobil, mereka datang jam 9:26. ..warga memasang blockade ke2, terdiri dari bale bambu. warga siap sejak jam 8, menyiapkan amunsi : blockade pertama bagian barat berupa drum besar, dan kawat duri. Begitu jg sebelah timur, amunisi lain batu, bambu runcing. Yang mayoritas digunakan oleh peserta aksi. Parang, polisi tiba lemparan Molotov. Sekitar 300 aparat keamanan dari maktim, jumlah warga bersama mahasiswa sekitar 200..setelah orasi, polisi yang tiba 60 menit kemudian datang masang formasi dan tameng lengkap..5 menit kemudian mulai maju mendekati blockade 1. Warga yang memberi ultimatum agar tidak bergerak maju melempari dengan batu. Setelah itu polisi makin maju dan melewati blockade pertama. Molotov mulai dilepmarakan. 3 orang aparat terkena lemparan Molotov. Formasi mulai berhamburan, ring pertama mundur. Dan digantikan oleh ring kedua yaitu dari dalmas dengan tameng besi. Setelah dalmas menrangsek maju, gas air mata mulai ditembakkan ke arah warga. 2 kali tembakan gas iar mata, yang pertama perlawanan makin memicu perlawanan dari warga. tembakan Molotov kedua yang diarahkan kekerumunan warga membuat warga berhamburan. Dibantu oleh kondisi alam khusunya arah angin yang mengarah ke arah polisi. Membuat aparat juga terkena dampak dari gas air mata. Pasca ini, polisi tetap bertahan dan warga yang kehabisan amunisi menyiapkan amunisi baru. Hal ini menyebabkan polisi menahan diri dan meminta perwakilan untuk tidak menyerang. Polisi menarik pasukannya. Eksekusi ditunda dan warga bersorak atas gagalnya eksekusi hari ini.

Read More......

Minggu, 21 Februari 2010

JOHANN MOST

Johann Joseph "John" Most (5 Februari 1846 - 17 Maret 1906) adalah seorang anarkis dan orator kelahiran Jerman meski banyak berkarya di Amerika. Pada akhir abad kesembilan belas Johann Most memulai proyek-proyek yang menganjurkan pemakaian kekerasan untuk mencapai perubahan politik dan revolusi sosial. Ia terkenal sebagai orang yang mempopulerkan strategi "propaganda by the deed", yang menganjurkan tindakan langsung terhadap perorangan atau lembaga (tentu saja termasuk penggunaan kekerasan) untuk memaksakan perubahan revolusioner, aksinya kemudian mengilhami banyak proyek anarkis sesudahnya.


Latar Belakang

Most dilahirkan di Augsburg, Bavaria. Dia menjadi pegawai magang pada sebuah penjilidan buku, pekerjaan ini membawanya ke sekeliling Jerman, Austria, Itali, dan Swiss pada 1836-1868, Most kemudian menjadi penulis untuk pamflet dan selebaran sosialis, dan editor untuk terbitan-terbitan sosialis di Chemnitz (Chemnitzer Freie Presse) dan Wina, kegiatan-kegiatan itu kemudian mendapatkan tekanan dari penguasa. Dan untuk kegiatannya pada Freire Presse di Berlin, Most beberapakali ditahan untuk tulisan-tulisan berbau sinis dan kasar yang ditujukan kepada ide-ide patriotisme dan keagamaan serta etika konvensional, juga untuk ejekan pada khotbah-khotbah dan lagu-lagu seperti yang ditulisnya di Proletarier-Liederbuch (5th ed., 1875). Beberapa pengalamannya di penjara itu diceritakan dalam Die Bastille am Plotzensee: Blätter aus meinem Gefängniss-Tagebuch (1876).


