Senin, 12 Januari 2009

INDUSTRIALISASINDUSTRI

Sejarah Lahirnya Industri

Berbicara mengenai hadirnya industri maka kita tidak akan terlepas dari dampak hadirnya revolusi hijau, munculnya sebuah peradaban baru mengenai eksploitasi hasil alam untuk memenuhi kebutuhan, keinginan untuk menjaga persediaan pangan hingga ketahanan pangan[1] yang menggiring munculnya keinginan untuk saling menguasai.

Sepertinya semua mungkin sudah memahami sejarah lahirnya industri, penemuan teknologi mesin uap, kebutuhan konsumsi dalam skala besar[2], memaksa proses produksi bergerak lebih cepat, lebih efisien dengan harga yang bersaing di pasaran untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian proses produksi yang lebih besar membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar pula, untuk mengurangi beban biaya produksi, maka pada masa itu jam kerja ditingkatkan dan upah diturunkan, bla..bla..bla…, terjadi pergolakan mengenai kesepakatan upah, jaminan kesehatan dan bermacam tuntutan untuk kesejahteraan kaum pekerja terus bergolak hingga saat ini, karena kapital, korporat, birokrat dan aparat tidak akan memudahkan pekerja untuk sejahtera, sebelum mereka meraih keuntungan terlebih dahulu. Pergolakan kaum buruh pun dicatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah manusia seperti revolusi industri, revolusi perancis dan banyak revolusi yang disebabkan tingkat kesejahteraan yang berbeda antara kaum borjuis dan proletar di masa itu.

Lalu menjadi sebuah pertanyaan bagaimana mungkin industri menjadi sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan semua manusia? Bukankah industri hanya sebuah problem bagi pemilik pabrik dan pekerjanya, bukankah industri bukan ancaman bagi kita semua, insureksi hanya akan terjadi bagi pekerja buruh, bukan kawan, ini adalah permasalahan kita semua, artikel ini mencoba mengulasnya.

Bagaimana Industri Saat Ini?

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor utama tumbuhnya industri di masa sekarang, dengan ditemukannya peralatan kerja yang canggih, faktor sumber daya manusia yang mengoperasikan peralatan produksi dengan bermacam spesialisasi pekerjaan, tenaga kerja rendahan yang mudah sekali untuk diatur dengan sistem outsorcing[3], serikat pekerja yang tak ubahnya hanyalah barikade pengekang kesejahteraan pekerja, semua hal yang saling berdampingan ini membuat proses produksi semakin efisien. Namun sebuah hal yang sangat aneh untuk bisa dikategorikan ‘efisien’ pada saat ini, melihat semakin banyaknya pemborosan energi dan semakin tingginya angka hasil produksi sehingga industri menemukan permasalahannya sendiri. Dengan meningkatnya hasil produksi, maka dibutuhkan banyak komponen untuk menyalurkan hasil produksi, karena gudang-gudang penyimpanan semakin penuh, satu-satunya tempat yang ditujukan bagi barang hasil produksi ini adalah masyarakat dengan daya beli yaitu konsumen.

Sebagaimana pergeseran makna industri yang saat ini menjadi sebuah gabungan dari beberapa aktivitas kerja, industri tidak hanya sumber daya alam yang diolah menjadi benda pakai, tetapi industri menjadi sebuah kerjasama yang luas untuk menghasilkan produk, di mana dalam industri dibutuhkan pemasok energi, rekanan kerja di bidang pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana tempat produksi, pemasok tenaga kerja untuk proses produksi (terlepas apakah rekanan tersebut untuk tenaga ahli, tenaga terampil hingga pekerja kelas atas, menengah maupun bawah), rekanan sebagai suplai perencanaan dan teknologi, pemasok bahan baku yang digunakan sebagai produksi, rekanan dalam penyimpanan hasil produksi, rekanan dalam bidang distribusi hasil produksi, rekanan birokrasi yang memperlancar

Sebuah industri yang kuat juga ditopang dengan jaringan pemasaran yang kuat, sebuah jaminan atas kokohnya dinasti industri. Jaringan pemasaran yang mengglobal juga hadir dengan strategi-strategi yang mampu mengusai pasar global, hal ini diperkuat dengan munculnya lembaga yang mengatur legalitas perdagangan yang menembus batas negara, hadirnya juru selamat atau malah malaikat kematian bernama World Bank, International Moneter Fund, World Trade Organization, Group of 8 dan masih banyak nama-nama lain yang mempersatukan dunia menjadi sebuah pasar tanpa batas, menjadikan pihak-pihak borjuis tanpa batas yang bermakna lain selain melahirkan miliaran proletar tanpa batas juga.

Industri adalah sebuah surga yang dihadirkan ke dunia bagi kapitalisme, sebuah hak untuk mengekspliotasi segala hal yang ada di muka bumi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Sebuah wahyu dari sang pencipta di mana manusia ditakdirkan untuk menguasai bumi, dengan pandangan industri adalah sebuah pembenaran untuk mengabiskan semua kekayaan alam, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya dilakukan, bahkan negara memberi legalitas bagi pihak industri untuk menghabiskan semua hasil alam dan memusnahkan penduduk lokal yang ingin menghalangi munculnya industri[4]. Peristiwa-peristiwa berdarah yang menjadi tumbal munculnya industrialisasi justru dilupakan, pihak-pihak yang diuntungkan dengan hadirnya industri semakin berpesta.

Di samping hingar bingar industri saat ini ancaman akan kehancuran bumi semakin membayangi, perubahan iklim yang mengglobal, meningkatnya suhu bumi, meningkatnya permukaan laut, semakin menipisnya persediaan bahan bakar, bukan menjadi sebuah kekhawatiran dunia. Yang menjadi fokus untuk dinasti industri adalah bagaimana menghindari “kerapuhan ekonomi” yang bisa mengancam mereka, bukanlah sebuah “kerapuhan lingkungan” yang akan mengancam generasi penerus, seakan kita bisa membeli sebuah planet baru untuk ditinggali jika bumi ini hancur nantinya.

