Rabu, 27 Agustus 2008

Sang ular dan Elang

Sang ular tak dapat mengerti tentang kelakukan sang elang. "Mengapa kau tidak beristirahat saja di sini; di dalam kegelapan. Juga di dalam kelembaban yang berlendir ini?" sang ular
mendesak. "Mengapa mesti melambung tinggi menuju surga? Tidakkah kau sadar bahaya
mengendap-endap di sana—depresi dan badai pun telah menunggumu di sana. Juga senapan para pemburu yang akan membuatmu terpuruk dan menghancurkan hidupmu?"

Tapi sang elang tidak mempedulikan sang ular. Dia tetap menebarkan sayap-sayapnya dan melambung tinggi melewati angkasa. Nyanyian lagu kejayaan memenuhi surga. Pada suatu hari sang elang terjatuh, darah mengalir dari jantungnya. Pada saat sama sang ular berada di situ dan dia pun berkata: "Kamu bodoh! Kan aku telah memperingatkanmu. Aku telah bilang padamu untuk tetap di sini, di mana aku berdiri; di dalam kegelapan. Juga di dalam kelembaban berlendir yang hangat, di mana tak ada seorang pun yang dapat menemukanmu dan melukaimu." Tapi dengan nafas terakhirnya sang elang menjawab: "Aku telah melambung tinggi melewati angkasa. Aku telah memanjat ketinggian yang menyilaukan, aku telah menatap cahaya: aku telah hidup.

Aku telah hidup!

Read More......

Sabtu, 23 Agustus 2008

MENUTUP MUKA DAN BLACK BLOC: Sebuah Sejarah Sebelum Seattle

"Mereka yang duduk di kursi kekuasaan sangat cemas akan kekuatan mereka sehingga mengenakan topeng, dan tak suka apabila apa yang mereka lakukan tersebut teridentifikasi, terdeteksi dan terkatalogkan. Sementara, topeng kami bukanlah untuk menyembunyikan identitas, melainkan untuk menyatakannya. Hari ini kami harus memberi wajah pada aksi resistansi ini, dengan mengenakan topeng, kami menyatakan identitas kami, dan dengan meneriakkan suara kami di jalanan bersama-sama, kami menyatakan kemarahan kami kepada kekuatan sistem yang tak berwajah..."
- dari sebuah leaflet yang didistribusikan diantara 9000 aktivis bertopeng dalam aksi Carnival Against Capital, 18 Juni 1999 lalu yang menghancurkan distrik finansial di pusat kota London.

Dalam aksi protes anti-WTO tahun lalu, di antara 100 hingga 300 anarkis dan lainnya yang berdandan hitam-hitam dan secara sistematis menyampah serta menghancurkan jendela-jendela counter-counter korporasi multinasional. Sejak saat itu, taktik dari Black Bloc mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang yang sangat perhatian pada masalah perubahan sosial. Semua kelas menengah, kaum progresif yang bergantung pada donatur dan kaum liberal menyatakan bahwa mereka secara moral tidak memberikan ruang dalam aksi mereka untuk perilaku-perilaku seperti di atas. Dalam saat yang sama, Black Bloc di Seattle menginspirasikan sesuatu yang baru, yang menarik dalam taktik protes yang militan yang tidak memberi tempat bagi otoritas ataupun bagi mereka yang mencari kekuasaan. Black Bloc dalam aksi N30, bersama dengan aspek-aspek lain dalam event di Seattle, memberikan inspirasi bagi para anarkis radikal untuk tidak lagi bersembunyi di balik kelompok-kelompok aktivis liberal yang memiliki agenda reformis dan mulai untuk lebih vokal dalam menuntut sebuah revolusi dan perubahan sosial secara total. Di samping itu, sangat massifnya publikasi anarkis dan organisasi-organisasinya, dengan jelas tampak dalam aksi-aksi Black Bloc yang hadir dalam berbagai aksi di Amerika Utara. Diakui atau tidak, Black Bloc menjadi salah satu tradisi anarkis, dan itu semua dimulai oleh anak-anak muda yang sangat berani di Seattle.

Ataukah malah sebenarnya hal itu telah dimulai jauh sebelum itu? Dalam faktanya, 30 November lalu telah jauh dari saat pertama kali di mana sebuah kelompok besar para radikal berdandan hitam dan penutup muka dalam usahanya untuk membangun sebuah protes militan dalam anonimitas dan solidaritas. Black Bloc adalah sebuah bentuk persetujuan atas taktik protes yang telah berumur sekitar 20 tahun tersebut. Orisinilnya, aksi seperti itu dimulai di Eropa oleh para otonomis yang menamakan diri mereka Autonomen, sebuah gerakan perubahan sosial yang tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai anarkis, walaupun ide-ide dan taktik mereka sangat mengapresiasikan dan mengadopsi bentuk-bentuk anarkis.

Mengenai Otonomi

Autonomia, autonomen atau otonomis telah digunakan dalam berbagai gerakan budaya perlawanan dan perubahan sosial yang populer di Italia, Jerman, Denmark, Belanda dan berbagai tempat lain di Eropa selama kurang lebih tiga dekade ke belakang. Semua gerakan-gerakan yang berbeda tersebut telah secara radikal melawan otoritas, dominasi dan kekerasan di mana saja hal tersebut eksis dalam kehidupan kontemporer. Otonomi dalam kasus ini bukanlah berarti isolasi ataupun superioritas regional yang sangat kompleks seperti misalnya nasionalisme negara atau otonomi daerah dalam propinsi di sebuah negara, atau juga otonomi individual atas kehidupan mayoritas seperti yang menjadi basis terbentuknya kapitalisme. Apa yang menjadi tujuan dari para otonomis adalah kebebasan bagi individual untuk memilih dengan siapa mereka saling berbagi dan membentuk sebuah grup affinitas untuk bertahan hidup serta memenuhi kebutuhan mereka secara kolektif, tanpa intervensi dari birokrasi yang tak manusiawi serta individual yang rakus dan penuh kekerasan.

Yang pertama kali disebut otonomis adalah para individual yang tergabung dalam gerakan Italian Autonomia yang mulai bergerak selama tahun-tahun Hot Autumn 1969 yang terkenal, sebuah masa di mana terjadi banyak penangkapan-penangkapan massal terhadap penduduk. Selama tahun 1970an, di Italia gerakan tersebut menyebar dengan luas dan menuntut perubahan sosial secara menyeluruh. Gerakan ini dimotori oleh grup-grup otonomis seperti para pekerja pabrik, perempuan dan pelajar. Kapitalis, serikat buruh, dan para birokrat dari Partai Komunis di sana tidak ada kaitannya sama sekali dengan gerakan ini, justru merekalah yang berusaha keras merepresi dan menghentikan gerakan otonomi ini. Dalam masa tersebut struktur kekuasaan mengalami ketidakpercayaan yang sangat luas di kalangan massa yang menolak untuk mematuhi aturan-aturan dan hukum pemerintah.

Meskipun aksi-aksi langsung, pemogokan, squating massal, pertempuran jalanan, pendudukan universitas dan berbagai aksi radikal lainnya dilakukan dengan skala besar dan massif selama tahun 1970, gerakan di Italia tersebut terpecah-pecah. Hal in diakibatkan oleh serangan-serangan yang brutal, pemenjaraan dan pembunuhan para radikal yang dilakukan oleh polisi dan pemerintah yang dikontrol oleh partai Komunis. Di saat yang sama, respon terhadap menanjaknya eskalasi serangan dari negara yang sangat keras dilakukan oleh aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok gerilyawan kota yang radikal. Terorisme yang defensif justru sering membuat orang-orang berpaling dari gerakan perubahan sosial. Beberapa memilih untuk menjadi semakin militan dan sembunyi-sembunyi di saat yang lainnya malah memilih untuk hidup damai dan berkompromi dengan negara.

Membangun Dua Kekuatan Revolusioner - Budaya Dari Para Autonomen

Walaupun potensi revolusioner otonomis Italia telah mati, gaung, keyakinan dan kekuatan mereka menjadi sebuah inspirasi bagi para kaum muda di Jerman Barat pada tahun 1980an. Terinspirasi oleh gerakan squater Amsterdam dan organisasi pemuda di Swiss, kaum muda di Berlin, Hamburg dan beberapa kota besar lainnya mulai membangun pusat-pusat otonomi serta berbagai organisasi-organisasi sosial mereka sendiri berdasarkan resistansi melalui gaya hidup alternatif dan radikal.

Komposisi dan arah organisasi-organisasi radikal di Jerman Barat pada tahun 1980an ditentukan oleh resesi ekonomi yang cukup parah. Karena hubungan yang terbangun baik antara serikat-serikat buruh dan pemerintah Jerman, efek dari resesi ekonomi tidak terlalu terasa bagi para pekerja kerah biru, tetapi bagi kaum mudanya, keadaan ini sangat menekan seperti tidak adanya lapangan pekerjaan dan sulitnya masalah perumahan. Sementara rata-rata mereka telah memutuskan untuk tidak tinggal lagi bersama orang tua mereka dan mendanai hidup mereka sendiri. Oleh karena itu, poin-poin untuk memobilisasi kaum mudanya secara otonomis termasuk menaikan isu-isu mengenai kehidupan masyarakat pinggiran di Jerman dan keluarga nuklir (yang dianggap mapan) di sana, isu perumahan, tingginya angka pengangguran—serta mempertanyakan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti masih dianggap ilegalnya aborsi dan rencana pemerintah untuk dibangunnya pusat pabrik senjata nuklir.

Sebagai hasil dari resesi ekonomi dan perpindahan ke daerah pinggiran, pada akhir tahun 1970an, puluhan gedung di berbagai belahan pusat kota Jerman, terutama Berlin Barat, dibiarkan kosong oleh para developer atau agen-agen pemerintah. Menempati gedung-gedung tersebut menjadi salah satu pilihan bagi kaum muda yang penuh improvisasi untuk tinggal secara independen dari rumah-rumah kelas menengah keluarga nuklir. Komunitas-komunitas squater yang penuh semangat tumbuh dan berkembang di daerah Kreuzberg, Berlin, squat-squat Haffenstrasse di Hamburg dan di berbagai titik konsentrasi lainnya. Inti masalah yang dituju oleh komunitas-komunitas tersebut adalah kehidupan komunal, dan pembangunan berbagai pusat aktivitas radikal seperti: infoshop, toko buku, cafe, ruang pertemuan, bar, ruang konser, galeri seni dan berbagai ruang multi-fungsi di mana budaya sosial artistik dan politis dikembangkan sebagai sebuah alternatif dari kehidupan keluarga nuklir, impian-impian di layar televisi dan budaya pop yang diproduksi secara massal.

Dari ruang-ruang sosial yang aman, tumbuh secara grass-root kekuatan-kekuatan yang berinisiatif untuk melawan kekuatan nuklir, menghancurkan patriarki dan stereotipikal peran gender; untuk memperlihatkan solidaritas kepada seluruh manusia di dunia dengan menyerang korporasi multinasional yang berbasis di Eropa atau institusi keuangan seperti Bank Dunia; dan setelah reunifikasi (penggabungan Jerman), aktivitas lainnya adalah untuk berperang melawan tumbuhnya kekuatan konservatif neo-Nazisme.

Inisiatif lain yang serupa bagi gaya hidup alternatif sebagai sebuah bentuk resistansi semakin berkembang pada tahun 1980an di Belanda, Denmark dan berbagai tempat di seluruh Eropa Barat. Akhirnya, semua yang hidup dalam grup-grup sosial yang desentralis di Eropa Barat berdedikasi untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat anti-hirarki dan membangun sebuah kolektif besar bernama "Autonomen". Selama waktu tersebut, ide-ide dan taktik otonomis bermigrasi ke negara-negara Eropa Timur.

Penindasan Garis Keras, Resistansi Militan dan Asal Mula Black Bloc

Sejak awal, negara Jerman Barat tidak pernah berlaku ramah terhadap para otonomis-otonomis muda, baik apabila mereka menduduki gedung-gedung pusat pengembangan tenaga nuklir maupun pendudukan gedung yang tak terpakai. Pada musim dingin 1980, pemerintah Berlin memutuskan untuk mengambil garis keras melawan ribuan anak-anak muda yang tinggal dalam squat di sepanjang kota: mereka memutuskan untuk menganggap para squater sebagai kriminal, hingga diperbolehkan untuk diserang dan dievakuasi ke jalanan musim dingin yang bersalju. Hal ini sangat mengejutkan dan merupakan sesuatu yang tak biasa di Jerman dibandingkan seperti yang terjadi di Amerika Serikat, sehingga hal ini menimbulkan kemarahan yang lebih besar lagi terhadap pemerintah dan polisi.

Sejak Desember 1980 di sana terjadi penangkapan massal, pertempuran jalanan dan gerakan squat baru di Berlin dan seluruh Jerman. Autonomen tidak berlaku seperti pengecut, setiap evakuasi polisi selalu direspon dengan pendudukan beberapa gedung baru. Ketika dilakukan penangkapan massal para squater di selatan kota Freiburg, berbagai rally, march dan demonstrasi dukungan terhadap para squater merebak di berbagai kota besar Jerman untuk menentang kebijakan evakuasi dari pemerintah yang didukung oleh polisi. Pada hari tersebut di Berlin, yang kemudian dikenal sebagai hari Black Friday, lebih dari 15.000 hingga 20.000 orang memenuhi jalanan kota dan menghancurkan area belanja kelas atas.(1)

Penindasan dan aksi resistansi seperti inilah yang menjadi awal kelahiran dari Black Bloc. Pada akhir 1981, pemerintah Jerman mulai melegalkan beberapa squat dalam usahanya untuk memecah belah budaya perlawanan dan menyingkirkan segmen-segmen radikal dari dalamnya. Tetapi taktik tersebut sangat lambat untuk melemahkan gerakan radikal popular tersebut—terutama karena sejak periode 1980-81 tidak hanya ditemui kekerasan brutal terhadap para squater, tetapi juga terjadinya mobilisasi polisi terbesar pertama di Jerman sejak jaman kekuasaan Nazi, dengan tujuan untuk menyerang para pemrotes yang anti-kekerasan dalam kasus Free Republik Of Wendland, di mana sekitar 5.000 aktivis memblokade konstruksi limbah nuklir Gorleben.(2)

Sebagai respon terhadap kekerasan negara, para aktivis radikal mengembangkan taktik Black Bloc: mereka datang ke aksi-aksi protes dengan mengenakan helm berwarna hitam dan topeng ski serta berdandan serba hitam (bahkan banyak pula yang mengenakan sepatu bertumit baja dan membawa tongkat). Dengan taktik ini, Black Bloc, Autonomen dan para radikal lainnya dapat lebih efektif melawan serangan polisi, tanpa pernah sekali pun dibiarkan seorang diri ditangkap dan diperlakukan secara brutal. Dan dengan segera, taktik ini menyebar, semakin banyak orang-orang yang berdandan serupa lengkap dengan penutup wajah, tidak hanya membantu dalam mempertahankan diri melawan polisi, tetapi juga memudahkan para penyabot untuk melakukan aksi-aksinya melakukan perusakan terhadap counter-counter toko, bank, dan berbagai simbol material dari kekuatan negara dan kapitalisme. Menutup wajah sebagai Black Bloc mendorong para radikal untuk berpartisipasi secara popular menghancurkan properti dan melakukan kekerasan terhadap negara dan kapitalisme. Dalam cara ini, Black Bloc adalah sebuah format dari militansi yang menggabungkan berbagai taktik aksi popular seperti pembangkangan sipil anti-kekerasan, terorisme gerilya dan sabotase.

Penyempurnaan Black Bloc Autonomen: Black Bloc, militansi Autonomen, dan resistansi popular terhadap negara polisi dan Orde Dunia Baru di antara kaum muda Eropa pada tahun 1980an

Walaupun radikal-radikal dari Belanda tidak menyebut diri mereka Autonomen hingga sekitar tahun 1986, para aktivis budaya perlawanan Belanda berbagi taktik, struktur pengorganisiran dan militansi dengan memproklamirkan diri sebagai otonomis. Gerakan squating Belanda benar-benar dimulai sekitar tahun 1986, dan pada tahun 1981, lebih dari 10.000 rumah dan apartemen dijadikan squat di Amsterdam, dan di seluruh Belanda terhitung 15.000 squat pada tahun itu. Squat berupa restoran, bar, kafe dan pusat informasi, dan para squater (di sana biasa disebut kraakers) memiliki delegasi-delegaso mereka sendiri yang setiap beberapa waktu berkumpul bersama dalam menentukan arah gerakan dan membangun radio komunitas mereka sendiri.(3)

Walaupun para otonomis Belanda menolak mengenakan topeng ski saat beraksi bersama dalam Black Bloc (4), gerakan mereka tidak kalah militan. Sebuah buku yang menceritakan tentang gerakan squater Belanda menuliskan bahwa, "sejak awal, telah terbentuk sebuah “Brigade Helm Hitam” yang bergabung dalam pertempuran jalanan dan bersifat demokratis secara sosial."(5)

Pertempuran melawan evakuasi polisi di squat-squat Amsterdam seringkali menampilkan konstruksi dari barikade yang tinggi dan para squater bertahan dari lantai atas, melempari polisi dengan berbagai furniture dan berbagai proyektil dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dalam tahun-tahun berikutnya ada beberapa batas kekerasan yang dilakukan oleh para squater Belanda melawan serangan polisi. Tetapi bagaimanapun, pada tahun 1985 saat seorang squater bernama Hans Kok meninggal setelah terjadinya penangkapan dan penyerangan brutal terhadap para squater, dukungan semakin meningkat. Dan respon yang terjadi pada malam hari setelah kematian Hans Kok adalah terjadinya aksi perusakan di mana-mana di sepanjang Amsterdam dengan mobil-mobil polisi dibakar di berbagai wilayah distrik. Seorang squater berkata, "Setiap orang memiliki ide, saat ini kami akan menggunakan sesuatu yang sangat berarti, sesuatu yang selangkah di belakang senjata api: molli (molotov). Setiap orang membawa molli dalam tasnya, setiap orang mempunyai sekaleng bensin... dan hal ini adalah sebuah metode aksi yang baru."(6) Walaupun kematian Hans Kok dan kekerasan yang terjadi menyertai kematiannya menimbulkan efek negatif bagi gerakan para squater, sebuah taktik militansi yang baru telah terbukti efektif dan sangat bermanfaat di kalangan para aktivis. Pada tahun 1985, grup anti-rasis Belanda (ARA) menyerukan kampanye yang sangat sukses, yang memaksa supermarket korporatif Marko untuk menarik diri dari Afrika Selatan: kampanye ini menyulut tindakan-tindakan ekstrim yang memakan kerugian yang sangat mahal akibat pelemparan molotov terhadap gerai-gerai Marko dan kantor-kantornya.(7)

Di Jerman pda tahun 1986, beberapa serangan polisi dan usaha evakuasi melawan sebuah kompleks squat di Hamburg, Haffenstrasse, direspon dengan kontra-ofensif dari sekitar 10.000 orang yang melakukan demonstrasi dan sekitar 1.500 di antaranya dalam barisan Black Bloc, membawa sebuah banner besar bertuliskan Bangun Dua Kekuatan Revolusioner. Dan pada akhir aksi demonstrasi, Black Bloc dengan sukses melakukan pertempuran jalanan melawan polisi yang pada akhirnya menyerah. Dan pada keesokan harinya, api menyala membakar 13 department store di Hamburg, dan menyebabkan kerugian material sejumlah $ 10 juta.(8)

Pada tahun yang sama, tragedi nuklir Chernobyl membawa sebuah militansi baru bagi demonstrasi melawan situs-situs tenaga nuklir di Jerman. Sebuah sumber yang mengikuti aksi demonstrasi anti-nuklir tersebut menyebutkan, "situasi menyerupai perang sipil, orang-orang mengenakan helm, sepasukan anarkis berjaket kulit yang merupakan para anarkis Autonomen, bersenjata ketapel, molotov dan pistol pelontar sinar bertempur secara brutal dengan barisan polisi yang dipersenjatai dengan water-cannon, helikopter dan gas CS yang sekarang secara legal telah dianggap ilegal untuk digunakan dalam menghentikan aksi demonstrasi."(9)

Bulan Juni 1987, saat Ronald Reagan datang ke Berlin, sekitar 50.000 orang berdemonstrasi di jalanan melawan si raja perang dingin, termasuk di dalamnya sekitar 3.000 orang Black Bloc.(10) Sebulan kemudian mendadak evakuasi dan serangan polisi terhadap kompleks Haffenstrasse diintensifkan kembali. Bulan November 1987, ratusan penduduk dan Autonomen memblokade kompleks squat tersebut. Mereka juga membangun barikade di jalanan dan bertempur secara terbuka dengan polisi selama kurang lebih 24 jam. Dan di akhir pertempuran, pemerintah kota setuju untuk melegalkan tempat tinggal para squater tersebut.(11)

Lebih dari sepuluh tahun sebelum Seattle dan protes anti-WTO, Autonomen mengorganisir event sejenis dengan sejumlah besar para pemrotes. Bulan September 1988, Bank Dunia dan IMF mengadakan pertemuan di Berlin. Autonomen menggunakan kesempatan ini sebagai seruan untuk melakukan aksi global melawan kapitalisme global dan penghancuran komunitas independen yang disponsori oleh pemerintah. Ribuan aktivis sepanjang daratan Eropa dan Amerika Utara dimobilisir, dan sekitar 80.000 pemrotes mendatangi bank-bank (setidaknya 30.000 lebih banyak daripada aksi Seattle).(12) Sejumlah besar pasukan polisi dan penjaga keamanan menghadapi para demonstran dan secara brutal menghajar mereka, tetapi kerusuhan masih terjadi di area-area perbelanjaan kelas atas (yang tampaknya semakin menjadi tradisi).

Black Bloc Di Amerika Sebelum Seattle

Dalam aksi November 1999, taktik Black Bloc tampak baru bagi kebanyakan demonstran. Hal ini disebabkan ide-ide dan aksi dari gerakan otonomis di Eropa kebanyakan tidak dipublikasikan dalam media-media Amerika sementara media Jerman jarang yang menuliskannya dalam bahasa Inggris. Bagaimanapun, ketidaktahuan mengenai Black Bloc juga berawal dari dominasi media massa korporasi yang menolak memberitakan event-event yang tidak cocok dengan pola pandang mereka.

Kaum radikal di Amerika Utara memang tidak sepenuhnya buta terhadap aksi-aksi dan ide-ide kaum otonomis Eropa, dan berkembangnya subkultur punk rock di Amerika sepanjang tahun 1980an banyak membantu mendistribusikan informasi-informasi dari para otonomis. Dan pada awal 1990an, anarkis-anarkis dan para radikal di Amerika Utara mulai mengenakan penutup wajah saat berdemonstrasi, serta membangun solidaritas dan anonimitas dalam militansinya.

Saat Perang Teluk terjadi, sebuah aksi protes menentang perang tersebut muncul di Washington DC, di dalamnya mulai muncul juga barisan Black Bloc yang menhancurkan jendela-jendela gedung Bank Dunia. Pada tahun yang sama, dalam aksi Anti-Columbus Day di San Fransisco, Black Bloc muncul memperlihatkan resistansi militannya terhadap pembantaian para Indian yang dimulai oleh bangsa Eropa dengan kedatangan Columbus.(13) Barisan Black Bloc terbesar yang pernah tercatat adalah demonstrasi solidaritas Millions March For Mumia di Philadelpia bulan April 1999. Setidaknya lebih dari seribu orang berpakaian hitam, mengenakan penutup wajah dan membawa spanduk-spanduk yang diantaranya bertuliskan Vegans For Mumia. Walaupun tak ada pertempuran jalanan yang terjadi dan tak ada penghancuran properti, beberapa orang masuk ke lahan parkir, memanjat ke atap dan mengibarkan bendera hitam.

Masa Depan Global Bagi Topeng Hitam

Simbol dari para militan otonomis bertopeng hitam telah menjalar juga ke negara-negara dunia ketiga. Saat kebijakan neo-liberal yang destruktif, NAFTA (North Amrican Free Trade Agreement) disahkan pada tanggal 1 Januari 1994, sepasukan besar gerilyawan melakukan insureksi di Chiapas, sebuah negara bagian di Meksiko selatan. Insureksi ini bertujuan menciptakan organisasi sosial yang otonomus di antara kaum Indian Maya. Sayap bersenjata dari perjuangan demi pembangunan komunitas otonomis dan demokrasi tanpa hierarki telah lahir dan berlanjut di antara para Zapatista, laki-laki dan perempuan mengenakan balaklava hitam saat mereka tampil di hadapan publik. Banyak otonomis dan anarkis telah berkunjung dan menolong mereka membangun perjuangannya dengan uang, material, dan membangun kepedulian dan solidaritas internasional dengan Chiapas.

