Senin, 20 Juli 2009

KERUSUHAN PARIS 2005

"Kami telah membakar Paris. Dan kini semua orang memusuhi kami, tapi mereka juga tak menawarkan apa-apa kepada kami. Maka mengapa kami harus mendengarkan mereka saat tak pernah seorang pun dari mereka yang mau mendengarkan kami selama ini?"
—Seorang insurgen kota Paris yang berusia 21 tahun

Dua kali, kota Paris diguncang oleh insureksi popular yang dimotori oleh kaum mudanya sendiri.

Pertama kali, adalah saat musim semi tahun 1968 saat mahasiswa dan pekerja-pekerja muda Paris bangkit memberontak terhadap represifitas rezim De Gaulle. Di tahun tersebut, kaum muda yang biasanya terlena dengan imaji-imaji dari televisi dan pesta-pesta tidak lagi meleburkan diri dalam olah raga kaum urban modern tersebut, tapi mereka menyulut pemberontakan yang segera menyebar dengan cepat dari kota ke kota.

Pemberontakan di Paris kali ini memang berbeda dengan event tahun 1968 tersebut. Para pelakunya memang sama-sama muda, hanya kali ini mereka bukan mahasiswa dan juga bukan pekerja kerah biru. Dalam faktanya, nyaris sebagian besar dari mereka adalah kaum penganggur—walaupun sebagian dari mereka telah berhasil mengantongi ijazah Sorbonne—hampir sepanjang hidup mereka. Kali ini mereka tidak berkulit putih, mereka adalah ras Arab dan Afrika, anak-anak dari hasil kolonialisme Perancis. Kebanyakan dari mereka lahir di Perancis dari keluarga-keluarga imigran yang berasal dari koloni-koloni Perancis. Dan Perancis tidak menawarkan apa pun bagi mereka selain catatan kriminalitas dan pengangguran.

Para pemberontak tahun 2005 ini bukanlah anak-anak muda yang beraksi dari hasil pembacaan mereka atas buku-buku Marxis, Anarkis atau bahkan literatur Situationist. Mereka berada di jalanan bukan karena "dunia yang berbeda itu adalah sesuatu yang mungkin". Mereka berada di jalanan karena sepanjang hidup mereka, untuk hidup di dunia ini pun dianggap sebagai sesuatu yang tak mungkin.

Tidak seperti generasi tahun 1968, mereka tak memiliki batas kompromi. Mereka tak mampu memiliki potongan rambut yang tepat, membeli pakaian yang terbaik atau setelahnya bekerja sebagai pengacara atau akuntan. Kulit mereka, yang mereka miliki sejak lahir, telah menandai mereka bahwa tanpa perlu dipertanyakan lagi, mereka adalah warga negara kelas dua, tak memiliki keistimewaan apa pun, dan bahkan tak dianggap benar-benar "Perancis" di mata banyak warga kulit putih Perancis.

Maka untuk alasan-alasan tersebutlah mereka menjadi jauh lebih berbahaya bagi penguasa Perancis dibandingkan dengan para pemberontak tahun 1968.

Para mahasiswa Perancis tahun 1968 telah memberikan sebuah pendekatan romantis bagi dunia Kiri, bahkan hingga hari ini berpuluh tahun kemudian, baik di Eropa maupun di negara-negara lain. Memang benar, bahwa pemberontakan Paris tahun 1968 adalah sebuah event yang ikonik, baik bagi anak muda pada masanya, maupun hingga kini—atau dalam kata lain ia adalah simbol internasional dari seluruh dekade tahun 1960-an. Event tersebut juga jauh daripada sekedar nostalgia tahun 1960-an.

Maka saat Paris kembali menyala, kami berpikir kembali pada tahun 1968.

Semua imaji yang menyebar di mana-mana tahun 1968, adalah insureksi Paris, pemogokan mahasiswa dan pelajar di Amerika Serikat, Red Guards di Cina, meletupnya mahasiswa di Amerika Latin, hadirnya insureksi Musim Semi Praha, partai Black Panther di mana nyaris seluruh anggotanya adalah anak muda di awal 20 tahunan dan para pemimpinnya hanya berusia sekitar 10 tahunan atau lebih sedikit, semuanya menunjukkan bahwa generasi muda akan menjadi garda depan transformasi global dalam bidang kultur dan politik. Dan semuanya tentu saja, berharap dapat melakukannya sebelum usia mereka beranjak 30.