Pada 1874-78, Most menjabat sebagai wakil untuk Marxis sosial demokrat di Reichstag Jerman. Ia menulis sebuah ringkasan yang populer tentang Das Kapital-nya Karl Marx. Setelah menyerukan pemakaian tindakan kekerasan (termasuk penggunaan bahan peledak dan bom) untuk perubahan revolusioner, ia dibuang ke pengasingan dan dikeluarkan dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Diyakinkan dengan pengalamannya sendiri akan kesia-siaan parlemen, Most kemudian menjadi seorang anarkis, dan lebih banyak menganjurkan proyek-proyek anarkis kolektif, namun kemudian dia banyak dicap sebagai anarkis komunis, meski gambaran yang paling mendekati untuk Most sebenarnya adalah seorang anarkis insureksioner.

Dia pergi ke Perancis, tetapi terpaksa harus meninggalkan negeri itu pada 1879, dan kemudian menetap di London. Di sana ia mendirikan sebuah organ "merah"--tercatat sebagai organisasi merah--Die Freiheit. Pada Juni 1881 Most mengungkapkan kegembiraannya akan pembunuhan Alexander II dari Rusia, dan karenanya ia kembali dipenjarakan selama satu setengah tahun .

Masa-masa di Amerika Serikat

Didorong oleh berita tentang perjuangan kaum pekerja dan perselisihan industrial di Amerika Serikat, Most beremigrasi atas keinginannya sendiri, dan mulai melakukan agitasi kepada imigran asal Jerman di tanah baru. Dia melanjutkan publikasi Die Freiheit di New York. Dia dipenjara pada tahun 1886, kemudian pada tahun 1887, dan pada 1902, terakhir kali Most dipenjara selama dua bulan karena menerbitkan sebuah editorial tentang pembunuhan terhadap Presiden McKinley, di mana ia berpendapat bahwa membunuh seorang penguasa bukanlah kejahatan.

"Setiap orang yang memperhatikan Amerika akan melihat: Kapal yang membawa-nya digerakkan oleh kebodohan, korupsi atau kecurigaan" kata Most.

Most terkenal setelah membuat konsep tentang Attentat: "Dengan menghilangkan semua pendukungnya, sistem yang ada akan semakin cepat dan lebih radikal dalam penggulingannya. Oleh karena itu, pembunuhan musuh-musuh rakyat harus diletakkan dalam gerakan." Most kemudian sangat dikenal ketika menerbitkan sebuah pamflet yang diterbitkan pada tahun 1885: The Science of Revolutionary Warfare: A Little Handbook of Instruction in the Use and Preparation of Nitroglycerine, Dynamite, Gun-Cotton, Fulminating Mercury, Bombs, Fuses, Poisons, Etc, Etc. Ini kemudian membuatnya mendapat julukan "Dynamost". Bakat sebagai orator, menjadikan sebagian besar ide-ide Most menyebar kepada para Marxis dan anarkis di semua kalangan di Amerika Serikat dan menarik banyak pengikut, terutama Emma Goldman dan Alexander Berkman.

Dengan sebagian besar terinspirasi oleh teori Attentat, Emma Goldman dan Alexander Berkman, yang terbakar dengan kematian buruh selama pemogokan Homestead, menaruh kata-kata ke dalam tindakan, Berkman kemudian melakukan usaha pembunuhan terhadap manajer pabrik Homestead, Henry Clay Frick pada tahun 1892.

Berkman dan Goldman segera kemudian merasa dikecewakan oleh guru mereka. Most menjadi salah satu pengkritik paling vokal dari usaha pembunuhan yang dilakukan Berkman, selain juga, menganggap Goldman cuma "menyerukan tindakan kekerasan dari atap rumah". Selanjutnya dengan memakai Die Freiheit, Most menyerang keduanya, baik Goldman maupun Berkman, dengan menyiratkan bahwa tindakan yang dilakukan Berkman hanya dibuat untuk menimbulkan simpati bagi Frick. Sejarawan Alice Wexler mengindikasikan bahwa kebanyakan kritik Most hanya disebabkan karena kecemburuannya terhadap Berkman, meski Wexler dan yang lainnya juga memberikan kredit bagi Most akan keberhasilannya terutama tentang perubahan sikap dan efektivitas dari pembunuhan politis terhadap perubahan revolusioner.