Kembali ke Jerman, Autonomen mengalami masa-masa gelapnya. Pada masa lampau, para squater berhasil menduduki 165 gedung apartemen besar di timur kota Berlin, tetapi pada tahun 1997 hanya tinggal 3 gedung yang tersisa.(14) Melegalisir beberapa squat dan di saat yang sama mengevakuasi squat lain dengan brutal, telah berhasil memecahbelah para squater dan merupakan keberhasilan gemilang bagi negara. Banyak orang yang tinggal di gedung-gedung squat yang telah dilegalkan, menolak untuk memperlihatkan solidaritas dengan taktik-taktik militan seperti yang dipraktekkan para squater lainnya, dan marginalisasi ini membuat para squater kehilangan kekuatan melawan kekuatan polisi yang semakin besar.

Kebangkitan kembali neo-Nazisme di daratan Jerman Timur dan beberapa area lainnya juga berarti kesulitan yang tiada akhir bagi para Autonomen. Mereka menghadapi kekerasan dan kematian dari serangan-serangan neo-Nazi, khususnya di kebanyakan daerah Jerman Timur di mana geng-geng neo-Nazi memasang slogan zona bebas punk, bebas orang asing. Dengan begitu energi dan kemampuan terbanyak dari Autonomen digunakan untuk memerangi menyebarnya neo-Nazisme, dan hal ini juga berarti mengurangi energi untuk mengedepankan sebuah dunia alternatif dalam tatanan masyarakat otoriter, hal yang dulu merupakan tujuan utama para Autonomen. Antifa (Anti-Fascist Action) atau organisasi anti-fasis, membawa para Autonomen ke dalam konfrontasi yang lebih keras dengan polisi Jerman, yang pada dasarnya mendukung kelompok-kelompok neo-Nazi dan nasionalis, ideologi rasis, walaupun secara individual seorang polisi tidak langsung terlibat dalam organisasi rasis tersebut.

Sebuah rumor mengatakan bahwa banyak para militan di area-area Eropa Barat di mana Black Bloc adalah salah sebuah taktik protes yang biasa, telah menyerah akibat tekanan-tekanan harian yang dihadapi dari polisi maupun dari neo-Nazi yang lebih brutal. Kekuatan represifitas negara telah berhasil dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih untuk menangkapi orang-orang yang dituduh sebagai Black Bloc. Proses serupa juga terjadi di Amerika Utara, dengan kekuatan Cointelpro yang menyatakan perang terhadap siapa pun yang melawan kerajaan kapitalisme global.

Dengan demikian, Black Bloc terus berlanjut sebagai salah satu taktik atau akan ditinggalkan, setidaknya Black Bloc pernah berusaha untuk mencapai tujuannya. Di berbagai tempat dan waktu Black Bloc telah secara efektif mendorong orang-orang untuk beraksi dalam sebuah solidaritas kolektif melawan kekerasan negara dan kapitalisme. Sangat penting bahwa kita harus melihatnya bukan sebagai romantisme yang menggunakan taktik-taktik dan tradisi yang ketinggalan jaman, ataupun menolaknya sama sekali hanya karena kadang taktik tersebut tidak berjalan baik. Kita sebaiknya terus melanjutkan usaha kita untuk bekerja secara pragmatis untuk mendistribusikan kekuatan dan kebutuhan individual melalui berbagai taktik secara obyektif, seperti bahwa taktik Black Bloc juga dapat berguna dalam beberapa situasi tertentu. Menutup muka dalam Black Bloc mempunyai saat dan waktunya sendiri, seperti juga taktik-taktik perlawanan lainnya.

Daniel Dylan Young

_________________
Keterangan:

1. Katsiaficas, George. The Subversion of Politics: European Autonomous Social Movements And The Decolonization of Everyday Life. New Jersey: Humanities Press International, Inc., 1997, hlm. 91.
2. Katsiaficas, hlm. 82
3. Katsiaficas, hlm. 116
4. Katsiaficas, hlm. 116.
5. ADILKNO. Cracking The Movement: Squatting Beyond the Media. Trans. Laura Martz. New York: Autonomedia, 1990. hlm. 25.
6. ADILKNO, hlm. 123
7. Katsiaficas, hlm. 119.
8. Katsiaficas, hlm. 128.
9. Katsiaficas, hlm. 211.
10. Katsiaficas, hlm. 131.
11. Katsiaficas, hlm. 130.
12. Katsiaficas, hlm. 131.
13. Mid-Atlantic Infoshop. "Black Bloc For Dummies."
14. Thompson, A. Clay. "Street Battles--German Squatters Squeezed to Near Extinction."

Read More......

ANARKI DAN PENJARAHAN PASCA-BENCANA DI NEW ORLEANS Festival Revolusioner Ataukah Festival Mega-Konsumsi di Atas Puing?

Beberapa saat lalu, setengah tahun lebih setelah Tsunami melanda Asia-Afrika, badai yang juga berkekuatan maha dahsyat, Katrina, memporakporandakan New Orleans, Amerika Serikat. Dan juga, persis seperti yang terjadi di Asia, sebenarnya bencana alam ini telah dideteksi beberapa saat sebelumnya. Hanya saja peringatan para ahli tersebut dikesampingkan, seperti biasa, kecuali daerah-daerah tersebut dihuni oleh mereka yang secara ekonomi tidak berada di bawah standar kemiskinan.

Sebagai badai yang juga telah terprediksikan, para ahli telah menyatakan bahwa semakin tahun badai semakin mengganas dan membesar. Kita semua telah menyaksikan bagaimana perubahan iklim terjadi tepat di depan mata kita semua, disajikan melalui berita di layar-layar televisi. Kepala Badan Penasehat Ilmu Pengetahuan Inggris berkata, pemanasan global mungkin yang harus disalahkan atas terjadinya Katrina. Persis seperti saat Tsunami terjadi, pemanasan global satu-satunya yang disalahkan. Para apologis kapitalisme seperti Bjorn Lomborg, seorang penulis asal Denmark yang menyusun buku berjudul Skeptical Environmentalist berkata bahwa tak ada bukti manusia yang harus disalahkan atas terjadinya pemanasan global. Mungkin ia benar, bukan manusia yang harus disalahkan, tetapi sistem ekonomi-sosial-politik-teknologi yang manusia bangun, yang bernama kapitalisme, yang harus disalahkan. Tetapi lantas membiarkan manusia tak bersalah sama sekali? Oh, tentu saja...

Saat kapitalisme menuntut agar kita mengabaikan perubahan iklim global dan konsekuensi logis yang timbul setelahnya, demi berjalannya bisnis kapital dan perputaran roda ekonomi, kita juga terus mengatakan bahwa kita, manusia, sama sekali tidak bersalah. Dalam artikel berikut ini kita akan menelusuri tentang bagaimana manusia memegang peranan penting dalam menentukan hidupnya sendiri dan kita tak dapat sekedar menyalahkan sistem untuk segala hal, walaupun sistem itu sendiri telah mempengaruhi manusia sedemikian rupa, sehingga kericuhan yang terjadi sebelum ataupun setelah bencana tak pernah lepas dari hasil pengaruh sistem itu sendiri.


Pasca Bencana

Seperti juga di lokasi bencana lain yang pernah terjadi, kepanikan melanda lokasi bencana, semua orang bermigrasi semampu mereka dan membawa apa pun yang mereka mampu. Beberapa saat setelahnya, kota terjerumus ke dalam rengkuhan kematian, baik bagi mereka yang datang ataupun bagi mereka yang masih tinggal—entah itu sengaja tinggal ataupun tertinggal. Pertanyaan yang timbul lantas adalah: siapa yang masih tertinggal? Saat semua yang memiliki kendaraan terbaik berhasil pergi; meninggalkan ribuan lainnya tak memiliki kendaraan apa pun, mereka yang miskin dan cacat, sakit dan lanjut usia. Tak ada rencana evakuasi bagi mereka. Undang-undang keadaan darurat diberlakukan di Misissipi, tetapi telah terlalu terlambat bagi mereka yang tak cukup beruntung dan ditinggalkan tersia-sia. Tidak seperti di New Orleans di mana evakuasi telah dilakukan dengan cukup cepat, di Misissipi negara menerapkan hukum tersebut untuk melindungi kasino-kasino dari tangan-tangan mereka yang berhasil bertahan hidup pasca bencana.

Bus berhenti beroperasi di New Orleans, pesawat terakhir telah lepas landas. Institusi resmi negara tidak berupaya untuk memberikan transportasi bagi mereka yang tertinggal. Tentu saja tidak, semenjak sebagian besar dari mereka yang bertahan hidup adalah mereka yang berkulit hitam.


Penjarahan Sebagai Proses Bertahan Hidup dan Pengambilalihan Hidup

Sementara itu, reportase pertama dari situasi pasca bencana Katrina adalah tentang penjarahan. Penjarahan? Orang-orang yang ditinggalkan dan dibiarkan tanpa bantuan tersebut mengumpulkan air-air mineral dari toko-toko, pakaian kering, dan makanan awetan yang mulai rusak apabila dibiarkan tak tersentuh. Orang-orang saling tolong-menolong, bahkan reporter CNN mengabarkan bahwa penjarahan tersebut adalah sesuatu yang esensial. Mereka tidak menjarah; mereka bertahan hidup.

CNN dan stasiun berita lainnya telah diterjunkan di tengah badai dan setelahnya, dan masih, bantuan resmi dari pemerintah tak kunjung datang. Para reporter melihat bencana tersebut dalam visi yang sama dengan para korban yang bertahan hidup: kapan dan dimana operasi penyelamatan akan hadir? Tak ada laporan resmi untuk menolong mereka yang bertahan hidup, selain sebuah rencana untuk mengevakuasi mereka yang mampu pergidari lokasi bencana. Pasukan National Guard dikirim kesana tidakuntuk menolong mereka yang tertinggal; mereka dikirim untuk mempertahankan sisa-sisa properti korporasi yang selamat. Kuba juga telah mendapat serangan badai yang sama parahnya dalam waktu dekat ini, tetapi angka korban yang meninggal jauh lebih sedikit karena disana, pemerintah mengevakuasi semua orang. Tapi New Orleans adalah New Orleans, dimana mayoritas penduduknya adalah kulit hitam dan lebih dari sepertiganya hidup di bawah garis kemiskinan.

Katrina telah membuka tabir perang kelas yang sebelumnya tak pernah tampak di tubuh Amerika sendiri.

Para penjarah yang mayoritas berkulit hitam mengisi tong-tong sampah logam dengan pakaian, perhiasan dan apapun yang bisa mereka dapatkan. Dalam beberapa kasus, penjarahan bahkan juga dilakukan di hadapan barisan polisi dan National Guard. Menurut laporan the Associated Press, di sebuah toko obat orang-orang mengumpulkan susu bayi, air mineral botol, soft drink, makanan kaleng, snack dan popok. Toko telah menjadi lokasi yang dapat diakses oleh semua orang. Seperti yang dikatakan oleh seorang pria dengan beberapa potong celana jeans yang disampirkan di lengannya tentang dari toko milik siapa ia mendapatkan pakaian itu, saya mendapatkan ini dari toko milik semua orang.

Para penjarah juga mengisi tempat sampah-tempat sampah ukuran industri, penuh dengan pakaian mahal dan perhiasan dari toko-toko perhiasan mewah, lantas mengapungkannya di jalan-jalan utama dengan beberapa kayu, dengan tujuan memecah konsentrasi para anggota National Guard yang menghalangi mereka dari aksi penjarahan toko. Tentu saja, para National Guard yang bukan berasal dari New Orleans tersebut berebut untuk bisa mengantongi perhiasan, sementara para penjarah terus mengumpulkan bahan-bahan makanan, obat atau pakaian kering.

Mike Franklin, seorang penjarah berkata pada CNN, Kami miskin di tempat kami sendiri hidup sepanjang hidup kami, dan kini adalah kesempatan untuk mengambil alih kembali masyarakat kami yang terebut dari tangan kami selama ini.

Seorang pasangan suami istri yang menggendong sekeranjang makanan berkata juga, Ini bukan penjarahan, ini masalah bertahan hidup. Kami punya anak-anak untuk diberi makan. Kalau bukan kami, siapa yang akan memberi mereka makan? Pemerintah? Seumur hidup kami, tak pernah sekalipun pemerintah memberi kami makan.

Seorang komandan polisi lokal bahkan memerintahkan anak buahnya untuk membiarkan orang-orang melakukan penjarahan di toko-toko, karena ia pikir hal tersebut adalah permasalahan krusial. Kami tidak berkata bahwa kami menerima hal seperti ini. Tapi situasi memang seperti ini, kalau tidak dengan hal tersebut, bagaimana mereka akan dapat bertahan hidup?

Dan juga menarik saat membaca laporan dari Associated Press, tentang bagaimana sekelompok orang malah bermain-main di tengah air yang menggenang setinggi pinggang sebagaimana layaknya anak-anak kecil bermain air di pantai.


Penjarahan Sebagai Bentuk Kontra-Revolusioner

Penjarahan adalah hal yang menjadi lumrah dalam situasi pasca bencana, terlebih lagi apabila dilihat dari sudut pandang dimana lokasi bencana nyaris selalu dihuni oleh mayoritas masyarakat miskin. Bahkan dalam kasus penjarahan di Jakarta tahun 1998 sekalipun, ia menjadi tragedi yang membuka tabir perang kelas yang tersembunyi. Tetapi, bagaimanapun juga, menilik bahwa seluruh tragedi tersebut (dari hadirnya perubahan iklim global yang menimbulkan bencana alam dahsyat, hingga pengabaian mereka yang selamat, hingga penjarahan dan kerusuhan yang terjadi setelahnya) adalah bermula dari persoalan properti. Dan dalam kasus penjarahan, pertanyaan yang timbul setelahnya adalah: apakah ia hadir sebagai akhir sistem ekonomi atau ia hanya menjadi sebuah pembenaran atas hukum kepemilikan?

Saat seorang pria bergerak di antara puing-puing toko yang rusak akibat banjir dan penjarahan, dengan membawa 12 pasang celana, pertanyaan yang muncul adalah: apakah ia akan mendistribusikannya. Semuauntuk dirinya sendiri ataukah juga untuk para tetangganya yang bermukim di atap-atap bangunan? Persis seperti yang terjadi dalam penjarahan di Jakarta tahun 1998, kaum miskin menjarah toko-toko perhiasan, televisi dan mega-bass-audio system di tengah krisis ekonomi yang mencapai titik puncaknya. Apa guna benda-benda di tengah kerusuhan dan kebutuhan untuk bertahan hidup? Ataukah ia hanya menjadi semacam korban dari komodifikasi? Luapan keinginan karena ketidak mampuan mereka menikmati apapun yang ditawarkan oleh iklan-iklan di hari-hari mereka sebelum kerusuhan?

Apakah memang penjarahan menempati bentuk krusial dari tatanan ekonomi baru? Ataukah penjarahan tersebut hanyalah sebuah cara lain untuk memindahkan barang, sebuah lahan pendistribusian komoditi tanpa label harga?

Sebuah stasiun televisi mengajukan pertanyaan kepada Sherrif di New Orleans tentang apakah benar penjarahan yang terjadi adalah bagian dari proses bertahan hidupia mengatakan bahwa memang sebagian adalah taktik bertahan hidup, tapi nyaris sebagian besar hanyalah benar-benar tindak kriminal dan mengganggu para pekerja penyelamat untuk bergerak di jalanan kotamaksudnya kanal, karena tak ada jalanan yang kering. Tentu saja, kapital hanya peduli pada properti, bukan pada hidup manusia. Dan seluruh situasi di New Orleans adalah sebuah ilustrasi yang sempurna tentang atomisasi dan separasi massa. Bukannya bekerja sama untuk saling bantu membantu, mereka melakukan apa yang selama ini telah diprogramkan di kepala mereka: mengakumulasikan produk konsumer (seperti orang gila). Maka dengan demikian, apakah benar bahwa penjarahan adalah aksi frustrasi dari orang-orang yang tertindas?

Media-media massa menyatakan bahwa banyak orang-orang yang selamat kini berada di bawah bayang-bayang ketakutan bahwa diri mereka akan menjadi sasaran perampokan atau bahkan orang-orang yang mereka sayangi akan diperkosa. Bagaimana dengan hal-hal seperti ini? Penjarahan barang-barang yang sama sekali tidak diperlukan dalam proses bertahan hidup, perkosaan, penyerangan rasial terhadap kaum kulit putih, perampokan alat-alat transportasi yang membawa bantuan, pembunuhan. Ada sesuatu yang perlu dibenahi disini.

Orang-orang yang dirampok oleh para bajingan memiliki pola yang sama seperti bagaimana para gelandangan di kota-kotabesar sering menjadi sasaran perampokan. Psikopat dan sosiopat eksis dimana-mana dan di setiap level kehidupan. Bajingan melukai orang-orangtak peduli ia kaya, miskin, tua, muda, hitam, putih, lelaki ataupun perempuan. Bagi mereka, ini semua hanya sebuahpiknik dalam pengakumulasian properti. Kejahatan tetap akan eksis walaupun properti telah melenyap. Ia juga hadir di tengah-tengah komune dan zona otonom. Kita harus menghadapi ini semua, ini bukan sekedar kapital, spectacle atau[un peran sosial yang jadimenyebalkan. Beberapa orang juga demikian, dan ini tidak karena mereka kaya atau miskin. Dan hanya karena seseorang itu miskin, tidak lantas berarti bahwa segala yang ia lakukan dapat dibenarkan. Contoh kasus adalah saat seorang pengemudi truk diserang dan dipukuli kepalanya berulang kali hanya karena ia berkulit putih. Hal ini lebih disebabkan karena kehidupan harian di New Orleans yang memarginalkan kaum kulit hitam. Tapi sekedar menyalahkan rasisme, tidak menyelesaikan apa-apa. Kata kuncinya adalah jugabahwa sang penyerang tersebut tak pedulian, brutal dan bajingan yang bodoh dan patut dikasihani. Saran pertama kami adalah bahwa kita tidak seharusnya bagitu saja terjebak dalam jebakan yang mengatakan bahwa semua kata media massa adalah salah dan semua kata media independen itu benar. Tak ada absolutisme disini. Amat sangat berbahaya untuk segera menuduh bahwa laporan media massa tentang tindak perkosaan dan rasisme serta penjarahan komoditi itu adalah sesuatu yang berlebih-lebihan dan menekankan bahwa disana hanya ada sekedar penjarahan sebagai proses bertahan hidup. Kita harus belajar untuk melihat dari seluruh sisi, sebanyak mungkin sisi yang kita mampu dapatkan.

Penjarahan masih sulit untuk disebut sebagai sebuah tindakan yang revolusioner. Ia seringkali menghancurkan nilai-guna, tetapi ia juga tak jarang mendapatkan skuadron cheerleader nihilisnya sendiri. Ingin mengubah relasi sosial? Jendela memiliki sebuah nilai guna dalam sebuah bentuk bangunan, mengapa tidak menendang nilai-tukar gedung itu sendiridengan mendudukinya sebagai sebuah teritori yang bebas, yang dapat digunakan untuk lokasi penampungan bagi mereka yang selamat dan tempat tinggal baru bagi semua orang. Penjarahan dan perampokan barang untuk lantas ditimbun di lokasi penimbunan pribadi atau hanya sekelompok orang saja, hanyalah sebuah aksi yang tak lebih dari sebuah kontinuitas mentalitas hasil kapitalisme. Penjarahan saja, itu bukan sebuah aksi revolusioner apabila ia tak dibarengi dengan pembangunan komunitas dari mereka yang selamat dan pendudukan zona-zona yang masih dapat diambil alih dan ditransformasikan menjadi zona otonom.

Tanpa itu semua, kekacauan dan ketiadaan hukum negara hanya berperan sebagai sebuah bukti bahwa negara memang masih dibutuhkan. Ia hanya mendorong kontinuitasrezim hirarkis, kebodohan dan kekerasan. Para penjarah itu seharusnya membangun komunitas dari mereka yang selamat, sebuah komunitas tanpa perampok, polisi dan setumpuk komoditi yang tak berguna seperti televisi dan perhiasanmaka kami akan tunjukkan sebuah aksi yang lebih revolusioner daripada sekedar sekelompok orang beraksi penuh kekerasan menjarah toko-toko dan mengakumulasikan komoditi di sebuah tempat tersembunyi yang dijaga ketat secara eksklusif dan diperuntukkan bagi kepuasan diri mereka sendiri.


Usulan Pertanyaan Bagi Semua Orang Saat Menghadapi Krisis

Mengetahui bahwa menurut laporan para ahli badai dan bencana alam masih terus berlanjut di berbagai belahan bumi, dan mengetahui juga bahwa selalu ada kemungkinan bagi kita untuk dapat bertahan hidup setelah kita mengalami bencana, maka akan ada pertanyaan serius yang patut direnungkan.

Kuis no 01: Apakah televisi dapat digunakan untuk rakit?
Kuis no 02: Apakah snack dapat membuat tubuh kita kuat di saat krisis?
Kuis no.03: Apakah Levis atau Prada akan membuat kita kedap air?
Kuis no.04: Apakah kita benar-benar mengambil alih hidup kita yang tercuri?
Kuis no.05: Ataukah kita hanya sekedar konsumer yang tak melihat label harga?
Kuis no.06: Apakah hal itu adalah sebuah video game soal bencana?
Kuis no.07: Apakah kita adalah pemeran video game yang dimainkan oleh orang lain?
Kuis no.08: Siapakah pemeran sesungguhnya dalam permainan ini?
Kuis no.09: Siapakah yang telah tahu bahwa badai di Asia adalah pre-season game?
Kuis no.10: Apakah kita memang spesies yang layak untuk terus hidup?
Kuis no.11: Apakah bertahan hidup adalah satu-satunya level terakhir dalam game ini?

Akankah perang kelas ini harus berakhir dengan mayat-mayat manusia miskin berikutnya yang akan mengambang, tetapi kali ini dalam kostum high-fashion, remote dan menggenggam snack? Penjarahan yang sesungguhnya adalah sebuah penjarahan atas apapun dan dimanapun, untuk merebut kembali hidup kita yang tercuri. Sebuah penjarahan dengan konsekwensi dan perhitungan jangka panjang. Tanpa itu semua, ini memang hanya sebuah kontinuitas kapitalisme belaka, sebuah imitasi kehidupan harian pra-bencana.

Penjarah, kalian butuh satu langkah sosial lagi untuk menjadi revolusioner!


[ tank boy]
email: political_hooligan@yahoo.com

Read More......

Rabu, 20 Agustus 2008

Apa sih Black Bloc itu?

Apa sih Black Bloc itu?

Black Bloc adalah sekumpulan anarkis dan grup afiniti anarkis yang bergabung bersama untuk sebuah aksi protes tertentu. Pola dari Black Bloc berubah-ubah dari aksi ke aksi, tetapi tujuan utamanya adalah untuk menguatkan solidaritas dalam menghadapi represifitas polisi dan institusinya dan mengedepankan kritik-kritik anarkis terhadap isu-isu yang diangkat dalam aksi protes pada hari tersebut.

Apakah Black Bloc itu sebuah organisasi?

Beberapa orang telah salah mengerti dengan menganggap bahwa seseorang dapat bergabung dalam "organisasi Black Bloc". Tidak pernah ada organisasi Black Bloc yang muncul dalam protes-protes. Black Bloc adalah sebuah gerakan anarkis yang selalu eksis. Kalian bisa bayangkan Black Bloc sebagai sebuah kumpulan kontemporer dari para anarkis yang terwakili dalam sebuah kontingen dalam barisan protes.

Kenapa namanya Black Bloc?

Ada beberapa alasan kenapa anarkis melakukan pengelompokan Black Bloc dalam demonstrasi. Beberapa alasan tersebut antara lain adalah: 1) solidaritas - sebuah kelompok anarkis yang sangat massif diperlukan untuk melawan represifitas polisi dan hal tersebut juga mendemonstrasikan prinsip-prinsip dari solidaritas proletar; 2) penampakan - Black Bloc sebagai barisan gay-pride; 3) ide - ini salah satu cara menyampaikan kritik anarkis dalam sebuah aksi protes; 4) mutual aid dan asosiasi bebas - mengedepankan sebuah contoh nyata tentang bagaimana grup-grup afiniti dapat bergabung bersama dalam sebuah kelompok yang besar dan mengartikulasi tujuan yang sama; 5) eskalasi - sebuah metoda untuk memanaskan gerakan-gerakan protes sehingga aksi tersebut akan berkembang jauh daripad sekedar aksi reformis dan menunjuk langsung kepada ketidakadilan negara.

Darimana aslinya Black Bloc?

Black Bloc telah ada di Amerika Utara sejak sekitar saat terjadinya Perang Teluk (1991). Mereka mengambil inspirasinya dari gerakan Autonomen di Jerman yang eksis sekitar tahun 1980an. Gerakan ini terkenal dengan pertempuran-pertempuran jalanan melawan polisi, tetapi juga menggambarkan sebuah alternatif yang radikal pada gerakan-gerakan protes yang masih eksis hingga saat ini.

Apa contoh aksi-aksi Black Bloc di Amerika Utara?

Black Bloc tidak lahir pertama kali di Seattle Desember 99 lalu. Telah ada sejumlah aksi Black Bloc di berbagai demonstrasi sepanjang tahun 90an. Salah satu yang terbesar adalah aksi Black Bloc tahun lalu dalam demonstrasi "Millions For Mumia" di mana para partisipan aksi Black Bloc mencapai jumlah sekitar 1500 hingga 2000 orang. Ini adalah contoh baik tentang bagaimana aksi anti kekerasan Black Bloc memperlihatkan solidaritas terhadap Mumia Abu Jamal dan sekaligus mengingatkan para leftist yang juga ada dalam aksi tersebut bahwa tidak seharusnya menganggap anarkis itu tidak eksis—ini sebagai respon bagaimana para leftist mengklaim dalam sebuah koran leftist bahwa tak ada anarkis yang hadir dalam dukungan terhadap Mumia Abu Jamal.

Berikan daftar aksi-aksi Black Bloc yang sempat tercatat...

1992 - Washington DC - Aksi anti Perang Teluk. Jendela-jendela kaca gedung Bank Dunia dipecahkan.
1992 - San Fransisco - Columbus Day. Black Bloc memprotes 500 tahun dimulainya pembantaian suku Indian di Amerika.
24 April 1999 - Philadelpia - 1500 hingga 2000 anarkis tergabung dalam Black Bloc sebagai solidaritas atas Mumia Abu Jamal.
30 November 2000 - Seattle - Aksi anti WTO yang berakibat satu distrik pusat perbelanjaan mengalami "shoping anarkis".
16 / 17 April 2000 - Washington DC - Berada di bawah nama RACB (Revolutionary Anti-Capitalist Bloc) memprotes IMF dan Bank Dunia, sekitar 700 - 1000 anarkis bergabung dibawahnya.
May Day 2000 - Black Bloc muncul di New York, Chicago, dan Portland.
1 Agustus 2000 - Aksi protes jalanan selama diadakannya konvensi GOP.
Ini tidak termasuk aksi-aksi lain yang tersebar di sejumlah kota yang hanya dihadiri oleh sekitar 50 - 100 orang anarkis.

Apakah semua Black Bloc melakukan perusakan private property?

Tergantung. Black Bloc yang melakukan aksi protes di Seattle pada protes anti-WTO adalah salah satu aksi yang membuat Black Bloc dikenal secara nasional. Mereka melakukan berbagai aksi termasuk aksi penghancuran properti. Tapi hal ini bukanlah vandalisme random yang asal-asalan—hal ini dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat politis. Lagipula, tidak semua Black Bloc dalam aksi tersebut berasal dari Eugene, Oregon. Dan tidak dalam setiap aksi Black Bloc dilakukan aksi penghancuran properti, hal ini tergantung dalam isu apa aksi tersebut dilakukan.

Kenapa Black Bloc memakai penutup muka?

Sebenarnya tidak semua anarkis Black Bloc mengenakan penutup muka. Bertahun-tahun lalu, beberapa kaum liberal yang sangat naif menyerukan agar anarkis jangan lagi mengenakan topeng mereka. Tapi hal itu sangat merugikan bagi para anarkis yang bertujuan untuk tetap menjadi anonimus atas berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah bahwa pada kenyataannya polisi selalu melakukan perekaman melalui video atas aksi-aksi yang dilakukan serta menyimpannya dalam file-file. Penutup muka mempromosikan anonimus dan egalitarian, hal tersebut juga melindungi identitas siapapun yang melakukan aksi-aksi ilegal ataupun yang melarikan diri dari kejaran polisi keesokan harinya.

Bagaimana tipikal taktik-taktik Black Bloc?

Taktik sangatlah variatif dari aksi ke aksi. Beberapa di antaranya termasuk unaresting (usaha pelepasan kembali mereka yang tertangkap) dan melakukan arm-linking (rantai manusia dengan bergandengan tangan). Unaresting adalah di mana para anarkis Black Bloc berusaha melepaskan orang-orang yang melawan saat mereka ditangkap. Hal ini biasanya berhasil apabila jumlah partisipan aksi lebih besar daripada jumlah polisi. Hal ini juga berhasil karena kebanyakan polisi terkejut melihat para aktivis akan berusaha membebaskan seseorang. Arm-linking membantu barisan aktivis untuk tetap solid dan membuat polisi makin sulit untuk memecah barisan. Ini adalah salah satu formasi yang dipelajari dari polisi, hanya ini bersifat spontan dan sangat organik.

Apa ada bacaan yang direkomendasikan yang berhubungan dengan ide-ide lahirnya Black Bloc?

Baca saja The Subversion of Politics: European Autonomous Social Movements and the Decolonization of Everyday Life tulisan George Katsiaficas yang diterbitkan oleh Humanities International Press.

Read More......

Minggu, 17 Agustus 2008

APA ITU ANARKO-PRIMITIVISME?

Anarko-primitivisme (disebut juga primitivisme radikal, primitivisme anti-otoritarian, gerakan anti-peradaban, atau sekedar primitivisme) adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah arus radikal yang mengkritisi peradaban dalam seluruh totalitasnya melalui perspektif anarkis, serta berupaya untuk menginisiasikan sebuah transformasi yang komprehensif atas hidup manusia. Secara khusus, memang seharusnya tak ada –isme anarko-primitivisme ataupun anarko-primitivis. Individu-individu yang diasosiasikan dengan arus ini tidak pernah berharap untuk dikotakkan dalam batas-batas sebuah ideologi, melainkan memilih menjadi individu-individu bebas dalam komuniti bebas yang berjalan dalam harmoni satu sama lain termasuk juga dengan biosfer sehingga akan menolak untuk dibatasi dengan sekedar terminologi ‘anarko-primitivis’ atau label-label ideologis lainnya. Sehingga, definisi terbaik untuk anarko-primitivisme adalah sebuah label yang tepat yang digunakan untuk mengkarakteristikkan individu-individu yang beragam dalam kesamaan sebuah proyek: penghapusan seluruh relasi kekuasaan—seperti struktur kontrol, paksaan, dominasi dan eksploitasi—demi membangun sebuah bentuk komuniti yang telah membuang seluruh struktur relasi tersebut.


Tujuan dari proyek mereka yang termasuk dalam karakteristik di atas, adalah untuk mengembangkan sebuah sintesa dari anarki kontemporer, sebuah sintesa yang membawa aspek anti-otoritarian dari pola hidup primitif dengan bentuk-bentuk paling maju dari analisa-analisa anarkis tentang relasi kekuasaan. Tujuannya, sangat kontras dengan anggapan-anggapan sinis dari kalangan umum, bukanlah untuk mereplika atau kembali ke era primitif, melainkan melihat kehidupan primitif sebagai sebuah sumber inspirasi, sebagai sebuah bentuk-bentuk anarki yang eksis. Bagi para anarko-primitivis, peradaban adalah sebuah konteks pelipatgandaan relasi kekuasaan. Beberapa relasi kekuasaan yang paling mendasar memang terdapat juga di tengah masyarakat primitif—dan atas alasan ini jugalah mengapa anarko-primitivis tidak berupaya untuk mereplika atau kembali pada bentuk masyarakat tersebut—tetapi dalam peradabanlah berbagai relasi kekuasaan menjadi sangat berkembang dan begitu meresap dalam seluruh aspek praktis kehidupan manusia dan dalam relasi antara manusia dengan biosfernya. Peradaban—sering disebut juga sebagai mega-mesin atau Leviathan—menjadi sebuah mesin raksasa yang meraih momentumnya sendiri dan semakin berada di luar kontrol mereka yang menciptakannya. Digerakkan melalui rutinitas kehidupan harian yang didefinisikan dan dimanajemeni melalui internalisasi ketertundukan, manusia menjadi budak bagi mesin ini, sistem yang menopang peradaban itu sendiri. Hanya penolakan terhadap sistem yang telah menyebar luas, menentang berbagai bentuk kontrol, pemberontakan melawan kekuasaan itu sendirilah, yang dapat menghancurkan peradaban serta menghadirkan sebuah alternatif radikal.


Berbagai ideologi seperti Marxisme, anarkisme klasik dan feminisme menentang beberapa aspek tertentu dari peradaban tetapi hanya anarko-primitivisme yang menentang peradaban itu sendiri, konteks yang mana di dalamnya seluruh bentuk perjuangan ideologis tersebut terengkuh di dalamnya. Anarko-primitivisme melibatkan elemen-elemen dari berbagai arus oposisi—kesadaran ekologi, anti-otoritarianisme anarkis, kritik dari feminis, ide-ide Situationist International, teori-teori kerja, kritik teknologi—tetapi melangkah melampaui bentuk oposisi tunggal terhadap kekuasaan, dengan menolak seluruh bentuk struktur relasi kekuasaan.


Beberapa arus yang secara karakteristik berdekatan dengan anarko-primitivisme: Futurist, Dada, Surrealisme, Situationist International, CrimethInc. (ex-)Worker Collective, Fifth Estate, Unabomber, AJODA, Green Anarchy, anarkisme-anarkisme insureksioner.


Read More......

Jumat, 15 Agustus 2008

DARI PROLETAR MENJADI INDIVIDUAL: Memahami Konsep Kelas Anarkis

Hubungan sosial kelas dan eksploitasi bukanlah hal yang mudah dipahami. Konsepsi pekerjaisme, yang idenya bersandar pada suatu kelas revolusioner tertentu yang ditentukan melalui hubungannya dengan alat produksi, mengesampingkan sebagian besar masyarakat yang dalam tatanan sosial sekarang ini tidak memiliki tempat di dalam produksi maupun peran sosial. Maka, konsepsi seperti ini cenderung menyempitkan dan menyederhanakan pemahaman mengenai eksploitasi dan transformasi yang revolusioner. Agar dapat mengangkat perjuangan revolusioner melawan eksploitasi, kita perlu mengembangkan pemahaman kita tentang kelas sebagaimana kelas tersebut eksis di dunia ini.
Sederhananya, masyarakat kelas merupakan komposisi antara yang dikuasai dan menguasai, ada yang mengeksploitasi dan dieksploitasi. Tatanan sosial seperti itu hanya dapat terjadi ketika masyarakat telah kehilangan kapasitas mereka untuk menentukan kondisi eksistensi hidup mereka. Maka, kualitas yang sama-sama dialami oleh sesama kaum tertindas adalah ketidakpunyaan, hilangnya kapasitas mereka untuk mengkreasikan dan melakukan keputusan-keputusan mendasar persoalan mengatur hidup mereka.
Kelas penguasa dapat dipahami melalui proyeknya yang bertujuan untuk mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan. Walau memang terjadi konflik antara kelas penguasa akibat kepentingan-kepentingan tertentu dan kompetisi antar penguasa dalam mengendalikan sumberdaya serta wilayah, proyek mereka ini ditujukan untuk meraih kontrol kekuatan dan kekayaan sosial, dan oleh karena itu kehidupan dan hubungan antara setiap mahkluk hidup, justru menyajikan kelas ini sebuah proyek bersama yang positif.
Kelas yang tereksploitasi sama sekali tidak mempunyai proyek yang positif karena hidup mereka merupakan bagian dari proyek golongan kelas yang mengeksploitasi mereka. Segala sesuatu dalam hidup mereka didefinisikan oleh proyek—kelas penguasa—tersebut. Setelah dicerabut dari cara hidup yang mereka inginkan dan ciptakan bersama komunitas mereka, sekarang, satu-satunya komunitas mereka dalam masyarakat kelas adalah apa yang telah disediakan oleh negara dan kapital—tempat kerja dan pasar yang dibaluti dengan berbagai macam citra komunitas palsu, dari kebangsaan, ras, agama, etnis, atau konstruksi ideologi-ideologi subkultur guna mencegah atau meredam individualitas dan pemberontakan. Konsep positif mengenai proletariat, terutama sebuah proyek untuk mendefinisikan proletarisasi sebagai suatu identitas tunggal dan pemersatu yang positif, tidak memiliki basis di dalam kehidupan nyata, karena pada kenyataanya proletariat adalah definisi bagi mereka yang hidupnya telah dicuri, bahwa ia (sang proletar) telah diubah menjadi sekadar pion di dalam proyek kelas penguasa.
Konsep pekerjaisme, yang mengindikasikan proyek proletariat yang disebut di atas, berasal dari teori-teori revolusioner Eropa dan Amerika Serikat (terutama di lingkar teori-teori marxis dan sindikalis). Di akhir abad 19, baik Eropa dan Amerika Serikat, sedang mengalami proses industrialisasi yang pesat, dan melalui perkembangan tersebut ideologi kemajuan menyamaratakan berkembangnya teknologi dengan pembebasan sosial. Ideologi ini termanifestasikan dalam teori revolusioner yang beranggapan bahwa kelas pekerja industri, secara obyektif, merupakan satu-satunya golongan kelas yang revolusioner karena mereka berada dalam posisi yang tepat untuk merebut alat produksi (yang dikembangkan oleh kapitalisme dan pada saat itu perkembangan tersebut, sebagai sebuah produk kemajuan, dimaknai sebagai sesuatu yang membebaskan) yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Dengan mengenyampingkan golongan-golongan lainnya dalam dunia (juga sejumlah porsi besar kaum tertindas di wilayah-wilayah industrial), para teoritisi revolusioner ini merasa telah mengembangkan proyek yang positif bagi proletar, sebuah misi obyektif sejarah. Apa yang tadinya merupakan bagian dari ideologi kemajuan kaum borjuis malah tidak dikritisi. Menurut saya, gerakan Luddite mempunyai perspektif yang lebih jernih, gerakan ini memaknai industrialisme sebagai alat-alat yang digunakan oleh majikan untuk membuat mereka menjadi golongan tak berpunya. Dengan alasan ini, mereka menyerang mesin-mesin produksi massa.
Di wilayah barat, proses proletarisasi telah lama terjadi (meski proses ini adalah suatu proses berkelanjutan yang masih terjadi sampai sekarang), namun di daerah dunia bagian selatan proses seperti masih pada tahapannya yang awal. Karena proses ini pertama kali terjadi di barat, telah terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam fungsi-fungsi alat-alat produktif. Sebagian besar pabrik model lama yang banyak menggunakan tenaga manusia telah berhenti beroperasi, dan pekerja jaman sekarang dituntut untuk bisa lebih fleksibel, menajamkan kemampuannya beradaptasi—dalam kata lain, bagaimana pekerja dapat senantiasa berfungsi sebagai gerigi yang dapat dipindah dan digunakan di mana saja dalam mesin kapital. Sebagai akibatnya, pabrik cenderung tidak memerlukan banyak tenaga kerja agar dapat produktif, hal ini terjadi karena adanya perkembangan teknologi dan teknik manajemen. Kedua perkembangan tersebut merubah proses produksi menjadi lebih desentralis dan membuat jenis-jenis kerja pabrik hanya berupa aktivitas mengaktifkan/menjaga dan mengawasi mesin.
Dalam artian sebenarnya kita semua, sebagai individu, adalah barang-barang yang dapat digunakan dan dibuang begitu saja dalam proses produksi, karena kita semua dapat digantikan—egalitarianisme kapitalis berarti kita sama-sama bernilai nol. Di dunia pertama, efek seperti ini telah merubah sebagian besar kelas pekerja menjadi pekerja “informal” atau tak menentu (istilah bahasa Inggrisnya yang lebih populer dan sesuai adalah precarious, yang artinya: tak menentu): kerja per hari, paruh waktu, kerja sektor jasa, penggangguran kronis, tunawisma, pasar gelap serta aktivitas ilegal lainnya. Kerja tetap dengan jaminannya akan kehidupan yang stabil—meski pekerja jenis ini tidak menghidupi hidupnya tapi hidup orang lain—juga tak dapat membuat mereka terhindar—selain ilusi kenyamanan konsumerisme dan televisi—dari fakta bahwa hidup di bawah kapitalisme berada dalam ancaman bencana-bencana yang hebat.
DI negara dunia ketiga, orang-orang yang tadinya hidup di desa, yang secara relatif dapat mengkreasikan kehidupan yang mereka inginkan, meski sulit, juga diinvasi oleh mesin-mesin besar kapitalis yang mengusir mereka dari tanah dan rumah mereka sehingga tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan yang mereka inginkan. Setelah dicerabut dari tanah mereka, orang-orang ini terpaksa pindah ke kota di mana mereka jadi gembel dan pengemis. Pemukiman kumuh memenuhi sekeliling kota, seringkali dengan jumlah populasi yang berlebihan dari kapasitas kota tersebut. Tanpa kemungkinan untuk mendapatkan kerja-kerja yang stabil, penduduk pemukiman kumuh terpaksa membangun ekonomi melalui pasar gelap untuk bertahan hidup, yang sebenarnya juga memenuhi kepentingan kapital. Yang lainnya, memilih menjadi tenaga kerja di negara asing yang tak memiliki hak apapun, dengan konsekuensi pelecehan, pemerkosaan, penjara, dan penyiksaan dari majikan mereka serta otoritas. Semua itu mereka lakukan sebagai niat untuk memperbaiki kondisi hidup.
Jadi, ciri proletariat dunia sekarang ini dapat dijelaskan melalui kondisinya yang tak menentu, tak memiliki hak, dan tak memiliki apa-apa. Jika, pada satu sisi, bahwa peradaban ini telah melahirkan kelas barbarian yang takkan merasa kehilangan ketika peradaban ini runtuh (tapi tidak seperti yang dibayangkan oleh para ideolog-ideolog pekerjaisme), maka di sisi lainnya, ciri-ciri ini secara inheren tidak mempunyai basis bagi proyek transformasi sosial yang positif. Amarah yang dipicu oleh kondisi-kondisi hidup yang menyedihkan dalam masyarakat sekarang ini dapat dialihkan menjadi proyek yang menguntungkan bagi kelas penguasa atau sekurang-kurangnya minat-minat tertentu dari golongan kapitalis. Sebagai contoh, selama beberapa dekade ke belakang, amarah-amarah seperti ini sering dimanfaatkan atau dialihkan menjadi proyek-proyek yang bersifat nasionalis, rasialis, dan relijius, yang hanya berguna memperkuat dominasi. Kemungkinan untuk merubah dan menghancurkan tatanan sosial sekarang ini jelas masih terbuka lebar, tapi untuk meyakini suatu keniscayaan sejarah merupakan suatu pola pikir yang tidak lagi mempunyai landasan yang obyektif.
Untuk lebih dalam memahami proyek revolusioner yang sebenarnya dan memikirkan bagaimana memulainya (dan untuk mengembangkan analisa mengenai bagaimana kelas penguasa mengalihkan amarah kaum tertindas ke dalam proyek-proyek mereka), cukup penting untuk menyadari bahwa eksploitasi tidak hanya terjadi dalam produksi kekayaan, tapi juga pada reproduksi hubungan sosial. Proletar, dalam proyek kelas penguasa, memiliki perannya masing-masing, sebuah identitas sosial yang akan mereproduksi hubungan sosial. Ras, gender, etnisitas, agama, orientasi seksual, subkultur—semua ini, mungkin saja, merefleksikan perbedaan-perbedaan yang signifikan, namun semua itu hanyalah konstruksi sosial yang digunakan sebagai pengalihan guna menjaga tatanan sosial sekarang ini terus berjalan. Di wilayah-wilayah paling maju dari masyarakat sekarang ini, di mana pasar yang mendefinisikan hubungan-hubungan, sebagian besar identitas didefinisikan sebagai komoditas yang punya simbolnya sendiri-sendiri, dan fleksibilitas menjadi basis bagi reprdoduksi sosial, seperti halnya di dalam produksi ekonomi. Dan karena identitas merupakan sebuah konstruksi sosial, sebagai suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan, kaum revolusioner harus mencermatinya dengan cukup serius. Analisa kerumintannya dengan hati-hati dengan tujuan untuk melampaui kategori-kategori tersebut hingga mencapai titik bahwa perbedaan-perbedaan ini (termasuk apa yang oleh masyarakat dikategorikan sebagai ras, gender, etnisitas, dsb) merupakan refleksi dari individualitas kita masing-masing.
Karena takkan pernah ada yang namanya proyek positif bersama yang dapat kita temukan dalam kondisi kita sebagai kaum proletar—sebagai yang dieksploitasi dan yang tak berpunya—maka proyek perjuangan yang paling mungkin untuk kita semua adalah penghancuran kondisi proletarian ini, untuk mengakhiri pemiskinan hidup. Hal yang paling esensial yang telah direnggut dari kita bukan hanya alat produksi dan kekayaan material; melainkan hidup kita, kapasitas kita untuk mengkreasikan eksistensi menurut apa yang kita aspirasi dan impikan. Oleh karena itu, perjuangan kita berada di mana-mana, dan kapan saja. Tujuan kita adalah menghancurkan segala sesuatu yang menjauhkan kita dari kehidupan kita: kapital, negara, industri dan aparatus teknologinya, kerja, ideologi, serta setiap organisasi yang selalu mencoba meredam dan menegosiasikan pemberontakan kita, singkatnya, semua sistem pengontrolan.
Dalam proses perjuangan—yang harus bebas dari segala bentuk institusionalisasi dan formalitas—kita harus senantiasa memiliki inisiatif untuk mengkreasikan cara-cara berhubungan yang baru melalui swaorganisasi, suatu kesamaan yang didasari atas pengakuan setiap keunikan individual, di mana kebebasan kita dapat berjalan bersamaan. Dalam pemberontakan terhadap kondisi proletarian kita inilah kita akan menemukan proyek positif yang beragam: perjuangan kolektif menuju realisasi individual.

Read More......

ENYAHLAH AROGANSI : DESENTRALISASI & PENGORGANISASIAN ANTI-OTORITARIAN

MASSA merupakan fantasi arogan dari kebanyakan organisasi pergerakan; sebutlah partai politik, organisasi keagamaan, atau bahkan hampir semua organ mahasiswa. Sayangnya, banyak orang yang mengidentikkan politiknya dengan prinsip-prinsip anti otoritarian/anarkis, masih lagi terjebak dengan ilusi mengenai MASSA. Secara tidak sadar kita telah mengadopsi kepercayaan yang diadopsi dari kepercayaan kapitalis dan tradisi gerakan otoritarian, yaitu “lebih besar lebih baik”. Meskipun secara intuitif kita memahami bahwa organisasi besar jarang sekali menghasilkan pencapaian-pencapaian yang lebih baik dari kelompok-kelompok kecil yang bekerja bersama-sama, keinginan untuk memobilisir masa belum juga hilang. Tentu ada baiknya jika kita melihat lagi bagaimana kita mengorganisasikan kerja-kerja kita, supaya kita disadarkan dari mimpi buruk dikuasai struktur-struktur raksasa – yang mau tidak mau akan menuju pada birokrasi, sentralisasi dan kerja-kerja yang tidak efektif. Penolakan terhadap organisasi massa adalah vital untuk penciptaan dan penggalian potensi-potensi untuk pemberdayaan dan kerja-kerja anti otoritarian yang efektif. Beberapa ide di sini mencoba mengamati karakteristik pengorganisasian dan bagaimana agar kita, anti otoritarian, tidak terjebak dalam “massa” dan bagaimana kita dapat menelusuri diri kita sendiri, kelompok kita dan kerja-kerja kita : dari kegiatan-kegiatan dalam kelompok kecil hingga kerja-kerja jaringan skala besar. Yang dilontarkan disini adalah sekedar ide-ide yang masih perlu di-dialog kan dan yang jauh dari komprehensif– tujuannya sih supaya kita bisa menemukan metode-metode untuk pengorganisasian yang efektif. 

Tirani struktur 
Kebanyakan struktur massa merupakan akibat dari kebiasaan, apatisme dan kurangnya kritik-kritik kreatif. Keinginan untuk menjadi gerakan “massa” begitu saja diterima sebagai “kewajaran” seperti juga “kewajaran” bahwa kelompok harus mempunyai pemimpin. Bahkan anti otoritarian juga terjebak untuk menerima struktur-struktur besar dan organisasi-organisasi besar, yang katanya demi efisiensi, massa dan persatuan. Struktur-struktur besar menjadi simbol legitimasi dan satu-satunya wadah bagi kita untuk dipahami oleh pihak lain – apakah itu media, polisi ataupun gerakan-gerakan kiri lain. 

Koalisi-koalisi besar menjadi kegemaran bukan saja kelompok-kelompok kiri tradisional tapi juga mereka yang menyebut dirinya anti-otoritarian. Koalisi-koalisi tersebut mempunyai daya tarik besar untuk memuaskan fantasi-fantasi mengenai massa : keinginan kelompok otoritarian untuk memimpin (atau setidaknya menjadi bagian) dari kelompok besar yang menguatkan dan melegitimasi ideologi yang dipegangnya. 

Harga ‘mahal’ harus dibayar demi memenuhi fantasi-fantasi mengenai “massa”, belum lagi kalo kita menilai efektifitas kerja-kerja dan hasil-hasil yang dicapai. Struktur raksasa yang termasuk federasi, jaringan tersentralisir dan organisasi massa membutuhkan banyak energi dan sumberdaya untuk menghidupinya. Struktur dan organisasi seperti itu bukanlah mesin yang berjalan dengan sendirinya yang akan menghasilkan lebih banyak energi dari energi yang dicurahkan untuk mempertahankannya. Dalam komunitas-komunitas dengan keterbatasan sumberdaya dan energi, seperti kondisi kebanyakan kita, organisasi dan struktur raksasa cenderung mengkonsumsi sebagian besar sumberdaya dan energi kita – dengan konsekwensi kerja-kerja menjadi tidak efektif. Organisasi besar biasanya menghabiskan 2/3 dari sumberdayanya (dan bahkan lebih banyak tenaga manusia) hanya untuk mempertahankan eksitensinya : bayangkan jumlah orang dan sumberdaya untuk menjalankan kerja-kerja administrasi dan birokrasi. 

Kita semua mengetahui bahwa koalisi-koalisi dan struktur-struktur besar mengadakan pertemuan-pertemuan panjang. Nah, sebagai contoh: Lain kali jika anda merasa bosan dengan sebuah pertemuan yang terlampau panjang, cobalah hitung jumlah orang yang hadir. Kalikan dengan berapa lama pertemuan teresebut berlangsung : ini akan memberikan jumlah orang-jam yang diperlukan demi mempertahankan struktur tersebut. Faktor lain a dalah waktu perjalanan dan koordinasi pertemuan. Anda akan mendapatkan jumlah kira-kira waktu aktivis yang dihabiskan untuk memuaskan kerakusan organisasi teresebut dalam mengkonsuymsi sumberdaya dan tenaga aktifis. Coba bayangkan berapa banyak kerja-kerja riil dan konkret dapat dilakukan dalam waktu dan dengan sumberdaya tersebut. 

Affinitas 
Struktur besar adalah sesuatu yang boros dan tidak efisien, selain juga berakibat pada penggadaian ideal-ideal kita. Pada definisinya koalisi (yang didominasi kelompok-kelompok besar) biasanya bertujuan untuk menciptakan agenda-agenda spesifik yang kemudian dipaksakan pada seluruh anggota koalisi. Dalam kelompok-kelompok seperti itu, prioritisasi akan menghasilkan hirarki, agar setiap anggota dalam kelompok mempromosikan agenda-agenda yang telah ditentukan. 

Contoh paling mudah adalah peran jurubicara dengan komentar-komentarnya yang mewakili puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Dengan berpegang pada prinsip otonomi, tentunya kita tidak dapat menerima jika seseorang berbicara untuk kita – sebagai idnvidu, kolektif ataupun kelompok afinitas.  

Di satu sisi, kita akan merasa sangat jengkel dengan ilusi tentang aktifis yang menjadi selebritis media dan berbagai jenis jurubicara, namun harus juga dipahami bahwa struktur besar dapat menggiring pada skenario-skenario dengan konsekwensi lebih serius. Dalam sebuah mobilisasi atau aksi massa, seringkali taktik yang akan digunakan oleh semua anggota koalisi ditentukan oleh segelintir orang dan biasanya hanya orang-orang ini yang mempunyai akses terhadap berbagai informasi penting. Sebagai anti otoritarian, konsentrasi kekuasaan dan pengaruh yang bersarang pada segelintir orang tentunya tidak dapat kita terima. 

Konsisten dengan prinsip-prinsip anti otoritarian, secara umum orang-orang harus terlibat dalam affinitas-affinitasnya dan bahwa kerja-kerja yang kita lakukan harus bermakna, produktif dan menyenangkan. Ini adalah keuntungan-keuntungan dari perhimpunan-perhimpunan sukarela. Kecenderungan pada organisasi besar yang menganggap wajar keharusan akan identitas dan ideal yang sama untuk ratusan bahkan ribuan orang yang terlibat di dalamnya adalah sikap yang arogan, kalau bukan malah konyol[1] . Juga sama arogannya adalah kepercayaan bahwa sebuah kelompok dapat meyakinkan pihak-pihak lain melalui diskusi dan debat, bahwa agendanya adalah agenda yang paling penting. Akibat dari kondisi seperti diuraikan atas, organisasi-organisasi besar mempraktekkan pemaksaan agar agendanya diterima dalam sebuah koalisi. Tentunya pemaksaan tersebut (biasanya) bukanlah pemaksaan fisik, tapi dengan mempengaruhi pihak lain dengan slogan-slogan taek kucing seperti “kita harus bersatu” ataupun dengan mengungkit-ungkit masalah loyalitas. 

Persatuan merupakan ideal yang arogan yang selalu dipakai untuk menyerang pihak-pihak yang menolak untuk menyerahkan otonominya kepada sebuah struktur yang lebih besar. 

Bukankah kita sebenarnya harus konsisten dan mempunyai komitmen dengan garis perjuangan, bukan dengan organisasi, koalisi ataupun tokoh (sebut saja, aktivis selebritis).  


Kebebasan, Solidaritas dan Keragaman Taktik 
Jika kita menginginkan sebuah masyarakat yang terbebaskan, tentunya kita juga harus menciptakan masyarakat dimana adanya sikap saling percaya yang timbal balik antara berbagai pihak yang saling berhubungan. Polisi, tentara, institusi agama dan jenis-jenis hirarki yang lain secara esensi berakar pada tidak adanya sikap saling percaya. Seperti pada tradisi kemegahan gerakan kiri tradisional, organisasi besar karena merasa mengemban tugas dan misi yang besar, merasa mereka mempunyai hak-hak untuk mengatasnamakan anggotanya dalam pembuatan berbagai keputusan dan pada kerja-kerjanya. Bagi banyak aktifis, perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar berakibat pada munculnya mentalitas loyalitas. Ini adalah perasaan yang sama yang melahirkan sentimen nasionalisme dan patriotisme. 

Dalam struktur-struktur besar, kita juga kehilangan kesempatan untuk melakukan kerja-kerja berdasarkan inisiatif-insiatif yang kita kembangkan sendiri dalam afinitas kita, ketika kita tereseret pada kerja-kerja dengan tujuan-tujuan yang sudah dilunakkan dan berharap bahwa orang lain akan bergabung dengan kita. Ini adalah jebakan dari partai dan koalisi besar. 

Dalam kelompok-kelompok besar, kekuasaan tersentralisir, dikontrol oleh fungsionaris-fungsionaris atau kelompok-kelompok kerja, seperti juga halnya pada organisasi birokratis. Sebenarnya banyak energi diarahkan untuk mengamankan kekuasaan yang telah dipegang oleh segelintir orang dari orang/pihak/faksi lainnya dalam kelompok tersebut. Bagaimanapun bentuk luarnya terlihat, struktur besar mengembangkan iklim dimana segelintir minoritas mempunyai pengaruh besar terhadap lainnya. 

Sebagai anti otoritarian, kita harus menolak segala bentuk sentralisasi kekuasaan. Selayaknya kita bersikap kritis untuk apapun yang membutuhkan penyesuaian prinsip-prinsip kelompok afinitas kita. Kita harus menjaga otonomi kita sekeras upaya struktur besar untuk menanggalkan otonomi tersebut. 

Kita menjaga otonomi kita dengan mempercayai bahwa pihak lain juga mempunyai otonomi mereka masing-masing. Struktur besar melakukan yang sebaliknya, membatasi otonomi dan kerja-kerja yang berdasarkan pada affinitas dan menggantikannya dengan fantasi-fantasi arogan dan percaturan kekuasaan. Desentralisasi merupakan basis otonomi dan saling percaya. Pencapaian kebebasan yang utuh hanya akan terjadi ketika orang-orang melakukan kerja mereka berdasarkan kesukarelaan, minat dan komitmen – dan tanpa pengaruh kekuasaan di luar individu/kelompok affinitas tersebut. 
 
Kita bisa dan harus bekerja dengan kolektif-kolektif lain, tapi hanya dengan prinsip-prinsip otonomi dan prinsip saling percaya. Dalam kerja-kerja dan aksi-aksi prinsip-prinsip otonomi dan kebebasan merupakan landasan filsafat “keragaman taktik”. Keragaman taktik berarti adanya toleransi dan rasa hormat antara satu kolektif dengan lainnya meskipun mereka mempunyai perbedaan-perbedaan, misal sebagian orang akan memakai jalur konfrontasi dan kelompok lain memakai jalan damai. Sudah saatnya kita meninggalkan ide arogan mengenai “persatuan” yang seringkali tidak lebih artinya dari dominasi segelintir pihak terhadap orang banyak yang dibawahinya. Marilah kita bersikap kritis terhadap segala bentuk struktur-struktur besar – seperti kita juga mengkritisi negara, agama, birokrasi dan korporasi. 

Desentralisasi Total dan Semua Kekuasaan Untuk Kelompok-Kelompok Affinitas!!!

 [1] Ok, di sini kita menganggap bahwa orang terlibat atas kesadaran dan bukan massa mengambang


Read More......

Panduan Singkat Pembebasan Individual (Hasrat) Di Era Posmodern Untuk Setiap Henry Miller yang Salah Jalan

I. Majikan tanpa Budak

Perang Dunia Ketiga dan yang terakhir, berlangsung di seluk-beluk jiwa dan hati kita. Di satu sisi, Ia menjadi sebuah pertanyaan kepada keyakinan kita akan dunia serta berbagai keajaiban yang dapat kita lakukan di dalamnya: cinta dan impian kita terhadap kehidupan. Di sisi yang lain Ia berwujud ketakutan, ketidaknyamanan, dan inersia di dalam diri kita--yang di manfaatkan oleh korporasi dan pemerintah untuk memecah-belah masyarakat, mereduksi kompleksitas rumit dunia dan kehidupan dengan menyempitkannya menjadi perhitungan ekonomi. Apa yang dipertaruhkan oleh Perang ini, adalah pilihan antara pembebasan yang total dengan rutinitas dan isolasi. Kita diharapkan kalah dengan cara seperti ini: berperang dengan sesama demi memperebutkan secuil bagian dari dunia, daripada mengambilalih keseluruhannya demi kepentingan semuanya. Banyak yang terjebak--termasuk kita--ke dalam perangkap ini; aturan-aturan yang membuat kita saling berkompetisi, menghina, dan mencurigai satu sama lain.

Hasrat kekuasaan hirarkis, untuk menguasai yang lain, diciptakan dengan memutarbalikan hasrat yang ingin memiliki kontrol atas hidup. Di titik ini, di dunia yang sepenuhnya dipoles oleh budaya dan teknologi manusia, di mana tak ada lagi ruang-ruang yang tak terprivatisasikan, sangatlah lumrah kalau kita hanya bisa mempertahankan kehidupan individual kita melalui kerjasama. Takdir kita semua bersandar pada kemampuan kita mengatasi setiap ketidaknyamanan dan kepicikan diri kita masing-masing, juga bagaimana kita membangun sebuah cara berhubungan dengan sesama, agar dapat saling membantu satu sama lain, dan menjadi majikan tanpa budak: barulah dunia dapat kita rengkuh.

II. Untuk Diriku Sendiri

Dari semua yang telah diucapkan, Aku hanya ingin berkata: kamu diterima disini, tapi aku tak melakukan ini untukmu. Aku menjalani seumur hidupku memikirkan ‘kewajiban’ apa yang belum aku lakukan untuk dunia: apakah aku harus menolak keinginanku untuk melayani kepentinganmu, atau menolak kepentinganmu demi mengejar keinginanku. Kedua pilihan yang menjebak: Apabila aku menolakmu, aku akan kehilangan bagian dari diriku yang ada di dalam dirimu, dan apabila aku menyerahkan semuanya untukmu, aku tak memiliki apapun yang dapat ditawarkan kepadamu.

Pilihan-pilihan tersebut palsu, aku tak lagi mempercayainya. Sekarang aku melepasnya dan menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk diriku sendiri, baru kemudian memberi diriku sepenuhnya kepada dunia. Karena hanya dengan menyadari siapa diriku, barulah aku dapat menjalani hidup sebagaimana mestinya, sehingga aku dapat memberi lebih pada dunia daripada sekedar moralitas amal kaum agamis dan borjuis liberal. Apa yang aku maksudkan, adalah kita berupaya memuaskan kebutuhan kita sendiri, dengan suatu cara di mana kebutuhan yang lainnya dapat terpuaskan juga, yakni dengan berjuang menghancurkan setiap kekuasaan yang berniat untuk mengeksploitasi dan menghancurkan sesama kita: alam dan mahkluk hidup. Mulai sekarang, aku melakukan semua ini untuk diriku sendiri, tanpa harus terilusi oleh kehormatan dan kewajiban. Seperti ucapan seorang penyair: 'Apa yang Aku cari di dalam diri orang lain adalah pemenuhan dari diriku yang tersembunyi di dalamnya. Karena itu, mereka yang sadar bahwa hidup mereka sangat bergantung kepada sesamanya, masih harus menemukan diri mereka sendiri dulu. jika tidak, mereka tidak akan menemukan apapun di dalam diri orang lain selain hanya negasi dari diri mereka sendiri.'

Jadi aku menulis ini untuk diriku sendiri. Bukan untuk menjual ide-ideku, atau mencoba mengamalkan waktuku untuk mencerahkan orang-orang, atau, bahkan lebih buruk, mencoba meninggikan statusku menjadi seorang intelektual—namun untuk sebuah latihan berekspresi, untuk kenikmatan bermain-main dengan bahasa, logika, dan puisi, untuk sebuah kesempatan menulis tentang dunia serta hidupku sendiri, di dalam bentuknya yang baru.

Tulisan ini mungkin saja akan memberimu pengalaman yang berbeda. Kata-kata, terkadang, bisa menggerakan emosi, memberimu sensasi yang bebas, bahkan menggerakan dirimu melakukan sesuatu. Atau, kebalikannya, kata-kata hanya akan membuatmu terpaku, lumpuh tak berdaya. Di situasi seperti ini, kamu adalah si pembaca yang membaca tulisanku, kamu hanyalah sekadar pembaca. Terlepas dari fakta, misalnya, ada sesuatu yang penting yang aku utarakan disini, ada poin-poin yang bisa menjelaskan beberapa hal, halaman-halaman dingin ini dapat menjadi sesuatu yang kosong, suatu konfirmasi dari ketidakberdayaanmu.

Aku menulis deklarasi ego ini untuk menantangmu, untuk terus memperjelas posisi, siapa disini yang mengambil manfaat dan siapa yang tidak—dan juga, untuk mengajakmu bergabung denganku, untuk kepentingan dirimu sendiri. Kamu tidak perlu menjadi seorang penulis, teoritisi atau seniman atau akivis, ataupun setiap peran yang menghalangi dirimu menjadi seseorang yang bebas. Kamu hanya perlu berjanji pada dirimu, untuk merengkuh dunia atau tidak sama sekali. Ada banyak jalan menuju kebebasan seperti ada banyak ragam orang di dalam dunia; untuk kepentingan setiap orang, temukanlah dirimu sendiri.

III. Untuk Kita Semua

Bagi mereka yang berada di dalam situasi seperti diriku, tantangan terbesarnya adalah bagaimana bertindak tidak acuh pada potensi orang lain. Kita hidup di dalam masyarakat—yang ekonominya timpang--di mana ke-diri-an dipandang sebagai sumberdaya yang terbatas: tak banyak yang bisa dibagi-bagi, karena semuanya dipusatkan kepada segelintir bintang rock dan selebritis--dengan cara yang sama kapital dimiliki oleh segelintir pemilik modal dan investor, yang mengambilnya dari hasil keringat setiap orang. Bentuk-bentuk ekspresi diri yang ada sekarang ini, adalah hambatan bagi aktualisasi diri setiap manusia: untuk membuat satu orang tampil di televisi, dibutuhkan ribuan orang duduk dirumahnya menonton, dan cara yang sama berlaku bagi permainan olahraga, penulis dan pembaca, pelaku scene dan pengagumnya, politisi dan pendukungnya, seniman dan patron-patronnya. Bahkan pemberontakan kita terstrukturisasi seperti ini: vokalis punk dan tokoh radikal berada diatas audiens, suara mereka disokong oleh amplifier dengan volume besar, kondisi yang membuat orang-orang menjadi penonton pasif.

Sekarang, kita harus menemukan suatu cara bersuara yang dapat memberi suara bagi yang lain, sebuah cara bertindak yang merangsang orang-orang untuk aktif, sebuah cara hidup yang memungkinkan kita untuk berbagi kehidupan dengan orang lain tanpa harus melepaskan kehidupan kita sendiri. Aku tidak akan pernah melepaskan kehendak untuk mengekspresikan diriku sendiri, atau kenikmatan yang aku reguk dengan melakukannya. Aku cukup sadar, bahwa dengan mengekspresikan diri, aku beresiko mereplikasi sistem yang memanfaatkan pemiskinan relasi antara individu; namun yang aku upayakan disini, adalah untuk menemukan suara yang mematikan, yang dapat menjadi sebuah wabah dashyat untuk menghancurkan setiap penyelubung kesadaran diri manusia serta setiap inersianya yang masih menghantui kita sampai sekarang.

Ingat, jangan pernah mencoba menakut-nakuti orang-orang agar mereka bertindak. Semua orang sudah cukup lelah dengan ketidakberdayaan, dengan segala kekasaran dunia yang barbar. Secara instingtif, semua orang tahu, bahwa ada yang tidak beres dengan dunia. Tak ada yang menyukainya, sekalipun status sosial dan pekerjaan mereka mencoba membuat mereka berpikir sebaliknya. Satu-satunya cara memotivasikan mereka adalah dengan menunjukan bahwa tindakan yang bebas masih mungkin. Keburukan dunia bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka yang menonton berita, sekalipun berita tersebut tidak luput dari sensor; satu-satunya daya tarik untuk memotivasikan mereka adalah dengan menggiring keindahan ke permukaan.

Apabila kita berkeinginan untuk membuat orang-orang aktif, maka tugas kita adalah seperti ini: Untuk membuat dan menjalani sebuah keindahan yang baru, yang sepenuhnya berbeda dengan “kontes kecantikan” yang sering diselenggarakan oleh mereka yang bermentalitas budak—untuk mengusahakan keajaiban di tengah dunia yang tidak lagi percaya pada keajaiban dan kejutan—untuk menghidupkan yang mati, seperti ketika kita akan meruntuhkan setiap bangunan-bangunan kerajaan.

Apabila kita berhasil menciptakan satu keajaiban, maka darah kita akan menjadi barisan malaikat-malaikat tertinggi, yang hadir untuk memulihkan yang letih dan menyembuhkan mereka yang sengsara akibat maladi kematian—yang menghampas seperti angin sebelum badai datang memporak-porandakan pekuburan sunyi, merombak jalan-jalan, membebaskan setiap jiwa tersesat yang dilaluinya. Mari menemukan masa depan baru, dan menggemakannya melalui sebuah propaganda hasrat yang belum pernah diketahui oleh dunia ini. Siasat para praktisi periklanan tidak lagi mengilusi kita, dan mereka yang berada di sisi dunia lama, akan di lahap api.

Kami menyerahkan segalanya agar kami tidak berhutang pada siapapun, agar dunia menjadi milik kami. Engkau melahap semuanya sehingga semuanya habis, tiada sesisapun. Kau adalah kehampaan, yang melahap semuanya—lihat apa yang telah engkau lakukan kepada dunia.

Tapi kami adalah karma peradabanmu. Bagi kami, pencurian itu tidak pernah ada, adalah adil untuk mengambilalih apa yang menjadi miliki kita, dan setiap pelanggaran adalah pembebasan.

Bagi kalian yang menyimpan keluh kesah: kalian mungkin salah satu dari kami. Beritahu apa yang kalian rasakan. Tiada yang lebih tragis dan hampa, selain ketidakhadiran kalian ketika dunia harus kita rebut. Berciumanlah dengan setiap liur di dalam mulutmu, berjuang dengan jiwa di lengan dan darah di matamu.

Mulai sekarang, perdagangan akan sirna di dalam kehidupan, tak ada bisnis seperti biasa. Hancurkan dan sembuhkan. Sirna dan mengada. Terima dan beri. Hidup, lalu mati; melawanlah, maka kamu akan hidup.



Armed to the teeth and dressed to kill,

Vetuyara Krishna

e-mail: anarkrisna@yahoo.com

Read More......

Senin, 04 Agustus 2008

Sebuah Konsep Anarkis Tentang Nilai

Perjuangan anarkis insureksioner membawa maju kepastian nilai-nilai positif. Kebebasan individual dan persamaan kelas tertindas dapat dideskripsikan sebagai hal paling yang mendasari dari kedua hal tersebut, sejalan dengan solidaritas dan hubungan yang saling menguntungkan, dengan format yang menghubungkan jaringan di antara kebebasan individual. Juga nilai swakelola, kreatifitas, kesenangan dan aksi otonom. Tapi tak ada satu pun dari elemen-elemen positif tersebut yang secara artifisial terisolasi secara komplit dari orientasi negatif para anarkis menuju kelas pengeksploitasi dan sistem dominasi mereka. Interrelasi dari berbagai elemen-elemen seharusnya menjadi jelas, sebagaimana seharusnya dapat menjadi kontribusi positif bagi perjuangan kita yang menyerang properti milik para pengeksploitasi dan penjaga-penjaga mereka sebagai syarat untuk membuka ruang sosial di mana kita dapat melakukan sesuatu dengan lebih bebas.
Kita bukanlah para ilmuwan revolusi yang tidak mampu melihat nilai subyektif dari perjuangan-perjuangan yang tidak memerlukan posisi utama menuju kejayaan bagi keseluruhan kelas kita. Kami tidak setuju bahwa terdapat sebuah formula yang dapat dijamin, sebuah program politikal yang dapat membawa kita melalui perjuangan dari awal sampai akhir tanpa kesalahan, tanpa beradaptasi untuk merubah keadaan.

Para anarkis adalah individu-individu sederhana yang menghasratkan kebebasan dan persamaan serta secara konsisten mendorong untuk berjuang di tepi massa yang tereksploitasi, sebagai sebuah komplotan ketimbang menjadi pemandu.

Kami mendukung langkah yang segera, menyerang secara destruktif struktur-struktur negara kapitalis, karena kami melihat hal-hal tersebut sebagai elemen yang tidak boleh tidak ada dari sebuah pergerakan sosial insureksioner. Adalah hal yang sangat mudah bagi seorang individu atau kelompok untuk memprakarsai aksi-aksi melawan institusi-institusi yang terlihat dari kelas musuh. Hal yang paling sederhana mengandung makna gunakan sebanyak mungkin potensi-potensi yang ada untuk mempraktekkan sabotase untuk menyebarkan perjuangan melintasi sebuah teritori sosial, sebagaimana setiap aksi kecil menjadi sebuah poin dari referensi yang dapat diterapkan untuk digunakan oleh siapa pun.

Kedudukan nilai para anarkis ada di dalam kehendak untuk memberontak melawan penindasan dan inisiatif otonom dari individu-individu yang tidak puas duduk dan menunggu demi kedatangan revolusi seperti sebuah hadiah dari langit. Kami tidak sepakat dengan mereka yang mengatakan bahwa sabotase adalah hal yang tidak berguna atau mengurangi nilai-nilai perjuangan kita. Kita bukanlah para pendeta dari etika kerja Protestan yang memelihara segala sesuatu agar menjadi “produktif”, bahwa kapitalisme adalah bagian dari kemajuan sejarah evolusi.

Tidak. Sabotase diperlukan untuk memulai penghancuran segala sesuatu yang bermakna penindasan, yang dikontrol oleh musuh, dan keputusan untuk bergerak dalam tujuan ini tidak bisa datang dari siapa pun selain dari diri kita sendiri. Kita dapat menemukan kamerad-kamerad yang dapat kita jadikan teman berbagi pengalaman membangun relasi affinitas secara personal untuk aksi revolusi, dan kita pun dapat berkontribusi bagi organisasi-organisasi informal yang lebih besar yang, digunakan untuk mengkoordinasikan eksperimentasi-eksperimentasi dari berbagai kelompok-kelompok otonom, tapi yang terpenting, kehendak untuk melawan harus datang dari dalam diri setiap orang di antara kita.
Sebagai anarkis insureksioner, kita tidak sepakat dengan mereka yang berpikir adalah hal yang mungkin untuk menghadapi kapitalisme dengan proyek-proyek produktif sendirian, maka kita hanya dapat mengganti institusi musuh-musuh kita dengan apa yang kita punyai, segalanya tanpa mengindahkan perhatian-perhatian dari pasukan-pasukan polisi mereka, pasukan dari represi politikal.
Ide-ide kita mengenai anarkis-komunis terdiri dari banyak nilai-nilai indah dan positif, dan kita ingin berjuang demi hal-hal tersebut, serta tidak membatasi diri kita sendiri untuk mengadvokasikan secara sederhana pandangan-pandangan kita. Dalam perjuangan otonom menghadapi negara kapitalis kita melihat nilai positif bukanlah satu-satunya hal, tapi juga kebutuhan-kebutuhan material lainnya.

+ Insurrectionary Anarchists of the Coast Salish Territories

Read More......