Apa Bahayanya Industri Dengan Kehidupan Saat Ini?

Pemilihan jalan hidup peradaban manusia menjadi budaya industri adalah sebuah tindakan yang membuka kotak pandora bagi kelangsungan semua bentuk kehidupan di muka bumi. Dengan memilih jalur industri, berarti memilih untuk melakukan pengerukan sumber daya yang lebih besar, dengan imbas hasil produksi yang lebih tinggi, dengan imbas pemasaran yang lebih tinggi, dengan imbas konsumen yang lebih tinggi, dengan imbas konsumsi yang lebih tinggi, dengan imbas pembelanjaan yang lebih tinggi, dengan imbas daya beli yang lebih tinggi, dengan imbas konsumen yang harus memiliki pendapatan yang lebih tinggi, dengan imbas bekerja lebih banyak, untuk memuaskan tingkat konsumsi yang lebih tinggi, dengan kata lain, manusia harus bekerja lebih giat agar mampu menemukan posisinya sebagai konsumen dengan kelas di dalamnya.

Keterasingan antara manusia dan hidupnya juga dimulai dengan keinginan untuk mengkonsumsi, dengan munculnya keterasingan itu, manusia semakin melupakan tempat hidupnya yang memberikan sumber daya untuk proses industri, perusakan lingkungan yang dikarenakan kebutuhan industri semakin besar, membuat manusia tidak memiliki kontrol atas lingkungannya sendiri, karena keterasingan aktivitas manusia (kelompok konsumen) dengan lingkungannya, di mana semakin banyak masyarakat yang dibingungkan untuk memperoleh upah yang tinggi dengan mengabaikan tempat tinggalnya. Perusakan lingkungan sebagai imbas industri pun dianggap hal wajar, karena tingginya tingkat konsumsi, padahal hasil produksi saat ini mampu untuk mencukupi (cenderung lebih) kebutuhan masyarakat untuk beberapa puluh tahun ke depan, lalu kenapa proses produksi tidak dihentikan?

Dalam Hal Ini Kita Hanya Diposisikan Sebagai Konsumen

Dengan adanya alienasi terhadap lingkungannya, semakin tertanam di otak manusia sebuah pemikiran untuk terlibat semakin dalam untuk memperoleh pendapatan yang besar, untuk menunjukkan statusnya di masyarakat, dengan demikian sebuah permasalahan sosial yang muncul untuk saat ini adalah sebuah hal yang wajar. Seorang workaholic bukan lagi dianggap sebagai manusia dengan gangguan mental, tetapi adalah seorang profesional yang layak dijadikan contoh. Kegilaan terhadap kerja membawa imbas yang serius, gangguan medis berupa insomnia, paranoid, dan depresi menjadi gangguan sehari-hari yang tidak lepas dari masyarakat yang terjebak dalam penghambaan uang. Gangguan sosial seperti tingkat perceraian, kekerasan, penggunaan obat-obatan terlarang menjadi sebuah pertukaran yang adil di masyarakat industri yang sangat menghambakan sebuah kekuatan finansial yang mutlak dan berkesinambungan.

Penghamburan uang untuk benda-benda absurd[5] juga bukan lagi sebuah hal aneh, di mana seorang anak bisa dengan mudah menghabiskan uangnya untuk membeli pulsa telepon (yang mana hal wajar bagi seorang anak di era sebelumnya adalah membeli mainan dan makanan), kegilaan orang tua terhadap hal-hal yang bukan kebutuhan pokok dan mendesak dengan istilah lainnya adalah “hobi”, hingga shopaholic sang ibu, dan banyak alasan lainnya yang tak lain adalah wujud suksesnya sang penjual untuk melariskan barang dagangannya. Kita bahkan tidak memiliki kontrol lagi terhadap pola hidup karena semua telah terbentuk dengan sendirinya, bahkan kita yang membentuk pola untuk larut di dalamnya.

Industri melibatkan banyak pihak di dalamnya, ancaman industrialisasi bukan hanya dari produk-produk ciptaan pabrik, tetapi industri sendiri menguasai kehidupan manusia, karena kita semua adalah mesin-mesin industri masa kini, di mana industri menggeneralisasi hasrat konsumsi individu sehingga manusia bukanlah manusia, tetapi hanya sebagai demografi, kelompok umur yang hanya digunakan sebagai statistik karena kesamaan pola konsumsinya.

Kelompok usia anak-anak adalah kelompok yang dipersiapkan sejak awal untuk memasuki industri, kelompok remaja adalah kelompok yang dipersiapkan untuk menjadi konsumen dari hasil industri, kelompok dewasa adalah motor penggerak industri (produksi, distribusi dan konsumsi berada pada kelompok ini).

Manusia memang dipersiapkan untuk industri, di mana sistem tata kota pun mengarah ke sana, pengelompokan pemukiman, daerah industri, perdagangan, perkantoran, industri lagi, pemukiman kumuh sekitar industri, pembuangan sampah, jalan, kawasan industri terpadu, sekolah, sarana publik, kantor pemerintahan, perumahan elit, pusat perbelanjaan, sentra industri, dan semua pembukaan lahan baru untuk keperluan industri dan konsumsi. Tanpa pernah berharap adanya daerah resapan air. Keuntungan besar di bidang ekonomi dan masalah lingkungan menjadi konsekuensi yang harus diterima, banjir dan gangguan saluran air bukanlah sebuah masalah serius, tetapi bagaimana mempersiapkan sebuah akses bagi lancarnya industri dan lancarnya pengurasan finansial masyarakat adalah hal yang perlu diutamakan. Dan manusia adalah korban dari industrialisasi yang diciptakannya sendiri, sebuah lingkaran setan yang tidak akan berhenti beregenerasi, berevolusi dan berkembang, sehingga industri saat ini yang banyak kita temui adalah ancaman terhadap hidup harian, bahkan kita juga terlibat di dalamnya.

Dan Kita pun Terjebak di Dalamnya

Industri saat ini bukan hanya mesin produksi dan pabrik, industri adalah mesin uang, kita akan sulit terlepas darinya, bekerja keras untuk memproduksi benda atau jasa, dengan harapan memperoleh upah yang besar, untuk kemudian dikonsumsikan ke dalam bentuk benda atau jasa, sebuah perputaran yang tidak akan pernah habis. Subliminasi[6] terhadap citra-citra yang ditanamkan oleh media membuat kita tidak akan pernah untuk mengkonsumsi, bahkan peran prestise, trend, gengsi juga mempengaruhi pola konsumsi. Hanya ada satu jawaban untuk mengatasi semuanya, berusaha untuk memperoleh pendapatan lebih besar untuk bisa mengkonsumsi kebutuhan yang semakin besar. Dan semakin terlarut, bahkan kita melupakan siapa diri kita sebenarnya, kultur, budaya, sejarah dan harga diri, inilah beberapa wajah industri yang bisa saja menjebak kita di dalamnya:

Industri Hiburan

Sudah bukan barang asing lagi di telinga kita, ini adalah industri yang erat, yang hadir setiap harinya dalam kehidupan kita, bahkan ini adalah nafas bagi kehidupan kita. Perwujudan industri ini sangat menghipnotis, setiap hal yang mampu mewakili kesenangan dan kebutuhan kita seperti halnya, berita, informasi, olahraga, pendidikan, musik, permainan (analog maupun digital) semuanya dikemas sedemikian rupa dalam sebuah industri hiburan yang mampu menangkap celah dari telekomunikasi.
Kebutuhan manusia akan hiburan (terutama untuk masyarakat perkerja yang terlibat dalam industri) adalah hal pokok, di mana ini adalah sebuah usaha untuk menyegarkan kembali tubuh dan pikiran dari ketegangan dan tekanan yang diperoleh di tempat kerja. Untuk bisa menyibukkan diri kembali esok harinya agar dapat beraktivitas dengan segala ketegangan dan tekanan dalam proses produksi di dunia industri. Kita menyadari hal ini, tetapi kita tidak akan melawan kebudayaan kerja ini, bahkan jam istirahat pun akan dikorbankan untuk proses refresh melalui industri hiburan, padahal tidak sedikit uang yang dikonsumsikan untuk bisa memperoleh hiburan - biarlah kami membayar untuk memperoleh kebahagiaan kami.

Hadirnya media, membuka angin segar untuk industri ini, dan para penjual pun menyadari penanaman merek melalui jalur ini adalah hal yang sempurna, bagaimana media cetak: koran, majalah, buku dan lainnya, juga media elektronik: radio, televisi, internet, jaringan telekomunikasi, menjadi sebuah jalan untuk menggelontor kelebihan produksi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik melalui iklan-iklannya. Hadirnya ikon-ikon penjualan seperti selebriti, olahragawan, musisi, politikus dan siapa pun yang menjadi idola merupakan jaminan mutu bagi penjualan hasil produksi, bahkan pengiklan tidak menemukan batasan usia dalam langkahnya, hadirnya iklan mobil dalam dunia hiburan anak-anak adalah sebuah usaha di mana pengaruh anak sangat besar untuk menggerogoti daya beli orang tuanya. Proses penjualan industri ini adalah mempermainkan imaji seseorang sehingga menjadi sama dengan sang idola pujaannya, walau dalam kenyataannya ia tetaplah individu yang berbeda.

Proses penjualan antar teman atau dengan jaringan pemasaran berjenjang, membuat miliaran manusia berbondong-bondong untuk larut sebagai penjual barang-barang hasil industri, dengan iming-iming bonus yang menjanjikan, melupakan sejenak kesadaran bahwa sebenarnya kitalah konsumen itu, kita bukan penjual, tetapi kita adalah konsumen. Bagaimana industri membuat pasar remaja menjadi target pasar, karena ini adalah kelas sosial yang paling rapuh di mana masih mencari jati diri, tetapi ini adalah sebuah sasaran empuk untuk merubah remaja menjadi robot konsumen, penciptaan tren melalui media khusus yang ditujukan untuk mengatur pola konsumsi remaja, sebuah proses pelarutan bahwa manusia adalah konsumen.

Keterpurukan masyarakat untuk selalu tergantung pada konsumsi juga didukung penuh oleh lembaga negara, banyak aparatur negara dengan komisi-komisinya justru menjerumuskan masyarakat untuk tetap menggantungkan keinginannya akan industri hiburan, dukungan penuh untuk industri ini terlihat dari semakin tingginya minat masyarakat untuk menjadi bagian dari idolanya, semakin besarnya unsur kekerasan, seksualitas, dalam tayangan televisi yang tidak memberikan pembelajaran bagi masyarakat, semuanya bukan diberangus oleh negara, tetapi ini adalah sebuah ladang uang untuk pemasukan uang bagi negara. Bahkan untuk menikmati hiburan kita akan dikenakan pajak, munculnya sistem pajak di industri ini bukanlah sebuah beban bagi pemain di industri ini, tetapi ini adalah wujud dukungan penuh dan jaminan keamanan bagi kelangsungan industri hiburan.

Industri Pangan

Sebuah langkah panjang untuk lahirnya industri pangan, tapi semuanya dimulai semenjak manusia memulai sebuah revolusi hijau[7] dan membutuhkan sebuah sistem pangan dan pertaniannya, sebuah usaha untuk menciptakan stok makanan yang tiada habisnya, dengan teknologi penanaman, bibit unggul, dan singkatnya masa tanam, bagusnya kualitas panen dan penjualan hasil panen.

Kelebihan hasil produksi pangan di suatu daerah, ditambah perkembangan teknologi yang mampu memperpanjang usia penyimpanan makanan, membuat industri ini tumbuh pesat, karena makanan adalah hal penting bagi kehidupan manusia, dalam industri ini makanan diinvestasikan sebagai bahan yang diolah menjadi bentuk baru (terlepas apakah bentuknya masih tetap atau sudah berubah) dengan tambahan bahan pengawet yang kemudian dikemas diberi embel-embel tambahan nutrisi, vitamin dan mineral, dan siap untuk didistribusikan dengan harga yang berlipat ganda daripada makanan itu jika dijual sediakalanya.

Industri ini menawarkan bahan makanan yang bisa dikonsumsi kapan saja, tidak memperdulikan apakah makanan ini ada pada musim panennya atau pada musim pacekliknya, dengan harga yang relatif sama (mahalnya), untuk menghadirkan sebungkus kentang olahan yang sudah diolah menjadi keripik yang biasa menemani waktu santai kita, dibutuhkan ratusan atau ribuan pekerja yang bertugas dari proses penanaman, pengolahan, pengemasan, distribusi hingga pemasarannya, bukan sebuah proses singkat dan kandungan kentang yang sudah bukan lagi orisinal yang harganya juga sudah mengalami pembengkakan untuk menutupi proses hadirnya keripik kentang itu kepegangan tanganmu.

Kelebihan hasil produksi pangan di suatu daerah, tentunya akan diimbangi dengan kekurangan pangan di daerah lain, ini juga merupakan peluang bagi industri ini, dengan konsep generalisasi selera konsumen maka tidak adalagi batasan untuk berkata tidak dalam konsumsi industri pangan, bagaimana gerai-gerai makanan cepat saji yang ada di seantero muka bumi ini dengan menu, rasa, dan kuantitas yang sama, bukanlah sebuah hal yang natural untuk menggeneralisasi selera. Dampak dari industri ini juga sangat melekat dengan masyarakat kita, di mana makanan cepat saji menjadi solusi bagi setiap individu. Kepraktisan, itulah kata kuncinya, sehingga permasalahan obesitas dan penyakit lainnya menjadi sebuah hal yang general, sebuah globalisasi selera makan dan pengglobalisasian masalah sosial. Menakjubkan bukan? Metode serupa juga terjadi untuk produk konsumsi lainnya, minuman, tembakau, dan banyak lagi produk pangan lainnya, yang mana semua membuat hidup menjadi sebuah panggung konsumsi global.

Regulasi-regulasi dalam industri ini bukanlah sebuah hal aneh lagi, sebuah usaha perlindungan terhadap industri ini pun diwujudkan dalam sertifikasi pangan melalui badan pengawas makanan, cukai terhadap produk pangan, hingga sertifikasi halal melaui lembaga-lembaga yang pada dasarnya adalah mencari keuntungan di mana mereka adalah bukan pemain inti dalam industri pangan tetapi ingin memperoleh posisi penting untuk bisa mengatur dan memperoleh pemasukan dari industri ini.

Industri Pendidikan

Bukan sebuah rahasia umum lagi jika dalam hal yang satu ini terjadi perputaran bahan dan modal yang mana berusaha meraih nilai lebih, bermain pada aspek yang abstrak, di mana ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang bisa dihitung atau diukur kadarnya, sehingga munculah sebuah standarisasi terhadap ilmu pengetahuan, berupa tes-tes, ujian-ujian yang berakhir pada statistik nilai dan angka, sistem penghitungan yang absurd.

Setiap anak diwajibkan untuk bersekolah, diwajibkan untuk menyerahkan sepertiga hidup, kebebasan, kreativitas dan masa kanak-kanaknya untuk patuh pada sistem pendidikan, diwajibkan untuk membeli buku-buku pedoman, diwajibkan untuk mengikuti kurikulum yang mereka sendiri tidak mengetahui untuk apa mengikuti semua pola itu. Mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah negeri, swasta dan asing menjadi pilihan, sekali lagi permainan gengsi menjadi tolok ukur dari semua ini, kita tidak benar-benar bisa memahami dan mengerti untuk apa kita menghabiskan puluhan tahun untuk memperoleh pendidikan dari sekolah hingga universitas, karena semua itu hanya bertujuan untuk membentuk sosok pekerja yang dengan mudahnya bisa diatur dalam dunia industri kelak, ironis.

Para kapital pun menemukan celah untuk mengeksploitasi pendidikan menjadi sebuah tambang uangnya, dengan bergerak langsung dalam bidang pendidikan, hadir sebagai produsen keperluan pendidikan, sebagai pihak asing yang memberikan bantuan untuk siswa bisa memperoleh pemahaman lebih di luar jam sekolah dengan wujud bimbingan belajar, kursus dan banyak nama lainnya dengan metode khusus dan lisensi dari bisnis pendidikan multinasional. Maupun hadir sebagai pemain yang tidak bergerak di bidang pendidikan, tetapi tetap bisa masuk ke pasar para pelajar, menanamkan ke dalam benak setiap pelajar bahwa berwirausaha adalah pilihan yang sangat tepat, buatlah kegiatan, komunitas dan eksposlah semua itu bersama dukungan media mainstream, membuat sebuah doktrin bahwa setiap kegiatan dilingkungan sekolah maupun kampus membutuhkan dukungan dana sponsor, bukan sebuah kegiatan swadaya. Sponsor dan sponsor, selalu hadir dalam kegiatan dan bantuan fasilitas sekolah, bahkan sekarang sulit untuk tidak menemukan logo atau merek perusahaan kapitalis di sekolah maupun kampus.

Sadarkah bahwa sekolah saat ini semakin mengekploitasi peserta didiknya, munculnya bintang sekolah dengan merek-merek terkenal dan mahal, sekelompok siswa-siswi yang terlihat lebih dewasa dalam penampilannya bila dibandingkan dengan usianya, beberapa murid terlihat lebih matang dan menggoda penampilannya karena imbas industri hiburan, atau sebagian lainnya justru terlihat lebih tua dan serius dari usianya karena beban kurikulum yang memaksa mereka untuk belajar terus-menerus. Bahkan sebagian lainnya akan terlihat sangat depresi karena tingginya standarisasi kelulusan, frustasi yang mendalam hingga kecenderungan merusak tubuh dengan zat aditif atau percobaan bunuh diri, mungkin keceriaan anak-anak akan hilang beberapa dekade mendatang, karena beban kurikulum, beban pergaulan yang menuntut seorang murid harus gaul, modis dan trendy, atau sekedar salah pergaulan.

Pendidikan memang berubah, lalu siapa yang menggiring pelajar menjadi seperti ini, pembuat kurikulum-mungkin, imbas dunia hiburan-mungkin, pergaulan anak muda saat ini-mungkin, himpitan ekonomi-mungkin juga, keluarga-mungkin, terlalu banyak yang harus ditanggung generasi muda saat ini bila dibandingkan dengan usia mereka yang masih sangat muda. Mungkin juga korban ambisi orang tuanya, karena sewaktu mereka muda dulu ada sebuah keinginan yang tidak tercapai dan sang anak dituntut untuk mampu memenuhi harapan orang tuanya.

Bagaimana gambaran dunia kerja juga ditanamkan semenjak masa sekolah, bagaimana semua hanya dinilai dalam deret ukur, sebuah prestasi akademis, yang menunjukkan siapa yang pantas diperhitungkan, sekolah semakin mengutamakan munculnya individu, kerjasama dan persahabatan semakin hilang demi mencapai nilai yang baik, usaha-usaha kecurangan semakin dibudayakan, pembelian soal ujian hingga transaksi nilai dan ijazah, hanyalah sebagian kecil kebusukan industri pendidikan.

Sungguh kasihan anak-anak saat ini, ketika mereka diberi fasilitas yang lebih baik ternyata mereka harus kehilangan masa kecilnya, ketika usia tiga tahun harus sudah memasuki playgroup, yang dilanjutkan ke taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah ataupun kejuruan hingga perguruan tinggi, yang akhirnya harus menjadi robot-robot pekerja di dunia industri, tanpa pernah lagi bisa menikmati kebebasan masa kecilnya.

Industri Kesehatan

Sebuah kebutuhan mendasar bagi manusia yang mana kesehatan semakin digunakan sebagai mesin uang, fasilitas dan pelayanan dalam industri ini bermain ditaraf gengsi, pencitraan akan kelas sosial yang dieksploitasi dalam wujud “kesehatanmu adalah kemampuanmu untuk membayarnya”, obat yang digunakan memiliki tingkatan kualitas sehingga pilihan untuk sehat saat ini adalah bagaimana konsumen mampu membeli obat terbaik dari produsen obat terbaik, dengan perawatan rumah sakit terbaik dan di bawah pengawasan tenaga medis terbaik.

Kemanusiaan bukanlah sebuah filosofi bagi industri ini, itu hanya sebuah slogan yang menjadi kedok. Ya, ketika sebagian orang mendonorkan darah secara cuma-cuma, industri ini justru menjualnya dengan harga tinggi bagi yang membutuhkan tranfusi darah. Ketika sebagian beramal menyumbangkan bantuan obat-obatan, industri ini justru mengekspos dengan berlebihan siapa yang berbaik hati (sebagai keperluan bisnis tentunya). Industri ini tidak hanya menyerang orang-orang yang terkena penyakit atau ingin disembuhkan, tetapi bagaimana manusia yang sehat sekali pun tetap terjebak di dalamnya, mengeksploitasi kesempurnaan fisik, di mana kekurangan dalam hal fisik adalah sebuah masalah kesehatan. Bagaimana suplemen kesehatan berbasis bahan kimia maupun natural yang diolah secara proses kimiawi yang diproduksi saat ini, vitamin, mineral yang harus dikonsumsi oleh tubuh, bagaimana kelebihan berat badan menjadi problem yang diekspliotasi menjadi mesin uang, operasi-operasi di luar pengobatan menjadi sebuah anjungan tunai mandiri bagi industri kesehatan ini. Operasi sedot lemak, operasi plastik untuk memperbaiki bentuk wajah, memperbesar atau mengecilkan organ tubuh, dengan biaya yang tidak sedikit dalam setiap perhelatannya.

Peranan iklan dan media sangat berpengaruh, pencitraan tubuh yang sempurna dan menarik perhatian lawan jenis adalah sesuatu yang harus ditanamkan dalam benak individu, penggunaan kosmetik[8] perawatan dan kebersihan tubuh, semua hanyalah serbuan sederhana yang digunakan di sini. Bahkan industri ini juga mempengaruhi mental bagi konsumennya, bagaimana terjadinya peningkatan angka anoreksia saat ini. Anoreksia adalah sebuah pola hidup yang menggambarkan kecantikan dalam bentuk tubuh kurus, cenderung sangat kurus seperti layaknya model di catwalk yang hanya kulit sebagai pembungkus tulang tanpa ada lemak ataupun daging, dengan metoda diet yang ketat, di mana konsumsi per hari hingga kurang dari 400 kalori (pada umumnya konnsumsi harian adalah 2000 kalori), juga praktik bulimia dan lainnya sebagai pegatur diet pro-ana. Pola anoreksia juga diiringi dengan kegilaan lain berupa bigoreksia, di mana kesempurnaan tubuh adalah bentuk tubuh yang besar dan kekar layaknya binaragawan, dengan konsumsi obat-obatan, nutrisi, dan konsumsi pangan, ditandai dengan hadirnya pusat-pusat kebugaran dan penjualan suplemen secara bebas di masyarakat.

Peranan banyak pihak juga membuat industri ini semakin menjadi pundi-pundi uang yang tidak akan pernah habis, setiap orang pasti sehat atau sakit dan semua membutuhkan obat ataupun suplemen. Sebut saja program pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu, yang justru semakin terlupakan dan pelayanan yang dianaktirikan, sehingga banyak yang lebih memilih sebagai pasien normal untuk berobat karena fasilitas pelayanan yang tidak maksimal dengan biaya yang cukup besar juga. Munculnya peraturan jaminan sosial bagi tenaga kerja, di mana setiap individu harus memiliki pekerjaan untuk bisa menikmati fasilitas ini, yang berarti setiap individu harus mengikuti sistem kerja industri. Peranan industri farmasi penghasil obat-obatan yang bekerja sama dengan birokrasi membuat sebuah standarisasi kesehatan masyarakat, pengaturan jumlah penduduk karena tekanan bank dunia, peredaran psikotropika oleh jaringan internasional yang dilindungi oleh oknum bernama negara dan aparatnya, benar-benar sebuah usaha konspirasi “sakit” bagi bidang yang “sehat”.

Industri Pornografi

Ruang imaji individu dipuaskan dalam eksploitasi tubuh-tubuh indah yang melambungan hasrat, di mana banyak pihak yang terlibat di dalamnya, bahkan sang pemeran utama yang dieksploitasi (laki-laki ataupun perempuan bahkan binatang sekalipun) tidak menyadari bagaimana mereka bisa terlibat di dalamnya karena ini adalah sebuah tipu daya industri di mana profesi menjadi dalih untuk sebuah usaha eksploitasi. Industri ini memiliki jaringan yang sangat besar dengan pangsa pasar yang jauh lebih besar. Merendahkan anggapan bahwa seks adalah sesuatu yang hina, picisan dan sangat binatang, bukan sebagai sesuatu yang sakral dan terhormat, memutarbalikkan makna, sehingga seks adalah sesuatu yang tabu untuk dipahami.

Hasrat seksual dikupas habis-habisan dalam bentuk lokalisasi-lokalisasi dengan beragam nama dan atraksi yang ditawarkannya, video-video rekaman yang bisa kita nikmati dalam bentuk kepingan CD ataupun file-file di komputer, cetakan-cetakan buku, majalah dari kelas eksklusif hingga kelas kacangan yang murah meriah, semuanya adalah bentuk lain uang bagi kapital yang bergerak dalam industri ini. Legalisasi transaksi seksual yang dilokalisir oleh pemerintah hadir di setiap kota di penjuru muka bumi - adalah sebuah usaha untuk mengokohkan pondasi bisnis ini sebagai bisnis legal yang boleh dilakukan dengan aturan main yang rancu.

Ada sebagian yang diuntungkan dengan hadirnya industri ini, namun sosok fundamentalis dan konvensional tentunya akan merasa jengah akan semua ini, mereka yang merasa sok suci dan menolak eksploitasi seksual berteriak untuk membatasi gerak bisnis hasrat ini, kemunculan perundangan pun menjadi salah sasaran, karena sejatinya yang menjadi korban dari pembatasan ini adalah wanita dan kelompok yang lemah secara hukum dan ekonomi, bukan industri besar yang bergerak di bidang pornografi. Kemerosotan moral bukanlah alasan munculnya industri ini, tetapi lebih didominasi kebutuhan untuk mengikuti pola konsumsi masyarakat luas, bisnis ini hanyalah sebuah jalan pintas, terlebih bagi generasi muda, karena semua pada intinya adalah bagaimana memenuhi keinginan untuk mengkonsumsi, mengikuti anjuran konsumsi para pemasar ciptaan dunia industri.

Industri Jasa

Mungkin masyarakat tradisional akan merasa heran bila menolong orang lain dengan tenaga dan waktu menjadi sebuah usaha untuk memperkaya diri secara material. Justru industri ini semakin berkembang dengan baik, walaupun bentuk industri ini bias dan tidak jelas mengenai standarisasi baku apa saja yang dinilai menjadi uang, tetapi dengan mengekploitasi alienasi yang terjadi di masyarakat, hal ini adalah sebuah peluang yang sempurna.

Ini adalah lapangan pekerjaan baru, jasa pengamanan, pelayanan, pengiriman, konsultasi, kebersihan, makelar perdagangan, broker saham, dan banyak jenis lainnya, bisnis ini bukan sebuah pertukaran benda dengan uang, melainkan pertukaran tenaga, kemampuan, waktu menjadi uang. Apakah konsumen merasa puas ataupun tidak bukan menjadi suatu masalah, selama jasa sudah diberikan konsumen tetap harus membayarnya dengan standarisasi yang tidak jelas pastinya, apakah dinilai dari tingkat kesulitan, waktu kerja atau spesialisasi.

Memudahkan konsumen (yang berkelebihan materi tentunya) menjadi alasan, yang sebenarnya adalah usaha menjerumuskan individu untuk semakin jauh dengan kehidupannya. Bagaimana kita diberi kemudahan dengan layanan jasa untuk pengurusan surat menyurat administrasi yang berhubungan dengan birokrasi, layanan pengasuhan, antar jemput dan pendidikan anak, jasa kebersihan dan keamanan tempat tinggal, yang mana bertujuan bagaimana kita dibentuk untuk semakin banyak mencari uang untuk membayar penyedia jasa yang sejatinya adalah hidup kita sendiri. Dengan kata lain mewakilkan hidup kita kepada orang lain dengan imbalan uang. Ya, uang adalah segalanya untuk dunia industri, tak bisa dipungkiri, kita adalah penyembah materi, pada awalnya materi digunakan untuk memudahkan hidup manusia untuk bertransaksi, tetapi kini materi berbalik menguasai hidup manusia untuk terus bertansaksi.

Ketergantungan individu terhadap jasa tidak bisa dihindari lagi, dengan uang kita bisa membeli segalanya - adalah makna dunia industri terhadap konsumsi, ketergantungan akan penyedia jasa pemasok energi, air, transportasi yang dimediasi oleh perusahaan negara dan swasta semakin melarutkan kita untuk menganggarkan pengeluaran untuk dibayarkan kepada pihak-pihak yang membuat hidup semakin penuh ketergantungan, bukan sebuah ketergantungan yang bersifat persaudaraan dan kekeluargaan, tetapi sebuah ketergantungan yang didasari atas uang.

Industri Kepercayaan

Memanfaatkan sisi spiritual dan religius masyarakat sebagai mesin uang, bukan hal aneh untuk saat ini, bagaimana masyarakat fundamentalis yang muncul sebagai masyarakat dominan semakin melanggengkan, membuat masyarakat meyakini sesuatu secara berlebihan, mendramatisir sebuah keyakinan menjadi sesuatu yang mutlak dan paling benar adalah sebuah usaha untuk mengeruk keuntungan lebih maksimal. Dengan dalih donasi ataupun sumbangan sukarela pengikut ajaran akan dengan mudah memindahkan materi yang dimiliki ke kantong sang penjual kepercayaan.

Tidak ada transparansi dalam pengelolaan dana yang digalang dari masyarakat, karena semua dibutakan oleh sebuah hukum absolut kepercayaan yang dianut, sebuah industri yang tidak dapat dibantah secara rasio. Dengan iming-iming kebahagiaan dan ganjaran sebuah tempat di hari akhir nanti semua menjadi lebih gampang untuk dilakukan, dan para konsumen fundamentalis akan berlomba-lomba untuk menyumbangkan uangnya semakin besar dan rutin. Banyak kita temui seperti hadirnya rumah zakat, pondok pesantren, pengajian, kebaktian-kebaktian, KRR, hingga persepuluhan yang semuanya adalah penggelontoran dana umat ke tangan individu atau kelompok yang tidak jelas alirannya.

Tidak jelas siapa yang diuntungkan di sini, bahkan sang pencipta yang ajarannya disebarkan dan dianut tidak mendapat bagian dari dana yang sangat besar itu. Hanya ada segelintir pihak yang bergelimang harta, bahkan semakin banyak masayarakat yang hidup di bawah standar kesejahteraan yang semestinya mendapat dana umat tetapi semakin terabaikan. Penyelewengan dana umat pun merebak hingga ke ranah pemerintahan, digunakan untuk kepentingan pribadi tentunya, juga sebagai kartu truff menunjukkan kokohnya posisi mereka.

Sertifikasi yang dikeluarkan oleh sekelompok pembesar kepercayaan juga merupakan bagian dari usaha memperkaya diri, hingga akhirnya eksploitasi kepercayaan digunakan untuk meraih posisi di percaturan politik. Memalukan tentunya, tetapi industri ini hanyalah perputaran uang, di mana kita menciptakan dunia industri, menghidupkan dunia industri, menikmati hidup dari dunia industri, ketergantungan kepada dunia industri, hingga terjebak ke dalam dunia industri ini.

Industri pun Masih Memiliki Bentuk Lain

Masih banyak industri lainnya yang menjebak kita untuk larut di dalamnya tanpa kita sadari, karena industri-industri ini adalah bagian dari kehidupan kita. Sangat erat, sangat dekat dan tidak terpisahkan. Kita harus mewaspadai kemungkinan timbulnya kesempatan-kesempatan baru di mana kita akan terjebak dalam penghamburan materi yang dimiliki, terjebak dalam dunia kerja dan alienasinya, terjerumus menjadi masyarakat tontonan[9] yang tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Hadirnya industri rumah tangga adalah wujud lain dari kapitalisme ala dunia industri, karena ini adalah permainan majikan dan buruh dalam skala kecil, permainan pihak yang mengeksploitasi dan yang dieksplotasi dalam skala kecil, di mana peranan modal dan pembagian keuntungan yang masih sama seperti halnya dunia industri, di mana ketergantungan terhadap benda-benda konsumsi masih tetap sama, di mana kesejahteraan hanya dimiliki oleh sebagian pihak, maka layak bila kita mengatakan ini adalah dunia industri dalam skala kecil dengan dampak yang sama. Sekali lagi kita terjebak dalam permainan lingkup permasalahan, industrialisasi sungguh menakjubkan.

Apa yang Akan Kita Lakukan?

Industri saat ini hanya memberi pilihan konsumsi bagi kita semua, bukan pengganti terhadap pilihan untuk bebas, karena kita akan tetap mengikuti arusnya, lalu apakah kita hanya akan berdiam diri dan larut dalam industrialisasi saat ini? Tidak kawan, masih banyak yang bisa kita kerjakan. Bukan sebagai pedoman apa yang harus kita lakukan berikutnya, bukan kawan, tetapi ini adalah alternatif pilihan.

Salut untuk Ted Kadzinsky dengan segala usahanya untuk memberi alternatif pilihan, kembali ke alam dan hidup sebagai manusia anti-peradaban adalah langkah yang sempurna, atau begitu bencinya dirimu terhadap industrialisasi, ikutilah panduannya dalam artikel Serang di Tempat yang Mematikan. Ya, seranglah sumber-sumber pembangkit listrik yang menjadi motor penggerak industri saat ini, bukan dengan menghancurkan gerai-gerai penjualan, atau lakukan dalam hidup harianmu dengan tidak mengkonsumsi di luar batas wajar apa yang kamu butuhkan, masih banyak alternatif pilihan untuk melepaskan diri dari jerat konsumerisme ala industri super duper modern ini.

Membuat sebuah akuisisi di tempat kerjamu dengan sebuah kerjasama komunal antar pekerja yang menolak sistem kapitalisme dalam industri, lakukan swakelola industri, di mana tidak ada tingkatan kesejahteraan, biarkan semua menikmati keuntungan dari produksi yang dilakukan industri, bukan sebuah cerita omong kosong. Pekerja di Argentina melakukannya kawan. Atau kamu hanya mampu menjawab, "sudahlah, larut saja dalam proses industrialisasindustri ini. Karena industri adalah sisi baik dan sisi buruk kehidupan, industri adalah manusia dan manusia adalah industri itu sendiri." Bagaimana kawan?


Catatan:

1. Ketahanan pangan adalah jaminan ketersediaan pangan sebuah teritorial untuk jangka waktu yang cukup panjang, hal ini kemudian menggiring munculnya tuan-tuan tanah dan tenaga pekerja yang menggarap lahan, yang menggiring lahirnya sebuah sistem monarki yang diperkokoh dengan hadirnya tentara pelindung. Sistem ini juga memulai adanya persaingan kekuasaan, wilayah teritorial hingga penguasaan, munculnya kelas kaya (pemilik modal/tuan tanah) dan kelas proletar (yang menggantungkan hidup dari sistem hutang yang diberlakukan tuan tanah).
2. Untuk pembangunan daerah-daerah baru seperti pesanan batu bara sebagai sumber tenaga pembangunan rel kereta api, di samping untuk memenuhi kebutuhan negara-negara Eropa sendiri pada era awal munculnya industri abad ke-19.
3. Outsorcing, adalah sistem kerja upahan dengan dalih “kontrak kerja”. Sehingga perusahaan induk hanya beranggapan bahwa tenaga kerja kontrak ini bukanlah tenaga kerja milik perusahaan melainkan sebuah kontrak kerjasama dengan agen-agen penyedia tenaga kerja. Dengan sistem ini banyak hak-hak pekerja yang dikebiri, mulai dari upah hingga tunjangan lainnya.
semua proses, rekanan penjamin keamanan hasil produksi untuk didistribusikan (aparat ataupun swasta), hingga jaringan pemasaran. Semua ini semakin menakjubkan dengan hadirnya kerjasama internasional, industri bukan lagi sebuah proses kerja sektoral atau regional, tetapi industri semakin menghilangkan batas menjadi sebuah korporasi multinasional yang tangguh dalam menjawab semua tantangan.
4. Peranan negara dan aparatnya yang memberi dukungan penuh untuk melancarkan proses produksi dan eksploitasi yang dilakukan industri milik perusahaan multinasional. Banyak kasus yang justru menyingkirkan penduduk asli yang merasa lingkungannya terusik dengan hadirnya industri besar di wilayahnya, sebut saja kasus Freeport di Papua, Newmont di Teluk Buyat dan masih banyak kasus serupa di seluruh belahan dunia. Bahkan dalam beberapa kasus masyarakat lokal dijadikan sebagai uji coba pasar untuk industri, seperti halnya di daerah Afrika di mana negara-negara miskin menandatangani kontrak sebagai daerah uji coba vaksin bagi penyakit, membiarkan manusia sebagai kelinci percobaan adalah sebuah kontrak kerja yang dilakukan negara miskin dengan perusahaan besar yang bergerak di industi kesehatan.
5. Penghamburan uang untuk sesuatu yang tidak dapat dinalar kegunaannya bila dibandingkan satu dekade sebelumnya, seperti tren yang melanda masyarakat modern, kegilaan masyarakat untuk memelihara hewan dan tanaman dengan harga yang sangat mahal yang tak lain hanya sebagai syarat untuk mengikuti tren.
6. Serangan iklan di media yang bertubi-tubi memaksa kita untuk mengingat akan benda yang ditawarkan ke dalam memori individu, hingga pada saat kita berbelanja, maka kontrol bawah sadar kita akan menggiring untuk membeli produk yang diiklankan di media tadi, di tengah pilihan konsumsi yang ditawarkan maka kita akan lebih mudah untuk memilih produk yang sudah tertanam di kepala kita melalui iklan. Sebuah proses iklan bekerja di dalam ingatan konsumen.
7. Perubahan kebudayaan manusia yang semula adalah kelompok berburu dan meramu menjadi masyarakat pertanian yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah yang melahirkan adanya kekuasaan dan penguasaan.
8. Semua benda konsumsi yang digunakan untuk tubuh yang beredar di masyarakat dikategorikan dalam kelompok kosmetik dengan kode dari pihak berwenang yang mengawasinya, mis: pasta gigi yang kita gunakan akan memiliki kode dari POM CD (CD adalah kode untuk kosmetik produksi dalam negeri, sedangkan produk luar menggunakan kode CL) sedangkan untuk makanan digunakan kode MD dan ML, pastikan kita memahami dan mengetahui apa yang kita konsumsi, ini adalah hak bagi konsumen yang seharusnya diinformasikan oleh yayasan konsumen yang justru pasif.
9. Masyarakat tontonan dalam bahasa aslinya adalah spectacle, di mana salah satu dari banyak penjelasannya: kita terjebak dalam sebuah penghambaan, di mana kita bekerja sangat keras untuk memproduksi sesuatu, lalu kita juga berusaha keras untuk menebus hasil produksi tersebut menjadi sebuah konsumsi yang kita sendiri tidak menyadarinya, kita tidak memiliki kontrol atas semua yang berlaku di dunia yang kita hidupi saat ini. Karena kita sebenarnya bukanlah seorang pemain di dunia ini, tetapi kita hanya penonton yang seolah-olah menjadi pemain karena pencitraan-pencitraan yang dihasilkan oleh masyarakat tontonan itu sendiri.


Rujukan:

1. Alissa Quart, Branded, 2003.
2. Tim Apokalips, Jurnal Apokalips mulai dari edisi #4, Bedah kejahatan korporasi, Januari 2007.
3. Kontinum, Jurnal Kontinum #3, September 2008
4. Guy Debord, Society of Spectacle, 1967.
5. Susan George, Food for Beginners, 2007.
6. Ted Kadzinsky, Serang ditempat mematikan.
7. Mempersenjatai Imaji, Mari belajar bagaimana caranya menjual agama seperti menjual hamburger, Nopember 2003
8. Daniel Quinn, Ishmael.

+ bembibumfuckinbastard

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo aja ada mesin waktu, mungkin kita perlu balik lagi ke masa lalu, trus ngebunuh James Watt, biar dia gagal bikin mesin uap...

Anonim mengatakan...

waduh mas/mbak,,,
aku sama sekali ga sepakat ma ide anda tersebut. in any case no regrets! skrg yg lbh penting adalah gmn kita saling berjejaring dan terlibat aktif dlm perlawanan terhadapnya. mungkin saja kita ga akan bisa nikmatin apa yg kita lakuin saat ini. ga apa! karena setidaknya kita memberi makna pada eksistensi kita di dunia ini daripada skedar belanja dan mengeluh ;)

Anonim mengatakan...

Hmm... maap maap, itu becanda kok. Maap karna kayaknya saya kebanyakan baca komik fiksi yah? Sekali lagi maap.