Goldman yang kesal oleh kritik Most memintanya untuk membuktikan sindirannya. Ketika Most menolak menjawab, Goldman membawa cambuk kuda ke kuliah Most berikutnya. Ketika akhirnya Most menolak bicara dengannya, Goldman mengibaskan cambuk itu ke wajah Most, lalu mematahkan cambuk itu dengan lututnya dan melemparkan patahan cambuk itu ke arah Most. Goldman di kemudian hari menyesali tindakan itu, mengungkapkan kepada seorang teman yang dia percaya, "Pada usia dua puluh tiga, ada kalanya kita bertindak tanpa alasan yang masuk akal."

Tahun-tahun Terakhir

Most terus menulis dan memberikan orasi tentang masalah-masalah perubahan revolusioner selama sisa hidupnya. Pada tahun 1906, ketika berada di Cincinnati, Ohio, untuk memberikan pidato, Most jatuh sakit dan didiagnosis dengan kasus erysipelas kronis, suatu infeksi bakteri kulit. Pada era sebelum ditemukannya antibiotik, sedikit yang bisa dilakukan untuk kondisinya yang semakin memburuk, Most meninggal beberapa hari kemudian.

Tautan tentang Johann Most:
http://recollectionbooks.com/bleed/Encyclopedia/MostJohann.htm
http://www.katesharpleylibrary.net/b2rc4z

Read More......

Jumat, 19 Februari 2010

MEMBELA BLACK BLOC: SEBUAH KOMUNIKE DARI PARA PENENTANG OLIMPIADE

14 Februari 2010 – Vancouver, Coast Salish Territories

Pada tanggal 12 dan 13 Februari 2010, ribuan orang datang dengan berani melawan negara polisi Olimpiade 2010 dan perusahaan yang telah melakukan penjarahan lahan dan semakin memperdalam kemiskinan. Kami menulis pernyataan ini sebagai peserta dan organiser kehadiran black bloc pada peristiwa yang dikenal sebagai "Take Back Our City" dan "2010 Heart Attack."

Pada 12 Februari, Kepolisian Vancouver mencoba meredakan kami dengan kekuatan polisi berkuda. Keesokan harinya selama 2010 Heart Attack, polisi anti huru hara dikerahkan dengan bersenjatakan senapan serbu karabin M4. Mereka mengklaim bahwa ini adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk menghentikan parade yang dapat "membahayakan keselamatan umum"-tapi satu-satunya ancaman terhadap keselamatan publik justru di tangan mereka sendiri. Peserta dalam demonstrasi hanya melakukan serangan strategis terhadap perusahaan-perusahaan yang mensponsori Olimpiade dan tidak membahayakan atau menyerang para pengamat.


Media sekarang lebih sibuk mencela kekerasan politik dari penghancuran properti, seperti perusakan jendela Perusahaan Hudson's Bay, seolah-olah itu adalah satu-satunya tindak kekerasan yang terjadi di kota ini. Mereka lupa bahwa kekerasan ekonomi terjadi setiap hari di Vancouver. Orang-orang menderita dan mati dengan alasan-alasan yang harusnya dapat dicegah karena ternyata kesejahteraan tak cukup untuk membayar sewa, makanan atau obat-obatan, dan karena pemerintah secara rutin mengabaikan kondisi darurat medis bagi mereka yang miskin atau individu tunawisma. Kekerasan ekonomi ini menjadi lebih buruk ketika kita harus kehilangan perumahan dan pelayanan sosial karena Olimpiade.

Sebagai tanggapan terhadap serangan ini, ribuan orang turun ke jalan, dan ratusan orang bergabung dengan apa yang dikenal sebagai black bloc.

Black Bloc bukan organisasi formal, ia tidak memiliki kepemimpinan, keanggotaan atau kantor. Sebaliknya, black bloc adalah taktik: ini adalah sesuatu yang orang *lakukan* dalam rangka untuk mencapai tujuan spesifik. Dengan mengenakan pakaian hitam dan menutupi wajah, black bloc memungkinkan perlindungan yang lebih kepada mereka yang memilih untuk secara aktif membela diri. Mayoritas orang yang terlibat dalam blok hitam tidak ikut serta dalam penghancuran properti. Namun, dengan turut menutup wajah, mereka mengungkapkan solidaritas dengan mereka yang memilih terlibat aksi langsung otonom terhadap perusahaan-perusahaan, penguasa dan politisi yang menyatakan perang terhadap komunitas kita.

Partisipasi dalam black bloc adalah tindakan yang penuh keberanian. Dengan hanya pakaian di punggung dan penutup muka di wajah, kami turun ke jalan melawan pasukan kepolisian terbesar yang pernah ada dalam "masa damai" di Kanada. Dilindungi hanya oleh kain hitam dan dukungan dari kawan-kawan kami, kami berdiri di depan polisi anti huru-hara yang bersenjatakan senapan serbu, pistol dan pentungan.

Kami telah membuktikan bahwa "keamanan" senilai 1 miliar dollar tidak dapat mencegah kami dari menyumbat jantung kota Vancouver dan merusak pesta 100.000 orang --dan dapat lolos dengan itu semua.

Anda tidak pernah tahu siapa saja yang bersama black bloc akhir pekan ini, tetapi Anda telah mengenal kami. Kami adalah orang-orang yang mengorganisir komunitas potlucks (berbagi dan makan bersama), yang menari selama festival jalanan, yang membuat pertunjukan seni, mempertahankan tanah, membangun koperasi, bersepeda dan berkumpul ditaman-taman. Ketika kami memakai pakaian hitam kami, kami bukan ancaman bagi Anda, tapi bagi pare elit.

Siapa pun Anda, suatu hari Anda akan bergabung dengan kami. Selama pemerintah dan korporasi masih menyerang komunitas kita, kita akan bertahan --dan itu artinya menyerang.


Tertanda,


dua organiser dan peserta dalam kehadiran anarkis pada demonstrasi "Take Back Our City" dan parade jalanan "2010 Heart Attack", Februari 2010, Coast Salish Territory.

Read More......

Kamis, 18 Februari 2010

BANGKITNYA KAUM BARBARIAN

Pemberontakan Melawan Peradaban

Bila kita memeriksa debat terkini yang diangkat di lingkar kaum anarkis seputar isu peradaban, teknologi, progres, anarki-hijau versus anarki-merah dan seterusnya, kita mendapatkan impresi bahwa kritik terhadap peradaban merupakan kritik yang baru saja diangkat oleh kaum anarkis dan pemikiran revolusioner. Namun impresi semacam ini keliru dan berbahaya bagi kita yang memegang perspektif revolusioner anti-peradaban.

Justru, suatu pertanyaan yang revolusioner tentang peradaban, teknologi, dan progres dapat ditemukan di sepanjang sejarah pemikiran revolusioner modern. Charles Fourier mengemukakan “Harmoni” sosialis utopisnya melawan ketidakharmonian dari “Peradaban”. Sejumlah penyair era romantik yang radikal (antara lain Blake, Byron dan Shelley) membenci industrialisme dan nalar utilitariannya.


Kita dapat mengamati hal ini secara lebih dekat dengan merujuk pada kaum anarkis di abad 19. Sudah tentu kalau Bakunin tidak punya masalah dengan teknologi industrial. Meski ia tidak sama dengan Marx yang mempunyai semacam keyakinan yang hampir mitis mengenai kapasitas perkembangan industrial untuk menciptakan basis teknis dari komunisme global, yang mana ia juga tidak melihat adanya struktur dominasi yang secara inheren terdapat dalam sistem-sistem industrial. Justru, konsep pekerja dalam mengambil-alih pengorganisasian masyarakat melalui organisasi ekonomis dan industrial mereka sendiri akhirnya mengarah menjadi basis bagi anarko-sindikalisme. (Perkembangan ini, rupanya, berdasarkan atas kesalahpahaman, karena Bakunin cukup jelas ketika ia menyatakan bahwa organisasi semacam itu bukanlah sesuatu yang dapat dikembangkan melalui sudut pandang ideologis yang berada di luar dari perjuangan langsung para pekerja, melainkan sesuatu yang akan dikembangkan oleh pekerja itu sendiri dalam alur perjuangan mereka. Oleh karena itu, ia tidak menawarkan bentuk spesifik dari perjuangan tersebut). Meski demikian, daya tarik Bakunin mengenai “pelepasan gairah yang kejam” dari kaum tertindas dan tereksploitasi dipahami oleh kaum revolusioner jaman itu sebagai suatu seruan barbar untuk menghancurkan peradaban. Dan Bakunin sendiri memang pernah mengutarakan mengenai “penghancuran peradaban borjuis” bersamaan dengan “penghancuran semua negara” dan berkembangnya “organisasi spontan dan merdeka yang tumbuh dari bawah, melalui asosiasi bebas”. Namun kawan sejaman Bakunin yang berasal dari Perancis, Ernes Coeurderoy, justru kurang kondisional dalam penolakannya terhadap peradaban. Ia berkata: “Dalam peradaban, aku tumbuh; aku tidak bahagia ataupun bebas; lalu kenapa aku harus berkeinginan agar tatanan yang homisidal ini dilestarikan? Tak ada lagi apapun yang perlu dilestarikan ketika bumi dibuatnya menderita.” Dan ia, bersama Dejacque, juga kaum anarkis revolusioner jaman itu, merujuk pada semangat penghancuran yang barbarik untuk membawa kehancuran bagi peradaban dominasi.

Memang benar adanya bahwa kaum anarkis jaman itu, seperti sekarang ini, tidak mempertanyakan peradaban, teknologi atau progres. Visi Kropotkin mengenai “Factories, Fields and Workshops” (Pabrik-pabrik, Ladang-ladang, dan Bengkel-bengkel kerja) atau “True Civilization” (Peradaban Sejati) Josiah Warren lebih punya daya tarik bagi mereka yang belum siap untuk menghadapi yang tidak mereka ketahui, seperti halnya kritik anarkis terhadap peradaban dan industrialisme yang seringkali tidak menawarkan visi yang jelas perihal apa yang akan terjadi pasca terjadinya penghancuran yang revolusioner dari peradaban.

Awal abad 20, khususnya di masa pembantaian yang dikenal sebagai Perang Dunia Pertama, membawa perubahan yang cukup besar pada pandangan-pandangan. Keyakinan pada cita-cita borjuis mengenai progres mulai terkikis dan pertanyaan terhadap peradaban itu sendiri menjadi aspek penting bagi sejumlah kalangan radikal termasuk dadaisme, anarko-futurisme Rusia, dan Surealisme awal. Bila anarkis yang cukup diketahui (seperti Malatesta, Emma Goldman, Makhno, dan seterusnya) terus-terusan melihat kemungkinan dari suatu peradaban industrial yang terbebaskan, beberapa kaum anarkis lainnya yang kurang dikenal melihatnya secara berbeda. Demikianlah yang ditulis oleh Bruno Filippi di sekitar tahun 1919:

“Aku iri pada orang-orang biadab. Dan aku akan berteriak pada mereka dengan suara yang nyaring:
“Selamatkan dirimu, peradaban telah datang.”
Tentu: Peradaban mulia kita yang sangat kita banggakan. Kita telah meninggalkan kehidupan hutan yang bebas dan bahagia demi perbudakan moral dan material yang keji ini. Dan kita adalah para maniak, sakit jiwa, tukang bunuh diri.
Kenapa aku harus peduli pada fakta bahwa peradaban telah memberi manusia sayap untuk terbang agar dapat membom kota-kota, kenapa aku harus peduli ketika aku telah mengetahui setiap bintang di langit atau sungai di bumi?
[…]
Hari ini, kubah berbintang tersebut adalah tudung kelam yang dengan sia-sia kita coba untuk lewati; hari ini, hal tersebut tidak lagi tidak diketahui, ia tidak lagi dipercayai.
[…] Aku sama sekali tidak peduli dengan kemajuan mereka; aku ingin hidup dan menikmatinya.

Sekarang, Aku ingin jelas. Aku tidak bertujuan untuk mengungkap ini semua guna membuktikan bahwa sekarang ini pandangan anti-peradaban memiliki asal-usul anarkis yang sah. Bila kritiknya tentang realitas yang kita hadapi memang akurat, haruskah kita peduli bila kriitik tersebut memang masuk dalam kerangka ortodoksi anarkis? Seperti halnya Bakunin dan Coeurderoy, Malatesta dan Filippi, semua anarkis di masa lalu yang hidup dalam perjuangan melawan dominasi, mereka paham bahwa mereka tidak sedang menciptakan ortodoksi ideologis. Mereka berpartisipasi dalam proses menciptakan teori dan praktik anarkis yang akan menjadi suatu proses yang terus berlanjut. Proses ini melingkupi kritik terhadap peradaban, progres, dan teknologi (dan seringkali di masa lalu kriitik semacam ini tidak berkaitan, oleh karena itu, Bakunin bisa saja menyerukan “penghancuran peradaban borjuis” dan masih menyambut perkembangan teknologi, industrialisme, dan Marcus Graham bisa saja berkata tentang penghancuran “mesin” untuk sebuah peradaban yang tidak termekanisasi). Kita hidup di masa-masa yang berbeda. Kata-kata dari Bakunin dan Coeurderoy, Malatesta juga Novatore, atau para penulis anarkis di masa lalu tidak dapat dirujuk sebagai suatu program atau doktrin yang harus diikuti. Melainkan mereka adalah arsenal untuk dijarah. Dan di antara senjata-senjata di dalam arsenal tersebut terdapat alat penghancur barbarik yang dapat digunakan untuk meruntuhkan dinding peradaban, mitos tentang progres, juga mitos tentang teknologi yang dapat menyelamatkan kita dari segala masalah.

Kita hidup di sebuah dunia dimana teknologi telah lepas kontrol. Bencana yang dilanjutkan dengan bencana, apa yang disebut sebagai lansekap manusia menjadi sangat terkontrol dan termekanisasi, dan manusia semakin terikat dalam peran mereka sebagai gerigi di dalam mesin sosial. Secara historis, alur yang telah menyusuri semua itu, bersaksi bahwa cukup baik bagi gerakan anarkis untuk tidak menjadi penganut peradaban atau teknologi dan progres, melainkan gairah individual untuk bebas mengkreasikan hidup sesuka mereka dalam hubungan yang bebas dengan yang lain, dalam kata yang berbeda, gairah kolektif maupun individual untuk merebut kembali kehidupan. Dan gairah inilah yang masih memotivasi perjuangan anarkis. Sampai pada tahapan ini, merupakan sesuatu yang jelas buatku bahwa sistem teknologis adalah bagian yang integral dari jaringan dominasi. Karena ia dikembangkan untuk melayani kepentingan penguasa dunia ini. Satu tujuan utama dari sistem-sistem teknologi berskala besar adalah untuk menjaga dan mengekspansi kontrol sosial, dan ini butuh suatu sistem teknologis yang secara besar dapat memaintain dirinya sendiri dan hanya butuh sedikit intervensi manusia. Dengan demikian monster tercipta. Klaim bahwa secara inheren progres tidak ada hubungannya dengan pembebasan manusia, telah banyak disadari kaum revolusioner di akhir Perang Dunia Pertama. Sudah pasti bahwa sejarah abad 20 seharusnya mendukung pemahaman ini. Sekarang ini kita melihat dunia yang secara fisik dan sosial rusak sebagai akibat dari apa yang disebut sebagai progres. Kaum yang tereksploitasi dan tidak berpunya di dunia ini tidak dapat lagii secara serius menginginkan sepotong dari pai busuk tersebut, apalagi untuk mengambil-alih dan mengelolanya sendiri. Pengambil-alihan kehidupan harus punya makna yang berbeda dari dunia sekarang ini. Sebagai titik cerah dari transformasi sosial beberapa dekade lalu, bagiku gerakan anarkis yang revolusioner haruslah mengangkat pertanyaan tentang industrialisme dan peradaban, karena bila kita hanya mengangkat masalah-masalah yang merupakan turunan dari kedua hal tersebut, cukup sulit bagi kita untuk menemukan alat yang dibutuhkan untuk mengambil-alih hidup kita.

Namun perspektif anti-peradabanku bukanlah perspektif primitivis. Meski memang sesuatu yang cukup inspiratif untuk melihat aspek-aspek yang anarkik dan komunistik dari budaya primitif, Aku tidak mendasarkan kritikku pada perbandingan antara budaya-budaya ini dengan realita sekarang, melainkan melalui dimana segala institusi ini yang meliputi peradaban bergerak bersahutan untuk merebut hidupku dari diriku dan merubahnya menjadi alat bagi reproduksi sosial, dan bagaimana mereka merubah kehidupan sosial menjadi proses produktif yang hanya melayani kekuatan penguasa dan tatanan sosial mereka. Oleh karena itu, secara esensialnya, merupakan suatu perspektif revoluisioner, dan ini juga mengapa Aku akan selalu menggunakan segala sesuatu di dalam arsenal tersebut—yaitu sejarah dari teori dan praktik revolusioner—yang dapat meningkatkan perjuanganku. Masyarakat “primitif” identik dengan kehidupan yang anarkik dan komunistik, tapi mereka tidak punya sejarah perjuangan revolusioner dimana kita dapat mengambil manfaat untuk perjuangan kita sekarang ini. Setelah menyimpulkan ini, bagaimanapun, Aku menganggap para anarko-primitivis yang memandang diperlukannya revolusi dan perjuangan kelas sebagai rekan-rekanku yang potensial.

Perjuangan revolusioner melawan peradaban kontrol dan profit yang mengelilingi kita tidak akan menjadi sekedar perjuangan untuk mengambil alih alat produksi. Sejarah telah bertutur bahwa cara-cara tersebut bukanlah sebuah opsi bagi pembebasan yang final. Bila banyak yang masih belum jelas perihal siapakah musuh yang sebenarnya, banyak yang paham bahwa mereka tidak punya apapun untuk berbicara pada mereka yang berada di kekuasaan, karena mereka tidak lagi mempunyai bahasa yang sama. Kita semua yang menjadi kaum tak berpunya di dunia ini mengerti bahwa kita tidak perlu berharap apapun dari kekuasaan. Bila kita bermimpi tentang dunia yang lain dan tidak dapat mengekspresikannya, itu karena dunia ini tidak menyediakan kata-kata untuk itu. Dan kebanyakan orang tidak lagi bermimpi. Hanya amarah akan eksistensi yang semakin terdegradasi. Jadi revolusi yang akan terjadi akan merujuk pada apa yang disebut Bakunin sebagai pelepasan dari “gairah yang kejam”, gairah destruktif yang merupakan satu-satunya pintu menuju eksistensi yang bebas. Ia akan menjadi pertanda datangnya kaum barbarian yang diprediksikan oleh Dejacque dan Coeurderoy. Karena, sejak banyak orang tidak lagi punya suatu kata apapun yang perlu mereka bicarakan pada penguasa mereka, disaat itulah mereka punya kesempatan untuk berbicara satu sama lain. Ketika mereka paham akan kemungkinan yang ada di dunia ini maka mereka mulai memimpikan ketidakmungkinan. Jejaring institusi yang mendominasikan hidup kita, peradaban ini, telah merubah dunia kita menjadi penjara beracun. Banyak yang harus dihancurkan agar eksistensi yang bebas dapat direalisasikan. Masa bagi barbarian telah datang.

Dari Willful Disobedience Vol. 4 No.1

Read More......