Sayang, segalanya tidak berlangsung sesuai dengan harapan mereka.

Akhir musim panas 1968, para mahasiswa Perancis dikalahkan. Sebagian alasan adalah karena mereka kekurangan pengalaman—sebagaimana juga yang dialami oleh semua anak muda—dan sebagian besar adalah karena pengkhianatan para "revolusioner" yang seharusnya menjadi kawan mereka, selain karena alasan lain seperti kenyataan bahwa kapitalisme memang terlalu kuat untuk dikalahkan hanya oleh satu atau beberapa insureksi.

De Gaulle telah memahami benar tentang kekuatan negara dibandingkan dengan para pemberontak muda tersebut. Hal pertama yang ia lakukan, saat ia menyadari bahwa ia menghadapi sesuatu yang jauh lebih serius daripada sekedar pemogokan kampus, adalah kunjungannya ke markas besar militer Perancis di Jerman dan meyakinkan bahwa mereka masih loyal terhadap pemerintah Perancis. Walau pada kenyataannya kemudian, De Gaulle tidak membutuhkan intervensi militer, kebrutalan polisi Perancis sendiri telah berhasil menghalau para insurgen. Dan De Gaulle telah berhasil juga meyakinkan bahwa seluruh kekuatan politik yang mapan—baik itu "Kiri" dan Kanan--berdiri menentang pemberontakan aliansi anak muda mahasiswa dan pekerja kerah biru.

Anak-anak muda tersebut, yang berbicara lantang soal bagaimana mereka mempersenjatai imajinasi, masih sangat kurang dalam intelejensi praksis. Mereka membayangkan bahwa mereka akan dapat menduduki kampus demi kampus, pabrik demi pabrik, hingga revolusi sosial terjadi dan negara De Gaulle menjadi semakin tak relevan lagi. Mereka tidak memahami betapa musuh mereka sangat deterministik dan berbahaya.

Tentu saja itu bukan kesalahan mereka. Semenjak mereka adalah anak-anak muda, yang selalu dikorbankan oleh orang tua mereka, generasi sebelumnya, negara dan bahkan juga oleh para elit-elit oposisi yang mengaku "revolusioner"—mereka tumbuh dalam satu pemahaman, bahwa mereka harus menolak seluruh institusi dan kekuatan mapan dunia modern. Tak seorang pun dari mereka akan berpikir tentang bagaimana caranya apabila militer hadir di hadapan mereka. Bagaimana mereka akan mempertahankan kampus dan pabrik menghadapi para veteran perang Aljazair yang mungkin akan berbaris menuju mereka? Hal itu jauh dari sekedar pengalaman harian anak-anak muda Perancis.

Hal demikian memang tak dimengerti oleh anak-anak muda tersebut, tentang bagaimana deterministiknya kekuatan negara. Setidaknya saat mereka melakukan insureksi. Hal demikian lebih dimengerti oleh mereka, para "revolusioner" dari generasi sebelumnya. Banyak dari para "revolusioner" tersebut telah hidup dalam masa kudeta dan kontra-kudeta di Aljazair saat De Gaulle meraih kekuasaannya 10 tahun sebelumnya. Banyak dari mereka adalah aktifis organisasi Resistance yang melawan pendudukan Nazi saat Petain dan komando tinggi Perancis justru berkolaborasi dengan kekuasaan Hitler. Para pemberontak veteran tersebut dapat—dan sudah seharusnya—mengambil sikap dan membantu para pemberontak muda Perancis tersebut untuk membangun pertahanan yang lebih kuat melawan negara De Gaulle. Mereka dapat membangun agitasi melawan intervensi militer, termasuk melakukannya di dalam kekuatan militer sendiri. Atau setidaknya, mereka dapat menggalang dukungan publik atas tuntutan para mahasiswa dan pekerja muda yang melakukan pemogokan.

