Minggu, 14 September 2008

MESIN PENGONTROL: Peninjauan Kritis Terhadap Teknologi

“Mengkritisi teknologi [...] berarti mempertimbangkan kerangka umumnya, bukan hanya melihatnya sebagai kumpulan mesin-mesin, namun sebagai sebuah hubungan sosial, sebuah sistem; berarti memahami bahwa suatu instrumen teknologi merefleksikan masyarakat yang memproduksinya, dan bahwa permulaannya merubah hubungan antara individu. Mengkritisi teknologi berarti menolak untuk memposisikan aktivitas manusia di bawah profit.”
-At Daggers Dawn

Perkembangan teknologi tidak dapat dilepaskan dari pranata sosial yang mereproduksi hubungan sosial. Ia adalah produk dari sebuah konteks, dan sesungguhnya merefleksikan konteks tersebut. Oleh karena itu, asumsi bahwa teknologi itu netral tidak mempunyai basis. Teknologi tidak mungkin lebih netral dari sistem-sistem lainnnya yang menjamin reproduksi pranata sosial saat ini—pemerintah, perdagangan komoditas, perkawinan, keluarga, dan hak milik pribadi. Karena itu, analisis revolusioner yang serius mesti melihat teknologi secara kritis.

Teknologi yang saya maksud di sini bukanlah sekadar alat-alat, mesin atau bahkan “kumpulan mesin-mesin” sebagai entitas tersendiri, melainkan sebuah sistem, teknik, mesin, dan masyarakat yang terintegrasi dan dirancang untuk mereproduksi hubungan sosial dan memuluskan serta memajukan eksistensinya. Agar tidak terjadi salah paham yang berkelanjutan, yang saya maksudkan bukanlah teknologi yang mereproduksi hubungan sosial, tapi teknologi dirancang untuk mereproduksinya menurut kepentingan sistem yang berkuasa.


Sebelum kapitalisme mendominasi hubungan sosial, sudah pernah ada teknik, alat-alat, bahkan mesin yang diciptakan untuk tugas-tugas tertentu. Bahkan terdapat beberapa aplikasi mesin dan teknik sistematis yang bisa dibilang cukup teknologis. Cukup penting untuk dicatat, bahwa yang disebut terakhir, diaplikasikan di mana kekuasaan harus mempraktikan aturan yang kaku—dalam biara, ruang penyiksaan, penciptaan monumen sampai pada kekuasaan birokratik, militer, dan polisi seperti, misalnya, Dinasi Cina. Namun teknologi barusan bersifat feriferal dalam lingkup keseharian masyarakat yang menggunakan alat serta teknik yang mereka buat sendiri atau dalam komunitas kecil.
Ketika kapitalisme lahir, keperluan untuk melakukan ekstraksi besar-besaran dan pengembangan sumberdaya mengarah pada perampasan berdarah sumber-sumber yang tadinya dimanfaatkan secara komunal (proses yang menyebar secara internasional melalui kolonialisasi) yang ditandai dengan pengembangan sistem teknologi yang ditujukan untuk memaksimalkan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia dan alam. Tujuan sistem tersebut adalah untuk membuat ekstraksi dan pengembangan sumber daya serta kontrol terhadap masyarakat menjadi lebih efisien.

Aplikasi mula-mula teknik industrial hadir dalam kapal-kapal dagang, angkatan laut, dan perkebunan. Yang disebut terakhir, merupakan sebuah perkebunan skala besar, yang pada saat itu hadir bersamaan ketika tanah-tanah komunal mulai dijadikan hak milik pribadi di wilayah Eropa—terutama di Inggris. Hal ini menyebabkan tumpah-ruahnya penggangguran, kriminal, dan budak yang terpaksa harus bekerja keras serta dimulainya perdagangan budak dari Afrika. Perdagangan budak tersebut merupakan konsekuensi mendasar dari perampasan tanah-tanah, malahan banyak dari budak tersebut merupakan korban penculikan dan dijadikan pekerja kapal. Sistem industrial dalam konteks ini tidak banyak memiliki basis di dalam penggunaan mesin-mesin manufaktur, yang mana metode koordinasi kerjanya adalah pekerja sebagai roda dalam mesin, dan bila satu orang tidak melakukan pekerjaannya maka keseluruhan struktur kerja akan terpengaruh.

Namun, ada aspek-aspek spesifik dari sistem seperti ini yang beresiko mengancam strukturnya sendiri. Sistem perkebunan, yang mengumpulkan budak dari berbagai macam latar belakang dan pengalaman, memudahkan terjadinya asosiasi yang ilegal dan pemberontakan. Pelaut yang hidup seperti budak di atas kapal, mengukuhkan suatu komunikasi yang bersifat internasionalis antara budak-budak dari berbagai belahan dunia. Bukti-bukti terjadinya asosiasi ilegal dan pemberontakan di sekitar Atlantik utara dari 1600 sampai 1700an melibatkan budak dari berbagai macam ras di mana rasisme hampir tidak pernah terjadi, sesungguhnya merupakan yang sangat inspiratif. Namun kejadian-kejadian tersebut juga, pada akhirnya, memaksa kapitalisme untuk lebih jauh mengembangkan teknik-tekniknya. Kombinasi antara ideologi rasial dan pembagian kerja menciptakan keretakan persatuan antara budak kulit berwarna dengan pekerja miskin kulit putih dari Eropa. Sebagai gantinya, meski kapitalisme takkan dapat bertahan tanpa adanya transportasi bagi perdagangan dan suplai bahan mentah, untuk alasan ekonomi serta sosial, pemrosesan bahan mentah menjadi komoditas dalam jumlah yang besar mulai menjadi fokusnya.

Ketergantungannya pada kerajinan-kerajinan berskala kecil berbahaya bagi kapital. Secara ekonomi, aktivitas tersebut lamban, tidak efisien, dan kurang menyuplai keuntungan pada kelas penguasa. Tapi, bahaya sebenarnya terletak pada kemandirian—yang relatif—dari pengrajin-pengrajin tersebut. Kelas penguasa agak kesusahan untuk mengendalikannya. Pengrajin era itu biasanya menentukan sendiri ritme dan waktu bekerja mereka. Sebagai konsekuensinya, sistem pabrik yang tadinya telah terbukti cukup efisien di atas kapal dan perkebunan, juga diaplikasikan ke pemrosesan bahan mentah.
Jadi sistem industrial bukanlah diciptakan sekadar (atau hanya) untuk membuat pemrosesan bahan mentah menjadi lebih efisien. Tujuan kapitalis bukan pada pemrosesan bahan mentah. Minat kapitalis pada pemrosesan bahan mentah terletak pada strategi mereka untuk memperluas kapital guna menghasilkan profit dan mempertahankan kontrol mereka atas kekayaan dan kekuasaan. Maka, sistem pabrik—integrasi antara teknik, mesin, alat, sumber daya alam, dan orang-orang menjadi teknologi—dikembangkan sebagai alat untuk mengendalikan bagian proses produksi yang paling sulit dikontrol—yaitu pekerja manusia. Pabrik, maka dari itu, terdiri dari sebuah mesin besar yang setiap komponennya—termasuk komponen manusianya—terhubung satu sama lain secara integral. Meskipun, proses penyempurnaannya terjadi sebagai respon atas perjuangan kelas yang menunjukan kelemahan sistem tersebut dari waktu ke waktu, tujuan utamanya selalu inheren dalam teknologi industrial sejak awal ia tercipta. Kaum Luddite menyadarinya secara menyeluruh dan menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan mereka.

Bila kita memahami bahwa teknologi yang diciptakan oleh kapitalisme dikembangkan semata-mata untuk mempertahankan dan meningkatkan kontrol kelas penguasa terhadap hidup kita, maka kita tidak akan terkejut bahwa beberapa tekniknya yang tidak ditujukan sebagai respon terhadap perjuangan kelas, justru sering hadir di wilayah-wilayah di mana militer dan polisi memegang kendali yang besar. Sibernetika dan perangkat elektronik memudahkan kita untuk berkomunikasi dan menyimpan informasi pada taraf yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Perkembangan teknologi seperti ini memudahkan kelas penguasa untuk mengawasi kita lebih jauh, artinya ia dapat lebih sukses dalam mengendalikan populasi masyarakat dunia yang memiliki potensi untuk memberontak. Perkembangan baru-baru ini juga membuat kelas penguasa dapat mendesentralisasikan kekuatannya tanpa harus kehilangan kontrol. Sudah pasti, bahwa teknik-teknik baru ini, yang telah menyebar ke seluruh ranah sosial juga mempunyai kelemahan. Mata rantai yang lemah dapat ditemukan oleh pemberontak yang kreatif dan kritis. Namun kebutuhan untuk mengontrol seluas mungkin membuat penguasa menerima setiap resiko, berharap mereka dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut dengan cepat.

Jadi, teknologi sebagai sesuatu yang sangat integral dalam relasi sosial, sebagaimana yang telah kita ketahui, tidak dapat bersifat netral. Ia adalah alat penguasa yang tidak ditujukan untuk memenuhi keinginan dan aspirasi kita, melainkan untuk mempertahankan kontrolnya. Banyak kaum anarkis memahami negara, hak milik pribadi, institusi agama, serta keluarga yang patriarkis sebagai institusi dan sistem dominasi yang harus dihancurkan bila kita ingin menciptakan sebuah masyarakat yang bebas. Oleh karena itu, cukup ganjil apabila pemahaman yang sama tidak diaplikasikan pada sistem tekno-industrial. Bahkan di era ini, ketika pabrik tidak menyediakan ruang bagi setiap inisiatif individual, ketika komunikasi didominasi oleh sistem-sistem dan jaringan besar yang dapat diakses oleh polisi, ketika keseluruhan sistem teknologi memandang manusia hanya sebagai alat yang tidak lebih dari tangan dan mata, seperti teknisi dan pengawas, masih banyak kaum anarkis yang menyerukan “rebut alat produksi”. Meski telah kita ketahui bersama bahwa sistem teknologi itu sendiri merupakan bagian dari struktur dominasi. Ia diciptakan untuk mengontrol kaum tertindas secara lebih efisien. Seperti halnya negara dan kapital, sistem teknologi ini harus dihancurkan agar kita dapat merebut kembali hidup kita. Artinya, sehubungan dengan alat-alat dan teknik, akan dikembangkan seiring dalam alur perjuangan kita melawan sistem dominasi. Demi membuka kemungkinan-kemungkinan baru di dalam mengkreasikan apa yang kita inginkan, mesin pengontrol harus dihancurkan.

Wolfi Landstreicher

0 komentar: