Senin, 21 Juni 2010

KETIKA NON-KEKERASAN BERARTI BUNUH DIRI

Oleh: Ted Kaczynski


Ini adalah musim gugur tahun 2025, sistem teknoindustrial telah runtuh setahun lalu. Tapi kamu dan teman-temanmu ternyata baik-baik saja. Kebunmu telah berkembang selama musim panas ini, dan di tempat penyimpanan, kamu memiliki pasokan yang mencukupi dari sayuran kering, kacang kering dan bahan makanan lain untuk memastikan kamu bisa melalui musim dingin mendatang dengan baik. Sekarang saatnya memanen kentang kalian. Dengan sekop, kamu dan teman-temanmu mencabut kentang satu demi satu dan memilih umbi yang baik dari tanah yang subur.

Tiba-tiba, teman di sebelahmu menyikutmu dan ketika kamu melihat ke atas, oh, sekelompok lelaki bertampang sangar sedang menuju ke arahmu. Mereka membawa senjata. Sepertinya akan ada masalah, tapi kamu berdiri dengan teguh. Pimpinan genk berjalan ke arahmu dan berkata,


"Kamu punya kentang-kentang yang bagus rupanya."

"Ya," serumu. "Ini Kentang-kentang yang bagus."

"Kami akan mengambilnya," kata pimpinan genk itu.

"Persetan denganmu!" makimu. "Kami menghabiskan sepanjang musim panas dengan bekerja keras untuk menumbuhkan kentang-kentang ini…"

Pimpinan genk mengacungkan pistolnya ke wajahmu dan berkata, "Diam kamu, dasar sampah!"

Kepada anak buahnya dia menambahkan, "Dick, Ziggy, cek tempat penyimpanan dan lihat makanan apa yang mereka punya. Kita mungkin akan pindah dan tinggal selama musim dingin di sini. Mick, seret wanita yang di sana itu sebelum dia kabur. Dia menarik, kita semua akan habiskan malam dengannya".

Kamu menjadi marah dan mulai berteriak, "Bajingan kamu! kamu tidak…"

DOR! Pistol meledak. Kamu mati.


* * *


Non-kekerasan bekerja hanya jika kamu memiliki polisi untuk melindungimu. Dengan tidak adanya perlindungan polisi, non-kekerasan sangat hampir sama dengan bunuh diri.

Memang hal itu tidak sama di semua waktu dan tempat. Di antara orang-orang Pigmi di Afrika seperti yang dijelaskan oleh Colin Turnbull, kekerasan mematikan terhadap manusia itu hampir tidak dikenal. Di kelompok berburu dan meramu nomaden lainnya kadang-kadang orang saling membunuh dalam perang, tetapi tidak pernah ada penaklukkan wilayah atau suku secara sistematis. Dalam kondisi semacam ini, non-kekerasan tidak inkonsisten dengan bertahan hidup.

Tapi, realistis, ini bukan suatu kondisi yang akan berlaku jika dan ketika sistem teknoindustrial runtuh. Ada banyak orang-orang kejam di luar sana: Nazi, Hell's Angels, Ku Klux Klan, Mafia... atau bahkan yang bukan termasuk ke dalam kelompok tertentu. Mereka tidak akan menghilang ke udara tipis bila sistem ini telah hancur. Mereka akan selalu ada di sekitar kita. Mereka mungkin tidak akan berhasil mengembangkan makanan mereka sendiri, bahkan meskipun mereka mencobanya, dan mereka tidak akan mencoba itu karena bagi orang-orang seperti mereka, akan jauh lebih menyenangkan untuk mengambil makanan dari orang lain daripada menumbuhkannya sendiri. Dan karena mereka adalah setan, mereka dapat membunuhmu atau memperkosamu hanya untuk bersenang-senang, bahkan ketika mereka tidak membutuhkan makanan dari kamu.

Banyak juga orang-orang biasa, yang dalam kondisi saat ini adalah orang yang cinta damai dan berwatak halus, bisa berubah menjadi kejam ketika mereka putus asa untuk mendapatkan makanan yang cukup atau lahan pertanian yang baik untuk menumbuhkannya. Kekurangan makanan mungkin tidak akan menjadi masalah di wilayah yang biasa kita sebut daerah "terbelakang" di mana petaninya masih relatif swasembada, tetapi di negara-negara industri, di mana pertanian sangat tergantung pada pupuk kimia dan pestisida, dan bahan bakar (antara lain) untuk traktor, dan di tempat di mana hanya ada sedikit orang yang memiliki keahlian untuk secara efektif mengembangkan pangan mereka sendiri, kekurangan makanan pasti menjadi masalah akut ketika sistem runtuh.

Bahkan, mari kita berargumen dengan asumsi jika negara-negara industri bahkan memiliki cukup lahan sehingga semua orang akan, secara teori, mampu menanam dan mengembangkan pangan untuk mereka sendiri dengan metode primitif. Dengan tidak adanya pemerintahan yang berfungsi, tidak akan ada cara untuk menata penduduk kota kembali ke pedesaan dan alokasi tanah secara sistematis untuk setiap keluarga. Oleh karena itu, akan terjadi kekacauan dan kebingungan. Beberapa orang akan mencoba untuk mendapatkan bagian lahan terbesar atau tanah terbaik untuk diri mereka sendiri, orang lain akan menentang mereka dan perkelahian mematikan tidak akan terhindarkan. Kelompok-kelompok bersenjata akan muncul baik untuk melindungi diri sendiri atau untuk tujuan agresif. Jika kamu ingin bertahan dalam keruntuhan sistem ini, kamu harus mempersenjatai diri dan siap untuk menggunakan senjatamu secara efisien. Ini artinya, persiapkan dirimu, baik secara fisik maupun mental.

Mempersenjatai diri dan menyiapkan perlawanan untuk membela diri tidak akan hanya menjadi syarat perlu untuk kelangsungan hidup... itu akan menjadi tugasmu. Nazi, Hell's Angels dan Ku Klux Klan sesungguhnya bukan musuh paling berbahaya bagi kebebasan. Orang-orang tersebut adalah kelompok yang tidak disiplin, kacau dan tak teratur, mereka tidak mungkin untuk membuat organisasi yang besar dan efisien. Yang jauh lebih berbahaya sebetulnya adalah jenis orang yang menjadi tulang punggung dari sistem saat ini, orang-orang yang telah beradaptasi dengan kehidupan di organisasi yang disiplin: tipe "borjuis”—insinyur, eksekutif bisnis, birokrat, perwira militer, polisi dan sebagainya. Orang-orang ini akan berusaha memulihkan ketertiban, organisasi dan sistem teknologi secepat mungkin. Metode mereka mungkin tidak akan sekasar Nazi dan Hell's Angels, tapi mereka juga tidak akan ragu untuk menggunakan kekerasan demi kekerasan yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka. Kamu HARUS siap untuk membela diri secara fisik melawan orang-orang ini.

2 komentar:

Unprivileged mengatakan...

Aku bukan penganut non-kekerasan. Tapi tidak bisa di generalisasi dengan mutlak bahwa non-kekerasan tidak efektif. Tolstoy dan Gandhi adalah penganut non-kekerasan, dan mereka adalah salah satu anarkis paling ternama seluruh dunia.

Prya Bimantara mengatakan...

Saya setuju dengan ide tulisan ini, yakni betapa kekerasan sesungguhnya merupakan suatu hal yang niscaya dalam hidup.

Dewasa ini kehidupan cenderung memisahkan kita dari kekerasan tersebut: proses memasak dari membunuh ayam, membikin sate dari menggorok kambing, makan gulai dari menyembelih sapi. Semua sudah dilaksanakan oleh tukang jagal dan supermarket, yang lantas mengemasnya dalam wadah styrofoam rapih terbungkus plastik.

Saya pernah bertemu seorang anak urban yang tidak tahu bahwa paha gurih nan kriuk yang biasa dimakannya di KFC itu berasal dari makhluk bernama ayam. Dan ketika dia datang ke sebuah desa dalam rangka tur lapangan dari sekolah, dia sempat menyaksikan proses transformasi ayam yang disembelih menjadi paha goreng yang gurih (meski tidak se-kriuk KFC). maka bengong lah dia layaknya seorang atheis bertemu tuhan.

Menjadi penting, saya kira, untuk melepaskan diri dari spesialisasi ala abad modern yang memisahkan kita dari segala bentuk kekerasan. Kekerasan membentuk kita, kekerasan melengkapi kita, kekerasan menggenapi kita. Dan dengan memahaminya pula, kita bisa semakin menghormati kehidupan. Bukan karena sebegitu berharganya, melainkan untuk kembali menyadarkan kita bahwa ada pihak-pihak yang berkorban demi keberlangsungan kita. jika bukan penderitaan ibu yang melahirkan kita, maka mereka adalah makanan kita—hewan dan tumbuhan yang seringkali kau masak dan hidangkan di meja.

Barangkali akan lebih bijaksana untuk tidak menghindari kekerasan, melainkan menyambutnya, merangkulnya sebagai kawan lama. Dan ada baiknya kita coba melayangkan pandang ke dunia di sekitar kita, menatap langsung ke mata para buruh, hewan kurban, pohon-pohon penghuni hutan hujan... wajah-wajah yang membayar demi kehidupan kita.