Tetapi seperti yang juga dialami oleh anak muda di mana-mana, mereka dianggap sebagai sebuah kelompok usia yang reaksioner dan tak mengerti apa pun soal dunia dan kehidupan. Para anak muda Perancis dikhianati oleh para komunis tua dan para pemimpin serikat-serikat "revolusioner" yang selalu saja berharap dapat memonopoli "revolusi", dan bukannya berharap dapat bersanding bersama mereka yang meletupkan aksi revolusi. Bahkan terlepas dari itu juga, para intelektual "revolusioner" seperti Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang telah "dewasa" justru—kadang secara terbuka—bersikap memusuhi para anak muda insurgen tersebut. Para kaum "dewasa" tersebut telah menghabiskan nyaris seluruh waktu hidup mereka untuk mencapai kekuasaan atau popularitas, dalam serikat pekerja, partai politik, masyarakat sipil dan bahkan juga dalam institusi resmi negara. Tak ada satu pun dari mereka yang bersimpati pada para anak muda amatir. Tak ada satu pun yang mau meresikokan segalanya, demi beraliansi bersama anak-anak muda.

Sebagaimana pemberontakan tahun 1968 menyebar dengan cepat, para kaum Kiri yang "revolusioner" dan telah "dewasa" tersebut mendapati posisi mereka jauh lebih buruk daripada yang dialami oleh De Gaulle. Mereka tak memiliki kekuatan militer atau polisi untuk melanggengkan monopolinya, mereka hanya memiliki pengaruh partai dan kantor-kantor serikat pekerja—di mana tak ada seorang pun anak muda yang menaruh respek padanya. Mereka hanya punya satu peran yang harus dipertahankan: sebagai representatif bagi "Kelas Pekerja".

Seperti yang dialami oleh anak muda generasi 1968, para pemberontak muda generasi 2005 ini dikhianati oleh para "revolusioner" yang telah "dewasa" yang merasa tak memiliki keharusan sama sekali untuk mendukung insureksi. Anak-anak muda 2005 ini, bahkan juga dikhianati oleh para imam mereka, yang mengisukan fatwa melawan insureksi dan para insurgen. Hal ini sangat menyedihkan dan tragis sekaligus telah terprediksikan. Maka, adalah sebuah kejahatan besar, apabila kami juga menolak mereka, hanya apabila mereka tidak berhasil untuk mengadopsi gaya bahasa dan simbol-simbol yang kami terima dan gunakan.

Sangatlah alamiah apabila orang mengekspresikan diri mereka melalui bahasa dan simbol yang familiar bagi mereka. Tahun 1968, anak-anak muda yang memberontak menggunakan bahasa Frankfurt School serta berpenampilan a la Che Guevara ataupun Mao. Dan kini, para anak muda insurgen generasi 2005 tidak melakukannya sama sekali. Mereka juga tidak menunjukkan kepeduliannya atas pentingnya publikasi—yang menjadi karakteristik generasi 1968—yang dalam bayangan kami memang tetap penting, setidaknya untuk dapat memahami agenda dan tuntutan mereka. Tapi itu bukan alasan untuk menolak dan menyepelekan mereka.

Pemerintah Perancis mencap bahwa mereka adalah korban agitasi para ekstrimis Islam. Banyak dari anak muda insurgen generasi 2005 ini memang memiliki latar belakang keluarga muslim. Tetapi berapa banyak yang benar-benar memeluk agama Islam ataupun setuju dengan program teror para ekstrimis Islam, tak pernah jelas. Tapi juga tidak mengherankan apabila orang-orang dari latar belakang muslim mengekspresikan kepedihan mereka melawan kolonialisme dengan bahasa yang diambil dari kultur Islam.

Program revolusioner dan visi politis yang koheren memang absen dari anak-anak muda tersebut. Mereka hanya mengekspresikan kehidupan mereka dengan satu-satunya cara yang dianggap mungkin. Apakah itu lantas juga akan dianggap sebagai sebuah kesalahan?

Adalah sebuah arogansi berlebihan apabila seluruh insurgen yang melawan intervensi kekuatan kapitalisme diharuskan mampu untuk berbicara dengan bahasa Marx atau Bakunin, atau bahkan juga Marcuse dan Baudrillard, hanya sekedar agar dapat dianggap serius. Kami tidak peduli apa mereka muslim atau bukan, sebuah hal yang pasti, mereka mengekspresikan bahasa mereka sendiri dalam menyerang intervensi kapitalisme. Ini justru sebuah tantangan bagi kami dan bagi kita pada umumnya. Bagaimana kita dapat mampu memapankan sebuah program revolusioner yang mampu berbicara dalam bahasa yang dapat dipahami oleh mereka untuk dapat menyalakan impuls revolusioner mereka dalam mengambilalih kontrol atas hidup mereka sendiri? Dan bagaimana kita dapat memberi respek pada mereka yang berbicara berbeda dengan tata bahasa kita, agar dapat kita mengerti dan begitu juga sebaliknya?

Dalam hal ini, kami justru tidak menyarankan agar kita memberikan "pendidikan" atau "kursus politik" bagi mereka, kaum muda di manapun. Justru sebaliknya, kita harus belajar banyak dari mereka.

Anak muda Perancis itu adalah salah satu bukti bahwa anak muda memang dan selalu brilian. Dalam beberapa hari saja, nyaris seluruh daerah pinggiran kota Paris menjadi daerah yang tertutup bagi polisi—sesuatu yang membuat kepala polisi Paris memohon-mohon agar militer turut meredam apa yang ia sebut sendiri sebagai insureksi. Dan dalam beberapa hari berikutnya juga, insureksi telah menyebar ke kota-kota lain.

Tahun 1968, para anak muda insurgen berpikir bahwa mereka harus bertahan di kampus dan pabrik karena itulah tempat mereka, membangun otonomi mereka dari tempat tersebut. Tapi justru hal ini juga memberi sebuah kepastian bahwa kekuatan negara akan dapat dengan mudah mendeteksi mereka dan memukul balik mereka dengan mudah. Tak ada yang sulit bagi kekuatan negara untuk menyerang kampus-kampus, apalagi apabila kekuatan militer mulai hadir. Toh apabila memang polisi gagal menyelesaikan tugasnya dalam meredam insureksi, militer telah siap dan selalu siap menggunakan senjata mereka yang lebih berat.

Sementara bagi generasi 2005 ini, saat mereka tak memiliki apa pun, mereka juga tak memiliki apa pun untuk dipertahankan dan dijadikan basis pertahanan. Hal ini justru juga menjadi keuntungan bagi para insurgen ini, mereka dapat dengan bebas menentukan lokasi dan terminologi pertempuran jalanannya serta juga tentang bagaimana polisi diharapkan akan meresponnya. Para insurgen bertempur dalam tim-tim kecil yang sangat mobile, yang dapat menyerang kapan dan di mana mereka mau, untuk kemudian berpisah dan menghilang. Hal yang memaksa kekuatan polisi untuk mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk mempertahankan aset negara di manapun dan dalam waktu yang sama—yang tentu saja tak mungkin dilakukan. Bahkan apabila polisi melakukan penahanan acak, jelas hal tersebut hanya semakin tidak efektif. Apabila para insurgen menyerang sebuah target yang tak dijaga polisi, sudah dapat diperkirakan bahwa polisi akan datang dalam waktu yang sangat terlambat, dan apabila polisi kemudian menangkap mereka yang sekedar kebetulan hadir di lokasi kejadian, hal itu hanya akan menyudutkan polisi sebagai sebuah kekuatan musuh komunitas. Dalam hal ini, dominasi negara telah di ambang kekalahan.

Kini, sekali lagi, anak-anak muda ini dikalahkan karena mereka dibuang oleh generasi yang seharusnya mendukung mereka. Mereka kembali dikalahkan, hanya karena mereka adalah anak muda.

Melihat itu semua, kami tidak akan mengakhiri tulisan ini dengan berusaha mengagitasi anak-anak muda tersebut agar dapat lebih menilik pada program revolusioner yang lebih koheren. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa inilah kesalahan kita selama ini—yang terus diulang-ulang entah untuk ke berapa kalinya—bahwa kita selalu menolak menganggap serius mereka yang memiliki bahasa yang berbeda dalam penentangannya terhadap sistem kapitalisme ini. Yang kami tahu juga, bahwa sesungguhnya anak-anak muda di manapun—tak hanya di Perancis—adalah mentor-mentor yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Mereka telah menunjukkan pada kita semua, bahwa tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan, untuk mengambilalih kontrol atas hidup kita sendiri. Hanya saja, semua itu akan dapat lebih berhasil apabila kita tidak menganggap remeh semua yang memiliki bahasa dan perbendaharaan kata dan kultur yang berbeda.

Sekali lagi, anak muda telah membuktikan diri sebagai mentor terbaik kita semua, terlepas dari seluruh kesalahan yang mereka lakukan.

0 komentar: